Syarat Mufti Dan Fatwa KOPI LUWAK



Syarat - syarat mufti
Seorang mufti (pemberi Fatwa) tentulah orang yang mempunyai wawasan keilmuan yang luas, agar yang difatwakannya tentang suatu masalah hukum sesuai dengan yang sebenarnya. Abu Ishaq Ibrahim3 menguraikan secara detail tentang syarat-syarat seorang mufti, yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.  Harus Mengetahui sumber hukum,  yaitu al-Qur‟an dan sunah, baik qauliyah, fi’liyah dan taqririyah;
2. Mengetahui cara mengambil hukum dari keduanya;
3. Mengetahui kaidah-kaidah ushul fiqh;
4. Mengetahui bahasa Arab dan tata bahasa Arab;
5. Mengetahui nasakh, mansukh, dan hukum-hukumnya;
6. Mengetahui ijma’  dan khilafiyah ulama terdahulu;
7. Mengetahui cara mengqiyas dan hukum-hukumya;
8. Mengetahui ijtihad;
9. Mengetahui cara mengambil ‘illat dan urutan dalil-dalil;
10. Mengetahui cara mentarjih;
11. Harus orang yang dipercaya dan jujur; dan
12. Orang yang tidak menganggap enteng dalam soal agama.   
Mufti adalah panutan dan ikutan kaum muslimin, karena itu disamping ia ahli al-Qur‟an dan hadits, ia juga seorang yang mempunyai akhlakul karimah (budi pekerti yang mulia), sabar tidak pemarah, bilaksana, selalu memikirkan kepentingan kaum muslimin.
Sehubungan dengan hal di atas, Imam Ahmad Ibn Hambal sepertinya mengidentikkan syarat-syarat seorang mufti dengan sifat-sifat yang dimiliki seorang mufti, sebagaimana dikutip oleh Kamal Mukhtar sebagai berikut:
1. Mufti memberi fatwa dengan niat semata-mata mencari keridhaan Allah SWT., bukan untuk sesuatu kepentingan seperti untuk mencari pangkat, kedudukan, kekayaan, kekuasaan dan sebagainya. Dengan adanya niat yang seperti itu, maka Allah SWT. akan memberinya petunjuk dalam melaksanakan tugasnya itu.
 2.  Hendaklah seorang mufti itu berwibawa, sabar dan dapat menguasai dirinya, tidak cepat marah dan tidak suka menyombongkan diri.
3. Mufti itu hendaklah seorang yang berkecukupan hidupnya, tidak menggantungkan hidupnya kepada orang lain. Dengan hidup ber kecukupan itu ia dapat memperdalam ilmunya, dapat mengemukakan kebenaran sesuai dengan kehendak Allah dan Rasul-Nya, sukar dipengaruhi pendapatnya oleh orang lain.
4. Hendaklah seorang mufti mengetahui ilmu kemasyarakatan, karena ketetapan hukumnya  harus diambil setelah memperhatikan kondisi masyarakat, memperhatikan perubahan-perubahan dan sebagainya, sehingga fatwanya tidak menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat, sekaligus dapat diterima dan tidak bertentangan dengan hukum Allah dan Rasul-Nya.
Selanjutnya Imam Syafi‟i mengatakan, bagi yang berfatwa (mufti) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Mengetahui kitab Allah (al-Qur‟an), nasakh-mansukh, takwil- tanzilnya, makiyah–madaniyahnya, dan segala sesuatu yang menyangkut al-Qur‟an itu sendiri.
2. Mengetahui hadis Rasulullah SAW., nasakh-mansukhnya, pengetahuannya tentang hadis ini kira-kira sama dengan pengetahuannya tentang al-Qur‟an.
3. Mengetahui bahasa Arab beserta kaidah-kaidanya yang dengan pengetahuan bahasa Arabnya itu difahaminya al Qur‟an dan sunnah. Disyaratkan juga pengetahuannya tentang  hal-hal yang tersebut di atas digunakannya dengan kesadaran yang tinggi.  
Syarat-syarat yang dikemukakan Imam Syafi‟i di atas adalah syarat- syarat yang hampir sama dengan syarat–syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid muthlaq yang dapat memberikan fatwa dalam segala masalah yang berhubungan dengan hukum.
Sebagai bahan perbandingan, ada baiknya dilihat pula 3 (tiga) kelompok syarat berijtihad yang telah disepakati para ulama,7 yaitu:
1. Syarat-syarat umum:
a. Dewasa;
b. Sehat fikirannya;
c. Sangat kuat daya tangkapnya dan ingatannya (IQ-nya tinggi);
d. Islam.
 2. Syarat-syarat pokok:
a. Menguasai al-Qur‟an dan ilmu-ilmu al-Qur‟an, terutama ayat-ayat hukumnya, asbab an-nuzul-nya, nasakh-mansukhnya dan sebagainya;
b. Menguasai hadits dan ilmu-ilmu hadits, terutama mengenai hadits hasan, nasakh mansukh dan sebagainya;
c. Menguasai bahasa Arab dan ilmu-ilmu bahasa, termasuk Nahwu- Sharaf, Balaghah, Fiqh al-Lughah dan Adabu al-Jahili.
d. Menguasai ilmu ushul fiqh;
e. Memahami benar-benar tujuan-tujuan pokok syari‟at Islam;
 f. Memahami benar-benar qawaid al-kulliyah/qawa’id al- fiqhiyah.
3. Syarat-syarat pelengkap.
a. Mengetahui tidak ada dalil yang qath’i tentang kasus yang dihadapi;
b. Mengalami masalah yang telah tercapai konsensus, masalah- masalah khilafiyah dan masalah-masalah yang belum ada kepastian hukumnya.
Berfatwa dalam beberapa hal sebenarnya merupakan proses lanjut dari berijtihad, karena definisi ijtihad itu sendiri adalah seperti yang dikatakan sebagian ulama ushul: “Mempergunakan segala kesanggupan untuk mengeluarkan hukum syara‟ dari kitabullah dan hadis Rasul”.
Walaupun syarat-syarat mufti hampir sama dengan syarat-syarat mujtahid, tetapi tidak semua yang difatwakan itu merupakan hasil ijtihad. Artinya ada juga fatwa yang dikeluarkan merupakan butir-butir hukum yang sudah jelas rumusannya di dalam al-Qur‟an dan sunnah. Dengan demikian, apabila yang difatwakan itu sudah jelas rumusannya di dalam al-Qur‟an dan sunnah, maka syarat-syarat seorang mufti seperti yang kemukakan Imam Syafi‟i tidak disyaratkan lagi. Hal ini dapat dilihat pada fatwa-fatwa yang muncul setelah berlalunya periode tasyri’ masa imam-imam mujtahid.
Abdul Karim Amrullah mengatakan; “Bahwasanya setengah daripada syarat-syarat orang yang akan berfatwa, hendaklah dia ‘alim (mengerti betul) dengan fiqh, ushul dan furu’nya, yaitu sanggup dan sedia (taahhul) pengetahuannya dalam perkara itu”.
Dimaksudkan dengan ‘alim bukanlah bahwa hendaknya hadir segala ilmu itu pada otaknya setiap waktu, tetapi orang ‘alim adalah orang yang selalu berusaha memperkecil berbuat yang salah dan memperbesar jumlah berbuat yang baik  dalam rangka membersihkan jiwanya dari kotoran- kotoran hal-hal yang maksiat.
Mempunyai pengetahuan tentang ushul, maksudnya ialah orang yang mengetahui tentang dali-dalil yang 5 (lima), demikian juga mengetahui cara- cara yang dapat dipakai ketika mengambil hukum apabila terdapat dalil-dalil yang berlawanan/bertentangan antara satu dengan yang lain, hendaklah ia tahu pula masalah-masalah mana yang sudah di ijma‟kan para ulama, supaya dalam fatwanya tidak menyalahi ijma’ itu.
Tentang pengetahui mengenai masalah furu’, maksudnya hendaklah ia mengetahui masalah yang sudah disepakati ulama dan mana yang belum disepakati, termasuk juga di sini adanya pengetahuan tentang ilmu nahwu, sharaf, bayan yang semuanya itu berhubungan dengan bahasa Arab sekedar yang diperlukan dalam mengambil (mengistimbatkan) hukum.
Kemudian hendaklah ada pengetahuannya mengenai masalah hadis dan perawi-perawinya, sehingga dapat diketahuinya mana yang dapat diterima  dan mana yang ditolak, demikian juga pengetahuannya tentang tafsir. Pengetahuannya tentang tafsir dan hadits ini sudah memadai kiranya dengan mengetahui kitab-kitab yang mu’tamad dan mu’tabar dikalangan umat Islam, begitu juga dengan ilmu nasakh mansukh.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa seorang mufti bisa memfatwakan semua masalah hukum, apabila telah memenuhi syarat- syarat sebagai seorang mujtahid. Seorang mufti yang hanya mengungkap kembali suatu rumusan hukum yang sudah ada, seperti di dalam al-Qur‟an dan sunnah, Ijma‟, fatwa shahabi atau hasil-hasil ijtihad para mujtahid sebelumnya, maka ia tidak harus memenuhi semua syarat mujtahid. Cukup memadai jika ia dapat mempertanggungjawabkan sumber pengambilan hukum-hukum yang difatwakan itu.





FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor : 07 Tahun 2010
Tentang KOPI LUWAK

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) setelah :
MENIMBANG        :a.bahwa di masyarakat muncul usaha kopi luwak, di mana kopi tersebut berasal dari biji kopi yang dimakan oleh luwak dan kemudian dikeluarkan kembali bersama kotorannya, kemudian diolah kembali menjadi serbuk kopi yang dikonsumsi masyarakat dan dikenal dengan kopi luwak;
b.bahwa terhadap masalah tersebut, muncul pertanyaan di   tengah masyarakat terkait  hukum mengonsumsi kopi luwak.
c.bahwa oleh karena itu dipandang perlu adanya fatwa tentang Kopi Luwak sebagai pedoman bagi masyarakat, baik dalam rangka memproduksi, menjual, maupun mengonsumsi kopi luwak.
MENGINGAT         :        1.Firman Allah SWT:
وَكُلُواْ مِمَّا رَزَقَكُمُ اللّهُ حَلاَلاً طَيِّباً وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِيَ أَنتُم بِهِ مُؤْمِنُونَ -٨٨
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.”
(QS. Al-Ma’idah [5] : 88)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُلُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُواْ لِلّهِ إِن كُنتُمْ
 إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ -١٧٢
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah”. (QS. Al-Baqarah [2] : 172
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّباً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ -١٦٨-
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah- langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (Al-Baqarah [2] : 168)
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاء فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ -٢٩-
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan- Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah [2] : 29)
قُل لاَّ أَجِدُ فِي مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَّسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقاً أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ -١٤٥-
“Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS. Al-An’am [6] : 145

وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَآئِثَ -١٥٧-
“….. dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang …. (QS. Al-A’raf [7] : 157)
          2.Hadits Rasulullah s.a.w. antara lain:
"Yang halal adalah sesuatu yang dihalalkan oleh Allah dalam Kitab-Nya, dan yang haram adalah apa yang diharamkan oleh Allah dalam Kitab-Nya; sedang yang tidak dijelaskan-Nya adalah yang dimaafkan." (HR. al-Tirmidzi & Ibnu Majah)
"Apa-apa yang dihalalkan oleh Allah dalam Kitab-Nya (al- Qur'an) adalah halal, apa-apa yang diharamkan-Nya hukumnya haram, dan apa-apa yang Allah diamkan/tidak dijelaskan hukumnya, dimaafkan. Untuk itu terimalah pemaafan-Nya, sebab Allah tidak pernah lupa tentang suatu apa pun." (HR. al- Hakim)
Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban: jangan kamu abaikan, telah menetapkan beberapa batasan, janganlah kamu langgar, telah mengharamkan beberapa hal, janganlah kamu rusak, dan tidak menjelaskan beberapa hal sebagai kasih sayang kepadamu, bukan karena lupa, maka janganlah kamu tanya-tanya hukumnya." (HR. Daraquthni dan dinilai sahih oleh Imam Nawawi) 3.Qaidah Fiqhiyyah:
          3.Qaidah Fiqhiyyah:
"Hukum asal sesuatu yang bermanfaat adalah boleh dan hukum asal sesuatu yang berbahaya adalah haram."
"Hukum asal mengenai sesuatu adalah boleh selama tidak ada dalil muktabar yang mengharamkannya."
"Hukum asal mengenai sesuatu adalah boleh selama tidak ada dalil muktabar yang mengharamkannya."
MEMPERHATIKAN :
1.    Pendapat dalam Kitab al-Majmu' Juz 2 halaman 573, yang menerangkan jika ada hewan memakan biji tumbuhan kemudian dapat dikeluarkan dari perut, jika tetap kondisinya dengan sekira jika ditanam dapat tumbuh maka tetap suci:
"Jika ada hewan memakan biji tumbuhan kemudian dapat dikeluarkan dari perut, jika kekerasannya tetap dalam kondisi semula, dengan sekira jika ditanam dapat tumbuh maka tetap suci akan tetapi harus disucikan bagian luarnya karena terkena najis.....
2.    Pendapat dalam Kitab Nihayatul Muhtaj juz II halaman 284:
"Ya, jika biji tersebut kembali dalam kondisi semula sekira ditanam dapat tumbuh maka statusnya adalah mutanajjis, bukan najis. Bisa dipahami, pendapat yang menegaskan kenajisannya kemungkinan jika tidak dalam kondisi kuat. Sementara, pendapat yang menegaskan sebagai mutanajjis kemungkinan karena dalam kondisi tetap; sebagaimana barang yang terkena kotoran lain. Analog dengan biji-bijian adalah pada masalah telur, jika keluar dalam kondisi utuh setelah ditelan dengan sekira ada kekuatan untuk dapat menetas, maka hukumnya mutanajjis, bukan najis."
3.    Pendapat dalam kitab Hasyiyah I'anatu al-Thalibin Syarh Fath al-Mu'in juz I halaman 82 yang menerangkan jika ada hewan memuntahkan biji tumbuhan atau mengeluarkannya melalui kotoran, jika biji tersebut keras, sekira ditanam dapat tumbuh maka statusnya adalah mutanajjis:
"Jika ada hewan memuntahkan biji tumbuhan atau mengeluarkannya melalui kotoran, jika biji tersebut keras, [redaksi dalam kitab Nihayah "ya jika biji tersebut kembali dalam kondisi semula sekira ditanam dapat tumbuh maka statusnya adalah mutnajjis, bukan najis. Bisa dipahami, pendapat yang menegaskan kenajisannya kemungkinan jika tidak dalam kondisi kuat. Sementara, pendapat yang menegaskan sebagai mutanajjis kemungkinan karena dalam kondisi tetap; sebagaimana barang yang terkena kotoran lain.....]. (Perkataanya: tidak menejelaskan) maksudnya fuqaha. dan perkataanya: "Hukum masalah biji-bijian sebagaimana telur, kacang-kacangan dan buah-buahan dan sejenisnya, apabila dimuntahkan oleh hewan atau dikeluarkan melalui kotoran, maka berkata pengarang Nihayah: "Analog dengan biji-bijian adalah pada masalah telur, jika keluar dalam kondisi utuh setelah ditelan dengan sekira ada kekuatan untuk dapat menetas, maka hukumnya mutanajjis, bukan najis."
4.    Hasil rapat Kelompok Kerja Komisi Fatwa MUI Bidang Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika beserta TIM LPPOM MUI pada 2 Juni 2010.
5.    Makalah Dr. K.H. Munif Suratmaputra dan penjelasan Tim LPPOM MUI yang disajikan pada Rapat Komisi Fatwa tanggal 16 Juni 2010.
6.    Penjelasan LPPOM MUI atas pertanyaan dari Komisi Fatwa mengenai kemungkinan tumbuhnya biji kopi yang telah dimakan luwak pada rapat Komisi Fatwa MUI tanggal 14 juli 2010, yang pada intinya menyatakan secara umum biji kopi yang keluar dari kotoran luwak tidak berubah dan dapat tumbuh jika ditanam.
7.    Pendapat peserta rapat-rapat komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia, mulai tanggal 2 Juni 2010 hingga terakhir pada tanggal 20 Juli 2010.
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT
MEMUTUSKAN :
MENETAPKAN      : FATWA TENTANG KOPI LUWAK
Pertama               : Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan: Kopi Luwak adalah kopi yang berasal dari biji kopi yang dimakan oleh luwak ( paradoxorus hermaproditus ) kemudian keluar bersama kotorannya dengan syarat:
1. biji kopi masih utuh terbungkus kulit tanduk.
2. dapat tumbuh jika ditanam kembali.
Kedua                   : Ketentuan Hukum
1.Kopi Luwak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan umum adalah mutanajjis (barang terkena najis), bukan najis.
2.Kopi Luwak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan umum adalah halal setelah disucikan.
3.Mengonsumsi Kopi Luwak sebagaimana dimaksud angka 2 hukumnya boleh.
4.Memproduksi dan memperjualbelikan Kopi Luwak hukumnya boleh.

Ketiga                  : Ketentuan Penutup
1.Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
2.Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini.



Share:

Disyariatkannya Hijab Oleh Para Wanita


Disyariatkannya Hijab Oleh Para Wanita

Wanita di masajahiliyah (sebelum diutusnya Rasulullah shallallahu‘alaihiwasallam), mereka belum disyariatkan memakai hijab/jilbab.  Kedudukan kaum wanita itu sangat rendah.  Hal ini bisa dilihat dengan perlakuan meraka yang kurang atau bahkan tidak dihormati oleh kaum laki-laki.  Wanita yang tidak memakai jilbab, biasanya dianggap remeh dan dianggap yang tidak baik oleh kaum laki-laki.  Akibatnya mereka sering mendapatkan berbagai macam gangguan, bentuk gangguannya lebih sering berupa berbagai macam pelecehan.
Bentuk pelecehan ini sering berupa pelecehan seksual, kaum laki-laki akan mengganggu wanita dari segi seksual karena penampilan mereka yang bebas membuka aurat (tidak memakai jilbab/kerudung).  Akibatnya banyak dari kaum wanita itu yang menjadi korban dari kelakuan dengan gangguan kaum laki-laki.  Setelah Nabi Muhammad SAW diutus oleh Allah untuk memperbaiki tingkah laku (ahklak) manusia agar manusia menjadi lebih baik dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Dengan banyaknya kejadian semacam itu maka Allah SWT memerintah Rasulullah SAW agar beliau menyuruh (mensyariatkan) wanita-wanita mukimin, terutama istri-istri dan anak-anak perempuan supaya mengulurkan jilbab keseluruh tubuh mereka  (berkerudung).  Dengan telah disyariatkan bahwa kaum wanita wajib untuk memakai jilbab.  Maka kedudukan wanita berubah 180 derajat dari masa dimana belum diperintahkannya memaka jilbab.  Dimana yang dahulu lebih condong untuk dilecehkan sekarang menjadi lebih dihormati kedudukannya.
Tidak lain diperintahkannya memakai jilbab, yaitu agar wanita merubah penampilannya untuk selalu menutup aurat mereka, sehingga dampak dari menutup aurat mereka ialah untuk meminimalisir gangguan atau bahkan tidak akan ada lagi gangguan dari kaum laki-laki.    Kaum wanita jika sudah memakai jilbab maka secara tidak langsung, mereka akan terlihat lebih terhormat dan disegani.  Selain itu yang hikmah dari memkai jilbab yaitu agar bisa mudah dikenal antara wanita muslim dan wanita non-muslim.  Ada banyak pula manfaat bagi wanita untuk memakai jilbab yang dipandang dari berbagai aspek kesehatan, lingkungan dan lain-lain.
Islam sebagai rahmatallil’alamin,  sangat menghargai dan menjunjung martabat kaum wanita.  Melalui Rasulullah SAW, Islam  merombak tatanan kehidupan budaya kaum jahiliyah dan menghapus seluruh bentuk kezhaliman-kezhaliman yang menimpa kaum wanita dan mengangkat derajatnya sebagai martabat manusiawi.  Islam menunjukkan bahwa kaum wanita bukanlah alat untuk penindasan bahkan mereka diposisikan yang paling utama.


        Oleh ;
Khamim Muhammad Ma’rifatulloh


Share:

Ada 7 Keajaiban Dunia Yang Lebih Ajaib lagi



Ada 7 Keajaiban Dunia Yang Lebih Ajaib lagi
=∞=∞=∞=∞=∞=∞=∞=∞=∞=∞=∞=∞=∞=∞=∞=∞=


Bismillahir Rahmanir Rahim

Menara Pisa, Tembok Cina, Candi Borobudur, Taaj Mahal, Ka’bah, Menara Eiffel, dan Piramida di mesir, inilah semua keajaiban dunia yang kita kenal. Namun sebenarnya semua itu belum terlalu ajaib, karena di sana masih ada tujuh keajaiban dunia yang lebih ajaib lagi. Mungkin para pembaca bertanya-tanya, keajaiban apakah itu?

1.> Hewan Yang Bisa Berbicara

Hewan aneh yang berbicara ini akan keluar di akhir zaman sebagai tanda akan datangnya kiamat dalam waktu yang dekat. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

“Sesungguhnya tak akan tegak hari kiamat, sehingga kalian akan melihat sebelumnya 10 tanda-tanda kiamat: Gempa di Timur, gempa di barat, gempa di Jazirah Arab, Asap, Dajjal, hewan bumi, Ya’juj & Ma’juj, terbitnya matahari dari arah barat, dan api yang keluar dari jurang Aden, akan menggiring manusia“. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (2901), Abu Dawud dalam Sunan-nya (4311), At-Tirmidziy dalam Sunan-nya (2183), dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (4041)]

2. Pohon Kurma yang Menangis

Adanya pohon kurma yang menangis ini terjadi di zaman Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- , mengapa sampai pohon ini menangis? Kisahnya, Jabir bin Abdillah-radhiyallahu ‘anhu- bertutur,

“Jabir bin Abdillah -radhiyallahu ‘anhu- berkata: “Adalah dahulu Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- berdiri (berkhutbah) di atas sebatang kurma, maka tatkala diletakkan mimbar baginya, kami mendengar sebuah suara seperti suara unta dari pohon kurma tersebut hingga Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- turun kemudian beliau meletakkan tangannya di atas batang pohon kurma tersebut” .[HR.Al-Bukhariy dalam Shohih-nya (876)]

Ibnu Umar-radhiyallahu ‘anhu- berkata,

“Dulu Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkhuthbah pada batang kurma. Tatkala beliau telah membuat mimbar, maka beliau berpindah ke mimbar itu. Batang korma itu pun merintih. Maka Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- mendatanginya sambil mengeluskan tangannya pada batang korma itu (untuk menenangkannya)“. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (3390), dan At-Tirmidziy dalam Sunan-nya (505)]

3. Untaian Salam Batu Aneh

Mungkin kalau seekor burung yang pandai mengucapkan salam adalah perkara yang sering kita jumpai. Tapi bagaimana jika sebuah batu yang mengucapkan salam. Sebagai seorang hamba Allah yang mengimani Rasul-Nya, tentunya dia akan membenarkan seluruh apa yang disampaikan oleh Rasul-Nya, seperti pemberitahuan beliau kepada para sahabatnya bahwa ada sebuah batu di Mekah yang pernah mengucapkan salam kepada beliau sebagaimana dalam sabdanya,

Dari Jabir bin Samurah dia berkata, Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Sesungguhnya aku mengetahui sebuah batu di Mekah yang mengucapkan salam kepadaku sebelum aku diutus, sesungguhnya aku mengetahuinya sekarang“.[HR.Muslim dalam Shohih-nya (1782)].

4. Pengaduan Seekor Onta

Manusia adalah makhluk yang memiliki perasaan. Dari perasaan itu timbullah rasa cinta dan kasih sayang di antara mereka. Akan tetapi ketahuilah, bukan hanya manusia saja yang memiliki perasaan, bahkan hewan pun memilikinya. Oleh karena itu sangat disesalkan jika ada manusia yang tidak memiliki perasaan yang membuat dirinya lebih rendah daripada hewan. Pernah ada seekor unta yang mengadu kepada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- mengungkapkan perasaannya.

Abdullah bin Ja’far-radhiyallahu ‘anhu- berkata, “Pada suatu hari Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah memboncengku dibelakangnya, kemudian beliau membisikkan tentang sesuatu yang tidak akan kuceritakan kepada seseorang di antara manusia. Sesuatu yang paling beliau senangi untuk dijadikan pelindung untuk buang hajatnya adalah gundukan tanah atau kumpulan batang kurma. lalu beliau masuk kedalam kebun laki-laki Anshar. Tiba tiba ada seekor onta. Tatkala Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melihatnya, maka onta itu merintih dan bercucuran air matanya. Lalu Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mendatanginya seraya mengusap dari perutnya sampai ke punuknya dan tulang telinganya, maka tenanglah onta itu. Kemudian beliau bersabda, “Siapakah pemilik onta ini, Onta ini milik siapa?” Lalu datanglah seorang pemuda Anshar seraya berkata, “Onta itu milikku, wahai Rasulullah”.

Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

“Tidakkah engkau bertakwa kepada Allah dalam binatang ini, yang telah dijadikan sebagai milikmu oleh Allah, karena ia (binatang ini) telah mengadu kepadaku bahwa engkau telah membuatnya letih dan lapar”. [HR. Abu Dawud dalam As-Sunan (1/400), Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (2/99-100), Ahmad dalam Al-Musnad (1/204-205), Abu Ya’la dalam Al-Musnad (3/8/1), Al-Baihaqiy dalam Ad-Dala’il (6/26), dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqa (9/28/1). Lihat Ash-Shahihah (20)]

5. Kesaksian Kambing Panggang

Kalau binatang yang masih hidup bisa berbicara adalah perkara yang ajaib, maka tentunya lebih ajaib lagi kalau ada seekor kambing panggang yang berbicara. Ini memang aneh, akan tetapi nyata. Kisah kambing panggang yang berbicara ini terdapat dalam hadits berikut:

Abu Hurairah-radhiyallahu ‘anhu- berkata,

“Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- menerima hadiah, dan tak mau makan shodaqoh. Maka ada seorang wanita Yahudi di Khoibar yang menghadiahkan kepada beliau kambing panggang yang telah diberi racun. Lalu Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- pun memakan sebagian kambing itu, dan kaum (sahabat) juga makan. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Angkatlah tangan kalian, karena kambing panggang ini mengabarkan kepadaku bahwa dia beracun“. Lalu meninggallah Bisyr bin Al-Baro’ bin MA’rur Al-Anshoriy. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengirim (utusan membawa surat), “Apa yang mendorongmu untuk melakukan hal itu?” Wanita itu menjawab, “Jika engkau adalah seorang nabi, maka apa yang aku telah lakukan tak akan membahayakan dirimu. Jika engkau adalah seorang raja, maka aku telah melepaskan manusia darimu”. Kemudian Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- memerintahkan untuk membunuh wanita itu, maka ia pun dibunuh. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda ketika beliau sakit yang menyebabkan kematian beliau,”Senantiasa aku merasakan sakit akibat makanan yang telah aku makan ketika di Khoibar. Inilah saatnya urat nadi leherku terputus“. [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (4512). Di-shohih-kan Al-Albaniy dalam Shohih Sunan Abi Dawud (hal.813), dengan tahqiq Masyhur Hasan Salman]

6. Batu yang Berbicara

Setelah kita mengetahu adanya batu yang mengucapkan salam, maka keajaiban selanjutnya adalah adanya batu yang berbicara di akhir zaman. Jika kita pikirkan, maka terasa aneh, tapi demikianlah seorang muslim harus mengimani seluruh berita yang disampaikan oleh Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, baik yang masuk akal, atau tidak. Karena Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidaklah pernah berbicara sesuai hawa nafsunya, bahkan beliau berbicara sesuai tuntunan wahyu dari Allah Yang Mengetahui segala perkara ghaib.

Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

“Kalian akan memerangi orang-orang Yahudi sehingga seorang diantara mereka bersembunyi di balik batu. Maka batu itu berkata, “Wahai hamba Allah, Inilah si Yahudi di belakangku, maka bunuhlah ia“. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (2767), dan Muslim dalam Shohih-nya (2922)]

Al-Hafizh Ibnu Hajar-rahimahullah- berkata, “Dalam hadits ini terdapat tanda-tanda dekatnya hari kiamat, berupa berbicaranya benda-benda mati, pohon, dan batu. Lahiriahnya hadits ini (menunjukkan) bahwa benda-benda itu berbicara secara hakikat”.[Lihat Fathul Bari (6/610)]

7. Semut Memberi Komando

Mungkin kita pernah mendengar cerita fiktif tentang hewan-hewan yang berbicara dengan hewan yang lain. Semua itu hanyalah cerita fiktif belaka alias omong kosong. Tapi ketahuilah wahai para pembaca, sesungguhnya adanya hewan yang berbicara kepada hewan yang lain, bahkan memberi komando, layaknya seorang komandan pasukan yang memberikan perintah. Hewan yang memberi komando tersebut adalah semut. Kisah ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Qur’an,

“Dan Sulaiman Telah mewarisi Daud, dan dia berkata: “Hai manusia, kami Telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) Ini benar-benar suatu kurnia yang nyata”.Dan dihimpunkan untuk Sulaiman tentaranya dari jin, manusia dan burung lalu mereka itu diatur dengan tertib (dalam barisan). Hingga apabila mereka sampai di lembah semut, berkatalah seekor semut: Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.Maka dia (Sulaiman) tersenyum dengan tertawa Karena (mendengar) perkataan semut itu. dan dia berdoa: “Ya Tuhanku berilah Aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat mu yang Telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah Aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh“. (QS.An-Naml: 16-19).

Inilah beberapa perkara yang lebih layak dijadikan “Tujuh Keajaiban Dunia” yang menghebohkan, dan mencengangkan seluruh manusia. Orang-orang beriman telah lama meyakini dan mengimani perkara-perkara ini sejak zaman Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- sampai sekarang. Namun memang kebanyakan manusia tidak mengetahui perkara-perkara itu. Oleh karena itu, kami mengangkat hal itu untuk mengingatkan kembali, dan menanamkan aqidah yang kokoh di hati kaum muslimin
Share:

Search This Blog