Makalah 10 kaidah dalam kitab Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqaatuha Fi Al-Madzahib Al-Arba’ah

 
KATA PENGANTAR
الرَّحِيمِ الرَّحْمنِ اللهِ بِسْمِ
            Alhamdulillah puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang masih memberikan nafas kehidupan, sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan makalah tentang 10 kaidah fiqhiyyah dengan tepat waktu. Tidak lupa shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang merupakan inspirator terbesar dalam segala keteladanannya.
Tidak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Qowaidul Fiqhiyyah yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam pembuatan makalah ini, orang tua yang selalu mendukung kelancaran tugas kami.
            Akhirnya penulis sampaikan terima kasih atas perhatiannya terhadap makalah ini, dan penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi tim penulis khususnya dan pembaca yang budiman pada umumnya. Tak ada gading yang tak retak, begitulah adanya tugas ini. Dengan segala kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang konstruktif sangat penulis harapkan dari para pembaca guna peningkatan pembuatan makalah pada tugas yang lain dan pada waktu mendatang.

                                                                                             Malang, 13 September 2014

                                                                                            Khamim Muhammad M


                                                                                                               


DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR....................................................................................... 1    

DAFTAR ISI....................................................................................................... 1    

PEMBAHASAN ................................................................................................. 1    
            2.1  Kaidah sebelas.................................................................................... 1
            2.2  Kaidah Dua belas............................................................................... 4
            2.3  Kaidah Tiga belas............................................................................... 5
            2.4  Kaidah Empat belas........................................................................... 5
            2.5  Kaidah Lima belas.............................................................................. 6
            2.6  Kaidah Enam belas............................................................................. 7
            2.7  Kaidah Tujuh belas............................................................................. 8
            2.8  Kaidah Delapan belas......................................................................... 9
            2.9  Kaidah Sembilan belas....................................................................... 11
            2.10  Kaidah Dua puluh............................................................................ 13

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 15




PEMBAHASAN


2.1       Kaidah kesebelas

لا حجة مع الاحتمال الناشئ عن دليل[1]
Tidak dianggap Suatu hujjah atau pengakuan yang terkandung kemungkinan-kemungkinan dari bukti.
Makna:
Hujjah maksudnya adalah petunjuk, dan dalil maksudnya adalah petunjuk.
Penjelasan:
Sesungguhnya tidak diterima atau bermanfa’at hujjah ( pengakuan ) yang didalamnya terkandung kemungkinan yang dibangun dari dalil dzanniy ataupun qhot’iy yang mengandung kemungkinana – kemunginan.
Contoh:
Apabila seseorang didalam sakitnya yang hampir mencapai kematian mengaku memiliki hutang kepada anaknya yang pertama,maka pengakuannya ini tidak diterima jika belum dibenarkan oleh ahli waris yang lain. Karena bisa saja si sakit meninginkan bagian yang lebih untuk anak yang pertamanya dalam perkara warisan dan juga dikarenakan keadaannya yang sekarat memungkinkan apa yang diucapkannya tidak lagi sesuai dengan kenyataannya.[2]
Pendapat ini menurut mazhab abu hanifah dan imam ahmad, sedangkan imam malik  berpendapat diterima pengakuannya jika tidak berubah dan jika berubah tidak diterima, dan imam syafi’I berpendapat pengakuannya diterima.
2.2       Kaidah kedua belas

لا عبرة بالظن البينِّ خطؤه[3]
“Prasangka yang jelas kesalahannya tidak bisa dijadikan sebagai hukum.”
Penjelasan:
Sesungguhnya apabila terjadi sebuah perbuatan dari hukum atau keputusan atas prasangka kemudian dijelaskan kesalahan dari prasangka itu maka wajib untuk tidak mengambil I’tibar (pertimbangan) dari perbuatan itu dan meninggalkannya.
Contoh:
Dalam ibadah, jika disangka bahwa air itu najis dan berwudhu dengannya kemudian dijelaskan bahwa air ini suci, maka boleh wudhunya – kalau belum sholat – dan jika sudah sholat maka sholatnya harus diulang.
Pengecualian:
  1. Jika seseorang sholat dengan baju yang terkena najis yang kelaihatannya bersih ( dari najis) maka sholatnya harus diulangi.
  2. Jika sseorang sholat sementara dia berhadats yang kelihatannya dia sudah berwudhu, maka sholatnya harus diulangi[4]






2.3       Kaidah ketiga belas

من شك هل فعل شيئًا أولا فالأصل أنه لم يفعله[5]
“Barang siapa yang ragu apakah ia telah mengerjakan sesuatu atau tidak, maka yang asli adalah sesungguhnya ia belum mengerjakannya.”
Kaedah ini merupakan cabang dari kaedah اليقين لا يزول بالشك. Karena sesuatu yang diyakini adalah tetap, sedangkan keraguan tidak bisa menghilangkannya dan tidak berpengaruh bagi keyakinan tersebut.
Contoh:
  1. Barang siapa yang ragu apakah ia telah mentalak istrinya atau tidak, maka talaknya terjadi. Karena pada asalnya ia tidak mentalaknya.
  2. Barang siapa yang ragu dalam meninggalkan apa yang diperintahkan dalam sholat, seperti Qunut, sujud sahwi, atau ragu melakukan hal yang dilarang dalam sholat seperti menambah ruku’, maka ia tidak perlu sholat sujud sahwi, karena pada asalnya ia tidak mengerjakannya.[6]


2.4       Kaidah keempat belas

من تيقن الفعل، وشك في القليل أو الكثير، عمل على[7]
“Barang siapa yang meyakini sebuah pekerjaan, dan ragu dalam sedikit atau banyaknya , maka yang berlaku adalah yang sedikit”

Kaedah ini merupakan penjelasan dari kaedah ما ثبت بيقين لا يرتفع إلا بيقين
Sesuatu yang diyakini maka tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan. Seperti:
  1. Orang yang berwudlu’ ragu apakah ia telah membasuh dua kali atau tiga kali, maka yang diambil adalah yang paling sedikit
  2. Orang yang sholat ragu apakah ia sholat telah mendapat tiga atau empat rokaat maka yang dianggap adalah ia dapat tiga rokaat.
  3. Orang yang mentalak istrinya ragu-ragu apakah ia mentalak satu atau lebih dari satu, maka yang diambil adalah yang paling sedikit.[8]


2.5       Kaidah kelima belas

الأصل العدم[9]
“Asal segala sesuatu adalah tidak ada”
Kaedah ini semakna dengan kaedah الأصل براءة الذمة seperti:
  1. Seorang pekerja berkata pada pemilik modal (akad mudlarabah) “ saya tidak mendapat keuntungan”, maka ucapan ia dibenarkan, karena pada asalnya tidak ada keuntungan atau laba. Atau ia berkata “ saya hanya mendapatkan laba ini saja” maka ucapannya juga dibenarkan, karena pada asalnya tidak ada tambahan.
  2. Apabila seseorang menetapkan orang lain memiliki hutang, baik dengan disertai pengakuan atau bukti, kemudian orang tersebut mengaku bahwa ia telah melunasinya, maka yang dibenarkan adalah ucapan orang yang menghutangi. Karena pada asalnya hal tersebut belum terjadi.[10]
2.6       Kaidah keenam belas

الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم[11]
“Hukum asal segala sesuatu adalah boleh sampai adanya dalil yang mengharamkan”

Menurut jumhur dan Abu Hanifah (kaidah tersebut diatas adalah)
الأصل فيها التحريم حتى يدل الدليل على الإباحة 

  1. sesuatu yang halal menurut imam safii, imam malik dan imam ahmad selagi tdak ada dalil yang mengharamkannya. Adapun menurut abu haifah halal adalah sesuatu yang menunjukkan dalil atas kehalalannya. Dan menurut mayoritas ulama “Pada asalnya setiap sesuatu adalah halal.
  2. setiap sesuatu itu pada dasarnya mubah atau haram atau makruh
  3. setiap sesuatu itu pada dasarnya adalah boleh
Penjelasan :
sesungguhnya Allah SWT memblehkan setiap sesuatu, dan mengharamkan sebagiannya, dan ini disepakati oleh, dan Allah mendiamkan setiap sesuatu yang tidak ada dalil yang memperbolehkan atau yang mengharamkannya. Dan tampak jelas dalam perbedaan dalam diamnya assyari’, adapun komentar pendapat jumhur “sifat assukut itu menunjukkan kehalalan” adapun komentar abu hanifah “sifat assukut adalah haram”
Adapun sebagian jumhur ulama menguatkan dengan hadis nabi Muhammad SAW
" ما أحل الله فهو حلال، وما حرم فهو حرام، وما سكت عنه فهو عفو، فاقبلوا من الله عافيته، فإن الله لم يكن لينسى شيئاً "
“sesuatu yang dihalalkan Allah maka itu halal dan apa sesuatu yang diharamkan oleh Allah maka haram, dan sesuatu yang didiamkan oleh Allah maka itu dimaafkan, maka carilah pengampunan kepada Allah , sesungguhnya Allah tidak lupa atas sesuatu”
Contoh :
Makanan dan minuman dan pakaian dari sesuatu tidak ada dalil yang menghalalkannya atau dalil yang mengharamkannya, dan barang siapa yang mengatakan pada asalnya itu adlah mubah maka cukup untuk bahawa itu halal dan barang siapa yang berkata haram maka itu haram,dan barangsiapa yang menunjukkan sikap diam maka lebih baik diam.[12]

2.7       Kaidah ketujuh belas

الأصل في الأبضاع التحريم[13]
“Hukum Asal Abdla’ (farji) adalah Haram”
Abdla’ adalah bentuk jama’ dari kata budl’ yang maknanya sinonim dengan kata farj atau vagina. Budl’ juga dapat berarti menikahi (tazwij), seperti halnya kata al-nikah yang mempunyai dua arti, dapat diartikan bersetubuh (wath’i) dan akad pernikahan (aqd al-nikah). Dalam redaksi lain, kaidah ini diungkapkan dengan kata-kata al-ashlu fi al-nikah al-hadzru; Hukum asal pada hal-hal yang berhubungan dengan masalah nikah adalah dilarang. Perbedaan redaksional dua kaidah ini lebih dipicu oleh faktor penggunaan kata yang berbeda, yakni a-budl’ dan al-nikah, yang sebenarnya memiliki kemiripan makna. Karena itu, dua kaidah ini sebenarnya hanya berbeda ungkapan namun memiliki hakikat yang sama.[14]
Kaidah ini menegaskan bahwa hukum asal dari suatu pernikahan yang selalu terkait erat dengan persoalan hubungan seksual antara suami istri adalah haram. Oleh sebab itu, status diperbolehkannya hubungan seksual diantara keduanya, hanya berlaku setelah melalui proses pernikahan, sedang faktor yang melatarbelakanginya adalah hanya satu kebutuhan mendasar dan mendesak yaitu menjaga kelestarian keturunan dan mempertahankan populasi manusia. Hal tersebuat terdapat pada Q.S An-Nisa ayat 23
          Surat An-Nisa ayat 23
حُرّ مَتْ عَلَيْكُمْ أُمّهَتُكُمْ وَ بَنَا تُكُمْ وَ أَ خَوَ تُكُمْ وَ عَمَّتُكُمْ وَ خَلَتُكُمْ وَ بَنَا تُ ا لأ خِ وَ بَنَا تُ ا لأ خْتِ وَ أُ مَّهَتُكُمْ ا لّتِى أَ رْ ظَعْنَكُمْ وَ أَ خَوَ تُكُمْ مّنَ ا لرَّ ظَعَةِ وَ أُ مَّهَتُ نِسَا عِكُمْ وَ رَ بَعِبُكُمُ ا لّتى فى حُجُو رِ كُمْ مّن نِّسَا عِكُمُ ا لّتِى دَ خَلْتُمْ بِهنَّ فَإ ن لّم تَكُو نُو اْ دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَا حَ عَلَيكُمْ وَ حَلَعِلُ أَ بْنآ عِكُمُ ا لّذِ ينَ مِنْ أَ صْلَبِكُمْ وَ أَ ن تَجْمَعُو اْ بَيْنَ ا لأُ خْتَيْنِ إ لاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِ نَّ ا لله كَا نَ غَفُو رً ا رَّ حِيمًا
         Artinya : “Diharamkan atas kamu ( memgawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dan istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan bagimu) istri-isrti anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”   
       Contoh : Ada berita bahwa dalam satu kampung, ditemukan beberapa perempuan yang haram dinikahi oleh seorang laki-laki, tetapi perempuan mana yang dimaksud itu tidak diketahui secara pasti, maka hukum yang diambil adalah keharaman menikahi perempuan kampung tersebut sebelum ada kejelasan yang pasti mana perempuan yang dilarang. [15]

2.8       Kaidah kedelapan belas

الذمة إذا عمرت بيقين فلا تبرأ إلا بيقين[16]
Tanggungan itu tidak dapat dihapuskan atau dibebaskan dengan keyakinan itu sendiri.”
Penjelasan :
Kaidah ini adalah cabang dari kaidah اليقين لا يزول بالشك Karena keyakinan itu tidak dapat menghilangkan kecuali dengan keyakinan. Karena yakin itu bersifat tetap maka tidak dapat dihilangkan kecuali dengan keyakinan itu sendiri. Dan daripada itu jika tanggunan itu menempati kedudukan yakin dalam membutuhkan hukum syara atau kebenaran dari beberapa kebenaran, maka tidak terlepas dari keraguan kecuali dengan keyakinan. Maka tidak bisa terlepas dari tanggungan. Maka keyakinan itu tetap berada pada dalil-dalil yang mengacu pada keyakinan dalam kaidah asal. Dan kaidah-kaidah cabang yang berhubungan dengannya, dan kaidah tersebut diserupakan dengan kaidah Syafiiyah kontemporer[17] :

من تيقن الفعل، وشك في القليل أو الكثير، عمل على القليل، لأنه المتيقن
Barangsiapa yang yakin dalam melakukan melakukan sesuatu dan kemudian ragu dalam bilangan sedikit atau banyak maka yng dimenangkan adalah yang sedikit karena pada dasarnya yang sedikit itu yang diyakini[18]
Penerepan :
Kaidah ini dikembalikan atau dihubungkan dengan kaidah cabang pengikut Maliki :
1. من شك في عدد ركعات ما صلى، أو في عدد الأشواط في الطواف، أو السعي، بنى على الأقل، طرحاً للشك
“Barangsiapa yang ragu-ragu dalam bilangan rokaat sholat atau dalam jumlah putaran tawaf atau putaran sai maka yang diambi adalah yang sedikit, karena membuang yang ragu.” Dan dengan keyakinan maka masih tetap mempunyai tanggungan karena dalam menyempurnakan ibadah itu adalah keyakinan, atau prasangka yang dominan yang menempati kedudukan yakin dan prasangka tersebut itu lebih memantapkan hati. Maka tenggungan tidak akan bisa terlepas kecuali dengan keyakinan.
2. من شك في إخراج ما عليه من الزكاة، أو الكفارات، أو قضاء رمضان، أو الهدي، أو أداء ما عليه من الصلاة، أو الدَّين، فالواجب عليه الأداء
“Barangsiapa yang ragu dalam mengeluarkan sebagian harta untuk menunaikan zakat, atau kafarat atau mengganti puasa ramadhan atau had atau menunaikan sholat atau membayar hutang maka wajib baginya untuk menunaikan dan membuang keraguan, karena sesungguhnya tanggungan itu pada dasarnya diperintahkan untuk yakin (yakin yang benar-benar bahwa dia telah menunaikannya) maka tanggungan tersebut tidak akan terlepas kecuali dengan keyakinan dan keyakinan itu akan membatalkan keraguan dalam suatu keadaan.[19]

2.9       Kaidah kesembilan belas

لا ضرر ولا ضرار[20]
          “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak membahayakan orang lain”
Penjelasan :
Bahaya : adalah melepaskan atau menghilangkan kerusakan dengan sebab yang lain, adapun bahaya yang bertemu dengan bahaya yang lain maka salah satu tidak boleh dilepaskan atau berpindah pada bahaya yang lain.
Adapun kaidah ini bersumber pada hadist yang diriwayatkan oleh ibnu majah dan imam daruqudni dan imam ahmad bin hambal dan diriwayatkan oleh imam malik yang berupa hadis mursal dengan lafads sebagai berikut
"لا ضرر ولا إضرار"
‘tidak ada bahaya dan tidak membahayakan”
Dan kaidah tersebut saya sempurnakan menjadi :
"من ضار ضاره الله، ومن شاق شاق الله عليه "
“Barangsiapa yang berbuat bahaya maka Allah akan memberi bahaya, dan baramgsiapa yang berbuat susah maka Allah akan memberi kesusahan”[21]
Diantara penerapan kaedah ini, ada yang terambil dari atsar para sahabat ataupun yang ditegaskan oleh para ulama’. Diantaranya adalah :
  1. Barang siapa yang barangnya dirusak oleh orang lain, maka dia tidak boleh merusak barang milik orang lain tersebut, karena itu akan memperluas kemadhorotan tanpa ada faedah yang berarti, namun cukup dengan meminta ganti rugi.
  2. Seandainya ada seseorang yang menyewa tanah orang lain untuk ditanami padi atau tanaman lainnya, lalu habis masa sewa padahal padi masih belum waktunya panen, maka tanah itu masih berada dalam genggaman yang menyewa sampai masa panen dengan membayar sewa tanah tambahan sesuai adat yang berlaku di masyarakat, itu demi menghilangkan kemadhorotan kalau tanaman harus di panen sebelum waktunya.
  3. Haram merokok, karena itu akan membahayakan diri pelaku dan orang yang ada disekitarnya.
  4. Boleh bagi pemerintah untuk melarang para pedagang dari mengimport barang dari luar negeri kalau hal itu akan membahayakan perkonomian dalam negeri, begitu pula sebaliknya boleh bagi pemerintah untuk melarang eksport barang keluar negri kalau barang tersebut sangat terbatas dan tidak mencukupi kebutuhan penduduk negeri tersebut.
  5. Dilarang menimbun makanan atau benda lain yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat karena itu akan membahayakan mereka.
  6. Kalau ada seseorang yang pesan kepada tukang kayu untuk dibuatkan lemari, maka dia wajib untuk menerimanya kalau si tukang telah membuatkan sesuai dengan kriteria yang disepakati, karena kalau tidak maka akan memadhorotkan tukang kayu tersebut.


2.10    Kaidah kedua puluh

الضرر يدفع بقدر الإمكان[22]
“Bahaya harus ditolak semampu mungkin”
Bahaya yang tidak ditetapkan oleh syar’i maka harus dihilangkan dan wajib menolaknya sebelum terjadi atau sebelum datang dengan semampunya. Karena sesungguhnya memelihara lebih baik dari pada mengobati, seperti mencegah bahaya dengan semampunya jika itu memungkinkan, dan jika tidak bisa  maka dengan sebisanya. Dan apabila dipaksakan dengan memberi ganti maka dipaksakan pula untuk memberi ganti semampunya.  Apabila sudah tidak memungkinkan untuk membayarnya secara keseluruhan, maka tidak boleh dipaksakan untuk membayar keseluruhannya, maka dia boleh meninggalkan (keadaan atau bahaya yang mana pada dasarnya ia memang tidak mampu untuk menyelesaikan) –nya.
Kaidah ini berlaku dalam segala persoalan dimana sisi drarar-nya belum atau akan terjadi. Titik tekan yang terakhir ini berdasarkan konsep maslahah mursalah dan siyasah syar’iyyah, yakni upaya preventif (pencegahan) yang dinilai lebih baik dalam pandangan syariat daripada upaya kuratif  (penghilangan), atau dalam dunia kedokteran dikenal dengan jargon: mencegah lebih baik daripada mengobati. Inilah dasar terbangunnya kaidah al-dlarar yudfa’u bi qadr al-imkan.
Secara substansi, kaidah ini menegaskan bahwa segala macam bahaya, jika memungkinkan, harus segera ditangkal secara total. Tapi bila tidak bisa, maka cukup ditolak semampunya saja, sesuai kadar kemampuan yang dimiliki (bi qadr al-imkan).[23]
Contoh:
Pertama, apabila seorang wali anak yatim khawatir terhadap harta anak yatim akan diambil oleh orang yang dholim dan untuk mencegah kedhalimannya itu dengan menggunakan sebagian harta anak yatim, maka wali diperbolehkan untuk memberikan sebagian harta anak yatim tersebut untuk mencegah terjadinya kemudaratan.

Kedua, Jika seseorang menggasab barang orang lain dan memakainya sampai rusak dia harus bertanggungjawab dengan memberi ganti rugi. Begitu juga, jika barang yang dighasab itu hilang atau dipakai orang lain, maka bagi penggasab wajib secara mutlak untuk bertanggungjawab, baik rusaknya atau hilangnya barang itu sebab ia lalai atau tidak. Sehingga ia harus mengganti barang itu dengan nilai atau harganya, jika barang itu bisa ditaksir. Atau dengan mengganti barang yang sama persis, jika ada barang yang sama.
Ketiga, pada akhir-akhir ini, bangsa indonesia sering kali ditimpa bencana alam, mulai dari tsunami, gunung meletus, banjir bandang, gempa bumi dan longsor. Sebenarnya banyak faktor yang menyebabkan terjadinya hal tersebut. Di antaranya karena manusianya yang sudah tidak menjaga kelestarian alam bahkan telah merusaknya sebagaimana diingatkan oleh Allah dalam al-Qur’an surat al-Rum ayat 41:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
            Juga mungkin di karenakan kurangnya ketakwaan kita kepada Allah serta semakin terkikisnya moral-moral islam. Maka penulis dengan berdasarkan kaidah ini mengajak para pembaca untuk senantiasa mencegah terjadinya bencana-bencana alam dengan menjaga kelestarian alam semampu kita serta menambah dan memupuk rasa ketakwaan kita terhadap Allah juga senantiasa memohon ampunan kepada-Nya atas kesalahan-kesalahan yang kita lakukan selama ini, karena Allah berfirman dalam surat al-Anfal ayat 33:
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنْتَ فِيهِمْ وَمَا كَانَ اللَّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُون
Dalam ayat tersebut Allah menegaskan bahwa Allah tidak akan mendatangkan siksaan bagi orang-orang yang senantiasa memohon ampunan atas segala kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya. Wa Allah a’lamu bi al-shawab.





DAFTAR PUSTAKA

Dari Kitab
Muhammad Mustofa Azuchaili, Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqaatuha Fi Al-Madzahib Al-Arba’ah (Dar al-Fik ) hal.186
Dari Buku
Ahmad Saebani, Beni. Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: CV. Pusta Setia,2008
Arfan, Abbas. 99 Kaidah Fiqh Muamalah Kulliyyah; Tipologi dan Penerapannya dalam Ekonomi Islam dan Perbankan Syariah. Malang: Uin-Maliki Presss, 2013
Haq, Abdul. Formulasi Nalar Fiqh: Telaah Kaidah Fiqh Konseptual, Kediri: Kaki Lima Lirboyo, 2009
DR. H. Dahlan Tamrin. M.AG. Kaidah-Kaidah Hukum Islam.
Dari Internet
Kumpulan Artikel Islam http://2lisan2.blogspot.com/2010/11/tidak-boleh-berbuat-sesuatu-yang.html diakses pada tanggal 15 Sepember



[1] Muhammad Mustofa Azuchaili, Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqaatuha Fi Al-Madzahib Al-Arba’ah (Dar al-Fik ) hal.175
[2] Rumah hati diakses pada tanggal 15 Sepember 2014 http://alindragiria.blogspot.com/2012/03/normal-0-false-false-false-en-us-x-none_10.html
[3] Muhammad Mustofa Azuchaili, Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqaatuha Fi Al-Madzahib Al-Arba’ah (Dar al-Fik ) hal.178
[4] Rumah Hati diakses pada tanggal 15 September 2014 http://alindragiria.blogspot.com/2012/03/normal-0-false-false-false-en-us-x-none_10.html
[5] Muhammad Mustofa Azuchaili, Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqaatuha Fi Al-Madzahib Al-Arba’ah (Dar al-Fik ) hal.186
[6] Muhammad Mustofa Azuchaili, Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqaatuha Fi Al-Madzahib Al-Arba’ah (Dar al-Fik ) hal.186
[7] Muhammad Mustofa Azuchaili, Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqaatuha Fi Al-Madzahib Al-Arba’ah (Dar al-Fik ) hal.187
[8] Muhammad Mustofa Azuchaili, Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqaatuha Fi Al-Madzahib Al-Arba’ah (Dar al-Fik ) hal.188
[9] Muhammad Mustofa Azuchaili, Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqaatuha Fi Al-Madzahib Al-Arba’ah (Dar al-Fik ) hal.189
[10] Muhammad Mustofa Azuchaili, Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqaatuha Fi Al-Madzahib Al-Arba’ah (Dar al-Fik ) hal.189
[11] Muhammad Mustofa Azuchaili, Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqaatuha Fi Al-Madzahib Al-Arba’ah (Dar al-Fik ) hal.190
[12] Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh (CV.Pustaka Seta: Bandung) hal. 251
[13] Muhammad Mustofa Azuchaili, Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqaatuha Fi Al-Madzahib Al-Arba’ah (Dar al-Fik ) hal.193
[14] Abdul Haq, Buku Satu Formulasi Nalar Fiqh (Telaah Kaidah Fiqh Konseptual), (Kediri: Kaki Lima Lirboyo) hal 151
[15] DR. H. Dahlan Tamrin. M.AG. Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Hal 96
[16] Muhammad Mustofa Azuchaili, Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqaatuha Fi Al-Madzahib Al-Arba’ah (Dar al-Fik ) hal.195
[17] Muhammad Mustofa Azuchaili, Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqaatuha Fi Al-Madzahib Al-Arba’ah (Dar al-Fik ) hal.195
[18] Muhammad Mustofa Azuchaili, Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqaatuha Fi Al-Madzahib Al-Arba’ah (Dar al-Fik ) hal.195
[19] Muhammad Mustofa Azuchaili, Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqaatuha Fi Al-Madzahib Al-Arba’ah (Dar al-Fik ) hal.196
[20] Muhammad Mustofa Azuchaili, Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqaatuha Fi Al-Madzahib Al-Arba’ah (Dar al-Fik ) hal.199
[21] Muhammad Mustofa Azuchaili, Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqaatuha Fi Al-Madzahib Al-Arba’ah (Dar al-Fik ) hal.199
[22] Muhammad Mustofa Azuchaili, Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqaatuha Fi Al-Madzahib Al-Arba’ah (Dar al-Fik ) hal.208
[23] Abdul Haq, Buku Satu, Formulasi Nalar Fiqh: Telaah Kaidah Fiqh Konsepstual (Kediri: Kaki Lima Lirboyo) hal 179
Share:

Search This Blog