GAGASAN KEDAULATAN LINGKUNGAN:DEMOKRASI VERSUS EKOKRASI


BERBAGAI PENGERTIAN TENTANG KEKUASAAN TERTINGGI
1. Konsep Kedaulatan Negara

            Konsep kedaulatan negara mencakup dua konteks pengertian, yaitu pengertian internal dan eksternal. Dalam arti internal, kedaulatan sebagai konsep kekuasaan tertinggi yang dikenal selama ini dalam dunia filsafat hukum dan politik mencakup ajaran tentang Kedaulatan Tuhan (Theocracy), Kedaulatan Rakyat (Democracy), Kedaulatan Hukum (Nomocracy), dan Kedaulatan Raja (Monarchy). Dalam perspektif kekuasaan negara secara internal ini bahkan nanti akan dijelaskan pula mengenai adanya ajaran Kedaulatan Lingkungan yang dapat kita perkenalkan dengan istilah ‘Ecocracy. Sedangkan dalam perspektif yang bersifat eksternal, konsep kedaulatan itu biasa dipahami dalam konteks hubungan antar negara. Dalam hubungan Internasional, orang biasa berbicara mengenai status suatu negara merdeka yang berdaulat keluar dan ke dalam. Karena, dalam praktik hubungan antar negara mutlak diperlukan adanya pengakuan Internasional terhadap status suatu negara yang dianggap merdeka dan berdaulat itu. Tanpa adanya pengakuan, negara yang mengklaim dirinya sendiri secara sepihak sebagai negara akan sulit ikut serta dalam pergaulan internasional.
            Menyadari hal itu, para perancang dan perumus undang-undang dasar negara kita pada tahun 1945 juga mendeklarasikan dengan tegas adanya prinsip kedaulatan negara Indonesia itu, baik dalam Pembukaan maupun dalam pasal-pasal UUD 1945. Alinea I Pembukaan menyatakan, “Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan”.
Alinea II Pembukaan UUD 1945 tersebut menyatakan pula, “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.” Untuk menjaga keutuhan dan kedaulatan negara, diatur pula tugas konstitusional yang dibebankan kepada Tentara Nasionjal Indonesia (TNI) dalam Pasal 30 ayat (3) UUD 1945. Pasal 30 ayat (3) tersebut menentukan, “Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara”. Dari kutipan-kutipan di atas jelas tergambar bahwa UUD 1945 juga menganut ajaran kedaulatan negara itu dalam konteks hubungan antar negara yang bersifat eksternal.
Di samping ide kedaulatan dalam konteks pengertian yang bersifat eksternal dalam hubungan antar negara, UUD 1945 juga dapat dikatakan menganut beberapa ajaran tentang kedaulatan dalam pengertian internal, terutama dalam hubungan antara negara dan warga negara dan antara sesama warga negara. Dari keempat konsep kekuasaan tertinggi atau kedaulatan, yaitu Kedaulatan Tuhan (Theocracy), Kedaulatan Raja/Ratu (Monarchy), Kedaulatan Rakyat (Democracy), dan ide Kedaulatan Hukum (Nomocracy), setidaknya UUD 1945 menganut 2 ajaran secara eksplisit, yaitu kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum yang berkaitan dengan ide demokrasi dan negara hukum. Bahkan, dalam pengertian yang berbeda dari konsepsi klasik tentang teokrasi, UUD 1945 juga mengakui adanya prinsip kekuasaan tertinggi yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Kuasa, di samping adanya praktik sistem kerajaan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang statusnya diakui dan dihormati menurut Pasal 18B ayat (1) UUD 1945[3].
Sementara itu, dalam Pembukaan UUD 1945 pada Alinea III, dinyatakan, “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.” Ide Kemahakuasaan Tuhan dalam Pembukaan UUD 1945 ini jelas merupakan pengakuan bahwa Yang Maha Berkuasa dalam Kehidupan bernegara pun pertama-tama adalah Tuhan, yaitu Allah Yang Maha Kuasa. Selanjutnya, Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”. Sedangkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Negara Indonesia adalah negara hukum”[4], yang tidak lain menegaskan dianutnya prinsip kedaulatan hukum. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengandung dan menganut hampir semua ajaran kedaulatan, yaitu mulai dari prinsip Kedaulatan Negara secara eksternal dan semua ajaran kedaulatan secara internal, yaitu prinsip Kedaulatan Tuhan, Kedaulatan Rakyat, Kedaulatan Hukum[5], Kedaulatan Raja[6], dan bahkan Kedaulatan Lingkungan yang telah saya uraikan dalam buku “Green Constitution: Nuansa Hijau UUD 1945” dan juga akan diuraikan lebih lanjut dalam tulisan ini.

2. Kedaulatan Tuhan

            Dalam ide Kedaulatan Tuhan, kekuasaan tertinggi dianggap ada di tangan Tuhan. Tuhanlah yang dipandang sebagai sumber dari segala sumber kekuasaan manusia di dunia. Manusia hanya lah pelaksana belaka dari kehendak Tuhan. Dapat dikatakan bahwa pengertian demikian ini dikenal ada dalam datau oleh semua agama besar dunia dalam sejarah. Agama Hindu, agama Yahudi, Kristen, maupun Islam mempunyai pengalaman yang sama dalam berhubungan dengan ide-ide tentang kekuasaan bernegara. Tuhan lah yang pertama-tama dipandang sebagai sumber dari segala kekuasaan manusia, termasuk dalam urusan bernegara.
Namun demikian, dalam perwujudan konkritnya, dimanakah kekuasaan Tuhan itu tampil atau menampilkan diri dalam praktik kegiatan bernegara? Dalam kenyataan praktiknya, sejak dari zaman pra-sejarah, kekuasaan tuhan itu selalu dipahami melekat dalam diri para pemimpin yang bersifat turun-temurun. Karena itu, di antara berbagai agama, muncul konsep Raja-Dewa dalam sejarah umat Hindu, Raja-Pendeta dalam sejarah Kristen, dan Raja-Khalifah dalam sejarah umat Islam.
            Di zaman Plato dan Aristoteles[7] di Yunani kuno ketika masyarakatnya yang sedang bergairah dengan pemikiran filsafat, berkembang pula konsep “The Philosopher’s King” atau Raja-Filosof, yang kurang lebih sama saja dengan Raja-Dewa tersebut di atas. Para raja tersebut diharapkan mempunyai kepribadian yang ideal dan dapat dijadikan panutan sesuai dengan idealitas yang diajarkan oleh agama yang mereka anut. Demikian pula pandangan Plato tentang “The Philosopher’s King”. Pemimpin negara di zaman Plato tidak lain adalah Raja, tetapi Raja yang diidealkan oleh Plato itu hendaklah memahami masalah-masalah kenegaraan secara mendalam seperti para filosof.
            Jikalau Plato memadukan idealitas kepemimpinan negara antara Filosof dan Raja, maka dalam paham-paham keagamaan klasik, yang diintegrasikan adalah ide tentang kepemimpinan agama dengan Raja. Dari pengertian demikian inilah kemudian muncul doktrintheocracy’ dalam sejarah, yaitu bahwa kekuasaan bernegara pada prinsipnya berasal dari Tuhan yang diwujudkan dalam pribadi raja atau ratu secara turun temurun. Di beberapa negara, hanya laki-laki yang diperbolehkan menjadi pemimpin negara, tetapi di beberapa negara lainnya, tidak mempersoalkan jenis kelamin, sehingga dapat menerima raja atau ratu sebagai kepala negara. Dalam paham teokrasi itu, siapa saja yang diangkat menjadi raja atau ratu, dialah yang juga menjadi pemimpin agama yang dianut warga atau rakyatnya.
Dalam perkembangannya, praktik teokrasi ini tentu banyak sekali menghadapi persoalan. Agama dan Tuhan seringkali dengan sangat mudah dijadikan alat legitimisasi kekuasaan. Bahkan agama dan Tuhan dengan mudah diperalat dalam rangka keserakahan nafsu manusia akan kekuasaan, akan kekayaan, dan pelampiasan nafsu seks secara tanpa kendali. Jika sang Raja atau Ratu bertindak sewenang-wenang, maka kesewenang-wenangannya itu tidak dapat diganggu-gugat oleh siapapun juga, karena titah Raja atau Ratu dianggap identik dengan titah Tuhan yang Maha Kuasa.
            Itu sebabnya di zaman sekarang, doktrin kedaulatan tuhan dan konsep Negara Teokrasi itu dianggap sudah ketinggalan zaman dan tidak relevan lagi dan bahkan sangat berbahaya untuk diterapkan. Ide teokrasi juga selalu dilihat dari segi negatifnya karena sifatnya yang sewenang-wenang. Setiap kali orang membicarakan negara agama, sering timbul salah paham seolah hal itu pasti terkait dengan pengertian yang negatif itu. Bahkan, lebih ekstrim lagi, membicarakan agama dalam konteks kehidupan bernegara seringkali dikaitkan dengan pengertian teokrasi yang negatif itu. Menurut pendapat saya, ide teokrasi (theocracy) menjadi negatif karena perwujudannya terkait dengan kerajaan atau monarki, sehingga pemahaman mengenai Tuhan Yang Maha Kuasa diwujudkan dalam Kekuasaan Raja yang dapat bertindak apa saja atas nama Tuhan.
            Para Raja atau Ratu itu sekaligus bertindak sebagai Kepala Agama, sehingga kekuasaannya sangat luas dan termasuk urusan-urusan pribadi warganya. Karena itu, bangsa-bangsa Eropah yang pada umumnya beragama Kristen, dalam waktu yang cukup lama, dipimpin oleh para Raja atau Ratu yang juga sekaligus merupakan Kepala Gereja. Dalam status ganda itu, kekuasaan Raja-Pendeta terus berkembang ke tingkat yang sangat ekstrim, sehingga pada akhirnya mendorong munculnya gerakan perlawanan dari rakyat yang kemudian dikenal sebagai gerakan sekularisme. Gerakan sekularisme ini pada pokoknuya berusaha memisahkan negara dari agama dalam wilayah kekuasaannya masing-masing.
Kecuali di Inggeris yang sampai sekarang -- meskipun hanya secara simbolis – masih memertahankan kedudukan Raja atau Ratu sebagai Kepala Gereja Anglikan, kebanyakan negara-negara Eropah memang telah berhasil memisahkan negara dari agama. Bahkan, banyak juga negara yang atas desakan rakyatnya berhasil diubah dari bentuk kerajaan menjadi republik, seperti Perancis, Jerman, Austria, Italia, Portugal, Russia, Hongaria, Polandia, dan lain-lain sebagainya.
            Sesudah itu ajaran kedaulatan tuhan ini dapat dikatakan mulai ditinggalkan orang, karena kelemahan-kelemahan inheren yang terdapat di dalamnya. Namun demikian, sekali lagi, patut diperhatikan oleh para ahli bahwa doktrin mengenai kedaulatan tuhan atau ‘theocracy’ itu, sebenarnya, ditolak dalam sejarah karena kelemahannya yang mewujudkan diri dalam gagasan kedaulatan raja. Kedaulatan Tuhan atau teokrasi itu, apabila diwujudkan dalam sistem kerajaan, terbukti telah menyebabkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan kewenang-wenangan. Oleh karena itu, sistem yang demikian ini dapat dipandang tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan, meskipun masih tetap banyak juga negara yang menerapkannya sampai sekarang.
            Namun demikian, apabila konsep teokrasi atau prinsip Kedaulatan Tuhan itu tidak diwujudkan dalam sistem kerajaan, tentu tetap dapat dipertimbangkan relevansinya di zaman modern sekarang ini. Misalnya, paham Kedaulatan Tuhan itu dapat diwujudkan dalam paham Kedaulatan Rakyat, atau dapat pula diimplementasikan melalui paham Kedaulatan Hukum. Kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa tetap diakui, tetapi perwujudannya dalam praktik dipandang menjelma dalam keyakinan setiap rakyat yang berdaulat. Keyakinan akan ke-Maha-Kuasaan Tuhan itu, menurut saya, justru menimbulkan sikap kesetaraan di antara sesama manusia yang sama-sama berdaulat. Setiap manusia hanya tunduk kepada Tuhan, dan bukan kepada manusia. Jikalau seorang manusia harus tunduk kepada manusia lain yang menduduki status sebagai pemimpin, maka ketundukan itu hanya dapat diterima sepanjang sang pemimpin dapat dijadikan teladan dalam sikap taat kepada aturan hukum yang berlaku, termasuk ketentuan Tuhan Yang Maha Kuasa.
            Dalam pengertian yang terakhir ini, saya berpendapat bahwa paham teokrasi itu masih relevan asalkan perwujudannya dikaitkan dengan gagasan kedaulatan rakyat dan/atau kedaulatan hukum, bukan dengan gagasan kedaulatan raja seperti dalam sistem monarki. UUD 1945, menurut saya, juga dapat dikatakan menganut paham Kedaulatan Tuhan atau Teokrasi itu, yaitu Kedaulatan Tuhan Yang Maha Esa yang perwujudannya dikaitkan dengan gagasan Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Hukum. Kedaulatan Tuhan Yang Maha Esa dalam rumusan Pancasila dan UUD 1945, mempunyai ciri yang berbeda dari konsep Teokrasi (Theocracy) yang dianggap negatif seperti dalam pengertiannya di Eropah di zaman dahulu dimana Kedaulatan Tuhan atau Teokrasi itu diwujudkan dalam Sistem Kerajaan (Monarchy).

3 Kedaulatan Raja

            Konsep Kedaulatan Raja sama tuanya dengan gagasan Kedaulatan Tuhan. Bahkan sampai abad ke-6, semua negara yang tercatat dalam sejarah selalu dipimpin oleh penguasa yang bersifat tuturn temurun, yang biasa disebut sebagai Raja atau Ratu. Negara pertama yang tercatat melakukan suksesi kepemimpinan tidak melalui hubungan darah hanya di zaman sepeninggal nabi Muhammad saw yang kemudian digantikan oleh Khalifah Abubakar Shiddiq, dilanjutkan oleh Umar ibn Khattab, Usman ibn ‘Affan, dan terakhir Ali ibn Abi Thalib sebelum akhirnya kembali lagi ke sistem kerajaan. Karena itu, dapat dikatakan bahwa negara Madinah selam periode keempat khalifah inilah yang disebut sebagai negara yang berbentuk republik yang murni sebagaimana yang diidealkan oleh Plato di zamannya[8].
            Sesudah itu, negara Madinah dipimpin oleh Raja-Khalifah dari Dinasti Ummayah, dan seterusnya. Karena itu, hampir dapat dikatakan bahwa sejarah kekuasaan di antara umat manusia adalah sejarah tentang kerajaan. Orang baru mengenal bentuk republik seperti yang dipraktikkan dewasa ini paling-paling baru 3 abad terakhir, terutama setelah Amerika Serikat memerdekakan diri dan menjadi negara republik konstitusional yang pertama.
            Dalam konsep kedaulatan raja ini, Raja lah yang dipandang mempunyai kekuasaan tertinggi atas apa saja. Karena besarnya kekuasaan para raja itu, berkembang pula pengertian mengenai imperium yang dibedakan dari dominion. Seperti dikatakan oleh Montesquieu, ‘imperium’ merupakan konsep ‘rule over individuals by the prince’, sedangkan dominium atau ‘dominion’ merupakan ‘rule over things by the individuals’. Namun, jika kedua pengertian itu berhimpun jadi satu, maka sang Raja sudah dipastikan menjadi tiran yang tidak dapat dikendali oleh apapun dan siapapun.
            Semua sumber-sumber ekonomi dalam wilayah kerajaan dianggap sebagai hak milik raja, demikian pula semua warganya dipandang tidak lebih daripada budak-budak dan hamba sahaya bagi para raja dan keluarganya. Raja menguasai semua orang dan semua benda di tangan genggamannya sendiri. Karena itu, setiap warga di sepanjang hidupnya diwajibkan membayar upeti dan pajak wajib kepada Raja agar dapat terus diperlakukan sebagai rakyat dan hamba sahaya. Jika tidak memenuhi kewajibannya, tidak ada yang dapat menghalangi jika sang Raja menurunkan titah agar yang bersangkutan dipenjarakan atau dihukum mati.
            Tentu, di zaman sekarang, pengertian yang demikian ekstrim sudah banyak ditinggalkan orang. Meskipun demikian, negara-negara yang berbentuk kerajaan masih cukup banyak di dunia sekarang ini. Akan tetapi, semua kerajaan-kerajaan yang masih ada itu, pada umumnya, sudah mengalami perubahan mendasar dalam cara bekerjanya sehari-hari. Di zaman sekarang, konsep kedaulatan rakyat tidak lagi dikaitkan dengan kedaulatan Tuhan, melainkan diintegrasikan dengan konsep kedaulatan rakyat, sehingga negara-negara kerajaan dewasa ini berhasil membedakan dan memisahkan antara fungsi kepala negara dengan kepala pemerintahan.
            Dalam praktik sehari-hari, Kedaulatan Raja diwujudkan dalam kedudukan Kepala Negara, sedangkan sistem pemerintahan dikaitkan dengan konsep Kedaulatan Rakyat yang tercermin dalam kedudukan Kepala Pemerintahan. Karena itu, kerajaan-kerajaan seperti Inggeris, Belanda, Belgia, Jepang, Malaysia biasa disebut sebagai negara demokrasi, dimana pemerintahannya dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Dari segi yang lain, prinsip kedaulatan raja itu juga diwujudkan dalam gagasan kedaulatan hukum, dimana hukum juga dianggap sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam kerajaan. Karena itu, muncullah konsep monarki konstitusional (constitutional monarchy) dalam praktik. Negaranya adalah kerajaan, tetapi hukum tertinggi yang berlaku adalah konstitusi.
            Dengan demikian, dewasa ini, tidak ada masalah dengan pengertian umum mengenai kerajaan yang menganut paham kedaulatan raja, karena pada saat yang sama kerajaan-kerajaan itu dapat mengadopsi gagasan-gasan kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum sekaligus. Karena itu, seperti kemukakan di atas, konsep teokrasi juga dapat dipandang positif apabila tidak dikaitkan atau diwujudkan dalam paham kedaulatan raja atau kerajaan. Seperti halnya sistem kerajaan dapat diintegrasikan dengan kedaulatan rakyat atau sistem demokrasi dan paham kedaulatan hukum atau nomokrasi (the rule of law atau pun rechtsstaat), maka teokrasi atau paham Kedaulatan Tuhan juga dapat diwujudkan dalam paham Kedaulatan Rakyat dan paham Kedaulatan Hukum. Dengan demikian, jika sistem kerajaan masih dapat dipandang relevan, sistem teokrasi juga dapat diterima asalkan bukan dalam pengertian yang berkembang pada abad pertengahan.

4. Kedaulatan Rakyat

            Yang paling menarik di atas ajaran-ajaran kedaulatan tersebut di atas adalah ajaran kedaulatan rakyat dan ajaran kedaulatan hukum. Meskipun belum dipraktikkan sebagaimana mestinya, keduanya telah digagaskan sejak dari zaman Yunani kuno dan Rumawi kuno. Mengenai yang pertama, yaitu ajaran kedaulatan rakyat, pada pokoknya terkait dengan konsep yang dikenal sebagai demokrasi. Demokrasi berasal dari perkataan ‘demos’ yang berarti rakyat dan ‘kratien’ atau ‘cratie’ yang berasti kekuasaan[9]. Dengan demikian demokrasi berarti kekuasaan rakyat, yaitu sebagai suatu konsep tentang pemerintahan oleh rakyat atau ‘rule by the people’.
            Cakupan pengertian yang sering dipopulerkan sehubungan dengan konsep demokrasi itu mencakup prinsip dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Bahkan saya sering menambahkan satu prinsip lagi yaitu prinsip bersama rakyat. Jadi, demokrasi itu tidak lain adalah prinsip dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, dan bersama rakyat. Itulah demokrasi atau kedaulatan rakyat, yaitu satu ajaran yang memandang kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat, berasal dari rakyat, untuk kepentingan rakyat, dan diselenggarakan bersama-sama dengan rakyat pula.
            Istilah demokrasi (demos + cratos) dalam sejarah Yunani kuno sebetulnya tidaklah dipandang ideal. Di zaman Plato, yang dianggap ideal adalah republik impian (ideal state) yang dipimpin oleh Raja-Filosof atau “the Philosopher’s King[10]. Baru setelah Plato wafat, dengan mengambil inspirasi dari buku Plato sendiri yang dihimpun oleh murid-muridnya dari tulisan-tulisan yang berserak menjadi sebuah buku tebal yang diberi judul oleh Plato sendiri dengan judul “Nomoi”. Kata ‘nomoi’ yang secara harfiah berarti norma itu lah yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris menjadi “The Laws[11]. Oleh karena itu, yang diidealkan kemudian adalah prinsip nomokrasi sebagai konsep awal negara hukum modern, bukan konsep demokrasi yang justru dipandang negatif di zaman Plato.
            Karena itu, tradisi demokrasi atau kedaulatan rakyat ini oleh para ahli lebih dinisbatkan sebagai kelanjutan tradisi Romawi dari pada dengan tradisi Yunani. Ide demokrasi lebih pesat tumbuhnya di Romawi daripada di Yunani yang lebih akrab dengan ide negara hukum sejak zaman Plato dan Aristoteles[12]. Konsep demokrasi atau kedaulatan rakyat dinilai oleh orang Yunani dengan kacamata negatif karena mengandaikan bahwa suatu pemerintahan dikendalikan oleh massa rakyat dan bahkan mobokrasi yang tidak menjamin ketertiban[13].
            Perkataan demokrasi baru mendapatkan pamaknaan yang positif di abad-abad modern, terutama setelah muncul praktik-praktik yang dipandang baik di abad pertengahan, yaitu di dunia Arab pada abad ke-7. Praktik-praktik penulisan formal kontrak-kontrak sosial seperti Piagam Madinah, sistem pemilihan kepala negara tanpa melalui prinsip hubungan darah, mekanisme permusyawaratan dan perwakilan untuk pengambilan keputusan atas masalah-masalah bersama, yang diterapkan di masa nabi Muhammad saw dan empat khalifah pertama sesudah nabi Muhammad wafat atau biasa disebut periode Khulafau al-Rasyidin, -- di kemudian hari – ternyata memberikan inspirasi yang penting bagi penamaan sistem yang baik itu sebagai demokrasi. Sesudah periode ini, konsep ‘kekhalifahan’ terjebak perwujudannya dalam sistem kerajaan (monarki)[14].
            Kemudian, sesudah periode itu, praktik-praktik yang dianggap baik dalam penyelenggaraan kekuasaan negara dinisbatkan dengan istilah yang pernah dianggap negatif di masa Yunani kuno, yaitu demokrasi. Sampai pertengahan abad ke-20, menurut Amos J. Peslee, lebih dari 90% negara di dunia mengaku menganut paham demokrasi atau kedaulatan rakyat ini. Artinya, wacana tentang demokrasi itu sudah demikian luas diterima di seluruh penjuru dunia, terlepas dari apa yang dipraktekkan di lapangan. Sebab nyatanya, spektrum praktik demokrasi yang diterapkan oleh semua negara yang mengaku demokrasi itu sangat beraneka-ragam mulai dari Amerika Serikat sampai ke Uni Soviet yang sekarang sudah tiada, Kuba, dan negara-negara komunis lainnya yang mempunyai penafsiran berbeda satu sama lain.
            Dewasa ini, memang ada usaha untuk membatasi pengertian demokrasi itu hanya untuk negara-negara tertentu saja. Misalnya, Indonesia – di masa Orde Lama dan Orde – dipandang tidak demokratis dan baru sesudah masa reformasi Indonesia dianggap sebagai negara demokrasi. Dari segi jumlah penduduknya, Indonesia bahkan sering disebut sebagai ‘the third largest democracy in the world’ sesudah India dan Amerika Serikat. Republik Federasi Russia yang sekarang dibandingkan dengan Uni Soviet yang ada sebelumnya, juga dinilai merupakan hasil perubahan dari komunisme ke demokrasi. Russia sekarang, dari segi jumlah penduduknya, merupakan ‘the fourth largest democracy in the world’. Semua negara bekas komunis di Eropah Timur biasa disebut sebagai ‘new democracies’ atau negara-negara demokrasi baru.
Negara-negara komunis Eropah Timur, seperti Uni Soviet, Hongaria, Polandia, Cekoslovakia, dan lain-lain, setelah berubah meninggalkan paham komunisme, semuanya disebut sebagai negara demokrasi. Tentu, konsep demokrasi yang dimaksudkan disini identik dengan pengertian kedaulatan rakyat atau ‘the rule by the people’ (the people’s sovereignty). Artinya, selama era komunisme Uni Soviet masih berjaya, Russia dan negara-negara Eropah Timur lainnya tersebut tidak dianggap sebagai negara demokrasi. Padahal, konstitusi negara-negara komunis itu masing-masing mengaku atau mengklaim menganut prinsip kedaulatan rakyat. Artinya, demokrasi itu dalam arti normatif dan formalistik, memang harus dibedakan dari pengertiannya yang aktual dalam kenyataan.
            Dalam rangka pelaksanaan prinsip kedaulatan rakyat itu di lapangan, diperlukan mekanisme yang secara substansial menjamin penyaluran aspirasi, pendapat, kehendak rakyat yang berdaulat itu. Karena itu, orang menciptakan lembaga perwakilan rakyat dan lembaga partai politik sebagai penyalurnya. Bahkan, kepala pemerintahan eksekutif juga dipilih langsung ataupun tidak langsung oleh rakyat, sehingga – baik pejabat yang menjalankan fungsi legislatif maupun eksekutif – merupakan wujud dari rakyat yang berdaulat. Malah, di negara demokrasi, para hakim agung juga dipilih melalui mekanisme di parlemen, sehingga dapat dikatakan bahwa para pejabat di lingkungan cabang kekuasaan judikatif juga mencerminkan prinsip kedaulatan rakyat itu, meskipun hanya secara tidak langsung.

5. Kedaulatan Hukum

            Konsep terakhir ialah kedaulatan hukum yang mengandaikan bahwa pemimpin tertinggi di suatu negara bukanlah figur atau tokoh, tetapi sistem aturan. Manusia hanyalah wayang dari skenario yang telah disusun dan disepakati bersama dengan menampilkan para wayang itu sebagai pemeran. Karena itu, teori kedaulatan hukum[15] itu menurut tradisi Anglo-Amerika diistilahkan dengan ‘the rule nof law, not of man’, pemerintahan oleh hukum, bukan oleh orang; kepemimpinan oleh sistem, bukan oleh tokoh atau oleh orang per orang.
            Istilah-istilah terkait dengan itu yang tidak boleh dikacaukan penggunaannya satu sama lain adalah ‘the rule by law’, ‘the rule of man by using law’, ‘the rule of dictatorship’. Istilah yang benar untuk menunjuk kepada pengertian kedaulatan hukum atau negara hukum dalam bahasa Inggeris adalah rule of law, bukan rule by law yang menggunakan hukum sebagai sebagai alat kekuasaan. Pengertian ‘rule by law’ identik dengan pengertian ‘rule of dictatorship’, bukan negara hukum yang disebut ‘rechtsstaat’ menurut tradisi Jerman dan Belanda. Meskipun unsur-unsur pengertian ‘rule of law’[16] menurut tradisi Inggeris sangat berbeda dari unsur-unsur pengertian ‘rechtsstaat’ menurut tradisi Eropah Kontinental, kedua konsep ini dapat kita terjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan kata ‘negara hukum’.
            Dengan cara berpikir yang demikian itulah kita menyebut adanya prinsip negara hukum. Dalam negara hukum, hukumlah yang dijadikan panglima, bukan ekonomi dan apalagi kekuasaan politik semata (machtsstaat). Menurut tradisi Anglo Amerika, unsur-unsur pengertian negara hukum yang disebut dengan istilah ‘the rule of law’ tersebut  mengandung tiga prinsip, yaitu[17]:
(i)   supremasi hukum (supremacy of law);
(ii)  persamaan dalam hukum (equality before the law); dan
(iii) proses pemerintahan atau penyelenggaraan kekuasaan berdasarkan undang-undang (due process of law).
Ketiga prinsip inilah yang membentuk pengertian tentang negara hukum menurut versi Anglo-Amerika. Sedangkan menurut tradisi Eropah Kontinental, khususnya Jerman dan Belanda, pengertian klassik tentang ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat prinsip, yaitu:
(i)   pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia;
(ii) pembatasan kekuasaan;
(iii) pemerintahan berdasarkan undang-undang; dan
(iv) adanya peradilan administrasi negara.
Dalam pengertian modern sekarang, menurut pendapat saya, formula unsur-unsur ‘rechtsstaat’ tersebut dapat pula dikemas dengan cara baru, yaitu (i) adanya perlindungan hak-hak asasi manusia, baik sebagai hak konstitusional maupun dalam tindakan-tindakan nyata dalam praktik kenegaraan, (ii) adanya pembatasan kekuasaan negara menurut sistem ‘checks and balances’ antar fungsi kekuasaan, (iii) pelaksanaan pemerintahan didasarkan atas undang-undang yang telah ditetapkan lebih dulu, dan (iv) tersedianya mekanisme atau upaya hukum melalui proses peradilan yang dapat dipakai untuk maksud melawan, menggugat atau menguji keputusan-keputusan negara (beschikking), peraturan-peraturan resmi negara (regelingen), ataupun putusan-putusan pengadilan negara (vonnis). Jika keempat hal ini ada, maka negara yang bersangkutan dapat disebut sebagai ‘rechtsstaat’ atau negara hukum[18].
Pendek kata, dalam aneka kegiatan bernegara, hukum lah yang menjadi penentu segalanya. Hukum merupakan panglima. Hukum merupakan sistem aturan. Yang memimpin kita adalah sistem aturan itu, bukan orang per orang yang kebetulan menduduki jabatan. Orang yang memegang jabatan-jabatan publik datang dan pergi secara dinamis, tetapi sistem aturan bersifat ajeg dan relatif tetap. Karena itu, pergantian orang tidak boleh secara serta merta berakibat pada pergantian sistem aturan. Semua orang yang menduduki jabatan dan secara hukum diberi kewenangan untuk bertindak atas nama negara, wajib ditaati oleh semua subjek hukum yang bersangkutan atau yang terkait sepanjang pejabat tersebut menjalankan peraturan perundang-undangan sebagaimana mestinya dan dapat dijadikan teladan (role model) dalam sikapnya yang taat kepada aturan-aturan hukum itu.


B. GAGASAN KEDAULATAN LINGKUNGAN HIDUP

1. Pembebasan dan Kebebasan Manusia

            Sesudah membahas konsep Kedaulatan Tuhan (Sovereignty of God), Kedaulatan Raja (Sovereign Monach), Kedaulatan Rakyat (Sovereignty of the People), dan Kedaulatan Hukum (Sovereignty of Law), sekarang tiba gilirannya kita membahas persoalan Kedaulatan Lingkungan (Sovereignty of the Environment) yang menjadi salah satu gagasan pokok yang hendak ditawarkan dalam tulisan ini. Namun demikian, sebelum membahas hal itu, kita perlu menguraikan lebih dulu akibat-akibat dari paham demokrasi yang dipraktikkan selama ini, terutama akibat dari kebebasan yang dipraktikkan dalam dan atas nama sistem demokrasi modern. Hampir semua orang, semua masyarakat, dan negara yang ada sekarang mengidealkan konsep kekuasaan negara yang disebut demokrasi. Semua sistem politik yang ada sekarang mengklaim dirinya sebagai penganut paham demokrasi. Bahkan jika kita pelajari konstitusi negara-negara anggota PBB satu per satu, maka – seperti dikatakan oleh Amos J. Peaslee[19], akan kita dapati bahwa lebih dari 90% konstitusi itu mengaku menganut demokrasi atau ajaran kedaulatan rakyat.
Artinya, kata demokrasi itu sudah berkembang menjadi simbol mengenai sistem pemerintahan atau sistem kekuasaan negara yang baik dan ideal. Bahkan, seperti dikatakan oleh Ian Shapiro, “The democratic idea is close to nonnegotiable in today’s world[20]. Padahal, di zaman Artistoteles dan Plato, istilah demokrasi itu sendiri dianggap mempunyai citra dan konotasi yang negatif atau buruk. Sekarang kita harus menerima kenyataan bahwa semua orang mengidealkan demokrasi sebagai bahasa pergaulan dalam pemikiran dan praktik penyelenggaraan negara di dunia, meskipun setiap negara mempunyai pengertiannya sendiri dan menerapkan ukurannya sendiri mengenai apa yang demokratis dan apa yang tidak.
            Meskipun semua negara mengaku demokratis, tetapi setiap negara juga mempunyai definisinya sendiri tentang demokrasi dan menerapkan ukuran-ukuran sendiri tentang apa yang diidealkan dalam demokrasi itu. Karena itu, tidaklah aneh jika di masa lalu kita menyaksikan bagaimana Uni Soviet yang komunis dalam konstitusinya mengaku menganut paham kedaulatan rakyat atau demokrasi, sama seperti Amerika Serikat yang sangat anti-komunis menganut sebagai model bagi demokrasi yang ideal di dunia. Demikian pula negara-negara seperti Ekuador, Cuba, Vietnam, Korea Utara, Pakistan, Nigeria, Sudan, Libya, dan Iran semua mengakt sebagai demokrasi, sama dengan Jepang, Filipina, Korea Selatan, Afrika Selatan, Perancis, Jerman, Belanda, Spanyol, dan lain-lain sebagainya. Padahal dalam praktiknya, setiap negara itu mempunyai ciri khas dan kinerja demokrasi yang berbeda-beda satu dengan yang lain.
            Terlepas dari perbedaan-perbedaan itu, yang pasti ialah bahwa semua negara dan semua orang mengaku demokratis. Sekarang tidak ada orang yang mau dipandang tidak demokratis dalam setiap pengambilan keputusan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa gagasan demokrasi sudah benar-benar tertanam dalam hati sanubari dan dalam paradigma berpikir umat manusia modern dimana-mana dewasa ini. Lalu apa yang terpenting dalam cara berpikir demokrasi itu? Apa dampaknya bagi keseimbangan-keseimbangan yang diperlukan dalam kehidupan umat manusia dewasa ini? Dapatkah kita mengaitkan gejala kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup yang terjadi dimana-mana dewasa ini dengan kebebasan manusia yang diciptakan oleh sistem demokrasi?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, marilah kita memulai pembahasan dengan melihat hakikat manusia dalam sistem demokrasi. Dalam demokrasi, yang dianggap pokok adalah manusia. Manusia bahkan dianggap sebagai pusat kehidupan. Memang terdapat perbedaan antara sistem individualisme-liberal dengan sistem kolektivisme-sosialis. Yang satu melibat setiap pribadi manusia sebagai pribadi yang otonom, sedangkan yang kedua lebih mengutamakan otonomi dari kolektivitas manusia yang hidup bersama. Namun demikian, baik paham pertama yaitu paham individualisme-liberal maupun paham kedua kolektivisme-sosialis dan komunis sesungguhnya sama-sama memandang bahwa manusia adalah titik pusat dari semua aspek kehidupan.
            Kedua paham kedaulatan rakyat atau demokrasi tersebut sama-sama bersifat anthroposentris dengan menempatkan manusia sebagai pusat kehidupan. Dalam hubungan dengan itu, kita perlu juga mendiskusikan lebih dulu mengenai perubahan pola hubungan antara manusia dan kebudayaan dalam sejarah umat manusia. Menurut van Peursen[21], pola hubungan manusia dengan kebudayaan berkembang melalui tiga tahapan, yaitu tahap mistis, tahap ontologis, dan tahap fungsional.

a.       Tahap Mitis

            Pada tahap pertama, manusia memandang dirinya sebagai bagian saja dari alam semesta, sehingga hidup dan kehidupan manusia sangat bergantung dan menggantungkan diri pada alam sekitar. Untuk mendapatkan makanan, minuman, pakaian, tempat tidur atau menetap, sepenuhnya tergantung kepada pemberian alam. Apa yang dapat dijangkau oleh masing-masing, mereka ambil untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok sehari-hari. Sandang, pangan, papan, obat-obatan dan apa saja yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup, semuanya disandarkan hanya kepada anugerah alam yang tersedia di sekitar kehidupan masing-masing. Pada tahap perkembangan yang masih sedemikian primitif seperti itu, manusia belum mengenal ilmu pengetahuan dan teknologi yang memungkinkannya memenuhi kebutuhan hidupnya dengan alat-alat yang canggih.
            Cara berpikir manusia primitif juga sangat tergantung kepada alam. Setiap kejadian-kejadian alam, seperti bencana, ataupun peristiwa-peristiwa alam lainnya selalu dikaitkan dengan kekuatan-kekuatan super-natural yang mereka yakini adanya, meskipun tanpa verifikasi. Jika muncul banjir atau air bah dari lautan ke daratan atau munculnya gelombang laut di pantai selatan pulau Jawa yang besar dan membahayakan nelayan, dengan mudah kejadian seperti akan dikaitkan dengan kemarahan Nyi Roro Kidul atau hal-hal gaib lainnya yang tidak masuk akal bagi manusia modern. Namun bagi masyarakat primitif, kekuatan-kekuatan super-natural seperti sangat dipercaya dan karenanya disembah-sembah, meskipun harus dengan mengorbankan kekayaan dan kadang-kadang mengorbankan manusia sebagai tumbal.
            Pada malam hari yang gelap, jika dengan tiba-tiba ada warna putih terbang ditiup angin ke arah pohon tertentu, maka pohon itu dengan mudah akan dianggap ada ‘penunggu’nya, yaitu roh halus. Kadang-kadang pohon seperti itu lama-lama dipercaya mengandung kekuatan tertentu sehingga disembah oleh orang-orang yang percaya kepada roh halus sebagai dewa atau setidaknya tempat dewa berada. Jika petir yang sangat keras terjadi di satu waktu, maka kekuatan petir itu dapat dianggap sebagai cermin kemarahan Tuhan kepada manusia yang tidak tunduk kepadanya. Pendek kata, kehidupan manusia diisi penuh oleh mitos-mitos, mistik-mistik, dan hal-hal yang bersifat magis. Pada tahap perkembangan demikian ini, dapat dikatakan bahwa manusia tunduk dan bahkan terkungkung dalam alam. Kehidupan manusia tergantung kepada alam, termasuk dalam menyediakan makanan untuk hidup bagi manusia. Manusua primitif makan apa saja yang secara langsung disediakan oleh alam. Pendek kata, alamlah yang dianggap menjadi penentu segala kehidupan umat manusia dan penentu segala-galanya.
            Dengan cara berpikir semacam itu manusia menciptakan tuhan-tuhannya sendiri-sendiri, sehingga semua masyarakat manusia selalu mengenal tuhan dan menciptakan agama untuk kebahagiaan hidup mereka masing-masing atau bersama-sama. Pendek kata, semua masyarakat berusaha mencari tuhannya sendiri dengan menggunakan akal masing-masing, yang tanpa wahyu dari Tuhan, menafsirkan apa saja kekuatan supernatural yang berada di luar jangkauan kekuasaannya sebagai tuhan. Oleh karena itu, dalam satu studi antropologi oleh Kluckhon, dikatakan bahwa agama atau religi merupakan salah satu dari “the seven cultural universals[22]. Adalah merupakan gejala universal bahwa dimana ada masyarakat, disana pasti ada sistem kepercayaan atau religi. Pendek kata, manusia hidup dalam dan tergantung kepada alam serta menganggapnya lebih tinggi dan lebih berkuasa daripada dirinya.
            Pandangan van Peursen tentang tahap mitis ini mirip dengan titik berangkat teori positivsme Auguste Comte mengenai tahap-tahap perkembangan masyarakat. Menurut Comte[23], masyarakat berkembang dari tahap mitis-religius ke tahap Metafisis, lalu ke tahap ketiga yaitu tahap positif. Meskipun banyak kritik kepada pemikiran Auguste Comte ini yang berpandangan bahwa makin modern kehidupan umat manusia, makin jauh manusia itu dari kepercayaan kepada Tuhan. Namun, titik berangkat pandangan Comte dan van Peursen ini sama, yaitu pada tahap pertama, kehidupan diisi oleh ketergantungan kepada kekuatan-kekuatan yang bersifat supernatural sebagai tanda bahwa manusia tunduk dan bersikap inferior terhadap alam.

b.      Tahap Ontologis

            Pada tahap kedua atau tahap ontologis, pola hubungan manusia dengan alam itu berubah total. Setelah umat manusia berhasil mengembangkan filsafat dan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia dapat merasa dan menjadi lebih bebas dan merdeka dari ketergantungannya kepada alam. Makin tinggi tingkat peradaban umat manusia karena keberhasilannya mengembangkan filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi, makin besar kekuasaannya atas alam dan kehidupan mereka sendiri.
            Filsafat berkembang dengan membebaskan manusia untuk berpikir, berpikir, dan berpikir, baik mengenai kehidupan manusia sendiri maupun mengenai alam semesta di luar diri manusia. Kedua subjek pemikiran inilah yang melahirkan ilmu-ilmu sosial dan humaniora serta ilmu-ilmu kealaman yang bersifat eksakta (natural sciences). Filsafat dan ilmu pengetahuan berhasil membebaskan umat manusia dari kungkungan dan ketergantungan kepada alam, dan teknologi menyediakan peralatan bagi manusia bahkan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi alam untuk kepentingannya sendiri.
            Jika pada tahap mitis, manusia berada dan terkungkung di dalam alam, maka pada tahap ontologis manusia berada di luar alam dan menjadikannya objek eksplorasi dan eksploitasi. Sikap-sikap superioritas semacam itulah sebenarnya yang mendorong dan menyebabkan terjadinya eksploitasi alam secara besar-besaran oleh umat manusia di era industrialisasi sampai sekarang. Apa saja yang ada di atas langit, di bawah perut bumi, di bawah laut dalam, semua dapat diteliti, diketahui, dan dikuasai oleh umat manusia berkat bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi super-modern. Bahkan, misalnya, dalam ilmu psikologi dan kedokteran, manusia berhasil mempelajari dirinya sendiri, baik dari segi fisik maupun dari kejiwaan. Demikian pula dalam bidang sosial politik, manusia juga berhasil mempelajari watak-watak kekuasaan dan motif-motif manusia untuk berkuasa.
            Di bidang kedoketeran, misalnya, jasad manusia sudah biasa disayat-sayat, baik untuk kepentingan kesehatan maupun untuk kepentingan penelitian ilmiah. Demikian pula operasi plastik untuk maksud mengubah penampilan manusia, untuk mempercantik wajah dan sebagainya sudah lazim dikerjakan oleh umat manusia dewasa ini. Apalagi, eskplorasi dan eksploitasi energi dan sumber daya mineral, tambang emas, timah, nikel, penambangan hutan untuk perkebunan besar, dan sebagainya, semuanya dikerjakan dengan mudah dengan bantuan teknologi modern, semuanya untuk kepentingan manusia sendiri yang seringkali dilakukan dengan mengabaikan kelestarian daya dukung lingkungan itu untuk masa-masa yang akan datang.
            Pendek kata, pada tahap ontologis ini, manusia menempatkan dirinya berada di luar dan bahkan di atas alam. Jika pada tahap perkembangan kebudayaan mitis, manusia hidup tergantung dan berada dalam kungkungan alam, maka dalam kebudayaan ontologis dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih, posisi manusia berubah, alam menjadi terkungkung dalam diri manusia. Umat manusia dengan otonomi dan kebebasan yang dimilikinya, memanfaatkan dan menikmati kebebasannya itu dengan cara mengekspoitasi alam secara besar-besaran yang mengakibatkan terjadinya kerusakan besar-besaran pula keseimbangan alam sampai dewasa ini.

c.       Tahap Fungsional

            Sesudah orang menyadari dampak buruk yang bersifat ikutan atau efek samping dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, baru berkembang gagasan baru untuk menyeimbangkan pola hubungan antara manusia dengan alam. Kesadaran semacam inilah yang mendorong dan menyertai muncul dan berkembangnya gerakan lingkungan hidup di dunia. Kesadaran akan lingkungan hidup yang baik dan sehat sangat diperlukan untuk memelihara dan memperbaiki kembali keseimbangan ekosistem yang telah mengalami kerusakan dimana-mana.
            Tahap inilah yang disebut oleh van Peursen dengan tahap fungsional, dimana hubungan antar manusia dan alam berlangsung secara seimbang. Manusia dan alam dilihat sebagai dua enitas yang setara yang saling membutuhkan dan saling ketergantungan satu sama lain secara fungsional. Dengan cara pandang demikian, diharapkan bahwa kebijakan pemerintahan di seluruh dunia akan berubah menjadi ramah lingkungan, berpihak kepada lingkungan untuk menjamin kelangsungan hidup bersama melalui prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

  
2. Demokrasi, Kebebasan dan Kerusakan Lingkungan

            Bersamaan dengan munculnya upaya liberasi dan liberalisasi atau pembebasan manusia dari kungkungan alam sebagaimana telah diuraikan di atas, juga berkembang aliran pemikiran filsafat individualisme dan liberalisme dalam sejarah. Paham ini berkembang di seluruh dunia dengan maksud membebaskan manusia untuk berpikir dan berpendapat. Manusia menemukan kenyataan bahwa sistem kekuasaan dalam kehidupan bersama – seperti juga alam – dapat mengungkung kebebasan manusia dalam menggunakan akal pikirannya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri. Struktur kehidupan bersama yang mengungkung itu juga terwujud dalam struktur organisasi kekuasaan yang disebut sebagai negara.
            Dimana-mana sejak zaman pra-sejarah sampai dengan sekarang, orang selalu mengorganisasikan diri dalam organisasi bersama yang bernama negara. Dengan organisasi negara itu, orang bersepakat untuk mengatur kehidupan bersama, juga untuk kepentingan bersama. Jika perlu, negara dapat memutuskan segala sesuatu dengan daya paksa (coersive power). Namun, lama kelamaan, karena tiadanya kebebasan berpikir, semua bentuk organisasi negara itu menjadi sangat dominan dan menguasai setiap individu warganya secara sewenang-wenang. Makin absolut kekuasaan terlembagakan makin sewenang-wenang pula kekuasaan itu mengungkung kebebasan manusia. Dalam keadaan semacam itu, mirip dengan pola hubungan antara manusia dengan alam, warga pun terkungkung hidupnya dalam negara. Kebebasan hidupnya hilang dan harus tunduk sepenuhnya kepada penguasa negara.
            Untuk mengatasi keadaan itu, maka -- bersamaan dengan berkembangnya paham individualisme dan liberalisme sebagai akibat tumbuh-suburnya filsafat dan ilmu pengetahuan – manusia berusaha membebaskan diri. Upaya pembebasan itulah yang tercermin dalam istilah demokratisasi. Meskipun di zaman Yunani kuno, istilah demokrasi mempunyai konotasi yang buruk, tetapi di zaman modern sekarang, demokrasi dan demokratisasi dipakai sebagai istilah untuk menggambarkan upaya pembebasan dari keterkungkungan dalam organisasi kekuasaan negara. Pembebasan dilakukan ke arah otonomi dan kemerdekaan setiap orang dengan diakui dan dilindunginya hak-hak asasi manusia dalam sistem kekuasaan negara.
            Dengan demikian gerakan demokratisasi tidak lebih daripada gerakan liberasi (liberation) atau gerakan pembebasan umat manusia dari kungkungan kehidupan sosial politik antar manusia sendiri. Gerakan liberasi ini tentu semakin bertambah subur setelah munculnya paham individualisme dan liberalisme dalam sejarah yang mengagungkan otonomi dan kebebasan setiap manusia dalam kehidupan bersama. Pada dasarnya, gelombang pembebasan (liberation) dari kungkungan kekuasaan yang timbul dalam pola keorganisasian umat manusia inilah yang merupakan substansi dari gerakan demokratisasi di zaman modern sekarang.
Dapat dikatakan bahwa gerakan pembebasan sosial-politik ini berlangsung bersamaan dengan gerakan pembebasan dari keterkungkunganan manusia dalam alam dan ketergantungan manusia kepada alam. Gerakan ini dimulai dengan berkembang dan dikembangkannya filsafat dan ilmu pengetahuan dan teknologi, sejak dari era Yunani kuno sampai dengan sekarang. Pendek kata, keterkukungan dan ketergantungan manusia kepada alam itu pada pokoknya dapat dilihat dari tiga segi, yaitu (i) ketergantungan kepada struktur alam di luar manusia, (ii) struktur kehidupan umat manusia itu sendiri, dan (iii) struktur organisasi kekuasaan politik yang dibentuk oleh masyarakat manusia dalam kehidupan bersama. Upaya pembebasan manusia dari kungkungan ketiga struktur kehidupan itu tumbuh dan berkembang sebagai akibat berkembangnya filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kehidupan yang menyebabkan manusia merasa berada dan harus berada di luar alam dan bahkan dapat menguasai alam semesta pada semua aspeknya untuk kepentingan manusia sendiri.
            Akibatnya, terjadilah kerusakan alam dimana-mana. Seperti tergambar dalam perkembangan pola hubungan yang eksploitatif antara manusia dan alam selama abad ke-20, kita menyaksikan kerusakan yang sangat dahsyat dalam keseimbangan ekosistem dunia. Semua ini disebabkan oleh tindakan massif yang dilakukan berupa kegiatan eksplorasi dan eksploitasi alam yang dilakukan dalam proses industrialisasi besar-besaran di seluruh dunia, demi mengejar keuntungan ekonomis. Lingkungan alam dimana-mana mengalami kerusakan dan kemunduran fungsi serta daya dukung bagi kehidupan bersama. Padahal, alam raya dan alam sekitar kita memiliki ekosistemnya sendiri yang satu sama lain saling ketergantungan. Kerusakan di satu bidang menimbulkan dampak kerusakan pula pada bidang yang lain, kemusnahan satu spesies menyebabkan perubahan pula dalam pola kehidupan yang semula tergantung kepada eksistensi spesies tersebut.
            Menurut Al Gore dalam bukunya “Earth in the Balance”, ketidakharmonisan hubungan kita dengan alam (bumi) yang sebagian menyangga ketergantungan kita terhadap pola konsumsi yang terus menerus meningkat jumlahnya atas sumber-sumber alam/bumi, sekarang terungkap dalam bentuk krisis-krisis yang berkelanjutan. Kehilangan kawasan hutan tadah hujan yang terjadi setiap detik, akselerasi dalam tingkatan kerusakan alam, lubang ozon yang makin menganga, kemungkinan atau potensi pengrusakan pada keseimbangan alam yang menyebabkan bumi dapat dijadikan ruang untuk kita hidup, semuanya menunjukkan terus meningkatnya derajat konflik antara peradaban manusia dengan alam sekitar dan bahkan alam raya[24].
            Menurut Al Gore[25], “The waste crisis is integrally related to the crisis of industrial civilization as a whole”. Krisis penangan sampah tidak dapat dipisahkan dari krisis peradaban industri sebagai keseluruhan. Jumlah sampah kimia terus meningkat dan mencemari tanah, danau, sungai, dan bahkan laut. Di Amerika Serikat saja, diperkirakan tidak kurang dari 650.000 sampah industri dan perdagangan yang diproduksi, dua pertiga di antaranya berasal dari industri kimia, dan hampir seperempatnya dari industri logam dan permesinan[26].
Meski banyak kemajuan yang telah dicapai di negara industri maju, tetapi jauh lebih banyak masih yang memerlukan penyelesaian. Masalah-masalah yang harus diatasi, mulai dari tingginya konsentrasi zat berbahaya dalam air minum sampai ke persoalan praktik yang umum terjadi di kota-kota lama dimana air limbah mengalir ke got-got dan drainase bercampur dengan air hujan, terutama jika terjadi hujan lebat, sehingga mengharuskan dilakukan perbaikan besar-besaran dalam fasilitas pengelolaan air limbah, agar tidak mencemari sungai dan bahkan laut[27].
            Pendek kata, apa yang digambarkan di atas hanyalah contoh yang terjadi di Amerika Serikat, tempat dimana peradaban umat manusia dewasa ini berpusat. Artinya, kondisi lingkungan di negara-negara yang masih sangat terbelakangan tentu jauh lebih buruk. Apalagi di negara-negara yang sedang membangun dan memasuki tahap industrialisasi seperti Indonesia dan kebanyakan negara-negara Asia dan Afrika, dapat dipastikan bahwa keadaannya jauh lebih parah. Bahkan sebagai negara dengan luas hutan tropis terbesar di dunia bersama dengan Brazil, Indonesia sedang menghadapi persoalan besar dengan kasus-kasus penggundulan dan/atau kebakaran hutan.
            Dalam laporan penelitian lembaga Australian Geo-Science yang setara dengan Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI yang dilaporkan oleh Sudney Morning Herald beberapa waktu yang lalu (2008) juga menggambarkan hal itu[28]. Menurut laporan itu, pertumbuhan penduduk yang tinggi disertai kemiskinan, ditambah adanya perubahan iklim, berpotensi menimbulkan dampak bencana alam di Asia Pasifik menjadi berlipat-lipat ganda akibatnya. Satu juta jiwa manusia dapat melayang hanya dalam sekali kejadian tunggal. Dalam laporan itu, tiga titik yang dianggap terpanas di kawasan Asia Pasifik ini adalah Indonesia, Philipna, dan Sabuk Himalaya di Cina. Bahkan, untuk Indonesia dan Philipina, ancaman juga datang dari letusan gunung berapi, sehingga potensi bencananya jauh lebih dahsyat. Karena itu, tidak ada jalan lain bagi para ilmuwan Indonesia, khususnya para sarjana hukum, untuk turut berpartisipasi mempersiapkan segala perangkat hukum yang diperlukan untuk mengembangkan kebijakan pemerintahan dan pembangunan yang pro-lingkungan.
            Seperti ajakan Presiden Perancis, Jacques Chirac, ketika menjadi pembicara pada forum Earth Summit 2002 di Johannesburg, Russia, mengenai pentingnya lingkungan hidup untuk kepada generasi mendatang. Dikatakan oleh Jacques Chirac[29],
“Our house is burning and we look away. Nature is mutilated, over exploited and cannot manage to reconstitute herself any more, and we refuse to admit it. Humanity is suffering (.....). The earth and humanity are imperilled and we are all responsible for this (...). We cannot say that we did not know! Let us beware lest the XXIst century becomes, for future generations, that of a crime against life” (Rumah kita terbakar and kita hanya menyaksikan. Alam dimutilasi, dieksploitasi secara berlebihan tanpa dapat lagi dipulihkan lagi, dan kita pun tidak mau mengakuinya. Kemanusiaan tengah menderita. Bumi dan kemanusiaan dan kita bertanggungjawab untuk ini. Kita tidak dapat berkata bahwa kita tidak tahu! Marilah kita waspada, demi generasi mendatang, jangan sampai abad ke-21 menjadi abad kejahatan terhadap kehidupan).
            Semua fenomena pengrusakan dan kerusakan ekosistem disebabkan oleh adanya kebebasan manusia tanpa kendali. Kebebasan dihasilkan oleh sistem demokrasi yang dikembangkan oleh umat manusia dimana-mana tanpa menyadari bahwa kebebasan itu telah menimbulkan efek samping berupa kerusakan ekosistem. Oleh karena itu, saya berpendapat, terdapat hubungan yang erat antara kerusakan lingkungan dan ekosistem dengan demokrasi. Makin kuat arus demokratisasi dan kebebasan manusia, makin terbuka lebar pula potensi pengrusakan ekosistem yang terjadi. Apalagi, penerapan sistem demokrasi kontemporer selalu diimbangi dan disertai oleh liberalisasi pasar dan pengurangan tanggungjawab negara dalam urusan bisnis dengan memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada setiap individu yang merdeka untuk menguasai dan menggunakan modal dalam mengeksploitasi alam secara besar-besaran.
            Artinya, demokrasi harus dipandang juga turut bertanggung jawab atas terjadinya gelombang kerusakan lingkungan hidup dan ekosistem dunia dewasa ini. Meskipun demokrasi itu sendiri tentu tidak perlu dimusuhi, akan tetapi perkembangannya di masa depan harus lebih dikendalikan oleh hukum dengan diimbangi oleh konsep baru yang dinamakan ekokrasi. Dalam konsep ekokrasi itu, lingkungan alam – seperti halnya manusia – juga dianggap mempunyai otonomi dan keadulatannya sendiri. Jika dalam demokrasi setiap manusia yang disebut rakyat dianggap merupakan pemegang kedaulatan atau kekuasaan tertinggi, maka lingkungan alam juga dipandang mempunyai hak asasinya sendiri dan memegang kedaulatannya sendiri seperti manusia. Perkembangan baru inilah yang saya uraikan dalam buku saya, Green Constitution: Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar 1945 (2008)[30]. Dalam buku ini saya terangkan bagaimana perkembangan upaya untuk melakukan konstitusionalisasi kebijakan yang bersifat pro-lingkungan hidup dalam sejarah yang berpuncak pada diadopsikannya dokumen ‘Charter for Environment’ (2004) menjadi tambahan materi Preambule Konstitusi Perancis pada tahun 2006, dan dimuatnya ide tentang kedaulatan lingkungan hidup dalam Konstitusi Ekuador pada tahun 2008.


3. Wacana Ekokrasi dan Kedaulatan Lingkungan

            Seperti dikemukakan di atas, yang dikenal sebagai pemegang kedaulatan dalam sistem kekuasaan bernegara ada Tuhan (theos), Raja (monarch), Hukum (nomos), atau Rakyat (demos). Konsep yang menganggap Tuhan sebagai pemegang kedaulatan atau kekuasaan tertinggi disebut teokrasi. Konsep kedaulatan atau kekuasaan tertinggi oleh hukum disebut nomokrasi, sedangkan konsep kedaulatan di tangan rakyat disebut demokrasi. Buku ini menawarkan pengertian baru bahwa lingkungan hidup juga mempunyai otonomi dan kedaulatannya sendiri. Dalam hubungan itu, lingkungan atau ekosistem dapat dilihat sebagai subjek kedaulatan yang tersendiri. Jika selama ini kita sudah mengenal doktrin-doktrin teokrasi, monarki, demokrasi, nomokrasi, maka konsep Kedaulatan Lingkungan dapat kita kaitkan dengan istilah Ekokrasi (ecocracy) atau kedaulatan ekologi.
            Seperti yang telah diadopsikan dalam Konstitusi Ekuador 2008, lingkungan alam sekitar dapat diberikan hak konstitusional sebagai subjek hukum dalam lalu lintas hukum. Gunung, sungai, hutan, lautan, hewan liar, dan tumbuh-tumbuhan dianggap memiliki hak-hak asasinya sendiri, di samping konsepsi tentang hak asasi manusia yang sudah kita kenal selama ini[31]. Dalam artikel 10 Konstitusi Ekuador 2008 itu ditentukan[32],
“Rights Entitlement. Persons and people have the fundamental rights guaranteed in this Constitution and in the international human rights instruments. Nature is subject to those rights given by this Constitution and Law”.
Selanjutnya, dalam Artikel 71 ditentukan,
Nature or Pachamama, where life is reproduced and exists, has the right to exist, persist, maintain and regenerate its vital cycles, structure, functions and its processes in evolution. Every person, people, community or nationality, will be able to demand the recognitions of rights for nature before the public organisms. The application and interpretation of these rights will follow the related principles established in the Constitution. The State will motivate natural and juridical persons as well as collectives to protect nature; it will promote respect towards all the elements that form an ecosystem.
            Sementara itu, Artikel 72 menyatakan pula,
Nature has the right to restoration. This integral restoration is independent of the obligation on natural and juridical persons or the State to indemnify the people and the collectives that depend on the natural systems. In the cases of severe or permanent environmental impact, including the ones caused by the exploitation on non renewable natural resources, the State will establish the most efficient mechanisms for the restoration, and will adopt the adequate measures to eliminate or mitigate the harmful environmental consequences”.
Dari kutipan-kutipan tersebut jelas tergambar bahwa menurut Konstitusi Ekuador[33], di samping manusia yang berstatus sebagai rakyat, lingkungan hidup juga dapat menjadi pemegang hak dan kekuasaannya sendiri. Hak dan kekuasaan lingkungan itu bersifat sama tingginya dengan hak dan kekuasaan manusia rakyat. Dengan perkataan lain, dapat menjadi subjek kedaulatan yang tersendiri. Karena jika kekuasaan tertinggi yang berada di tangan rakyat disebut sebagai demokrasi atau kedaulatan rakyat, maka kekuasaan tertinggi yang ada pada lingkungan dapat kita sebut sebagai ekokrasi atau kedaulatan lingkungan.
Gagasan Ekokrasi dan Kedaulatan Lingkungan ini dapat dikembangkan sebagai pengimbang sistem demokrasi yang dikembangkan oleh umat manusia dimana-mana dewasa ini. Konsep ekokrasi ini dapat dipahami dalam konteks keseimbangan hubungan antara Tuhan, Alam, dan Manusia. Selama ini, relasi-relasi kekuasaan hanya dipandang sebagai persoalan manusia. Dalam demokrasi, hanya manusia yang disebut rakyat saja lah yang dijadikan titik tolak dan pusat perhatian satu-satunya. Pandangan ini dikenal dengan istilah anthropocentrisme yang menempatkan kehidupan terpusat hanya pada diri manusia. Dibandingkan masa sebelumnya, terutama di zaman pra-modern, pandangan yang bersifat ‘anthropocentris’ ini tentu dapat dianggap lebih maju dan lebih baik. Akan tetapi dewasa ini, orang harus menyadari bahwa demokrasi bukanlah segala-galanya jika sistem ini ternyata justru menyebabkan umat manusia merusak ekosistem dan sumber kehidupannya sendiri.
Dengan demokrasi, umat manusia telah berhasil menikmati kebebasan dalam kehidupan bersama, tetapi kebebasan itu ternyata telah menyebabkan manusia menjadi sewenang-wenang. Sama dengan maxim ‘power tends to corrupt’ yang dipopulerkan oleh Lord Acton, kekuasaan rakyat yang berdaulat dalam sistem demokrasi modern juga berpotensi untuk disalahgunakan oleh rakyat itu sendiri. Manusia yang bebas dapat berbuat tanpa kendali yang mengorbankan alam sekitar dan lingkungan hidup pada umumnya. Manusia mengeksploitasi alam dengan segala daya upaya, dengan segala kekerasan yang dapat dilakukan, semata-mata untuk mengejar keuntungan bagi dirinya sendiri dengan tanpa memikirkan kemungkinan terjadinya kerusakan lingkungan yang dapat terganggu karenanya. Dengan perkataan lain, kita dapat mengatakan bahwa demokrasi secara langsung atau pun tidak langsung telah turut menjadi penyebab timbulnya kerusakan lingkungan di seluruh dunia.
Karena itu, doktrin demokrasi yang bersifat anthroposentris harus diseimbangkan dengan ekokrasi yang bersifat ekosentris. Paham antroposentisme harus berada dalam posisi hubungan yang saling imbangi-mengimbangi (checks and balances) dengan paham ekosentrisme. Semua cabang ilmu pengetahuan perlu mempertimbangkan keperluan mengembangkan perspektif-perspektif yang bersifat ekosentris, dan demikian pula semua kebijakan kenegaraan dan pemerintahan perlu melengkapi diri dengan perspektif yang bersifat ekosentris ini, di samping melanjutkan paradigma antroposentrisme yang sudah dipraktikkan selama ini. Dengan meningkatnya kesadaran akan paradigma ekosentrisme ini, baik di dunia pemikiran akademis maupun di dunia praktik penyelenggaraan kekuasaan negara, kita dapat berharap bahwa pada saatnya, paham antroposentrisme dan ekosentrisme, serta konsep demokrasi dan ekokrasi dapat benar-benar saling imbang mengimbangi satu sama lain. Alam semesta ini merupakan suatu kesatuan sistim yang saling berhubungan dan saling bergantung sama sama lain. Alam kehidupan merupakan suatu kesatuan ekosistem. Karena itu, paradigma berpikir manusia harus berubah dari ‘anthropocentris’ ke ‘theocentrisme’ sampai ke titik keseimbangan (equilibrium).
Untuk itulah kita memerlukan pihak ketiga. Guna menjamin keseimbangan di antara kedua perspektif atau cara pandang antroposentrisme versus ekosentrisme, kita memelukan wasit pengimbang. Untuk itu, dalam pandangan saya, peri kehidupan modern yang serba sekuler dan positivistik perlu mempertimbangkan kembali kehadiran Tuhan dalam cara pandang umat manusia tentang alam dan lingkungan hidup. Dalam pola hubungan antara manusia dengan alam sekitar dan bahkan dengan alam seluruhnya yang seimbang dan saling mengimbangi itu, diperlukan cara pandang theosentrisme yang memandang Tuhan-lah yang menjadi pusat dari segala kehidupan manusia dan alam. Hubungan segi tiga antara Tuhan, Alam, dan Manusia itulah yang dapat menjamin pola hubungan yang seimbang antara manusia versus alam, antara antroposentrisme versus ekosentrisme, dan antara demokrasi versus ekokrasi.
.Pentingnya kehadiran Tuhan dalam pandang manusia modern dewasa ini perlu disadari, karena – seperti dikatakan oleh Wendell Berry dalam bukunya[34], “our ecological crisis is a crisis of character, nota political or social crisis”. Oleh karena itu, menurut Preston Bristow[35], masalahnya menyangkut persoalan spiritualitas. Menurut Bristow, “The religion of cunsumerism is a spiritual problem, and we must fight fire with fire. Spiritual problems require spiritual solutions”. Itulah sebabnya, paham Kedaulatan Tuhan juga harus ikut disertakan dalam pengkajian paradigmatik untuk menyelesaikan kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh pola hubungan yang tidak seimbang antara manusia dan alam. Karena terus menerus melupakan kehadiran Tuhan, manusia merasa dirinya yang menjadi pusat dari segala-galanya.
            Dengan mengakui kehadiran Tuhan Yang Maha Kuasa, manusia dipaksa untuk bertindak adil terhadap sesama makhluk Tuhan, yaitu alam sekitar dan alam semesta yang berada di luar diri manusia. Sudah saatnya, lingkungan juga dianggap sebagai subjek hukum. Yang harus dianggap sebagai subjek kekuasaan dan hak-hak asasi, bukan hanya manusia, tetapi juga alam semesta. Alam mempunyai hak-hak dasar atau hak-hak asasinya sendiri untuk tidak dirusak dan diganggu keseimbangannya. Daya dukung alam untuk kehidupan manusia dari generasi ke generasi harus dijaga keberlangsungannya sepanjang masa. Inilah yang menjadi substansi pokok doktrin sustainable development yang telah diterima luas sebagai prinsip pembangunan di zaman sekarang.
            Dalam hubungannya dengan sistim kekuasaan negara, dapat dikatakan bahwa dewasa ini, alam semesta juga harus dipandang merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan. Jika dikaitkan dengan konsep kedaulatan sebagai ide tentang kekuasaan tertinggi (concept of sovereignty), kita dapat memperkenalkan istilah Kedaulatan Lingkungan untuk melengkapi khazanah teori kedaulatan yang sudah dikenal selama ini, yaitu Kedaulatan Tuhan, yang dikaitkan dengan Teokrasi, gagasan Kedaulatan Rakyat yang dikaitkan dengan demokrasi dan Kedaulatan Hukum yang terkait dengan Nomokrasi. Sekarang, kita perlu memperkenalkan konsep Ekokrasi yang dikaitkan dengan Kedaulatan Lingkungan.
            Dengan demikian, para ilmuwan hukum dan politik dapat membantu upaya membangkitkan kesadaran mengenai pentingnya lingkungan hidup prinsip pembangunan berkelanjutan. Keyakinan umat manusia akan penting lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan ini juga telah tercermin dalam Konstitusi Perancis yang terakhir diubah pada tahun 2005[36]. Dalam perubahan tahun 2005 itu, Charter for Environment of 2004[37] dimuat dalam Preambule Konstitusi sejajar dengan Declaration of the Rights of Man and of Citizen tahun 1789[38]. Dengan begitu ide lingkungan hidup dan prinsip pembangunan berkelanjutan telah mendapatkan statusnya yang sangat tinggi dalam pemahaman bangsa Perancis tentang sistem kekuasaan kenegaraan. Hanya saja, dalam perspektif Perancis ini, hak-hak atas lingkungan hidup itu masih dilhat sebagai bagian dari perkembangan mutakhir mengenai hak asasi hak manusia, yaitu hak-hak dasar manusia atas lingkungan yang sehat dan hak asasi generasi mendatang atas lingkungan hidup yang sehat itu.
            Karena itu, yang dapat dikatakan lebih baru lagi adalah dalam perubahan Konstitusi Equador Tahun 2008. Dalam konstitusi ini, lingkungan hidup itu sendiri dikukuhkan sebagai subjek hak konstitusional tersendiri dalam sistem kenegaraan. Dengan demikian, di samping manusia dan badan-badan hukum, lingkungan alam juga dipandang mempunyai status sebagai pemegang kekuasaan yang tersendiri dalam sistem kenegaraan. Dengan kata lain, lingkungan alam juga merupakan pemegang kedaulatan di samping rakyat dan hukum dalam perspektif demokrasi dan rule of law di zaman modern.
Apa yang sudah diadopsikan ke dalam Konstitusi Equador seperti yang telah diuraikan terdahulu, tidak lain merupakan perwujudan dari ide kedaulatan lingkungan hidup atau ekokrasi ini. Lihatlah bagaimana Konstitusi Equador menentukan bahwa alam juga merupakan subjek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum seperti halnya subjek hukum manusia dan badan hukum. Subjek yang dimaksudkan disini tidak lagi sekedar hak-hak hukum (legal rights) yang biasa dan sudah dikenal umum. Subjek hak yang dimaksud disini adalah subjek hak konstitusional yang sepadan dengan pengertian hak asasi manusia yang juga menjadi ciri materiel dari konstitusi modern di dunia.
            Karena itu, seperti diceritakan di atas, menjelang referendum 28 September 2008, Clare Kendall dari The Guardian Inggeris menulis laporan khusus dengan judul sangat panjang dan antusias[39], “A New Law of Nature: Equador Next Week  Votes on Giving Legal Rights to Rivers, Forests and Air. Is this the end of damaging development? The World Is Waching”. Untuk pertama kalinya undang-undang dasar suatu negara menentukan bahwa bagi sungai-sungai, hutan-hutan, dan udara ada hak konstitusional yang harus dilindungi dalam lalu lintas hukum dan pemerintahan.
            Dalam Konstitusi Equador seperti sudah dikutipkan di atas ditegaskan, “Persons and people have the fundamental rights guaranteed in this Constitution and in the International human rights instruments. Nature is subject to those rights given by this Constitution and Law”. Setiap orang mempunyai hak-hak dasar yang dijamin dalam konstitusi dan berbagai instrumen hukum Internasional. Alam dapat dijadikan objek hak oleh setiap orang yang dijamin dalam undang-undang dasar. Mengenai kedudukan alam sebagai objek hak dalam rumusan tersebut tentu dapat dikatakan masih sama dengan konstitusi negara-negara yang melihat persoalan lingkungan hidup itu dalam konteks hak asasi manusia. Namun, pada penggalan kedua, dinyatakan bahwa “Nature is subject to those rights given by this Constitution and Law”. Alam diharuskan tunduk kepada hak asasi manusia atas lingkungan hidup. Artinya, alam dapat dibebani dengan kewajiban untuk tunduk kepada hak orang. Tentu dengan penafsiran a contrario, berarti alam juga dapat menyandang hak hukum dalam hubungannya dengan manusia. Dengan demikian, alam dan manusia sama-sama dapat dibebani dengan hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum.
Bahkan secara lebih tegas lagi, dalam Chapter of Rights of Nature, Article 1 Konstitusi Ekuador 2008 itu menentukan pula bahwa pachamama atau alam, tempat kehidupan bersama tumbuh dan mengalami reproduksi, juga mempunyai hak asasinya sendiri, di samping hak asasi manusia.  Setiap orang, masyarakat atau bangsa membutuhkan pengakuan akan hak-haknya atas alam di hadapan hukum dan pemerintahan. Setiap pelaksanaan atau penafsiran yang dilakukan sehubungan dengan hak-hak yang dimaksudkan tersebut haruslah sesuai dengan dan tunduk kepada prinsip-prinsip yang telah ditentukan dalam undang-undang dasar.
Selain itu, ditentukan pula dalam Article 2-nya bahwa alam juga berhak atas pemulihan atau restorasi yang bersifat integral yang terpisah dari kewajiban orang atau badan hukum atau negara to menjamin kerugian orang atau kelompok orang yang menggantungkan hidupnya dari ekosistem. Dalam hal timbul dampak kerusakan alam yang permanen, termasuk yang disebabkan oleh eksploitasi atas sumber-sumber yang tidak dapat diperbarui (non-renewable resources), negara harus menentukan mekanisme yang paling efisien untuk restorasi. Untuk itu, negara harus menerapkan langkah-langkah yang tepat guna mengeliminasi atau melakukan mitigasi akibat-akibat buruk terhadap lingkungan hidup.
            Dengan adanya ketentuan-ketentuan konstitusional tentang hak-hak lingkungan seperti yang diadopsikan ke dalam norma Konstitusi Equador 2008 tersebut, kita telah memasuki era baru dalam peri kehidupan umat manusia dalam hubungannya dengan alam sekitar dan bahkan alam semesta. Manusia yang mengklaim dirinya berdaulat tidak lagi menjadi penentu segala-galanya. Baik manusia maupun alam kehidupan sama-sama mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik dalam hubungan antar keduanya. Karena itu, selain manusia, alam juga mempunyai kedaulatannya sendiri yang harus diakui, dihormati, dan diikuti ‘kehendak’nya.
            Sebelum fenomena konstitutionalisasi kebijakan lingkungan hidup dikembangkan di Equador, sebenarnya, pengertian mengenai kekuasaan lingkungan yang dikaitkan dengan ide kedaulatan, juga sudah diperbincangkan sejak tahun-tahun terakhir abad ke-20. Misalnya, Carl Pietsch[40], dalam artikelnya “Regimes of Nature – the Human Challenges of Ecological Restoration”, mengaitkan gagasan kemerdekaan lingkungan dengan perkembangan mutakhir mengenai gagasan “popular sovereignty” atau kedaulatan rakyat. Menurutnya, “Since the World War I, virtually all government have acknowledged a responsibility to maintain the political, social and economic welfare of the people they represent. Popular sovereignty has thus come to cover almost every aspect of human culture. But so far the theory of popular sovereignty-which might also be called human sovereignty – has not been applied to our relationship with nature, at least not explicitly.” Hanya saja, tulisan Carl Pietsch ini sama sekali belum mengaitkannya dengan ide “the sovereignty of nature” atau kedaulatan lingkungan.
            Ada juga beberapa artikel atau tulisan lain yang mengaitkan isu lingkungan ini dengan ide kedaulatan, tetapi konsep kedaulatan yang dimaksud adalah dalam konteks hubungan internasional, tidak terkait dengan gagasan kekuasaan yang bersifat domestik. Misalnya, tulisan Paul Wapner, “The Sovereignty of Nature? Environmental Protection in a Postmodern Age[41]; Carl Pietsch, “Regimes of Nature – the Human Challenges of Ecological Restoration[42]; Focseneanu, Veronice, “Walls, Sovereignty and Nature[43]; juga Nisha Shah, “Beyond Sovereignty and the State of Nature[44], semuanya melihat menjadi semakin relatifnya pengertian kedaulatan teritorial suatu negara di era globalisasi yang semakin pro-lingkungan hidup dewasa ini. Namun, ide lingkungan itu belum dipandang setara dengan ide demokrasi atau bahkan sebagai kelanjutan historis dari perkembangan kedaulatan rakyat yang perlu diimbangi oleh gagasan kedaulatan lingkungan yang perlu diadopsikan dalam konstitusi modern.
Sebelum diterima resmi menjadi muatan materi konstitusi, seperti di Portugal, Perancis dan Equador, ide untuk menjadikan lingkungan sebagai subjek hukum tentu saja sudah lebih dulu berkembang dalam wacana di antara para aktifis dan para ilmuwan lingkungan. Bahkan, pada tahun 1972 Christopher D. Stone, misalnya, sudah menulis artikel dengan judul “Should Trees Have Standing? Towards Legal Rights for Natural Objects[45]. Dalam tulisan ini, Stone mendiskusikan akankah pohon-pohon akan memiliki kedudukan hukumnya sendiri di pengadilan? Dalam pendapat berbeda (dissenting opinion) atas putusan Mahkamah Agung dalam kasus Sierra Club versus Morton, Hakim Douglas menyatakan, .... Contemporary public concern for protecting nature’s ecological equilibrium should lead to the conferral of standing upon environmental objects to sue for their own preservation[46]. Pendapat yang diajukan oleh Hakim Douglas tersebut kemudian mendapat sambutan hangat di kalangan masyarakat luas, sehingga seorang pengacara terkenal menulis puisi dalam Journal of the American Bar Association (ABA) sebagai berikut:
“If justice Douglas has his way –
O come not that dreadful day –
We’ll be sued by lakes and hills –
Seeking a redress of ills –
Great mountain peaks of name prestigious –
Will suddenly become litigious – 
Our brooks will babble in the courts, Seeking damages for torts.
How can I rest beneath a tree –
If it may soon be suing me?” dan seterusnya[47].
Dalam puisi itu jelas digambarkan bagaimana jalan pikiran yang dianut oleh Hakim Douglas “Great mountain peaks of name prestigious, will suddenly become litigious”. Puncak-puncak gunung tiba-tiba menjadi pihak dalam perkara di pengadilan. Kita bisa digugat oleh danau-danau dan bukit-bukit, yang menuntut ganti rugi. Bahkan, bagaimana mungkin kita dapat berisitirahat dengan tenang di bawah pohon yang rindang, jika kelak pohon itu ternyata dapat menuntut kita ke pengadilan. “How can I rest beneath a tree, if it may soon be suing me?” Artinya, dalam wacana akademik dan dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat barat, setidaknya di Amerika Serikat, sudah biasa membayangkan adanya hak-hak hukum dari alam sekeliling kita dalam hubungan dengan masyarakat manusia.
Dengan perkataan lain, sejak lama memang sudah ramai dibicarakan mengenai pemberian status sebagai subjek hukum tersendiri kepada benda-benda alam di lingkungan hidup kita. Karena itu, tidak berlebihan jika kita memperkenalkan gagasan ekokrasi dalam studi tentang kekuasaan negara. Sistim demokrasi yang bersifat ‘anthropocentris’ dan mengandaikan kedudukan sentral rakyat manusia dalam paradigma berpikirnya harus diimbangi oleh sistim ekokrasi (ecocracy) yang memandang alam semesta berada dalam hubungan kekuasaan yang seimbang dengan manusia. Alam dan manusia dipandang sama-sama mempunyai hak dan kekuasaannya sendiri. Alam dan manusia sama-sama merupakan subjek hak-hak yang bersifat asasi. Karena itu, seperti halnya rakyat manusia, alam juga memegang kekuasaan yang di bidang atau dalam hal-hal tertentu juga bersifat tertinggi, sehingga hal itu dapat disebut sebagai Kedaulatan Lingkungan.

4. Catatan Akhir: Ekokrasi dan Demokrasi

            Karena itu, dalam tulisan ini, saya ingin mempromosikan gagasan penting di masa depan, yaitu “ecocracy” sebagai pengimbang gagasan “democracy” yang sekarang sudah dianggap sebagai gagasan paling ideal di zaman sekarang, sebagai jaminan kemuliaan hidup di atas segala-galanya oleh hampir semua bangsa di dunia. Dewasa ini, istilah demokrasi pun sudah menjadi semacam bahasa pergaulan yang lazim di seluruh dunia, yang seakan tanpa sistem demokrasi suatu kehidupan negara ideal yang diimpikan tidak akan dapat diwujudkan. Padahal, dalam kenyataannya, dengan demokrasi, kerusakan lingkungan hidup di mana-mana menjadi semakin meluas bersamaan dengan penerapan demokrasi yang membebaskan manusia untuk berbuat sesuka-hatinya atas nama kemuliaan hak-hak asasi manusia. Dalam sistem demokrasi sangat diagagungkan adanya kebebasan manusia, yang dengan bantuan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serba modern menyebabkan manusia dengan mudah dapat menguasai alam, termasuk untuk mengekploitasinya dalam rangka memenuhi hasrat kemanusiaan yang cenderung serakah dan tanpa batas.
            Dalam alam pikiran sistem demokrasi, manusia dianggap berada di atas segala-gala. Manusia adalah tuan bagi dirinya sendiri. Semua gagasan pembangunan bertumpu pada perspektif yang sama, yaitu paradigma ‘anthropocentrisme’ yang memusatkan kehidupan pada diri manusia. Sebagai akibat dari cara berpikir demikian, maka jadilah manusia menganggap dirinya sendiri berada di atas segala-galanya yang dapat mengeksploitasi alam dengan sesukanya sendiri. Karena itulah, dengan cara yang ekstrim dan provokatif, dengan maksud untuk menggugah, kita dapat mengatakan bahwa kerusakan alam yang terjadi dimana-mana dewasa ini pada pokoknya disebabkan oleh penerapan sistem demokrasi yang luas di seluruh dunia. Kerusakan lingkungan hidup yang terjadi dimana-mana dewasa ini, disebabkan oleh demokrasi yang tidak diiringi dan diimbangi secara memadai oleh kesadaran mengenai pentingnya keseimbangan ekologis dalam hubungan antara manusia dengan alam sekitar dan bahkan dengan alam semesta.
            Oleh karena itu, saya menganjurkan agar di masa depan, ada kesadaran baru dalam kehidupan umat manusia bahwa demokrasi harus dikembangkan seiring, sejalan dan berkeseimbangan dengan ide ekokrasi. Demokrasi yang bersifat ‘anthropocentris’ harus diimbangi dengan gagasan ekokrasi yang lebih bercorak ‘ecocentris’. Keseimbangan itu, bahkan boleh jadi harus dikontrol dengan mengedepankan orientasi baru yang lebih bercorak ‘theocentrisme’ dengan gaya baru, yang menyeimbangkan secara fungsional hubungan antara Tuhan, Alam, dan Manusia dalam satu kesatuan sistem yang fungsional. Dengan demikian ide demokrasi pasca modern harus dikembangkan secara seimbang dan saling isi mengisi secara fungsional dengan gagasan ekokrasi dan bahkan teokrasi dalam pengertiannya yang baru. Yaitu teokrasi yang tidak tercermin dan terwujud dalam praktek Kedaulatan Raja dan Maha-Raja seperti di zaman kuno, tetapi paham teokrasi yang tercermin dan terwujud dalam gagasan dan praktik demokrasi yang berjalan seiring dengan ekokrasi.











[1] Tulisan ini disarikan sebagian dari materi buku Jimly Asshiddiqie, “Green Constitution: Nuansa Hijau UUD 1945”, Rajagrafindo/Rajawali Pers, Jakarta, 2009.
[2] Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, mantan Anggota Wantimpres Bidang Hukum dan Ketatanegaraan, sekarang Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Republik Indonesia, dan Penasihat Komnas Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
[3] Perubahan Kedua UUD 1945 Tahun 2000, Pasal 18B ayat (1), “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”.
[4] Perubahan Ketiga UUD 1945 tahun 2001. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”; dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 berbunyi, “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
[5] Bandingkan dengan Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Ichtiar Baru-van Hoeve, 1994.
[6] Lihat sistem pemerintahan kesultanan Yogyakarta yang oleh Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 diakui dan dihormati sebagai satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa yang khusus diatur dengan UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. LNRI Tahun 2012 No. 170.
[7] Carnes Lord (translator & editor), Aristotle The Politics, University of Chicago Press, 1985. Bandingkan dengan Ernest Barker, The Politics of Aristotle, Oxford University Press, 1958.
[8] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, hal.87-88.
[9] Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Ichtiar Baru-van Hoeve, 1994.
[10] Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, BIP-Gramedia, Jakarta, 2009, hal. 395.
[11] Thomas L. Pangle (translator & editor), The Laws of Plato, University of Chicago Press, 1988.
[12] Martin Ostwald, From Popular Sovereignty to the Sovereignty of Law: Law, Society and Politics in Fifth Century Athens, University of California Press, Berkeley, 1986, hal. 79-83.
[13] Bhandari, History of European Political History, Evernew Book, Lahore, 1969, hal.1-89.
[14] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajagrafindo, Jakarta,
[15] Dapat dikatakan, Aristoteles lah yang pertama kali memperkenalkan ide tentang kedaulatan hukum (sovereignty of law) ini meneruskan pemikiran gurunya, yaitu Plato, yang dalam bukunya The Laws (Nomoi) memberikan tempat yang penting kepada hukum dalam kegiatan bernegara. Dikatakan oleh Ernest Barker (editor and translator), “Aristotle rendered less service to law; on the other hand he was, in general and in principle, a steady and consistent advocate of its sovereignty, ‘The rule of law is preferable to that of a single citizen: even if it be the better course to have individuals ruling, they should be made law-guardians or ministers of the law’”.  Lihat The Politics of Aristotle, Oxford University Press, London-Oxford-New York, 1958, hal. LV.
[16]Meskipun ide nomokrasi sudah dikembangkan sejak Plato, tetapi yang mempopulerkan istilah ‘rule of law’ di zaman modern adalah sarjana Inggeris, Albert Venn "A. V." Dicey (4 February 1835 – 7 April 1922) melalui bukunya” An Introduction to the Study of the Law of the Constitution” (1885). Dicey memperkenalkan istilah "rule of law" ini, meskipun ide negara hukum itu sendiri sudah dikembangkan sejak abad ke-17, dan bahkan sejak Yunani kuno.
[17] Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, BIP-Gramedia, Jakarta, 2009, hal. 396-397.
[18]Para sarjana biasanya mengaitkan ide awal ‘rechtsstaat’ ini dengan teori-teori Immanuel Kant. Rechtsstaat tidak lain adalah ide ‘constitutional state’ yang diperkenalkan oleh Kant (1724–1804) sesudah Konstitusi Amerika Serikat dan Perancis terbentuk pada akhir abad ke-18. Negara dalam pandangan Immanuel Kant merupakan “the union of men under law”. Negara terbentuk karena hukum yang sudah ada lebih dulu. Suatu pemerintahan hanya dapat diangkat, dinilai, diberi tugas dan tanggungjawab dan bahkan diberhentikan hanya atas dasar perintah hukum yang sah. Penggunaan istilah Rechtsstaat ini paling awal dapat ditemukan tahun 1798, tetapi dipopulerkan pertama kali dalam buku Robert von Mohl, Die deutsche Polizeiwissenschaft nach den Grundsätzen des Rechtsstaates ("German Policy Science according to the Principles of the Constitutional State") (1832–1833).

[19] Amos J. Peaslee, Contitutions of Nations, Martinus Nijhoff, The Hague, Volume 1 (1950) dan Volume2 dan 3 (1968).
[20] Ian Shapiro, The State of Democratic Theory, Princeton University Press, Princeton and Oxford, 2003. hal.1.
[21] C.A. van Peursen, Strategi Kebudayaan (terjemahan Dick Hartoko), Kanisius, Yogyakarta, 2000.
[22] Lihat Koentjaraningrat (1985) yang menyebutnya sebagai tujuh unsur-unsur pokok kebudayaan, yaitu: (1) Sistem Religi, (2) Sistem Organisasi Masyarakat, (3) Sitem Pengetahuan, (4) Sistem Mata Pencaharian dan Sistem Ekonomi, (5) Sistem Teknologi dan Peralatan, (6) Sistem Bahasa, dan (7) Sistem Kesenian.
[23] Auguste Francois Xavier Comte lahir 19 Januari, 1798 di Montpeller, Perancis Selatan. Lihat Kees Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1998.
[24] “The disharmony in our relationship to the earth, which stems in part from our addiction to a pattern of consuming ever-larger quantities of the resources of the earth, is now manifest in successive crises.The lost of  1 acres of rain forest every second; the acceleration of the natural extinction rate; the ozone hole; the possible destruction of the climate balance that makes our earth livable - all these suggest the increasingly violent collision between human civilization and the natural world”. Lihat Al Gore, Earth in the Balance: Ecology and the Human Spirit, , Houghton Mifflin, Boston, MA, 1992, hal. 223.
[25] Al Gore, Earth in the Balance: Ecology and the Human Spirit, Houghton Mifflin, Boston, MA, 1992, hal. 147.
[26] Ibid., hal.148.
[27] Ibid., hal. 109.
[28] Baca laporan Koran TEMPO, 27 Desember 2008.
[29] President Jacques Chirac’s Speech at the Earth Summit, Johannesburg, 2002.
[30] Jimly Asshiddiqie, Green Constitution: Nuansa Hijau UUD 1945, Rajawali Pers, Jakarta, 2009.
[31] Lihat Stone CD, Should Trees Have Standing? Toward Legal Rights for Natural Objects. Southern California Law Review 1972;45:450; W Kaufmann, Los Altos, 1974) p 8.
 [32] pdba.georgetown.edu/Constitutions/Ecuador/english08.html.
[33] Lihat juga Becker, Marc. 2011 Correa, Indigenous Movements, and the Writing of a New Constitution in Ecuador. Latin American Perspectives 38(1):47-62.
[34] Wendell Berry, The Unsetting of America: Culture and Agriculture, Sierra Club Books, San Fransisco, 1996.
[35] The Root of Our Ecological Crisis, 2001.
[36] Perubahan Konstitusi Kelima (the French Fifth Constitution) disahkan pada tanggal 1 Maret 2005, David Marrani, Human Rights and Environmental Protection: The Pressure of the Charter for the Environment on the French Administrative Court, lihat digitalcommons.wcl.american.edu/cgi/viewcontent.cgi.
[37] Charter for the Environment 2004 disahkan pada tanggal 1 Maret 2005, dan selanjutnya ditambahkan menjadi materi Preambule Konstitusi pada tahun 2006. Lihat www.cidce.org/pdf/Charte_ANGLAIS.pdf.
[38] Sejak tahun 2006, rumusan Peambule Konstitusi Perancis berubah menjadi sebagai berikut: “The French people solemnly proclaim their attachment to the Rights of Man and the principles of national sovereignty as defined by the Declaration of 1789, confirmed and complemented by the Preamble to the Constitution of 1946, and to the rights and duties as defined in the Charter for the Environment of 2004. “By virtue of these principles and that of the self-determination of peoples, the Republic offers to the overseas territories which have expressed the will to adhere to them new institutions founded on the common ideal of liberty, equality and fraternity and conceived for the purpose of their democratic development”. Dengan demikian, Preambule Konstitusi Perancis sekarang memuat substansi tiga dokumen, yaitu (i) Declaration of human and civic rights of 26 august 1789, (ii) naskah Preamble to the Constitution of 27 october 1946, dan (iii) Charter for the environnement of 2004. Lihat www.conseil-constitutionnel.fr.
[39] Clare Kendall, A new law of nature: Ecuador next week votes on giving legal rights to rivers, forests and air. Is this the end of damaging development? The world is watching, The Guardian, Wednesday 24 September 2008.
[40] Carl Pietsch, “Regimes of Nature – the Human Challenges of Ecological Restoration”, Humanist, Nov-Dec, 1993, hal.4. http://findarticles.com/p/articles/m1374/is_n6_v53/ai_14289333.
[41] Paul Wapner, “The Sovereignty of Nature? Environmental Protection in a Postmodern Age”, International Studies Assocation, vol.46, no.2, pages 167-187, International Studies Association. Blackwell Publishing, 2002
[42] Carl Pietsch, Op.Cit.
[43] Focseneanu, Veronica, “Walls, Sovereignty and Nature”, Ecological Security in an Interdependence World”.
[44] Nisha Shah, “Beyond Sovereignty and the State of Nature”, Annual Meeting of the International Studies Association, San Diego, 2006. http://www.academic.com/meta/p99286_index.html.
[45] Christhopher D. Stone, “Should Trees Have Standing? Towards Legal Rights for Natural Objects, William Kaufmann, Los Altos, 1974, lihat dalam Earth and Other Ethics, Harper & Row, New York, 1987, hal.1.
[46] Christhopher D. Stone, Earth and Other Ethics, ibid., hal.4.
[47] Ibid., hal. 5.
Share:

Search This Blog