Antara IQ, EQ dan SQ




alam kehidupan ini kita sering menjumpai ada orang yang berhasil, dan ada pula yang gagal. Ada yang lancar dan lurus-lurus saja dalam menjalankan roda kehidupan, ada pula yang terseok-seok. Keberhasilan dan kegagalan merupakan kejadian biasa dan selalu ada dalam masyarakat mana saja. Selama bertahun-tahun, orang beranggapan bahwa keberhasilan seseorang ditentukan oleh kecerdasan intelektual (intelligence Quotient),  sering disebut  IQKecerdasan ini merupakan kemampuan untuk memecahkan masalah secara logis dan akademis. Para ahli meyakini IQ sebagai ukuran terbaik atas kecerdasan dan potensial seseorang dalam meraih sukses. Menurut teori ini, semakin tinggi IQ seseorang, semakin tinggi pula kecerdasannya. Sebaliknya, orang yang gagal dalam hidupnya dianggap memiliki IQ yang kurang baik (baca: rendah), sehingga tidak mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan tepat.
Pada pertengahan 1990-an, para ahli menemukan bentuk kecerdasan lain yang menentukan keberhasilan seseorang, yaitu EQ (Emotional Quotient), yakni suatu kemampuan berempati, bela rasa, dan memahami diri dan perasaan orang lain, dan motivasi untuk maju. EQ merupakan persyaratan dasar untuk menggunakan IQ secara efektif. Dengan demikian, IQ bukan satu-satunya kecerdasan yang menentukan keberhasilan seseorang, sebagaimana selama ini diyakini banyak orang. Temuan itu tentu saja menghebohkan banyak orang. Karena itu, seminar dan diskusi akademik yang membahas temuan baru para ahli itu semarak dilaksanakan di berbagai belahan dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Bagaimana pandangan kita atas hal tersebut? Untuk menjawabnya, kita menggunakan perspektif historis.
Ada contoh menarik. Kita semua mengenal Jepang adalah salah satu negara maju di dunia dengan tingkat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan hidup masyarakatnya yang sangat tinggi. Dengan stabilitas ekonomi yang demikian mapan, Jepang menjadi salah satu penentu perekonomian global. Produk teknologinya tersebar ke seluruh dunia. Yang lebih menarik lagi, kendati 80% wilayahnya pegunungan, pertanian Jepang juga sangat maju sehingga produk pertaniannya menjadi salah satu andalan ekspor.
Mengapa bisa demikian? Para ahli membuat analisis menarik. Ketika terlibat dalam Perang Dunia II (PD II) hingga puncaknya Nagasaki dan Hirosima dibom atom oleh tentara sekutu tahun 1945, Jepang hancur berantakan sampai titik nol. Hebatnya dalam waktu yang tidak lama Jepang bangkit dan menjadi salah satu kekuatan dunia. Pertanyaannya apakah bangsa Jepang memiliki IQ yang lebih tinggi daripada bangsa lain? Para ahli sepakat penyebabnya bukan itu. Sebab, ada banyak bangsa yang lebih dulu berperadaban maju, seperti India dan Mesir,  tetapi sampai saat ini tidak tergolong sebagai bangsa maju. Sebab, mereka tidak bekerja keras dan suka bernostalgia bahwa dulu mereka pernah maju dengan bukti peninggalan sejarah nenek moyangnya. Kalau begitu apa penyebabnya? Setelah dibom atom hingga hancur lebur, bangsa Jepang memendam luka sejarah yang sangat mendalam. Tetapi luka yang mendalam itu tidak diratapi terus menerus, melainkan justru dijadikan kekuatan untuk bangkit sehingga bisa mengalahkan bangsa yang menghancurkan mereka.
Kemampuan untuk segera lepas dari kehancuran dengan tidak meratapi peristiwa yang sudah terjadi serta keinginan kuat untuk menjadi yang terbesar bukan kecerdasan intelektual (IQ), melainkan kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ). Andai saja tidak dibom atom, mungkin Jepang tidak bangkit dan sekuat sekarang ini. Bom atom itu memang mengakibatkan kehancuran luar biasa bagi bangsa Jepang, tetapi di sisi yang lain ternyata membawa hikmah, yakni tumbuhnya kecerdasan emosional. Impian Jepang kini telah terbukti. Barat yang dimotori Amerika yang selama ini menjadi penentu ekonomi dunia dibuat tunduk oleh Jepang karena memiliki kekuatan ekonomi raksasa. Berbeda dengan negara-negara berkembang yang ekonominya rentan goyah akibat perubahan politik, Jepang tidak demikian. Ekonomi Jepang tidak terpengaruh  kendati terjadi pergantian pimpinan negara (Perdana Menteri), karena memiliki fondasi ekonomi yang sangat kuat.
Melalui EQ yang dimiliki, masyarakat Jepang bisa dengan cepat dan tepat menentukan pilihan strategi pembangunan, yakni bertumpu pada pengembangan ilmu pengetahuan untuk selanjutnya menghasilkan teknologi. Jepang tahu persis bahwa masyarakat masa depan akan banyak menggantungkan diri pada produk teknologi, yang saat ini dikenal sebagaiknowledge-based society. Sekarang menjadi kenyataan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi Jepang sangat canggih, dan produk teknologinya membanjiri pasar dunia.  Kita telah menjadi konsumen teknologi Jepang yang setia. Kemampuan Jepang untuk mampu membaca alam, dengan melihat kebutuhan manusia modern yang akan tergantung pada teknologi, dan kemampuan berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain di dunia juga bentuk lain dari kecerdasan emosi (EQ) yang dimiliki.
Selain Jepang, Singapura juga bisa dijadikan contoh sebagai sebuah negara yang bangkit setelah lepas dari Malaysia dan menjadi salah satu negara maju di Asia. Keinginan untuk maju dan sanggup bekerja keras merupakan salah satu wujud EQ yang kuat. Sebelumnya, Singapura adalah negara pulau yang tidak memiliki apa-apa, apalagi sumber alam. Sadar posisinya di antara dua negara besar, Indonesia dan Malaysia, pemimpin Singapura Lie Kuan Yew saat itu segera mengambil langkah bagaimana membawa Singapura sebagai negara maju di tengah-tengah himpitan negara-negara besar. Lie Kuan Yew mengawalinya dengan meyakinkan warganya betapa pentingya memiliki rasa percaya diri dan semangat atau  etos kerja yang tinggi dengan bertumpu pada sektor jasa, karena tidak memiliki sumber daya alam.
Awalnya tidak mudah bagi Lie Kuan Yew meyakinkan masyarakatnya. Tetapi dia tidak henti-hentinya menyampaikan keyakinannya bahwa lewat kerja keras Singapura yang secara fisik kecil akan menjadi bangsa besar. Apa yang terjadi? Lewat kerja tanpa kenal lelah dan putus asa kurang lebih selama 25 tahun, kini  gagasan tersebut menjadi kenyataan. Singapura tampil sebagai salah bangsa maju tidak saja di Asia, tetapi juga di dunia. Tingkat kesejahteraan masyarakat tinggi dengan angka korupsinya salah satu terendah di dunia. Rasa percaya diri, semangat kerja keras dan tidak korup yang ditunjukkan Singapura merupakan perwujudan dari kecerdasan emosional (EQ).
Bagaimana dengan kita? Saya sangat setuju dengan pendapat para pakar di atas bahwa IQ bukan satu-satunya penentu keberhasilan seseorang. Kita sering melihat tidak sedikit orang yang secara akademik tergolong pandai dan cerdas dengan indeks prestasi puncak sehingga diduga memiliki IQ tinggi, tetapi gagal dalam menentukan pilihan dan jalan hidupnya. Apa penyebab utama kegagalan tersebut? Tampaknya, kegagalan itu lebih karena faktor kecerdasan emosional (EQ) yang lemah daripada faktor IQ. Misalnya, mereka sulit berinteraksi dengan orang lain, suka berbohong, jika berkata menyakitkan, tidak jujur, tidak amanah, tidak punya komitmen, tidak konsisten dalam bersikap, tidak menghormati orang lain, sulit beradaptasi dengan lingkungan, dan  sebagainya. Karena itu, kita sering mendengar ungkapan “Orang ini pintar, tapi sayang komunikasinya sulit, dan tidak jujur sehingga tidak banyak orang yang memberi kepercayaan”.
Bayangkan apa yang terjadi jika kita berada dalam lingkungan yang orang-orangnya seperti itu: sulit berinteraksi, jika janji tidak ditepati, jika bicara menyakitkan, suka bohong, jika diberi tugas tidak amanah, dan tidak hormat kepada orang lain. Pandai bergaul, amanah, menghormati dan menghargai orang lain, dan jujur merupakan nilai-nilai yang terkandung dalam kecerdasan emosional (EQ). Coba perhatikan banyak orang berhasil karena menyandang nilai-nilai emosional seperti itu. Betapa enaknya jika kita bekerja dalam lingkungan yang orang-orangnya pandai, luwes bergaul, jujur, komitmen tinggi dan saling menghormati. Suasana kerja tentu akan hidup dan sangat menyenangkan sehingga meningkatkan produktivitas. Di dalam lingkungan yang sehat akan tercipta suasana batin yang baik. Suasana batin yang sehat akan melahirkan produktivitas kerja yang tinggi. Begitu urutan-urutan kausalitasnya.
Pada akhir abad ke-20, para ahli menemukan lagi bentuk kecerdasan yang lain, yakni kecerdasan spiritual, disingkat SQ, yaitu potensi untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks yang lebih luas  dan kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan dan jalan hidup seseorang menjadi lebih bermakna. Sebab, pada dasarnya manusia adalah makhluk spiritual, yakni makhluk yang selalu bertanya tentang hal-hal yang mendasar. Misalnya, mengapa manusia dilahirkan, apa makna kehidupan, apakah ada kehidupan lain setelah kehidupan dunia ini? dan sebagainya. Untuk menjawabnya diperlukan kecerdasan spiritual.
Selain itu, menurut saya SQ juga sangat terkait dengan kesadaran seseorang sebagai makhluk hamba Allah, berikut tugas dan kewajiban yang harus diemban. Sebagai hamba Allah, manusia merasa terikat dengan Allah untuk senantiasa menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Wujud kecerdasan spiritual adalah dorongan untuk beramal sholeh, berpikiran positif terhadap Allah, dan mencari hikmah di balik setiap keputusan Allah.
Ketika membahas materi ini secara kebetulan di perkuliahan, saya ditanya mahasiswa mana yang paling mendasar di antara ketiga jenis kecerdasan tersebut. Menurut saya  SQ merupakan jenis kecerdasan yang paling penting, karena merupakan landasan untuk membangun kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ). Dengan demikian, SQ merupakan kecerdasan tertinggi kita. Sebab, hanya manusia yang memiliki jenis kecerdasan ini.  .
Demikian gambaran tentang peran IQ, EQ, dan SQ dalam kehidupan manusia. Pertanyaannya adalah jika ketiga kecerdasan itu sedemikian penting, maka bagaimana cara meningkatkannya dan bagaimana pula ketiganya bekerja? Apakah secara bersamaan atau yang satu mendahului yang lain? Jika iya, mana yang lebih dulu?. Karena saya bukan ahli dalam bidang ini, sebaiknya kita serahkan kepada para ahli atau siapa pun yang punyaconcern di bidang ini untuk menjawabnya !
Share:

Krisis Kepemimpinan



Salah satu fenomena sangat mencolok sejak era reformasi bergulir di negara kita adalah setiap warga negara merasa berhak terlibat dalam proses politik. Orang menyebutnya sebagai era demokrasi. Dampaknya luar biasa. Masyarakat merasa bebas berpolitik tanpa memperoleh tekanan sebagaimana era sebelumnya yang represif. Hak-hak individu dapat digunakan secara maksimal. Perbedaan pilihan politik menjadi hal yang biasa.
Sebagai bagian dari warga negara, para artis tak ketinggalan menggunakan hak-hak politik mereka. Hasilnya, tidak sedikit dari mereka yang berhasil menjadi kepala daerah dan anggota legislatif, baik di daerah, provinsi maupun pusat. Kendati jumlahnya tidak banyak, hal ini merupakan fenomena menarik. Sebab, para artis yang panggung kehidupanya diinfotainment berganti ke panggung politik. Biasanya profesinya menghibur orang beralih ke perebutan kekuasaan. Kontras. Tapi itulah realitas saat ini.
Sebenarnya hal itu sah-sah saja. Yang jadi persoalan adalah kapasitas dan kompetensi seseorang ketika mencalonkan diri menjadi kepala daerah, bupati atau walikota. Seorang bupati atau walikota adalah pemimpin daerah yang bertanggung jawab penuh terhadap daerah yang dipimpinnya, mulai soal keamanan, pendidikan, ketersediaan lapangan kerja, ketersediaan sarana dan prasarana fisik sampai soal kesejahteraan masyarakat. Urusan demikian tidak cukup dengan modal pas-pasan, apalagi hanya karena popularitas.
Tahun 2010 ini di berbagai daerah akan dilaksanakan pemilihan kepala daerah, baik bupati maupun walikota. Tak sedikit artis yang sudah terang-terangan mencalonkan diri dan diusulkan untuk menjadi calon kepala daerah. Beberapa waktu lalu sebuah  stasiun televisi swasta mengundang para artis calon kepala daerah tersebut untuk diajak berdialog tentang alasan pencalonan, visi, agenda dan peluangnya. Ada yang menjawab sama sekali tidak mengetahui mengapa dirinya dicalonkan oleh pimpinan partai politik, ada yang sangat percaya diri karena merasa memiliki kapasitas dan kompetensi untuk memimpin daerah asalnya, ada yang karena merasa terpanggil untuk memperbaiki nasib rakyat di daerah, ada yang menjawab karena dia populer.
Jika popularitas merupakan ukuran yang dipakai seseorang untuk mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi kepala daerah, maka betapa rendahnya makna seorang pemimpin. Menurut saya, pemimpin adalah seorang teladan bagi masyarakatnya dalam semua hal, seperti perilaku, ilmu, dan kehidupannya. Lebih dari itu, ia juga seorang visioner yang mampu membawa masyarakat yang dipimpinnya menjadi masyarakat yang diinginkan di masa depan. Ia mesti mempunyai prediksi dan strategi langkah yang akan dilakukan untuk menghadapi tuntutan dan tantangan zaman.
Seorang pemimpin daerah tentu dituntut menguasai kompleksitas persoalan daerah yang dipimpinnya. Tanpa itu, ia tidak akan mampu mengambil atau merumuskan strategi pemecahan masalah yang pasti tidak sedikit. Selain itu, seorang pemimpin harus mampu bertindak adil bagi masyarakatnya. Keadilan merupakan dambaan bagi setiap orang. Jika seorang pemimpin bisa bertindak adil, ia akan dikenang masyarakatnya.
Pemimpin adalah pelayan masyarakat. Karena itu, seorang pemimpin yang baik selalu berpikir bagaimana memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakatnya. bagaimana mungkin seseorang bisa menjadi pemimpin yang baik jika tidak memiliki jiwa sebagai “pelayan” atau malah selama ini dia dilayani oleh masyarakat. Dia dielu-elukan masyarakat karena popularitasnya, kepiawiannya menyanyi, kecantikan dan kemolekan tubuhnya dan sebagainya.
Yang tidak kalah pentingnya adalah pemimpin harus senantiasa berorientasi pada kebaikan rakyat yang dipimpinnya. Setiap langkahnya harus bermuara pada kebaikan tidak hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi rakyatnya. Menurut al Qur’an, seorang pemimpin bukan hanya pintar secara akademik, tetapi juga memiliki ideologi agama yang kuat dan memberi contoh perilaku Islami kepada rakyatnya. Sebab, nilai-nilai agama yang dianut seorang pemimpin akan membentuk cara dan paradigma berpikirnya serta setiap keputusan yang akan diambil.
Jika karakteristik seorang pemimpin digambarkan seperti itu, bagaimana dengan kahadiran para artis yang mencalonkan diri untuk menjadi pemimpin daerah?. Tanpa bermaksud mengurangi hak-hak politik para artis, saya sangat meragukan keberhasilan seorang pemimpin dari kalangan artis. Sebab, selama ini artis dikenal sebagai komunitas yang hidup secara ekslusif karena kemewahannya. Para artis tentu belum kenal dengan birokrasi pemerintahan yang harus dikelola sebagai seorang pemimpin. Pengalaman birokrasi pemerintahan tidak mungkin bisa diperoleh hanya dalam waktu 2 atau 3 bulan menjelang pemilihan, atau lewat membaca buku-buku pemerintahan ala kadarnya.  Bayangkan apa yang akan terjadi pada masyarakat kita jika Julia Perez berhasil menjadi Bupati Pacitan, Emilia Contessa menjadi Bupati Banyuwangi, Inul menjadi Bupati Pasuruan, Ayu Azhari menjadi Bupati Tasikmalaya dan sebagainya? Bayangkan pula bagaimana mereka berdebat dengan anggota legislatif ketika membahas APBD. Kira-kira bobot sidang dengan wakil rakyat seperti apa?
Ramainya para artis mencalonkan diri menjadi kepala daerah ternyata mengusik pemerintah. Melalui Kementerian Dalam Negeri, pemerintah akan membuat peraturan menyangkut syarat-syarat seseorang mengajukan atau diajukan sebagai kepala daerah, di antaranya adalah pengalaman dan pengetahuan tentang birokrasi pemerintahan. Mudah-mudahan ketentuan itu segera keluar untuk dijadikan pedoman pencalonan menjadi kepala daerah.
Saya juga mempertanyakan tidak saja tentang kapasitas para artis, tetapi juga tentang orang atau pihak yang mencalonkannya. Dunia batin macam apa yang sesungguhnya terjadi pada pihak-pihak yang mengusung para artis tersebut. Jika pertimbangannya hanya karena para artis itu telah memiliki  popularitas sehingga diharapkan mudah mendulang suara, maka betapa sederhananya kriteria atau syarat untuk menjadi pemimpin. Lebih parah lagi ketika seorang artis calon kepala daerah ditanya pengalamannya sebagai modal menjadi pemimpin, dengan polos dia menjawab “saya pernah memimpin teman-teman sekolah dengan menjadi Ketua Osis di sekolah saya”. Bayangkan seorang pemimpin daerah hanya bermodal Ketua Osis !
Jika calon pemimpin dan yang mengusungnya saja bermasalah, maka kesimpulannya kita memang sedang mengalami krisis kepemimpinan. Pertanyaan berikutnya adalah betapa mahalnya sebuah  demokrasi sebagai pilihan sistem politik yang diperjuangkan. Sebab, untuk menuju ke sana tampaknya dilalui dengan pengorbanan, berupa krisis kepemimpinan.  Wallahu a’lam bisshawab !
Share:

Haruskah Presiden Orang Jawa?



Menjelang suksesi kepemimpinan nasional melalui pemilu 2014, suhu politik sudah mulai memanas. Di tengah-tengah gencarnya upaya Partai Golkar memenangkan Abu Rizal Bakrie sebagai presiden, tiba-tiba terdengar suara tidak sedap dan justru kontra produktif terhadap upaya tersebut. Pasalnya, hanya sehari menjelang Rapimnas V Partai Golkar di Jakarta tgl 22-23 November 2013, pencalonan Abu Rizal Bakrie dipersoalkan karena elektabilitasnya tak kunjung naik, kendati berbagai upaya untuk mendongkraknya telah dilakukan oleh tim sukses. Memang dibandingkan  dengan calon-calon yang lain, ARB, sebutan untuk Abu Rizal Bakrie di kalangan tim suksesnya, paling intensif beriklan.  Uniknya, yang mempersoalkan itu bukan sembarang orang, tetapi justru oleh salah seorang pendiri partai berlambang pohon beringin, Suhardiman.
Suhardiman, satu-satunya pendiri Golkar yang kini masih hidup, meminta ARB mengurungkan niat maju menjadi calon presiden dan cukup menjadi “king maker” dengan alasan sosiologis historis. Menurutnya,  figur presiden Indonesia selama ini adalah orang Jawa. Sebab, orang Jawa merupakan mayoritas penduduk Indonesia. Malah, menurut Suhardiman, alih-alih memenangkan pilpres, pencalon ARB justru akan menurunkan perolehan suara Partai Golkar dalam Pemilu Legislatif 2014 yang tinggal beberapa bulan lagi.
ARB dipandang tidak populer, lebih-lebih di Jawa Timur, karena tersandung masalah lumpur Lapindo.  Selain itu, ARB dinilai tidak memiliki basis dukungan massa yang kuat. Dua organisasi besar yang merupakan sayap Partai Golkar, seperti Kosgoro dan Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong juga tidak memberikan dukungan secara penuh. Padahal, dalam pemilihan langsung, basis dukungan massa mutlak diperlukan. Karena itu, wajar jika pencalonan ARB hingga kini masih dipertanyakan oleh internal Golkar sendiri.
Senada dengan Suhardiman, tokoh senior Golkar yang saat ini menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Golkar Akbar Tandjung  dalam Rampinas itu juga mengatakan “Bila elektabilitas calon presiden tidak naik signifikan, perlu dipertimbangkan penentuan strategi atau opsi baru”. Yang mengejutkan pernyataan Akbar Tandjung memperoleh tepuk tangan meriah semua peserta Rapimnas, yang secara simbolik bisa diartikan  setuju dengan pernyataan tersebut. Karena itu, pencalonan Akbar Tandjung belum aman sama sekali.
Melalui berbagai media, diketahui sejak semula Akbar Tandjung tidak begitu pas dengan pencalonan Abu Rizal Bakrie, dan hingga kini konsisten mempersoalkannya. Sebagai politisi senior yang sudah malang melintang dalam panggung politik Indonesia, ungkapan dan sikap konsisten Akbar Tandjung  juga bukan tanpa alasan dan mestinya direnungkan secara serius oleh tim sukses ARB.
Tulisan ini hendak mengkaji pernyataan Suhardiman agar ARB mengurungkan niat maju menjadi calon presiden dan cukup menjadi “king maker” saja dengan alasan ARB bukan dari suku Jawa. Pertanyaannya adalah apakah presiden negeri ini harus orang Jawa? Mungkin pernyataan tersebut ada benarnya. Sebab, berdasarkan fakta sejarah, sejak Indonesia merdeka presiden-presiden  negeri ini berasal dari suku Jawa, mulai Soekarno, Soeharto, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, dan sekarang Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Orang luar Jawa diberi jatah sebagai wakil presiden, seperti Bung Hatta, Umar Wirahadikusumah, Adam Malik, Hamzah Haz, terakhir Jusuf Kalla. Data tersebut semakin menegaskan pernyataan Suhardiman.
Satu-satunya presiden yang berasal dari luar suku Jawa hanyalah BJ. Habibie. Itu pun oleh sebagian orang dianggap sebagai kecelakaan sejarah, karena kepresidenannya  diperoleh dalam masa transisi. Kendati BJ. Habibie berkali-kali menyatakan bahwa ibunya asli Jawa dan dari Solo, publik tetap berpendapat bahwa BJ. Habibie bukan orang Jawa.
Jika itu dipedomani, maka calon presiden setelah SBY adalah satu di antara calon-calon yang berasal dari suku Jawa, sehingga peluangnya ada pada Wiranto, Prabowo, Joko Widodo, Megawati, Pramono Edhie Wibowo  (jika ketiga yang terakhir itu jadi maju). Calon-calon seperti Mahfud MD (dari Madura), Hatta Rajasa (dari Sumatra), Suryadharma Ali (Betawi), Surya Paloh (dari Aceh), dan lain-lain yang bukan Jawa diprediksi sangat sulit untuk memenangi kursi RI 1.
Masalahnya, apakah dengan semakin majunya masyarakat Indonesia dalam pemilu 2014 sejarah masih akan terulang bahwa presiden berasal dari suku Jawa. Mari kita renungkan sejenak. Secara politik, Indonesia adalah sebuah negara bangsa yang didirikan atas kesepakatan untuk bersatu di atas keragaman etnis, bahasa, agama dan budaya. Semua kita tahu ketika memperebutkan kemerdekaan dari penjajah, tidak pernah terlintas di benak para pejuang kemerdekaan mengenai asal muasal, agama, suku, dan bahasa. Semua hanya punya satu tekat, yakni merdeka. Masalahnya adalah adalah ketika kemerdekaan telah diraih, mengapa persoalan asal muasal, suku, bahasa dan agama itu dimasalahkan?. Ini menjadi aneh. Toh di dalam undang-undang tidak ada satu kata pun yang menyebut presiden harus dari suku Jawa.
Kendati  saya berasal dari suku Jawa asli, menurut saya dikotomi Jawa dan bukan Jawa sangat tidak produktif, dan karena itu saya tidak setuju. Mestinya setelah 68 tahun merdeka, bangsa ini bisa lebih dewasa dalam menentukan calon pemimpinnya. Kriteria untuk menjadi presiden utamanya adalah sosok yang tepat, siapapun dia dan dari manapun asalnya,  yang dapat memajukan negara ini dan mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi, sehingga bangsa ini menjadi bangsa yang disegani di dunia internasional.
Bangsa ini menghadapi permasalahan yang amat sangat kompleks, seperti kesenjangan kesejahteraan, rendahnya daya saing, korupsi yang masih merajalela, penegakan hukum yang lemah, negara agraris tetapi menjadi importir produk pertanian, dan tingginya angka pengangguran sehingga martabat bangsa ini rendah di mata bangsa-bangsa di dunia lainnya. Nyaris tidak ada lagi yang bisa dibanggakan oleh bangsa ini, kecuali luasnya wilayah, jumlah pulaunya yang mencapai 17. 000 lebih, penduduknya yang banyak, tanahnya yang subur dan pemandangannya yang indah.
Karena itu, pemimpin yang dibutuhkan saat ini adalah pemimpin super tangguh yang mampu menyelesaikan berbagai persoalan tersebut, siapapun orangnya, asalkan dia orang Indonesia asli. Jadi bukan suku Jawa atau bukan suku Jawa. Karena itu, pemimpin yang populer karena dicintai rakyat – karena langkah dan kebijakan-kebijakan populisnya --- tidak cukup untuk bisa mengatasi persoalan dan mampu mengantarkan bangsa ini menjadi bangsa besar karena kemajuannya. Bangsa besar bukan bangsa yang jumlah penduduknya besar, negerinya luas dan indah, melainkan yang berkualitas dan berperadaban maju. Singapura, negara kecil tetangga kita dengan hanya 4,5 juta penduduknya, tergolong bangsa besar di dunia dan mampu berdiri gagah di tengah-tengah bangsa lain di dunia karena kualitas mereka.
Mestinya kita mau belajar sejarah pendahulu kita sendiri dan juga dari bangsa-bangsa lain yang lebih maju. Mengapa para pejuang kita mampu mengusir penjajah dan akhirnya benar-benar merdeka dan menjadi bangsa yang berdaulat dan terhormat. Sebabnya adalah mereka bersatu dan dapat mengesampingkan perbedaan-perbedaan di antara mereka dari sisi suku, agama, budaya dan bahasa.  Mengapa ada bangsa-bangsa yang maju? Karena mereka mau bekerja keras melebihi bangsa-bangsa lain.
Saat ini mestinya kita juga bisa bersatu mengisi kemerdekaan melalui pembangunan di segala bidang, terutama mencari upaya konkret menyelesaikan berbagai persoalan sebagaimana disebutkan di atas, sehingga yang dilakukan saat ini bukan menentukan asal muasal calon presiden, melainkan kriteria yang tepat untuk menjawab berbagai persoalan di atas. Tetapi memang harus disadari bahwa pemilihan umum adalah 100% arena politik. Dan, politik tidak hitam putih dan berjalan linier. Politik tidak seperti matematika di mana 2 + 2 adalah 4. Banyak hal yang tidak kasat mata dalam politik. Rumitnya,  justru  yang tidak tampak itu sering menjadi faktor penentu  yang dominan. Karena itu, kendati dalam undang-undang tidak disebutkan faktor asal muasal seorang calon presiden, tetapi bisa saja dalam pemilu 2014 nanti faktor kesukuan justru menjadi prasyarat utama yang tidak tertulis,  sehingga apa yang  dikatakan oleh  Suhardiman benar. Kita tunggu saja apakah bangsa ini sudah cukup dewasa atau masih emosional dalam memilih pemimpinnya. Semoga tidak salah!
Share:

Search This Blog