SEKILAS BAHASA ELIT POLITIK KITA

 SEKILAS BAHASA ELIT POLITIK KITA



Bagi masyarakat peduli bahasa, perilaku berbahasa masyarakat kita belakangan ini, terutama oleh para elit politiknya, sangat menyesakkan dada. Betapa tidak! Perhatikan saja model komunikasi para anggota DPR RI yang tergabung dalam Panitia Khusus yang bertugas membongkar skandal Bank Century. Ungkapan-ungkapan kau tak mampu, kau tak punya pengetahuan, profesor kok seperti itu, bahkan kata bangsat pun muncul dalam sidang-sidang pantia Pansus. Yang mengherankan mereka tidak merasa bahwa kata dan kalimat yang mereka produksi tidak pantas diucapkan oleh para anggota DPR terhormat yang notabene adalah pilihan rakyat. Begitu parahnya model berbahasa para elit tersebut sampai-sampai menggeser substansi skandal Bank Century yang menghebohkan tersebut. Tidak sedikit orang mempermasalahkan cara berkomunikasi para elit anggota Pansus ketimbang mempermasalahkan hilangnya uang Rp 6, 7 trilyun.
Perilaku berbahasa demikian mengingatkan kita pada model komunikasi politik para elit politik kita di era kepresidenan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Setting nya hampir sama dengan setting politik saat ini. Tempat kejadiannya juga sama, yakni Gedung DPR. Pelakukanya juga sama, yakni anggota DPR. Saat itu kalimat-kalimat kasar bahkan vulgar juga terucap oleh para anggota DPR ketika sedang membongkar kasus Buloggate  dan Bruneigate yang mengantarkan ke kejatuhan Gus Dur. Bedanya adalah jika perilaku berbahasa elit saat itu dimulai dari Gus Dur sendiri, sedangkan perilaku berbahasa elit saat ini dimulai dari mereka sendiri. Kita masih ingat bagaimana Gus Dur dengan entheng mengatakan “Beda antara anggota DPR dengan murid taman kanak-kanak memang enggak jelas”, “Sekarang banyak anggota DPR bertitel MA, tapi bukan Master of Arts, melainkan maling”, Saya copot Laksamana Sukardi dan Jusuf Kalla karena kedua orang itu tersangkut KKN”, dan sebagainya yang tidak saja membuat merah padam muka para anggota DPR, tetapi berbuntut tuntutan untuk mencabut kata-katanya yang diangap sangat melecehkan martabat anggoat DPR.
Tak kalah kasarnya para anggota DPR membalasnya dengan mengatakan “Dalam memberikan keterangan Presiden jangan petantang-petenteng”, Gus Dur itu esuk dele, sore tempe, Presiden telah melakukan kebohongan publik,  Saraf Presiden ada yang rusak, Presiden omongannya nglantur terus” dan sebagainya. Dalam Rahardjo (2007) ditemukan salah satu penyebab kejatuhan Gus Dur adalah kecerobohannya berbahasa sehingga melahirkan banyak musuh politik yang di kemudian hari berpotensi menjatuhkannya.
Jika saat itu atas ulah berbahasa para anggota DPR Gus merespons dengan entheng dan dengan gaya khasnya mengatakan “Kalau kalangan  DPR merasa tersinggung atas omongan saya itu, ya sudah saya minta maaf. Yang begitu saja kok repot”, kalimat terakhir itu kemudian menjadi joke khasnya, maka sekarang Presiden SBY merespons dengan meminta para anggota DPR, khususnya yang tergabung dalam Pansus, untuk berkomunikasi dengan mengedepankan etika.
Tampaknya, vulgarsime berbahasa elit politik berimbas pada masyarakat umum. Kita saksikan lewat media bagaimana para pendemo kasus Bank Century membawa kerbau untuk menyatakan kejengkelannya seara simbolik kepada para pejabat negara yang diduga terlibat kasus Bank Century. Setelah polisi melarang pendemo tidak boleh membawa kerbau, di hari lain pendemo menggantinya dengan kambing. Gambar Presiden dan Wakil Presiden Boediono diinjak-injak dan dibakar, dan gambar Sri Mulyani diberi taring.
Mecermati komunikasi politik para elit dan cara orang menyampaikan pendapat melalui demo yang demikian jauh dari etika kesantunan, Presiden SBY segera menghimbau kepada masyarakat, terutama para elit politik, untuk mengedepankan etika dalam berkomunikasi dan berpolitik. Himbauan Presiden tidak berlebihan. Sebab, dari perspektif sosiolinguistik, ilmu bahasa yang khusus mengkaji penggunaan bahasa dari aspek sosial-kemasyarakatan dan kebudayaan, model komunikasi politik para elit dan masyarakat kita tersebut jauh dari pakem kesantunan berbahasa.
Harus dipahami oleh setiap pengguna bahasa bahwa berbahasa tidak saja bermaksud menyampaikan pesan, tetapi juga membangun harmoni sosial. Keduanya harus terpenuhi. Dalam konteks ini ungkapan “yang penting maksud tercapai”, tentu tidak relevan. Karena itu, apa yang diucapkan oleh para anggota DPR jelas tidak memenuhi syarat fungsi berbahasa. Sebab, yang terjadi kemudian bukan harmoni sosial di antara sesama anggota Pansus DPR, melainkan justru konflik.
Lebih jauh menyangkut teori kesantunan berbahasa, Leech (dalam Kholid A Hamas, 2001) menawarkan seperangkat maksim atau aturan sebagai berikut: (1) maksim kepedulian, yakni perkecil kerugian dan tingkatkan keuntungan pada orang lain, (2)  maksim kebaikan hati, yakni perkecil keuntungan pada diri sendiri dan tingkatkan keuntungan pada orang lain, (3) maksim penghargaan, yakni kurangi penghargaan pada diri sendiri dan tingkatkan penghargaan pada orang lain, (4) maksim kesahajaan, yakni perkecil pujian pada diri sendiri dan  tingkatkan pujian pada orang lain.
Apa yang ditawarkan Leech tersebut jelas bahwa persoalan kesantunan berbahasa menyangkut persoalan untung rugi atas dampak yang ditimbulkan dari sebuah ungkapan. Karena itu, sebaik apapun struktur kalimat yang dipakai, jika berdampak besar bagi mitra tuturnya dianggap ungkapan yang tidak santun. Jika demikian, maka ungkapan para anggota DPR, terutama yang tergabung dalam Pansus Bank Century jelas jauh dari kaidah kesantunan berbahasa.. Label sosial yang dimiliki seseorang (gelar, status, jabatan, agama, usia, tingkat pendidikan, dan sebagainya) semua bisa disembunyikan dengan rapat, tetapi tidak cara berbahasanya. Cara berbahasa kita menggambarkan dengan jelas siapa kita sesungguhnya. Begitu juga anggota DPR yang terhormat itu. Cara berbahasa mereka dengan gamblang menggambarkan siapa mereka sebenarnya tanpa harus menjelaskan latar belakang mereka. Kita mungkin jengkel dengan cara dan gaya Ruhut Sitompul berkomunikasi. Tetapi menjadi lega karena sadar siapa dia yang sesungguhnya. Pembaca sendiri yang menyimpukannya !
Share:

BAHASA INDONESIA DI TENGAH GEMPURAN GLOBALISASI DAN NASIB BAHASA DAERAH

 BAHASA INDONESIA DI TENGAH GEMPURAN GLOBALISASI DAN NASIB BAHASA DAERAH



Berita Kompas (29/12/09) tentang banyaknya penggunaan bahasa asing (Inggris) di hotel dan tempat hiburan dalam rangka menyambut malam tahun baru 2010 menarik untuk disimak. Ini mengingatkan kita pada kriktik sejarawan Swiss terkemuka, Hebert Luethy, sebagaimana dikutip Benedict Anderson (1990) bahwa “sebagai bahasa, bahasa Indonesia suka meminjam istilah asing apa saja dengan begitu melimpah, sehingga bahasa ini merupakan bahasa “sintesis”. Sikap sinis lain disampaikan oleh sejarawan Perancis , Jerome Samuel, sebagaimana dikutip P. Ari Subagyo (Kompas, 24/10/2009) bahwa penambahan puluhan ribu istilah baru secara cepat --- terutama demi perannya sebagai bahasa ilmiah--- membuat bahasa Indonesia “sama dengan bahasa baru”.
Kritik Luethy dan Jerome Samuel tidak berlebihan. Sebab, memang demikian keadaaanya. Sebagian orang berpendapat banyaknya istilah asing yang diadopsi ke dalam bahasa Indonesia bisa dimengerti sebab bahasa Indonesia tergolong muda dan tidak memiliki kosakata yang cukup untuk mengakomodasi berbagai kepentingan dan tuntutan akibat kemajuan ilmu pengetahuan, sains dan teknologi. Malah menurut Pramoedya Ananta Toer bahasa Indonesia miskin dan belang-bonteng dengan mengambil kata-kata semua bangsa di seluruh dunia, sehingga bahasa Indonesia menjadi sangat terbuka.
Yang lain berpendapat bahwa mengadopsi istilah asing merupakan salah satu cara terbaik dan cepat untuk memperkaya kosakata bahasa Indonesia yang jumlahnya masih sangat sedikit dibanding dengan bahasa-bahasa lain yang sudah mapan, seperti bahasa Inggris, Mandarin, Arab, Perancis, dan sebagainya. Jadi sah-sah saja. Malah menurut P Ari Subagyo (Kompas, 24/10/2009) dilihat dari derajatnya, bahasa Indonesia adalah bahasa yang sedang dipromosikan. Ia adalah bahasa yang belum jadi, dan karena itu diperlukan promosi dan kesetiaan yang besar dari pemiliknya.

Tetapi persoalannya adalah yang dilaporkan Kompas (29/12/2009: 2) bukan adopsi istilah asing  ke dalam bahasa Indonesia, melainkan penggunaan istilah asing (Inggris) secara utuh di hotel dan tempat-tempat hiburan untuk menyambut tamu yang akan merayakan malam pergantian tahun memasuki tahun baru 2010. Misalnya, di Hotel Gran Melia, Jakarta terpampang tulisan “Romantic Red Flair”, di Hotel Borobudur di Bogor Café terpampang tema “Special New Year’s Eve Buffet”. Tempat hiburan Ancol Taman Impian memasang  tema “Explore Your Imagination”. Hotel JW Marriot Surabaya memasang tema “The Spirit of Colours”,  sedangkan Sheraton Surabaya Hotel &Towers mengusung tema “Celebrations are Better When Shared”.
Penggunaan bahasa asing sebenarnya tidak saja di hotel dan tempat-tempat hiburan, tetapi juga di nama rubrik beberapa media cetak, seperti ‘Main Issue’, ‘Woman’s Secret’, ‘Man of the Month’, ‘Life Style’ dan sebagainya. Dengan demikian, konstruksi budaya yang dibangun media, disadari atau tidak, semakin memarginalkan posisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Padahal, seharusnya media massa memiliki peran sangat penting untuk memberikan contoh pengokohan jati diri bangsa melalui penggunaan bahasa nasional dan mengangkat kearifan lokal dengan tetap menjaga kelestarian bahasa daerah.
Menariknya lagi, menurut pihak penyelenggara, penggunaan bahasa Inggris tersebut supaya lebih mengena ke semua golongan masyarakat. Selain itu, penggunaan bahasa Inggris juga dinilai lebih kreatif, efektif, dan mudah dipahami. Bagi pengkaji bahasa, alasan penyelenggara hiburan dalam menggunakan bahasa Inggris bukan persoalan sederhana. Setidaknya menyiratkan beberapa hal. Pertama, kurang  percaya diri orang Indonesia terhadap bahasanya sendiri. Padahal, Presiden Yudhoyono usai pelantikannya sebagai presiden periode yang kedua mengajak segenap bangsa untuk menegakkan jati diri. Salah satunya melalui pengokohan budaya bangsa yang di dalamnya ada bahasa.
Kedua, dengan berbahasa asing, terutama bahasa Inggris, orang Indonesia merasa lebih keren. Tampaknya berbahasa tidak cukup hanya dengan maksud untuk menyampaikan pesan. Ada faktor lain mengapa orang milih bahasa tertentu dalam berkomunikasi. Salah satunya adalah faktor gengsi atau agar dianggap lebih keren. Jika ini yang dimaksudkan pilihan bahasa Inggris memang tidak salah. Sebab, selain sebagai salah satu bahasa internasional dan bahasa ilmu pengetahuan, bahasa Inggris memiliki jumlah peminat sangat besar dan tersebar di hampir seluruh penjuru dunia. Dengan berbahasa Inggris, orang merasa sebagai warga dunia.
Ketiga, dengan menggunakan bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya dalam berbagai aktivitas, tanpa disadari orang Indonesia lebih suka memromosikan bahasa asing daripada bahasa Indonesia. Sejak akhir 1990-an Indonesia menjadi lahan subur promosi bahasa asing. Kita bisa melihat menjamurnya lembaga-lembaga kursus bahasa asing di berbagai tempat, tidak hanya di kota besar, tetapi juga di kota-kota kecil di seluruh pelosok negeri, sehingga seolah-olah bahasa Indonesia tidak dianggap bahasa penting oleh pemiliknya sendiri. Malah ada kesan bahasa Indonesia “termarginalkan”.
Keempat, bahasa Indonesia terkena gempuran globalisasi, sehingga semakin tereduksinya nilai-nilai lokal dalam masyarakat. Indikasinya adalah semakin berkurangnya jumlah penutur bahasa daerah dan menurunnya  rasa bangga berbahasa Indonesia di kalangan masyarakat. Pengamat bahasa dari Universitas Airlangga, Listiyono Santoso, mengatakan dari 742 bahasa daerah yang ada di Indonesia,  273 di antaranya ada di Papua yang setiap tahun mengalami penurunan jumlah penutur.
Kelima, lemahnya rasa percaya diri penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah juga menggambarkan semakin rendahnya rasa setia masyarakat kita terhadap bahasa nasional dan lokal. Padahal, rasa setia bahasa sangat diperlukan untuk menjamin keberlangsungan sebuah bahasa. Bahasa yang penuturnya tidak lagi setia atau ditinggal penuturnya akan dengan sendirinya mati. Padahal, kematian bahasa merupakan kehilangan budaya yang tidak ternilai harganya.
Bagi kita sebagai bangsa yang sedang tumbuh dan berupaya mengokohkan jati dirinya agar sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju, kondisi di atas sangat memprihatinkan dan karenanya diperlukan kebijakan pemerintah mengatasi persoalan tersebut. Jika tidak, saya khawatir bahasa Indonesia akan menjadi bahasa “asing” karena melimpahnya kosakata asing dari berbagai bahasa di seluruh dunia dan pada saat yang sama bahasa daerah akan lenyap. Saya takut jika kita tidak akan lagi mendengar orang berbahasa daerah. Karena itu, jangan heran jika kelak anak orang Jawa tidak lagi bisa berbahasa Jawa!
Share:

UIN MALIKI Malang: Menuju Universitas Unggul


UIN MALIKI Malang: Menuju Universitas Unggul

Unggul, kata yang begitu mendominasi sambutan Rektor UIN MALIKI Malang saat menjelaskan tentang visi dan misi Univeristas pada acara Pengenalan Akademik (OPAK) mahasiswa baru tahun akademik 2010/2011. Tak terhitung kata ‘unggul’ itu diulang sepanjang pidato yang memukau seluruh mahasiswa baru di Gedung Student and Sport Center itu. Jika menggunakan perspektif Analisis Isi (Content Analysis), dapat dijelaskan dengan gamblang tentang dunia batin Rektor, yakni sebuah cita-cita luhur untuk mengantarkan UIN MALIKI Malang menjadi perguruan tinggi Islam yang tidak saja maju, tetapi unggul di semua bidang.
Apa maknanya ‘unggul’? Unggul artinya memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh yang lain. Universitas unggul artinya universitas yang memiliki kelebihan di semua komponen atau rukunnya dibanding dengan perguruan tinggi lain, mulai dari aspek konsep keilmuan, dosen dan tenaga administrasi, sarana dan prasarana, manajemen, hingga proses pembelajarannya. Karena itu, jika UIN MALIKI Malang ingin ‘unggul’ di jajaran perguruan tinggi di Indonesia, maka UIN MALIKI Malang harus memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh semua perguruan tinggi lain di Indonesia. Begitu pula jika UIN MALIKI Malang ingin unggul di tingkat dunia, maka UIN MALIKI Malang harus memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki perguruan-perguruan tinggi lain yang sudah masuk ranking dunia.
Bisakah cita-cita itu terwujud? Banyak yang meragukan, termasuk salah seorang mahasiswa baru yang mengaku dari Madura yang beranggapan bagaimana mungkin UIN MALIKI Malang akan masuk sebagai perguruan tinggi tingkat dunia toh buktinya hanya mereka yang berduit saja yang bisa masuk dan kuliah di UIN MALIKI Malang. Dibanding dengan perguruan tinggi lain di Yogyakarta, beaya masuk dan kuliah di UIN MALIKI Malang lebih mahal. Dengan tegas Rektor menjawab bahwa UIN MALIKI Malang bukan perguruan tinggi murahan yang diisi oleh orang-orang tak berduit. UIN MALIKI Malang adalah perguruan tinggi Islam kelas atas yang hanya mau menerima mereka yang berduit dan berkualitas. Apa mungkin kualitas unggul bisa diraih dengan murahan? , tanya Rektor.
Mahasiswa itu jelas belum paham bahwa sebagai perguruan tinggi Islam, UIN MALIKI Malang menghargai mereka yang berprestasi tinggi. Misalnya, mahasiswa yang hafal al Qur’an mulai 10 juz ke atas memperoleh penghargaan bebas beaya SPP selama studi. “Jadi mereka yang miskin ,tetapi berprestasi memperoleh tempat tersendiri”, papar Rektor. Tidak ada tempat bagi yang tidak berprestasi, apalagi miskin’, begitu lanjut Rektor.
Kembali ke masalah unggul. Ditilik dari konsep atau paradigma keilmuan yang dikembangkan UIN MALIKI Malang jelas memiliki keunggulan. Paradigma integrasi yang memandang ilmu pengetahuan Islam secara komprehensif --- tidak terbatas pada masalah tarbiyah, syari’ah, dakwah, ushuluddin dan adab, melainkan juga sains, teknologi dan seni---jelas menggambarkan pemahaman yang utuh tentang bangunan ilmu pengetahuan, sekaligus sebagai tawaran baru untuk melahirkan produk pendidikan yang utuh. Meminjam istilah dalam filsafat ilmu, bangunan pengetahuan keislaman konvensional dipandang ‘deskriptif’, sehingga secara aksiologis tidak akan membawa dampak kemajuan yang berarti. Kemajuan hanya bisa diraih lewat ilmu pengetahuan yang bersifat ‘preskriptif’, yakni yang bersifat ‘know how’, seperti teknologi. Tetapi bukan berarti ilmu deskriptif tidak penting. Ilmu pengetahuan deskriptif dan preskriptif dikembangkan secara beriringan.
Konsep keilmuan integratif inilah yang saat ini sedang dikembangkan oleh UIN MALIKI Malang. Melalui cita-cita ‘unggul’, UIN MALIKI Malang sejatinya bertekad ingin mengembalikan kejayaan peradaban Islam pada abad ke 8 sampai 15 melalui model pendidikan integratif, yakni memadukan Islam dengan sains, teknologi dan seni. Pada kurun waktu itu, Islam tidak saja hadir sebagai ajaran agama tetapi juga peradaban besar karena peran para filsuf muslim kenamaan seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, Al-Kindi, Al- Farobi, Al-Ghazali, dan lain-lain. Selain menguasai filsafat, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd menguasai ilmu kedokteran. Di bidang matematika, ada ilmuwan hebat seperti Umar Al-Farukhan yang dikenal sebagai peletak dasar pembangunan kota Bagdad di Irak, dan Al-Khawarizmi yang mengembangkan ilmu aljabar dan menemukan angka 0. Peradaban Islam itu berpengaruh sangat kuat ke peradaban Barat.
Dalam konsep keilmuannya, UIN MALIKI Malang memandang ilmu secara holistik, tidak terfragmentasi secara dikotomik sehingga ada ilmu agama dan ilmu non-agama. Di zaman keemasan Islam, ilmu tidak dikaji secara terkotak-kotak, sehingga lahirlah ilmuwan-ilmuwan multidisipliner seperti disebutkan di muka. Mereka tidak saja ahli di bidang filsafat, tetapi juga bidang kedokteran, matematika, kimia, seni dan juga agama, sehingga menjadi pribadi utuh. Itulah produk pendidikan yang ingin dihasilkan oleh UIN MALIKI Malang.
Cita-cita itu akan terwujud jika dimulai dengan keberadaan dosen yang hebat . Dosen merupakan tiang penyangga utama Universitas. Hanya di bawah asuhan dosen-dosen yang hebat akan lahir lulusan yang hebat. Dosen yang hebat adalah tenaga pengajar yang menguasai bidang keahliannya sampai tingkat puncak, karyanya ilmiahnya banyak, dan memberikan kontribusi pemikiran ke masyarakat luas mengenai berbagai persoalan dan dinamika sosial yang terjadi. Secara formal ditandai dengan tingkat pendidikan tinggi (doktor dan guru besar).
Bagi UIN MALIKI Malang upaya itu telah dilakukan. Dari 297 dosen tetap, 60 orang di antaranya telah berpendidikan doktor di berbagai bidang ilmu. Berarti jumlah doktor di UIN MALIKI Malang telah mencapai angka 20 %. Selebihnya sedang menyelesaikan penulisan disertasi dan kuliah S3. UIN MALIKI Malang menargetkan dalam waktu tidak lama semua dosen berpendidikan doktor. Jika semua telah berpendidikan doktor, dan mereka memiliki komitmen yang tinggi dalam pengembangan keilmuan masing-masing melalui penelitian ditunjang dengan situasi dan iklim akademik yang kondusif, maka mereka akan menjadi lokomotif pengembangan Universitas. Cita-cita menjadikan UIN MALIKI Malang sebagai perguruan tinggi yang mengembalikan masa kejayaan peradaban Islam bukan impian.
Keunggulan dalam pengembangan ilmu itulah yang selalu didengung-dengungkan oleh Rektor di berbagai kesempatan. UIN MALIKI Malang lahir tidak dengan tujuan, melainkan dengan misi utama mengembalikan kejayaan peradaban Islam. Karena itu, berbagai konsep pemikiran baru dalam pengembangan pendidikan Islam harus terus dilahirkan dari Universitas ini. Itulah Unviersitas unggul !
Share:

Penelitian sebagai Pilar Utama Perguruan Tinggi





Penelitian sebagai Pilar Utama Perguruan Tinggi



Secara konvensional, perguruan  tinggi, baik yang berbentuk universitas, institut, sekolah tinggi, maupun politeknik, memiliki tiga tugas utama, yakni pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat yang lazim disebut sebagai Tri Dharma Perguruan Tinggi. Bagi masyarakat kampus, istilah Tri Dharma bukan barang asing. Tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa perhatian pengelola perguruan tinggi pada ketiganya tidak seimbang. Kegiatan pendidikan dan pengajaran  memperoleh perhatian  jauh di atas yang lain, sehingga seolah-olah hanya itu tugas perguruan tinggi, walau diakui sudah ada beberapa perguruan tinggi yang benar-benar kegiatan penelitiannya sudah berkembang sangat baik, bahkan sudah menyebut dirinya sebagai research university. Sebenarnya tanpa harus melabel diri sebagai research university, perguruan tinggi otomatis harus menjalankan tugas-tugas penelitian.
Karena hanya bertumpu pada pendidikan dan pengajaran, maka peran perguruan tinggi hanya sebagai lembaga pentransfer ilmu pengetahun. Dengan kata lain, perguruan tinggi hanya bertugas memindahkan ilmu pengetahuan dari dosen ke mahasiswa, dan karenanya merupakan sebuah kesalahan serius. Padahal, salah satu tugas utama perguruan tinggi adalah mengembangkan dan memproduksi ilmu pengetahuan (to develop and to produce knowledge). Bagaimana mungkin bisa berperan sebagai lembaga pengembang dan penemu ilmu pengetahuan, jika perguruan tinggi tidak mengembangkan program penelitian. Dengan istilah yang agak kasar, saya membayangkan tanpa penelitian perguruan tinggi tak ubahnya seperti  lembaga kursus. Lembaga kursus memang tidak ada tuntutan mengembangkan penelitian untuk memproduksi  ilmu pengetahuan.
Melalui  penelitian, akan ditemukan hal-hal baru, rumus baru, dan solusi baru terhadap berbagai persoalan kehidupan masyarakat yang semakin hari semakin kompleks. Masyarakat yang hidup di abad ke-21 ini merasakan betapa kompleksnya persoalan yang mereka hadapi.  Kemajuan teknologi dan industri yang demikian pesat ternyata dibarengi dengan persoalan yang demikian kompleks, mulai dari masalah migrasi internasional, komunikasi, perdagangan, budaya, hingga pemanasan global dqn sebagainya yang merupakan ekses langsung dan tidak langsung dari kemajuan teknologi. Ketika para pakar menciptakan teknologi canggih tidak membayangkan bahwa di balik itu juga akan muncul persoalan yang sangat kompleks. Sekadar contoh, masalah ekonomi tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan atau teori ekonomi saja, tetapi juga memerlukan sosilologi, hukum, budaya, dst. Begitu pula masalah kekerasan agama, tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan agama, tetapi juga sosial kemasyarakatan, hukum, dan bahkan politik.
Kompleksitias persoalan di masyarakat  menuntut tanggung jawab perguruan tinggi sebagai institusi yang paling syah untuk menemukan jawaban permasalahan tersebut secara ilmiah. Perguruan tinggi bukan lembaga yang lepas dan berdiri sendiri di luar masyarakat. Ia merupakan bagian dari masyarakat. Karena itu, sudah menjadi kewajibannya jika perguruan tinggi selalu mengikuti dinamika persoalan yang terjadi di masyarakat. Perguruan tinggi memang bukan institusi pengambil keputusan yang bisa mengeksekusi sebuah masalah, melainkan lembaga yang memberikan kontribusi untuk menyelesaikan masalah.
Persoalan klasik yang dihadapi perguruan tinggi  terkait dengan kemandekan penelitian adalah keterbatasan  dana. Sebenarnya persoalan ini bisa diselesaikan dengan cara bekerjasama dengan berbagai lembaga, baik pemerintah maupun  swasta. Belajar dari pengalaman perguruan tinggi yang sudah mapan di Barat, produk penelitian perguruan tinggi dinanti baik oleh lembaga-lembaga swasta maupun pemerintah sebagai bahan evaluasi dan pengambilan kebijakan lebih lanjut. Tentu pemerintah dan lembaga swasta bisa memanfaatkan hasil penelitian  karena kualitas penelitiannya baik dan hasilnya bisa dipertanggungjawabkan (credible).
Karena itu, solusinya adalah perguruan tinggi harus lebih dulu mengembangkan program penelitian yang berkualitas dengan hasil yang credible agar memperoleh kepercayaan publik. Selama ini ada kesan kegiatan penelitian tidak serius dan dijalankan sekadar mengisi kegiatan rutin untuk  kenaikan pangkat, sehingga  wajar jika hsilnya kurang  maksimal. Akhirnya, dokumen hasil penelitian hanya menjadi tumpukan kertas yang tak bernilai.  Untuk itu, membekali para dosen dengan pengetahuan dan ketrampilan melakukan penelitian mesti memperoleh prioritas utama dari para pimpinan perguruan tinggi.
Selain itu, untuk menunjang tercapainya  hasil penelitian yang baik adalah dengan memillih beberapa program studi  yang sudah mapan sebagai pilot project untuk  basis pengembangan penelitian dasar. Misalnya,  sebuah perguruan tinggi memiliki dua atau tiga program studi yang baik di bidang  sains atau ilmu sosial, maka  perhatian atau fokus pengembangan penelitian bisa diawali dari  bidang-bidang itu. Di perguruan tinggi agama, misalnya, fokus penelitian bisa pada bidang-bidang sosial keagamaan. Tampaknya, kemandekan kegiatan penelitian  di perguruan tinggi di Indonesia selama ini karena tidak fokus pada jenis penelitian keilmuan tertentu. Semuanya ingin dikembangkan, sehingga hasilnya tidka maksimal. Padahal, sumber dana dan daya terbatas.
Yang tidak kalah pentingya lagi adalah penguatan kelembagaan yang mengurusi penelitian, misalnya Lembaga Penelitian (Lemlit), dengan (1) penguatan organisasi, (2)  pengembangan jaringan kerjasama dan komunikasi dengan lembaga-lembaga  penelitian di luar universitas, (3) pembentukan budaya riset sivitas akademika universitas, dan (4) menampilkan hasil-hasil penelitian yang sudah ada pada jurnal penelitian Lemlit.
Sebagai catatan penutup mengembangkan penelitian bukan pekerjaan mudah. Ini memerlukan keahlian khusus, kerja keras, dan menyenangi “kerja penelitian’. Kenyataannya perguruan tinggi yang sudah layak disebut sebagai universitas riset memerlukan waktu bertahun-tahun untuk melahirkan budaya meneliti warga kampusnya. Sulit, tetapi harus dilakukan jika perguruan tinggi tidak mau disebut sebagai lembaga kursus.
Share:

Cara Rasulullah Menjaga Kesehatan Diri



1.> SELALU BANGUN SEBELUM SUBUH

Rasulullah mengajak umatnya untuk bangun sebelum Subuh bagi melaksanakan solat sunat, solat fardhu dan solat Subuh secara berjemaah.

Hal ini memberi hikmah yang mendalam antaranya mendapat limpahan pahala, kesegaran udara subuh yang baik terutama untuk merawat penyakit tibi serta memperkuatkan akal fikiran.

2.> AKTIF MENJAGA KEBERSIHAN

Rasulullah sentiasa bersih dan rapi. Setiap Kamis atau Jumat, Baginda mencuci rambut halus di pipi, memotong kuku, bersikat serta memakai minyak wangi.

“Mandi pada hari Jumat adalah sangat dituntut bagi setiap orang dewasa. Demikian pula menggosok gigi dan pemakai harum-haruman.” (HR. Muslim)

3.> TIDAK PERNAH MAKAN BERLEBIHAN

Sabda Rasulullah saw yang bermaksud: “Kami adalah satu kaum yang tidak makan sebelum lapar dan apabila kami makan tidak terlalu banyak (tidak sampai kekenyangan).”(Muttafaq Alaih)
Dalam tubuh manusia ada tiga ruang untuk tiga benda: Sepertiga untuk udara, sepertiga untuk air dan sepertiga lainnya untuk makanan.

Bahkan ada satu pendidikan khusus bagi umat Islam iaitu dengan berpuasa pada Ramadan bagi menyeimbangkan kesihatan selain Nabi selalu berpuasa sunat.

4.> GEMAR BERJALAN KAKI

Rasulullah berjalan kaki ke masjid, pasar, medan jihad danmengunjungi rumah sahabat. Apabila berjalan kaki, peluh pasti mengalir, roma terbuka dan peredaran darah berjalan lancar.
Ini penting untuk mencegah penyakit jantung. Berbandingkita sekarang yang lebih selesa menaiki kenderaan. Kalau mahu meletakkan kenderaan, mesti letak betul-betul di hadapan tempat yang hendak kita pergi.

5.> TIDAK PEMARAH

Nasihat Rasulullah ‘jangan marah’ diulangi sampai tiga kali. Ini menunjukkan hakikatkesihatan dan kekuatan Muslim bukanlah terletak pada jasad, tetapi lebih kepada kebersihan jiwa.
Ada terapi yang tepat untuk menahan perasaan marah iaitu dengan mengubah posisi ketika marah, bila berdiri makahendaklah kita duduk dan apabila sedang duduk, maka perlu berbaring.
Kemudian membaca Ta’awwudzkerana­ marah itu daripada syaitan, segera mengambil wudhu’ dan solat dua rakaat bagi mendapat ketenangan serta menghilang kan gundah di hati.

6.> OPTIMIS DAN TIDAK PUTUS ASA

Sikap optimis memberikan kesan emosional yang mendalam bagi kelapangan jiwa selain perlu banyakkan sabar, istiqamah, bekerja keras serta tawakkal kepada Allah SWT

7.> TIDAK PERNAH IRI HATI
Bagi menjaga kestabilan hati dan kesehatan jiwa, semestinya kita perlu menjauhi daripada sifat iri hati. “Ya Allah, bersihkanlah hatiku dari sifat-sifat mazmumah dan hiasilah diriku dengan sifat-sifat mahmudah.”

8.> PEMAAF

Pemaaf adalah sifat yang sangat dituntut bagi mendapatkan ketenteraman hati dan jiwa. Memaafkan orang lain membebaskan diri kita daripada dibelenggu rasa kemarahan.

Sekiranya kita marah, maka marah itu melekat pada hati. Justeru, jadilah seorang yang pemaaf kerana yang pasti badan sihat.
“BAHAGIA sebenarnya bukan MENDAPAT tetapi dengan MEMBERI. Sebenarnya, banyak lagi cara hidup sihat Rasulullah. Semoga hati kita semakin dekat dengan Nabi yang amat kita rindukan pertemuan dengannya.”

Subhanallah

Semoga Bermanfaat yah
Share:

Pengorbanan Istri Yang Sering Tidak Disadari Suami


Pengorbanan Istri Yang Sering Tidak Disadari Suami


Wanita adalah karunia terindah yang ada dan penting di dunia, tapi banyak perjuangan dan pengorbanan wanita tidak di ketahui Pria.

1. Ketika suami menikah lagi, dan perempuan berusaha menerima (karena alasan ekonomi atau agama atau alasan apapun), ia akan duduk sendiri di setiap malam dalam gelap kamar saat suaminya tengah mendekap mesra seorang perempuan lain di ranjang lain. Ia akan (mungkin) menangis karena terluka, tapi demi anak-anak ia akan berusaha menerimanya dengan sabar.

2.Sebagai istri ia siap mengorbankan impian-impiannya demi mengurus suami (yang kadang bersifat kekanak-kanakan dan minta diurus) dan anak-anak yang bandel.

3.Ketika suami mencela masakannya, ia akan bersusah payah belajar masak dari siapapun untuk bisa menghidangkan makanan dengan rasa terbaik pada suami dan anak-anaknya.

4. Ia bekerja 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Jam kerjanya tak berbatas. ia bangun ketika siapapun di rumah belum bangun, mulai bekerja, memasak,membersihkan rumah, mencuci pakaian, lalu mengurus suami sebelum pergi kerja, mengurus anak-anak berangkat sekolah, ketika pakaian kering di jemuran ia akan mengangkatnya, dan menyetrika dengan rapi.

5. Kemudian setelah begitu capek mengurus rumah tangga, malam giliran memenuhi ini itu suaminya. Mulianya seorang istri adalah: tukang masak, tukang cuci, cleaning service, babu dan wanita penghibur digabung jadi satu.

6. Ketika suaminya menginginkan punya anak 4,5,6 atau 9 orang, ia sebagai istri harus siap menderita mengandung anak dan bertarung nyawamelahirkannya. Suami kadang gak terlalu paham penderitaan macam begini karena mereka tidak mengalaminya.

7. Meski laki-laki tak paham benar, tapi Allah Maha Mengerti, karena itulah ia memberi reward pada pengorbanan perempuan. Bagi yang meninggal karena melahirkan anak, Tuhan langsung memberinya surga. Bagi istri yang setia bekerja mengurus rumah tangganya, dengan sabar dan ikhlas, maka silahkanlah ia masuk surga dari pintu mana saja ia suka.
Share:

Search This Blog