BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Manusia
diciptakan oleh Allah Swt sebagai makhluk yang paling mulia, ia bukanlah
sesosok makhluk yang sekedar memiliki jasad/organisme hidup, sehingga kehidupan
yang dijalaninya pun bukan sekedar untuk tujuan memperoleh makan, tumbuh,
berkembang-biak, lalu mati. Manusia diciptakan ke alam dunia ini disertai pula
dengan berbagai potensi kehidupan yang diberikan oleh-Nya.Berbagai potensi
kehidupan tersebut harus merupakan sesuatu yang disadari/difikirkan oleh
manusia.Diantara potensi kehidupan tersebut adalah berupa naluri-naluri
(gharaizh) yang diantaranya pula adalah naluri untuk melestarikan keturunan
ataupun tertarik kepada lawan jenis (gharizatu nawu).Naluri ini merupakan
dorongan yang muncul pada diri manusia ketika adanya stimulan dari luar.
Sebagai contoh, suatu saat seorang ikhwan pernah merasakan perasaan yang
‘berbunga-bunga tidak karuan’ ketika di suatu tempat bertemu dengan seorang
akhwat yang menurut penilaiannya, orang tersebut adalah sosok yang ‘special’
sehingga setiap kali berjumpa, memikirkan atau bahkan hanya sekedar mendengar
namanya saja, tiba-tiba jantung ini bisa berdebar cepat dan kedua bibirpun akan
menggeser menyimpul mesra. Kondisi ini tentunya juga dapat terjadi sebaliknya
antara seorang akhwat terhadap seorang ikhwan.
Islam
memandang ini sebagai hal yang fitrah (manusiawi) dan bukan hal yang tabu
ataupun terlarang. Oleh karenanya dalam rangka menempatkan manusia agar tetap
pada derajatnya sebagai makhluk yang mulia, maka Allah Swt menurunkan
seperangkat aturan kehidupan yang harus diambil dan dijalankan oleh umat
manusia yaitu Syari’at islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw, termasuk di
dalamnya tercakup aturan untuk menyelesaikan masalah yang satu ini. Diantaranya
adalah pengaturan mengenai khitbah (meminang) sebagai aktivitas syar’i yang
harus dipilih oleh seorang muslim. Peminangan merupakan pendahuluan perkawinan
disyari’atkan sebelum ada ikatan suami
istri dengan tujuan agar waktu memesuki perkawinan didasarkan kepada penelitian
dan pengetahuan serta kesadaran masing-masing pihak.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa Definisi Khitbah?
2.
Bagaimana Landasan Hukum Khitbah
dalam al-Qur’an dan al-Hadist?
3.
Bagaimana Karakteristik Khitbah?
4.
Sebutkan Macam-macam Khitbah?
5.
Apa saja Syarat Sah Khitbah?
6.
Apa saja Anggota Tubuh Terpinang yang Boleh
dipandang?
7. Bagaimana Hukum
memandang wanita terpinang ?
8. Kapan
waktu melihat wanita terpinang?
9. Empat
Mata dengan wanita pinangan?
10. Bagaimana Hukum
Pandangan wanita terpinang terhadap laki-laki peminang?
11. Apa saja Konsekwensi atas Pembatalan Khitbah?
12. Hikmah
di syari’atkan Khitbah!
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui definisi tentang apa itu khithbah.
2.
Menyebutkan hukum-hukum dalam al-Qur’an dan al-Hadist.
3.
Dapat menyebutkan macam-macam dari pada khithbah.
4.
Memberikan penjelasan tentang anggota tubuh terpinang
yang boleh dilihat pada saat meminang, waktu melihat wanita terpinang, empat
mata dengan wanita pinangan serta menjelaskan hukum pandangan wanita terpinang
terhadap laki-laki peminang.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Khitbah
Islam
telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara pernikahan berlandaskan
Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih sesuai dengan pemahaman para Salafush
Shalih, di antaranya adalah:
Pinangan (meminang/melamar) atau khitbah dalam
bahasa Arab, merupakan pintu gerbang menuju pernikahan.Khitbah menurut
bahasa, adat dan syara, bukanlah perkawinan.Ia hanya merupakan mukaddimah
(pendahuluan) bagi perkawinan dan pengantar kesana. Khitbah merupakan
proses meminta persetujuan pihak wanita untuk menjadi istri kepada pihak lelaki
atau permohonan laki-laki terhadap wanita untuk dijadikan bakal/calon
istri. Seluruh kitab/kamus membedakan
antara kata-kata "khitbah" (melamar) dan "zawaj"
(kawin/menikah), adat/kebiasaan juga membedakan antara lelaki yang sudah
meminang (bertunangan) dengan yang sudah menikah; dan syari'at pun membedakan
secara jelas antara kedua istilah tersebut. Karena itu, khitbah tidak lebih
dari sekedar mengumumkan keinginan untuk menikah dengan wanita tertentu,
sedangkan zawaj (pernikahan) merupakan aqad yang mengikat dan perjanjian
yang kuat yang mempunyai batas-batas, syarat-syarat, hak-hak, dan akibat-akibat
tertentu.
Pinangan yang kemudian berlanjut dangan “pertunangan”
yang kita temukan dalam masyarakat saat ini hanyalah merupakan budaya atau tradisi
saja yang intinya adalah khitbah itu sendiri, walaupun disertai dengan
ritual-ritual seperti tukar cincin, selamatan dll.Ada satu hal penting yang
perlu kita catat, anggapan masyarakat bahwa pertunangan itu adalah tanda pasti
menuju pernikahan, hingga mereka mengira dengan melaksanakan ritual itu, mereka
sudah menjadi mahram, adalah keliru.Pertunangan (khitbah) belum
tentu berakhir dengan pernikahan.Oleh karenanya baik pihak laki-laki maupun
wanita harus tetap menjaga batasan-batasan yang telah ditentukan oleh syariat.
Namun Masa khitbah bukan lagi saat untuk
memilih.Mengkhitbah sudah jadi komitmen untuk meneruskannya ke jenjang
pernikahan.Jadi shalat istiharah sebaiknya dilakukan sebelum khitbah.Khitbah
dilaksanakan saat keyakinan sudah bulat, masing-masing keluarga juga sudah
saling mengenal dan dekat, sehingga peluang untuk dibatalkan akan sangat kecil,
kecuali ada takdir Allah yang menghendaki lain.
Khitbah, meski bagaimanapun dilakukan
berbagai upacara, hal itu tak lebih hanya untuk menguatkan dan memantapkannya
saja. Dan khitbah bagaimanapun keadaannya tidak akan dapat memberikan
hak apa-apa kepada si peminang melainkan hanya dapat menghalangi lelaki lain
untuk meminangnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits:
حَدَّثَنَاعَلِيُّبْنُعَبْدِاللَّهِحَدَّثَنَاسُفْيَانُحَدَّثَنَاالزُّهْرِيُّعَنْسَعِيدِبْنِالْمُسَيَّبِعَنْأَبِيهُرَيْرَةَرَضِيَاللَّهُعَنْهُقَالَنَهَىرَسُولُاللَّهِصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَأَنْيَبِيعَحَاضِرٌلِبَادٍوَلَاتَنَاجَشُواوَلَايَبِيعُالرَّجُلُعَلَىبَيْعِأَخِيهِوَلَايَخْطُبُعَلَىخِطْبَةِأَخِيهِوَلَاتَسْأَلُالْمَرْأَةُطَلَاقَأُخْتِهَالِتَكْفَأَمَافِيإِنَائِهَا
Dari Abu
Hurairah ra. Bahwa Rosulullah saw bersabda "………Tidak boleh salah
seorang diantara kamu meminang pinangan saudaranya……" (Muttafaq 'alaih).
1. Khitbah (Peminangan)
1. Khitbah (Peminangan)
Seorang laki-laki muslim yang akan menikahi seorang
muslimah, hendaklah ia meminang terlebih dahulu karena dimungkinkan ia sedang
dipinang oleh orang lain. Dalam
hal ini Islam melarang seorang laki-laki muslim meminang wanita yang sedang
dipinang oleh orang lain. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيْعَ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَلاَ يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ، حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيْعَ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَلاَ يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ، حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang membeli barang yang sedang ditawar (untuk dibeli) oleh saudaranya, dan melarang seseorang meminang wanita yang telah dipinang sampai orang yang meminangnya itu meninggalkannya atau mengizinkannya.” .[1]
Khitbah adalah permintaan seseorang untuk laki-laki
untuk menguasai seorang wanita tertentu dari keluargannya dan bersekutu dalam
urusan kebersamaan hidup .[2] Atau dapat pula diartikan, seorang laki-laki
menampakkan kecintaannya untuk menikahi seorang wanita yang halal dinikahi
secara syara’ adapun pelaksanaannya
beragam; adakalanya meminangitu sendiri yang meminta langsung kepada yang
bersangkutan, atau melalui utusan seseorang yang dapat dipercaya untuk meminta
orang yang dikehendaki.
Adapun perempuan yang
boleh dipinang adalah yang memenuhi syarat sebagai berikut:
a.
Tidak dalam
pinangan orang lain.
b.
Pada waktu
dipinang tidak ada penghalang syar’i yang melarang dilangsungkannya pernikahan.
c.
Perempuan itu
tidak dalam masa iddah karena talak raj’i.
d.
Apabila
perempuan dalam masa iddah karena talak ba’in, hendaklah meminang dengan cara
sirri.[3]
2.2 Landasan Hukum Khitbah dalam
al-Qur’an dan al-Hadist
Hukum
menurut Al-Qur’an seperti ayat di bawah ini:
أَنْفُسِكُمْفِيأَكْنَنْتُمْأَوْالنِّسَاءِخِطْبَةِمِنْبِهِعَرَّضْتُمْفِيمَاعَلَيْكُمْجُنَاحوَلا
تَقُولُواأَنْإِلاسِرًّاهُنَّتُوَاعِدُولاوَلَكِنْنَهُنَّسَتَذْكُرُوأَنَّكُمْاللَّهُعَلِمَ
وَاعْلَمُواأَجَلَهُالْكِتَابُيَبْلُغَحَتَّىالنِّكَاحِعُقْدَةَتَعْزِمُواوَلامَعْرُوفًاقَوْلا
حَلِيمٌغَفُورٌاللَّهَأَنَّوَاعْلَمُوافَاحْذَرُوهُأَنْفُسِكُمْفِيمَايَعْلَمُاللَّهَأَنَّ
”Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan
sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu.
Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu
janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali
sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang makruf. Dan janganlah kamu
berazam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis idahnya.Dan ketahuilah
bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah
kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”(Al-Baqarah: 235).
Sedangkan menurut hadist, hukum tentang khitbah adalah:
Memang
terdapat dalam Alqur’an dan banyak hadis Nabi yang membicarakan tentang
peminangan.Namun tidak ditemukan secara jelas dan terarah adanya perintah atau
larangan melakukan peminangan sebagaimana perintah untuk mengadakan perkawinan
dengan kalimat yang jelas, baik dalam Alqur’an maupun dalam hadis Nabi.Oleh
karena itu, dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama’ yang
mewajibkannya.
Mayoritas
ulama' mengatakan bahwa tunangan hukumnya mubah, sebab tunangan ibarat
janji dari kedua mempelai untuk menjalin hidup bersama dalam ikatan keluarga
yang harmonis.Tunangan bukan hakekat dari perkawinan melainkan langkah awal
menuju tali perkawinan. Namun sebagian ulama' cenderung bahwa tunangan itu
hukumnya sunah dengan alasan akad nikah adalah akad luar biasa bukan
seperti akad-akad yang lain sehingga sebelumnya disunahkan khitbah sebagai
periode penyesuaian kedua mempelai dan masa persiapan untuk menuju mahligai
rumah tanggapun akan lebih mantap.
2.3 Karakteristik
Khitbah
Diantara hal yang disepakati mayoritas ulama fiqh,
syariat, dan perundang-undangan bahwa tujuan pokok khitbah adalah berjanji akan
menikah, belum ada akad nikah. Khitbah
tidak mempunyai hak dan pengaruh seperti nikah.Dalam akad nikah, memiliki
ungkapan khusus (ijab qobul) dan seperangkat persyaratan tertentu.Dengan
demikian segala sesuatu yang tidak demikian bukan nikah secara syara’.
Karakteristik
khitbah hanya semata berjanji akan menikah.
Masing-masiang calon pasangan hendaknya mengembalikan perjanjian ini
didasarkan pada pilihannya sendiri karena mereka menggunakan haknya sendiri
secara murni, tidak ada hak intervensi orang lain. Bahkan andaikan mereka telah sepakat, kadar
mahar dan bahkan mahar itu telah diserahkan sekaligus, atau wanita terpinang, atau
telah menerima berbagai hadiah dari peminang, atau telah menerima hadiah yang
berharga. Semua itu tidak menggeser
status janji semata (khitbah) dan dilakukan karena tuntutan
maslahat. Maslahat akan terjadi dalam
akad nikah manakala kedua belah pihak diberikan kebebasan yang sempurna untuk
menentukan pilihannya, karena akad nikah adalah akad menentukan kehidupan
mereka. Diantara maslahat, yaitu jika
dalam akad nikah didasarkan pada kelapangan dan kerelaan hati kedua belah
pihak, tidak ada tekanan dan paksaan dari manapun.
Jika seorang
peminang diwajibkan atas sesuatu sebab pinangannya itu, berarti ia harus
melaksanankan akad nikah sebelum memenuhi segala sebab yang menjadikan
kerelaan. Demikian yang diterangkan
kitab-kitab fiqh secara ijma’ tanpa ada perselisihan. Kesepakatan tersebut tidak berpengaruh
terhadap apa yang diriwayatkan dari Imam Malik as bahwa perjanjian itu harus
dipenuhi dengan putusan pengadilan menurut sebagian pendapat. Akan tetapi dalam perjanjian akad nikah (khitbah)
tidak harus dipenuhi, karena penetapan janji ini menuntut keberlangsungan akad
nikah bagi orang yang tidak ada kerelaan.Hakim pun tidak berhak memutuskan
pemaksaan pada akad yang kritis ini.[4]
2.4 Macam-macam
Khitbah
Dikharamkan
meminang wanita pada saat iddahnya masih ada (belum berakhir), baik iddah
karena cerai maupun iddah karena ditinggal mati suaminya. Apabila
tergolong thalaq raj’i maka diharamkan meminang karena bisa jadi suami dari
sang istri tersebut akan merujuk kembali. Jika tergolong thalaq ba’in maka di
haramkan mengkhitbah jika iddahnya belum selesai batas akhirnya.
Pendapat ulama’ tentang meminang pada saat iddah
adalah jika seorang perempuan ditinggal mati suaminya kemudian ada seseorang
melamarnya maka dia boleh menerimanya, dengan ssyarat cara peminanganya dengan
kata sindiran (Tashrih). Karena hubungan suami dan istri itu sudah terputus
maka haqnya seorang laki-laki sebagai suami sudah gugur sebab kematiannya, dan
keluarga dari suami tersebut juga tidak berkewajiban menanggung semua kehidupan
dari pada perempuan tersebut, kecuali adanya hal-hal tertentu.Seperti yang
sudah kita ketahui bahwa tujuan dari pada iddah adalah untuk mengetahui keadaan
rahim perempuan, apakah di dalamnya ada janin atau tidak, juga menjaga perasaan
keluarga dari suaminya. Jadi bisa kita simpulkan bahwa macam-macam dari iddah
itu ada dua yaitu:
-
Tashrih
Adalah ungkapan yang jelas dan
tegas, dimana khitbah disampaikan dengan menggunakan ungkapan yang tidak bisa
ditaafsirkan apapun kecuali hanya khitbah. Seperti kalimat berikut ini :
Saya melamar dirimu untuk ku
jadikan istriku
Atau
Bila masa iddahmu sudah selesai,
aku ingin menikahi dirimu.
أَجَلَهُالْكِتَابُيَبْلُغَحَتَّىالنِّكَاحِعُقْدَةَتَعْزِمُواوَلا
Dan janganlah kamu ber`azam
untuk beraqad nikah, sebelum habis `iddahnya.(QS. Al-Baqarah
: 235)
Akan tetapi para ulama’ bersepakat bahwa jika tasrih ini
disampaikan kepada wanita yang masih belum boleh dikhithbah, seperti wanita
yang belum usai masa iddahnya, baik perempuan itu di talaq ba’in, raj’i atau di
tinggal mati suaminya hukumnya adalah haram. Dasarnya adalah
firman Allah SWT:
أَنْفُسِكُمْفِيأَكْنَنْتُمْأَوْالنِّسَاءِخِطْبَةِمِنْبِهِعَرَّضْتُمْفِيمَاعَلَيْكُمْجُنَاحوَلا
تَقُولُواأَنْإِلاسِرًّاهُنَّتُوَاعِدُولاوَلَكِنْنَهُنَّسَتَذْكُرُوأَنَّكُمْاللَّهُعَلِمَ
وَاعْلَمُواأَجَلَهُالْكِتَابُيَبْلُغَحَتَّىالنِّكَاحِعُقْدَةَتَعْزِمُواوَلامَعْرُوفًاقَوْلا
حَلِيمٌغَفُورٌاللَّهَأَنَّوَاعْلَمُوافَاحْذَرُوهُأَنْفُسِكُمْفِيمَايَعْلَمُاللَّهَأَنَّ
”Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan
sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu.
Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu
janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali
sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang makruf. Dan janganlah kamu
berazam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis idahnya.Dan
ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah
kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”(Al-Baqarah: 235).
Namun Khitbah
dengan cara tashrih ini boleh disampaikan bila wanita yang di khitbah memang
seorang wanita yang bebas dari ikatan pernikahan dan hal-hal yang sejenisnya.
-
Ta’ridh
Yang dimaksud dengan ta’rid (تعريض) adalah penyampaian khitbah yang
menggunakan kata sindiran, sehingga bisa ditafsirkan menjadi khitbah atau juga
bisa bermakna sesuatu yang lain di luar khitbah. Hukum mengkhitbah seorang
wanita yaitu, jika wanita tersebut sudah di thalaq ba’in dan ditinggal mati
suaminya maka hukum mengkhitbah dengan cara ta’ridh yaitu mubah (boleh), akan
tetapi jika masih dalam keadaan thalaq raj’i maka hukumnya haram.
Contoh kata sindiran seperti:
اني
أريد التزوج. او: لوددت أن يسرالله لي امرأة صالحة.
“Sesungguhnya aku ingin nikah, semoga Allah memudahkanku
untuk mencari wanita shalihah”.
2.5 Syarat Sah Khitbah
Peminangan
yang diperbolehkan agama adalah:
a. Tidak
adanya penghalang antara kedua mempelai yaitu tidak ada hubungan keluarga atau
mahram, tunggal susuan (rodhoah), mushoharoh, atau penghalang yang lain, sebab
tunangan adalah langkah awal dari perkawina maka disamakan hukumnya dengan akad
perkawinan.
b. Tidak
berstatus tunangan orang lain, seperti dalam hadist riwayat imam Al-Bukhari dan
imam An-Nasa’i mengatakan: tidak boleh bagi seorang laki-laki melamar tunangan
orang lain sehingga ia menikahinya atau meninggalkanya. Hadist yang senada juga
diriwayatkan oleh imam ahmad dan imam muslim. Keharaman ini jika tidak mendapat
izin dari pelamar pertama atau ada unsur penolakan dari pihak mempelai wanita,
itu tadi adalah pendapat mayoritas ulama’ (hanafiah, malikiah, dan hanabilah),
namun sebagian ulama’ lain memperbolehkan khitbah tersebut apabila tidak ada
jawaban yang jelas dari mempelai wanita.
2.6 Anggota Tubuh Terpinang yang Boleh
dipandang
1. Mayoritas
Fuqoha’ seperti Imam Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad dalam salah satu
pendapatnya mengatakan bahwa anggota
tubuh wanita terpinang yang boleh dilihat hanyalah wajah dan kedua telapak
tangan. Adapun dalil mereka adalah
firman Allah SWT:
وَلأ
يُبْدِ يْنَ زِيْنَتَهُنَّ أِلأَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Dan
janganlah menampakkan perhiasan (auratnya), kecuali apa yang biasa terlihat
darinnya. (QS. An-Nur (24): 31)
Ibnu Abbas menafsirkan kalimat “apa yang biasa
terlihat darinnya”, dimaksudkan wajah dan kedua telapak tangan.Mereka juga
menyatakan, pandangan disini diperbolehkan karena kondisi darurat maka hanya
sekedarnya, wajah menunjukkan keindahan dan kecantikan, sedangkan kedua telapak
tangan menunjukkan kehalusan dan kelemah lembutantubuh seseorang.Tidak boleh
memandang tubuh selain kedua anggota tubuh tersebut jika tidak ada darurat yang
mendorongnya.[5]
2. Ulama’ Hanbali
berpendapat bahwa batas diperbolehkannya memandang anggota tubuh wanita
terpinang sebagaimana memandang mahram, yaitu apa yang tampak pada wanita pada
umumnya disaat bekerja di rumah, seperti wajah, kedua telapak tangan, leher,
kepala, kedua tumit kaki, dan sebagainya.
Tidak
boleh memandang anggota tubuh yang pada umumnya tertutup seperti dada,
punggung, dan sesamanya. Adapun alasan
mereka; Nabi SAW tatkala memperbolehkan seorang sahabat memandang wanita tanpa
sepengetahuannya. Diketahui bahwa beliau
mengizinkan memandang segala yang tampak pada umumnya. Oleh karena itu, tidak mungkin hanya
memandang wajah, kemudian diperbolehkan memandang yang lain karena sama-sama
tampak seperti halnya wajah.[6]
3. Ulama
Hanafiyah dan Hanabilah yang masyhur mazhabnya berpendapat, kadar anggota tubuh
yang diperbolehkan untuk dilihat adalah wajah, kedua telapak tangan dan kedua
kaki, tidak lebih dari itu. Memandang
anggota tubuh tersebut dinilai cukup bagi orang yang ingin mengetahui kondisi
tubuhnya. Menyingkap dan memandang
wanita lebih dari anggota tersebut akan menimbulkan kerusakan dan maksiat yang
pada umumnya diduga maslahat. Dalam
khitbah wajib dan cukup memandang anggota tubuh tersebut saja sebagaimana
wanita boleh terbuka kedua tumit, wajah, dan kedua telapak tangannya ketika
dalam sholat dan haji.
4. Dawud
Azh-Zhahiri berpendapat bolehnya melihat seluruh anggota tubuh wanita terpinang
yang diinginkan. Berdasarkan keumuman sabda Nabi SAW: “Lihatlah
kepadanya.” Disini Rosulullah tidak
menkhususkan suatu bagian bukan bagian tertentu dalam kebolehan melihat.
Pendapat
Azh-Zhahiriyah telah ditolak mayoritas ulama, karena pendapat mereka menyalahi
ijma’ ulama dan menyalahi prinsip tuntutan kebolehan sesuatu karena darurat
diperkirakan sekadarnya.[7]
2.7 Hukum memandang wanita terpinang
Syariat
Islam membolehkan seorang laki-laki memandang wanita yang ingin dinikahi,
bahkan dianjurkan dan disunnahkan.Karena pandangan peminang terhadap terpinang
bagian dari syarat keberlangsungan hidup pernikahan dan ketentraman. Diantara dalil yang menunjukkan bolehnya
memandang wanita karena khitbah sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi SAW
bersabda kepada Al-Mughirah bin Syu’bah yang telah meminang seorang wanita
untuk dinikahi: “ Apakah anda telah melihatnya
? “ Ia menjawab: “ Belum.” Beliau bersabda:
اُنْظُرْ
أِلَيْهاَ فَأِنَّهُ أَحْرَي أَنْ يُؤْدَمُ بَيْنَكُمَا
Lihatlah
ia, sesungguhnya penglihatan itu lebih utama untuk mempertemukan antara anda
berdua. (maksudnya menjaga kasih saying
dan kesesuaian ).
2.8 Kapan waktu melihat wanita terpinang
Mayoritas
ulama’ berpendapat bahwa waktu yang diperbolehkan melihat wanita terpinang
adalah pada saat seorang laki-laki memiliki azam (keinginan kuat)
menikah dan ada kemampuan baik secara fisik maupun materiil. Syarat lain berkenaan dengan wanita yang
dipinang pada saat dilihat baik untuk dinikahi, bukan wanita penghibur atau
bukan istri orang lain.
Langkah
diatas adalah suatu langkah yang baik untuk mencapai maslahat. Jika dilaksanakan dengan baik, akan mempunyai
akibat yang baik pula. Jika tidak jadi
dinikahi karna laki-laki tersebut kurang tertarik, tetap terjaga kehormatan
wanita tersebut, tidak tersakiti, dan terpatahkan semangat.Langkah-langkah
inilah yang tempuh oleh orang-orang terhormat yang mempunyai rasa malu.
2.9 Empat Mata dengan wanita pinangan
Syariat
Islam memperbolehkan laki-laki melihat wanita terpinang, demikian juga wanita
terpinang boleh melihat laki-laki peminang.Penglihatan masing-masing ini
dimaksudkan agar saling memahami dan menerima sebelum melangkah ke
pernikahan.Kebolehan melihat tersebut hanya pada saat khitbah. Oleh karena itu, peminang tidak boleh
bersunyian empat mata dengan wanita terpinang , tidak boleh pergi bersama,
keluar untuk rekresi, dan lain-lain kecuali disertai dengan mahram (saudara). Hal tersebut untuk menolak fitnah, menjauhi
tempat-tempat keraguan, memelihara kehormatan dan kemuliaan gadis,
sungguh-sungguh memelihara masa depan, dan menjaga kehormatan keluarganya.[8]
Syariat
Islam memperbolehkan melihat wanita terpinang karena maslahat, sedangkan segala
bentuk yang menimbulkan bencana atau kerusakan (mafsadad) terlarang.Oleh karena
itu, tidak boleh melihat wanita terpinang di tempat sepi tanpa disertai salah
seorang keluarga (mahram). Bersepian
dengan seorang wanita lain haram hukumnya, kecuali bagi mahram atau suami
sendiri. Asumsi diperbolehkannya
pacaran, bergaul bebas, dan bersepian dengan maksud saling mengetahui sifat
atau karakter calon teman pasangannya sebelum menikah adalah asumsi batil,
tidak benar. Hal tersebut dikarenakan
masing-masing individu akan membebani teman calon pasangannya berdiri di luar
karakter dan menampakkan dirinnya tidak seperti biasa.
2.10 Hukum Pandangan wanita terpinang
terhadap laki-laki peminang
Syariat
Islam memperbolehkan wanita terpinang
melihat laki-laki peminang sebagaimana laki-laki peminang melihatnya, agar
semakin jelas kedudukannya sebelum masuk pada akad nikah. Hokum kebolehannya dianalogikan dengan
peminang yang memiliki alas an (illat) yang sama sebagaimanayang
ditegaskan dalam sabda Rasulullah SAW:
ا
نْظُرْ أِلَيْهَا فَأِنَهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
Lihatlah wanita itu sesungguhnya
penglihatan itu lebih utama untuk mempertemukan antara anda berdua.(HR.At-Tirmidzi).
Keberlangsungan kasih sayang antara suami istri tidak hanya
terletak pada seorang laki-laki, akan tetapi masing-masing pihak adalah unsur
dalam kasih sayang. Jika laki-laki
mencari wanita pinangan yang baik, wanita pun akan senang jika dinikahi seorang
laki-laki yang baik pula bagi dirinya.
2.11
Konsekwensi Pembatalan Khitbah
Jika salah seorang
peminang dan yang dipinang membatalkan pinangan setelah pemberitahuannya, dan
juga peminang telah memberikan seluruh mahar atau sebagian maka haruslah
dikembalikan menurut kesepakatan menurut ulama’ fiqih karena peminangan seperti
akad yang belum sempurna. Adapun jika yang diberikan merupakan hadiah maka
baginnya berlaku hukum hadiah.Baginya untuk mengembalikan jika tidak ada
penghalang yang mencegah pengembalian dalam pemberian itu, seperti kerusakan
dan hilangnya barang yang diberikan tersebut.
Jika yang membatalkan pihak peminang, maka tiadalah
keharusan baginya untuk mengembalikan sesuatu dari yang diberikannya dan tidak
mengembalikan sesuatu yang diinfakkan. Jika dari perempuan yang dipinang maka
peminang mengembalikan sesuatu yang telah diinfaq kan, dan mengembalikan hadiah
yang diberikan kepadanya jika masih ada, atau sebesar nilai dari barang
tersebut jika dirusakkan atau telah rusak, selama tidak adanya syarat atau
kebiasaan selainya. Ini merupakan pendapat yang diambil dari madzab maliki.
Terkadang pembatalan pinangan mengakibatkan bahaya
pada pihak yang lain dari segi kemuliaan atau harta, apakah pihak yang
membatalkan pinangan dituntut ganti yang semisal atas bahaya ini sebagian ulama’ fiqih berpendapat ketidak
bolehanya tuntutan ini karena pembatalan merupakan hak bagi setiap peminang dan
yang dipinang.Tiada gangguan bagi orang yang menggunakan haknya.
Sebagian ulama’ fiqih melihat ada hukum penggantian
jika pihak lain mengalami bahaya dengan sebab pembatalan ini, karena dalam
hadist disebutkan:
لا
ضرر ولاضرار
“Tiada bahaya dan tiada membuat
bahaya.”
Bahaya
telah terjadi dan hilang dengan penggantian.
Mengenai pendapat yang terkuat (rajih), kami
mengatakan bahwa sesungguhnya bahaya dibagi dua, yaitu:
a. Bahaya
yang muncul, bagi peminang yang termasuk selain pinangan dan keberpalingan
darinya, seakan-akan ia meminta jenis yang jelas sebagai persediaan, atau
persiapan rumah tangganya kelak atas aturan khusus. Pada keadaan ini ia harud
memberikan ganti karena ia yang mengubah pada keadaan yaang lain dan perubah
mewajibkan penanggungan.
b. Bahya
yang muncul dari keterbatasan pinangan dan pembatalan darinya bukan tanpa sebab
dan ini tidak ada penyesatan didalamnya, maka tidak ada keharusan memberi
ganti.[9]
Sungguh telah ada dalam halaman pikiran keagamaan
pada Al-Ahram.[10]Ditanyakan
tentang maksud pinangan dalam agama, apakah jaringan (ikatan) dianggap sebagai
bagian dari mahar?Apakah jika pinangan terhapus wajib untuk mengembalikan
jaringan kepada peminang?
Jawaban atas pertanyaan ini disampaikan oleh Prof.
Dr. Abdul Majid Mathlub, Ketua jurusan syari’ah fakultas Al-Huquq (hak-hak)
universitas ‘ain syam, lalu ia mengatakan bahwa ssesungguhnya meminang dalam
syari’at islam merupakan janji untuk penyempurnaan akad pernikahan. Oleh karena
itu, khithbah tidak dianggap sebagai akad, meski khithbah bersamaan dengan
pembacaan Al-Fatihah, memberikan sebagian hadiah-hadiah, menyerahkan
mahar.Meminang terbatas pada pendahuluan yang memberikan hak dari masing-masing
dua pihak di dalam pengajaran pemikiran pernikahan dan selama terdapat kebaikan
bagi keduanya.
Telah berlaku secara adat peminang memberikan untuk
perempuan yang dipinang, dan sebelum pelaksanaan akad pernikahan dinamakan
dengan “Jaringan” yakni peminang memberikan kepadanya sejumlah harta untuk
membelinya sebagai jaringan yang dipilihnya.Hal ini menjadi bagian dari hal-hal
yang disyaratkan untuk kesempurnaan pernikahan seperti mahar, sekiranya tidak
sempurna pernikahan ditengah-tengah yang telah saling mengetahui tentang hal
demikian kecuali dengan memberikan jaringan sebagai bagian atau pengganti dan
memberikan mahar sekaligus.Bahkan mereka saling mengetahui atas kekurangan
mahar dengan uluran nilai jaringan ketika membeikannya.Menambahkanya sesuai
ukuranya jika tidak diberikan.
Dengan pengukuhan seperti itu jika peminangan batal
maka tidaklah sempurna pelaksanaan akad karena suatu sebab, maka bagi oara
perempuan yang dipinang mengembalikan jaringan jika masih ada, mengembalikan
penggantinya jika telah rusak atau dirusakanya.Hal itu karena yang diketahui
dan ketetapan yang terjadi bahwa peminang hanya memberikannya sebagai jalan
penggantian dan syarat-syarat kesempurnaan akad.Adat ini termasuk bagian yang
dianggap syara’ dan berlaku hukum baginya.Maka wajib berlaku hukumnya seperti
hukum mahar.
Menurut pendapat yang kuat, sekarang ini bahwa
jaringan dijadikan hukum mahar.Karena kebanyakan orang sepakat atasnya dalam
akad.Ini mengeluarkanya dari kawasan hadiah-hadiah dan menemukanya dengan
mahar.
Dr. Abdul Majid menambahkan, telah menjadi ketetapan
hukum sesuai dengan hukum yang ditetapkan dengan kaidah-kaidah syari’at islam
tertulis bahwa pinangan bukanlah akad yang diharuskan. Ketiadaan keberpalingan
atas peminangan tidak menjadi sebab yang mengharuskan untuk memberikan ganti.
Seandainya hukum atas keberpalingan dari pinangan
dengan memberikan ganti, maka demikian itu menyerupai paksaan dalam pernikahan
dan ini tidak disepakati dan wajib bagi masing-masing keduanya adalah penuh
dengan kerelaan, sempurna, dan kebebasan yang sempurna dalam pembentukan akad
pernikahan.
Jika penyimpangan peminangan berbarengan dengan
perbuatan-perbuatan lain yang menimbulkan bahaya bagi salah satu peminang maka
hukumnya boleh dengan memberi ganti atas tanggung jawab yang terbatas.[11]
2.12 Hikmah di
syari’atkan Khitbah
Setiap hukum yang disyariatkan,
meskipun hukumnya tidak sampai pada tingkat wajib, selalu mempunyai tujuan dan
hikmah. Adapun hikmah dari adanya
syariat peminangan adalah untuk lebih menguatkan ikatan perkawinan yang
diadakan sesudah itu, karena dengan peminangan itu kedua belah pihak dapat
saling mengenal1. Hal
ini dapat disimak dari sepotong hadits Nabi dari al-Mughirah bin al-syu’bah
menurut yang dikeluarkan al-Thirmizi dan al-Nasaiy yang bunyinya :
Bahwa Nabi berkata kepada seseorang
yang telah meminang seorang perempuan: “melihatlah kepadanya karena yang
demikian akan lebih menguatkan ikatan perkawinan”.
(al-Shan’aniy III,113)
Kemudian untuk kebaikan,
kesejahtraan, dan kesenangan dalam kehidupan berrumah tangga sebaiknya laki-laki
melihat terlebih dahulu perempuan yang akan dipinangnya (khitbah) sehingga ia
dapat menentukan apakah peminangan itu diteruskan atau dibatalkan2. Dalam agama islam, melihat perempuan yang
akan dipinang itu diperbolehkan selama dalam batasan-batasan tertentu,
berdasarkan sabda Nabi SAW :
عَنْ
جَا بِرْ قَال قال ر سول الله صل ا لله عليه و سلم أِذا خطَبَ أَحدُ كُم الْمَرْ
أَةَفان استطاء أن ينظر منها الى ما يدعوه الى نكاحها فليفعل قال فخطبت جارية من
بنى سلمة فكنت أختبئ لها تحت الكرب حتى رأيت منها بعض ما دعانى الى نكاحها
فتزوجتهاز
Dari mughirah bin syu’bah, ia
pernah meminang seorang perempuan, lalu Rasulallah bertanya kepadanya:“Sudahkah
kau lihat dia?” Ia menjawab:“belum”,
sabda Nabi: “Lihatlah dia terlebih dahulu agar nantinya kamu bisa hidup bersama
lebih langgeng”.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
-
Khitbah
(mempersunting) adalah suatu bentuk (perasaan senang) yang dilahirkan oleh si
khatib (laki-laki yang mempersunting) kepada makhtubah (perempuan yang
dipersunting) untuk menikahinya .[12]
Dalam kitab lain juga dijelaskan mengenai pengertian Khitbah (peminangan),
merupakan langkah pertama yang dilakukan seorang laki-laki sebelum proses akad
nikah. Dalam acara peminangan, pihak laki-laki ingin mengetahui apakah
lamarannya dapat diterima atau tidak boleh keluarga wanita. Untuk melaksanakan
proses peminangan, dapat dilakukan oleh dirinya sendiri atau pun dipercayakan
kepada salah seorang keluarganya atau saudara laki-lakinya. tujuannya tidak lain untuk menghindari
terjadinya kesalahpahaman di antara kedua belah pihak. Juga agar perkawinannya
itu sendiri dapat berjalan atas dasar pemikiran yang mendalam dan
mendapatkan hidayah. Lebih jauh lagi,
dengan itu, suasana kekeluargaan nantinya akan berjalan erat antara suami,
istri, anak-anak dan anggota keluarga lainnya.
-
Karakteristik
khitbah hanya semata berjanji akan menikah.
Masing-masiang calon pasangan hendaknya mengembalikan perjanjian ini
didasarkan pada pilihannya sendiri karena mereka menggunakan haknya sendiri
secara murni, tidak ada hak intervensi orang lain. Bahkan andaikan mereka telah sepakat, kadar
mahar dan bahkan mahar itu telah diserahkan sekaligus, atau wanita terpinang,
atau telah menerima berbagai hadiah dari peminang, atau telah menerima hadiah
yang berharga.
-
Macam-macam khitbah ada dua, yang pertama Tashrih adalah
ungkapan yang jelas dan tegas, dimana khitbah disampaikan dengan menggunakan
ungkapan yang tidak bisa ditaafsirkan apapun kecuali hanya khitbah. Yang kedua,
ta’ridh penyampaian khitbah yang menggunakan kata sindiran, sehingga bisa
ditafsirkan menjadi khitbah atau juga bisa bermakna sesuatu yang lain di luar
khitbah.
-
Peminangan yang
diperbolehkan agama adalah:
a. Tidak
adanya penghalang antara kedua mempelai yaitu tidak ada hubungan keluarga atau
mahram, tunggal susuan (rodhoah), mushoharoh, atau penghalang yang lain, sebab
tunangan adalah langkah awal dari perkawina maka disamakan hukumnya dengan akad
perkawinan.
b. Tidak
berstatus tunangan orang lain, seperti dalam hadist riwayat imam Al-Bukhari dan
imam An-Nasa’i mengatakan: tidak boleh bagi seorang laki-laki melamar tunangan
orang lain sehingga ia menikahinya atau meninggalkanya.
-
Hukum memandang
wanita terpinang, Syariat
Islam membolehkan seorang laki-laki memandang wanita yang ingin dinikahi,
bahkan dianjurkan dan disunnahkan.
Karena pandangan peminang terhadap terpinang bagian dari syarat
keberlangsungan hidup pernikahan dan ketentraman. Diantara dalil yang menunjukkan bolehnya
memandang wanita karena khitbah sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi SAW
bersabda kepada Al-Mughirah bin Syu’bah yang telah meminang seorang wanita
untuk dinikahi: “ Apakah anda telah melihatnya
? “ Ia menjawab: “ Belum.”
-
Kapan waktu
melihat wanita terpinang? Mayoritas
ulama’ berpendapat bahwa waktu yang diperbolehkan melihat wanita terpinang
adalah pada saat seorang laki-laki memiliki azam (keinginan kuat) menikah
dan ada kemampuan baik secara fisik maupun materiil. Syarat lain berkenaan
dengan wanita yang dipinang pada saat dilihat baik untuk dinikahi, bukan wanita
penghibur atau bukan istri orang lain.
-
Hukum Pandangan
wanita terpinang terhadap laki-laki peminang, Syariat Islam memperbolehkan wanita terpinang melihat laki-laki peminang
sebagaimana laki-laki peminang melihatnya, agar semakin jelas kedudukannya
sebelum masuk pada akad nikah. Hokum
kebolehannya dianalogikan dengan peminang yang memiliki alas an (illat)
yang sama.
-
Konsekwensi
Pembatalan Khitbah, Jika
salah seorang peminang dan yang dipinang membatalkan pinangan setelah
pemberitahuannya, dan juga peminang telah memberikan seluruh mahar atau
sebagian maka haruslah dikembalikan menurut kesepakatan menurut ulama’ fiqih
karena peminangan seperti akad yang belum sempurna. Adapun jika yang diberikan
merupakan hadiah maka baginnya berlaku hukum hadiah. Baginya untuk
mengembalikan jika tidak ada penghalang yang mencegah pengembalian dalam
pemberian itu, seperti kerusakan dan hilangnya barang yang diberikan tersebut.
-
Hikmah di
syari’atkan Khitbah, Setiap
hukum yang disyariatkan, meskipun hukumnya tidak sampai pada tingkat wajib,
selalu mempunyai tujuan dan hikmah.
Adapun hikmah dari adanya syariat peminangan adalah untuk lebih
menguatkan ikatan perkawinan yang diadakan sesudah itu, karena dengan
peminangan itu kedua belah pihak dapat saling mengenal1. Hal ini dapat disimak dari sepotong hadits
Nabi dari al-Mughirah bin al-syu’bah menurut yang dikeluarkan al-Thirmizi dan
al-Nasaiy yang bunyinya :Bahwa Nabi
berkata kepada seseorang yang telah meminang seorang perempuan: “melihatlah
kepadanya karena yang demikian akan lebih menguatkan ikatan perkawinan”.
(al-Shan’aniy III,113)
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul, Amru
Mun’im Salim.2008. Panduan Lengkap Nikah.
Solo:Daar an-naba’
Al-Qur’an Digital: surat Al-Baqarah ayat
235
Dr.As-Subki, Ali Yusuf. 2010. Fiqih Keluarga pedoman berkeluarga dalam islam.Jakarta:
Amzah.
Dr. Nashih,
Abdullah ‘Ulwan. 2006. Tata Cara Meminang Dalam Islam. Jakarta: Qisthi Press
DR. M. Ahmad,
Sayyid Al-Musayyar. 2008. Islam Bicara Soal Seks, Percintaan, dan Rumah
Tangga, Kairo Mesir:Erlangga
DR. Qaradawi, Yusuf. 2007.Halal dan Haram. Jakarta:Jabal.
Fiqh
Munakahat Khitbah, Nikah, dan Talak. Jakarta:AMZAH
Fuad, Syaikh
Shalih. 2009. Untukmu yang akan Menikah
dan Telah Menikah.Jakarta Timur:
Pustaka Al-Kaustar
Ibn Anas, Imam
Malik. 1999. Al-Muwatta’. Jakarta: Rajawali Pers
Prof.Dr.Amir Syarifudin ,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia
(Jakarta: kencana prenada
Media
Grup.
Prof.Dr. Muhammad Azam, Abdul Aziz dan
Prof. Dr. Sayyid Hawwas, abdul wahab.2009.
Fiqh
Munakahat Khitbah, Nikah, dan Talak. Jakarta:AMZAH
Sabiq, Sayyid.
2003. Fiqh Sunnah Juz 2. Kairo:Darul
Fath
Sabbiq, Sayyid. 2008. Fiqh Sunnah Terjemahan Jilid 3. Jakarta:Dar Fath Lil I’lami al-araby.
Nashiruddin,
Muhammad Al-Albani. 2006. Shahih Sunnah
Nasa’i jilid 2. Jakarta: Pustaka
Azzam
[1]Hadits
shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5142) dan Muslim (no. 1412), dari
Shahabat Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma. Lafazh ini milik al-Bukhari.
[2]
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Munakahat, hlm. 8.
[3]Slamet
Iskandar, Drs., Op-cit, hlm. 45.
[4]
Muhammad Abi Zahrah, Al-Ahwal Asy- Syakhshiyah, hlm. 31-32.
[5]
Bidayat Al-Mujtahid, juz 2, hlm. 3.
[6]Al-Mughni,
juz 6, hlm. 554.
[7]
Abd Al-Fattah Abi Al-Aynain, Al-Islam wa Al-Usrah, hlm. 103.
[8]
Abd Al-Fattah Abi Al-Aynain, Al-Islam wa Al-Usrah, hlm. 104.
[9]
Dr. Muhammad Abdul Hay, Al-Ahwal Asy-Syakhsiyah fi Az-Zawaj Ath-Thalaq wa
Al-Mirats wa Al-Waasyiyah
[10]Koran
harian di Mesir 1410 H/1989 M
[11]Dr.
Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga.(Jakarta: Sinar Grafika Offset) 2010.
Hal,95-98.
[12]
DRS.H. Imron Abu Amar.Fat-hul Qarib Jilid
2. (Kudus: Menara Kudus)1983.hal;32.
Bagusssss
ReplyDelete