KATA
PENGANTAR
الرَّحِيمِ الرَّحْمنِ اللهِ بِسْمِ
Alhamdulillah puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang masih
memberikan nafas kehidupan, sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan
makalah dengan judul “Peradilan Agama dalam Prespektif
Satu Atap” dengan tepat waktu. Tidak lupa
shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang merupakan
inspirator terbesar dalam segala keteladanannya.
Tidak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada
dosen pengampu mata kuliah Sejarah Peradilan Agama di Indonesia yang telah
memberikan arahan dan bimbingan dalam pembuatan makalah ini, orang tua yang
selalu mendukung kelancaran tugas kami.
Akhirnya penulis sampaikan terima kasih atas perhatiannya terhadap makalah ini,
dan penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi tim penulis khususnya
dan pembaca yang budiman pada umumnya. Tak ada gading yang tak retak, begitulah
adanya tugas ini. Dengan segala kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang
konstruktif sangat penulis harapkan dari para pembaca guna peningkatan
pembuatan makalah pada tugas yang lain dan pada waktu mendatang.
Malang, 15
Maret 2014
Tim
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR....................................................................................... 1
DAFTAR ISI....................................................................................................... 2
BAB I : PENDAHULUAN.............................................................................. 3
1.1 Latar Belakang................................................................................... 3
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................. 4
1.3
Tujuan Penulisan.................................................................................. 4
1.4
Manfaat Penulisan............................................................................... 4
1.5
Metode Penulisan................................................................................ 5
BAB II : PEMBAHASAN ................................................................................ 6
2.1 Pengertian Peradilan Agama............................................................ 6
2.2 Perjuangan Peradilan Agama dan Eksistensinya............................. 10
2.3 Peran Peradilan Agama dalam Lingkungan Satu Atap.................... 13
2.4 Realisasi atau Langkah Pelaksanaan Sistem Peradilan
Satu Atap... 10
2.5 Sistem Satu Atap di bawah Mahkama Agung................................. 13
BAB III : PENUTUP...................................................................................... 15
3.1
Kesimpulan....................................................................................... 15
3.1
Saran................................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 17
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keberadaan sistem Hukum Islam di Indonesia sejak
lama telah dikukuhkan dengan berdirinya sistem peradilan agama yang diakui
dalam sistem peradilan nasional di Indonesia. Bahkan dengan diundangkannya UU
tentang Peradilan Agama tahun 1998, kedudukan Pengadilan Agama Islam itu makin
kokoh. Akan tetapi, sejak era reformasi, dengan ditetapkannya Ketetapan MPR
tentang Pokok-Pokok Reformasi yang mengamanatkan bahwa keseluruhan sistem
pembinaan peradilan diorganisasikan dalam satu atap di bawah Mahkamah Agung.
Sistem peradilan satu atap dibawah Mahkamah Agung
(MA) yang efektifnya akan dimulai 1 April 2004. Hasil revisi Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang telah ditetapkan DPR belum lama
ini menyebutkan sistem peradilan satu atap dibawah MA selambatnya harus sudah
dilaksanakan akhir Maret 2004. Dengan terbentuknya sistem peradilan satu atap
dibawah Mahkamah Agung menurut Bagir Manan maka struktur peradilan dibawah
Departemen Kehakiman dan HAM serta Departemen Agama akan berpindah ke struktur
Mahkamah Agung Republik Indonesia. Namun dengan belum selesainya penyusunan struktur
organisasinya, maka struktur peradilan dibawah Departemen Kehakiman dan
Departemen Agama belum akan segera dipindahkan ke lingkungan MA. Undang-Undang
tentang Mahkamah Agung memberi waktu kepada MA untuk menyiapkan struktur
organisasi peradilan satu atap tersebut selama satu tahun.
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka upaya dan
langkah pensatu-atapan lembaga Peradilan Agama ke dalam Mahkamah Agung RI,
terlepas ide dan gagasan kearah satu atap itu terinisiatif dari dalam
orang-orang Peradilan Agama sendiri atau sebuah reaksi dari kenyataan sejarah
dan hukum, sebagaimana telah dipaparkan diatas dan Abdul Gani Abdullah ungkap
bahwa Peradilan Agama satu atap dalam Mahkamah Agung RI sebenarnya telah
diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999, meski masalah penetapan
waktunya tidak ditentukan hal tersebut secara analisis teoritis karena
persoalan Peradilan Agama menjadi satu atap dengan Mahkamah Agung RI bukan
masalah berat bagi Departemen Agama RI, tetapi lebih dari karena eksistensi
perjalanan sejarah Peradilan Agama itu sendiri yang sejak dulu hingga kini
eksistensinya tidak dapat dipisahkan dengan perjuangan umat Islam dan ulama
dimana kecenderungan masyarakat atau umat Islam dan ulama, kiai (MUI) cenderung
kurang menyetujui keinginan dan gagasan tersebut.
Maka kehati-hatian untuk mencapai arah
pensatu-atapan lembaga Peradilan Agama dalam Mahkamah Agung RI secara total
harus ekstra diperhatikan, Jangan sampai tepatnya moment, adanya kesempatan dan
besarnya dukungan terutama dari orang-orang legislative yang nampaknya begitu
bersemangat untuk mendukung Peradilan Agama menyatu secara administratif dan
teknis yuridis ke Mahkamah Agung menjadi sebuah euforia, sehingga dalam
merealisasikan dan mengakhtuaisasikan harapan tersebut tidak memperhatikan hal-hal
kecil namun memiliki sensitifitas yang tinggi dan dapat menimbulkan konflik
kedepan
Peradilan Agama merupakan salah satu dari empat
lingkungan peradilan, yang di antaranya adalah Peradilan Umum, Peradilan
Militer, dan Peradlan Tata Usaha Negara. Selain itu Peradilan Agama juga
merupakan peradilan khusus, yang mana diartikan peradilan khusus karena PA
mengadili perkara-perkara tertentu yaitu hanya berwenang di bidang perdata
Islam saja dan juga hanya diperuntukkan bagi orang-orang Islam saja.
Peradilan satu atap adalah bahwa empat lingkungan
peradilan yakni Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Agama, dan
Peradilan Tata Usaha Negara berpuncak pada Mahkamah Agung, yang merupakan
peradilan tingkat terakhir serta melakukan pengawasan tertinggi bagi keempat
lingungan peradilan tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah
yang dikemukakan diatas dapat dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut :
- Apa
pengertian Peradilan Agama ?
- Bagaimana perjuangan Peradilan
Agama dan eksistensinya ?
- Bagaimana peran Peradilan Agama
dalam lingkungan Satu Atap ?
- Bagaimana Realisasi atau langkah
pelaksanaan system peradilan satu atap ?
- Bagaimana di bawah Mahkama peradilan
agama Agung ?
1.2 Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan penulisan tugas ini adalah sebagaimana berikut :
1. Untuk
mengetahui pengertian
Peradilan Agama.
2. Untuk
mengetahui perjuangan Peradilan Agama dan
eksistensinya.
3. Untuk
mengetahui peran Peradilan Agama dalam lingkungan
Satu Atap.
4. Untuk mengetahui Realisasi atau langkah
pelaksanaan system peradilan satu atap.
5. Untuk mengetahui di bawah Mahkama
peradilan agama Agung.
1.3 Manfaat Penulisan
1. Memberi pengetahuan baru tentang peradilan dengan system peradilan satu
atap.
2. Memberi cakrawala baru pada pembaca system satu atap..
3. Memberi pengetahuan baru kepada pembaca
perihal Realisasi atau langkah pelaksanaan system peradilan satu atap.
4. Bagi
peneliti, makalah ini sebagai penambah ilmu pengetahuan dan wawasan.
5. Bagi
pihak lain, makahlah ini sebagai bahan pertimbangan dan acuan untuk penelitian
lebih lanjut.
1.4
Metode Penulisan
Dari
pembuatan dan penulisan tugas “Peradilan Agama dalam Prespektif Satu Atap” ini,
penulis menggunakan metode studi pustaka yaitu salah satu metode yang digunakan
dalam penulisan Karya Tulis (tugas) dengan cara mengumpulkan literatur baik
berasal dari berbagai buku dan mencari inti-inti pembahasan mahar. Sehingga
menjadi sebuah bahasan yang menarik pada tugas ini.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Apa pengertian Peradilan Agama
Dalam kamus Bahasa Indonesia, peradilan adalah
segala sesuatu mengenai perkara peradilan.[1]
Peradilan juga dapat diartikan suatu proses pemberian keadilan disuatu lembaga.[2]
Dalam kamus Bahasa Arab disebut dengan istilah qadha yang berarti menetapkan,
memutuskan, menyelesaikan, mendamaikan. Qadha menurut istilah adalah
penyelesaian sengketa antara dua orang yang bersengketa, yang mana
penyelesaiannya diselesaikan menurut ketetapan-ketetapan (hukum) dari Allah dan
Rasul. Sedangkan pengadilan adalah badan atau organisasi yang diadakan oleh
negara untuk mengurus atau mengadili perselisihan-perselisihan hukum.[3]
Peradilan Agama adalah proses pemberian keadilan
berdasarkan hukum agama Islam kepada orang-orang Islam yang dilakukan di
Pengadilan agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Sebagai lembaga peradilan,
peradilan agama dalam bentuknya yang sederhana berupa tahkim, yaitu lembaga penyelesaian sengketa antara
orang-orang Islam yang dilakukan oleh para ahli agama, dan telah lama ada dalam
masyarakat indonesia yakni sejak agama islam datang ke Indonesia
Peradilan disyari’atkan di dalam Al Quran dan hadits
Nabi. Sebagaimana dijelaskan di dalam Al Quran surah al-Maidah ayat 49 :
Èbr&ur Nä3ôm$#
NæhuZ÷t/ !$yJÎ/ tAtRr&
ª!$#
wur
ôìÎ7®Ks?
öNèduä!#uq÷dr&
öNèdöx÷n$#ur
br& qãZÏFøÿt
.`tã
ÇÙ÷èt/
!$tB
tAtRr& ª!$# y7øs9Î) (
bÎ*sù (#öq©9uqs? öNn=÷æ$$sù $uK¯Rr&
ßÌã ª!$# br&
Nåkz:ÅÁã
ÇÙ÷èt7Î/
öNÍkÍ5qçRè 3
¨bÎ)ur
#ZÏWx.
z`ÏiB Ĩ$¨Z9$# tbqà)Å¡»xÿs9 ÇÍÒÈ
“Dan
hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan
Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu
terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang
Telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang Telah
diturunkan Allah), Maka Ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan
mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya
kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik”.[4]
Dan
hadits yang menunjukkan pensyari’atan peradilan adalah :
“Apabila
seorang hakim berijtihad kemudian ia benar, maka ia memperoleh dua pahala dan
apabila ia berijtihad namun salah, maka ia memperoleh satu pahala”.[5]
2.2 Perjuangan Peradilan Agama dan
Eksistensinya
Peradilan
Agama merupakan lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung sebagai pelaku
kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelanggarakan peradilan agama,
menegakan hukum dan keadilan. Eksistensi peradilan agama telah menjadikan umat
Islam Indonesia terlayani dalam penyelesaian masalah perkahwinan, kewarisan,
wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah. Peradilan agama hendak menegakkan substansi
nilai-nilai hukum yang mewarnai kehidupan umat Islam.
Perubahan
signifikan di bidang ketatanegaran dalam sistem peradilan adalah penyatu-atapan
semua lembaga peradilan (One Roof System) di bawah Mahkamah Agung RI. Reformasi
sistem peradilan tersebut diawali dengan kemasukan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945
dalam amendmen ketiga UUD 1945 dan dilanjutkan dengan disahkannya UU Nomor 4
tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam
lingkungan perdilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan perdilan
militer, lingkungan perdilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.[6]
Konsekuensi
dari penyatu-atapan lembaga peradilan adalah pengalihan organisasi,
administrasi dan finansial Peradilan Agama dari Departemen Agama ke Mahkamah
Agung. Pengalihan tersebut sebagai bagian dari perwujudan reformasi hukum untuk
menciptakan kelembagaan negara yang lebih kondusif bagi tercapainya tatanan yang lebih demokratis
dan transparen.
Meskipun
telah beralih ke Mahkamah Agung, hubungan antara Pengadilan Agama dan
Departemen Agama akan terus berlangsung melalui peran Pengadilan Agama sebagai
lembaga yang berwenang untuk memberikan penetapan (itsbat) kesaksian melihat
bulan (rukyat al-hilal) dalam penentuan awal bulan pada tahun hijriyah
(terutama awal bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah). Perlaksanaan rukyat
hilal dilakukan oleh Departemen Agama dan lembaga/ormas-ormas Islam, sedangkan
penetapan (itsbat) terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau menyaksikan
hilal (bulan baru) menjelang awal bulan hijriyah dilakukan oleh Pengadilan
Agama. Berkaitan dengan hisab rukyat Pengadilan Agama juga dapat memberi
keterangan atau nasehat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan
waktu solat. Di sisi lain, baik Pengadilan Agama maupun Departemen Agama juga
mempunyai kesamaan fungsi dalam pembinaan keluarga sakinah.
Untuk
menyahut cabaran dan merespon dinamika dan kebutuhan masyarakat, UU Nomor 3
tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
memberikan perluasan kewenangan sebagaimana terdapat dalam Pasal 49. Pengadilan
Agama bertugas dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang perkahwinan, waris , wasiat, hibah, wakaf, zakat,
infaq, shadaqah dan ekonomi syariah.
Dalam bidang
perkahwinan Pengadilan Agama mempunyai kewenangan absolut dalam mengadili dan
menyelesaikan masalah penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam.
Sebelum lahirnya UU Nomor 3 tahun 2006 kewenangan Pengadilan Agama dalam
pengangkatan anak yang merupakan bagian dari bidang perkahwinan sering
dipertanyakan banyak pihak meskipun telah lama dipraktekkan. Kini perkara
pengangkatan anak di Peradilan Agama telah mendapat landasan hukum yang kuat
dan jelas.
Pada awal
pembetukan UU Nomor 3 tahun 2006 wacana yang berkembang dalam antara lain
pemberian kewenangan sengketa bank syariah kepada Pengadilan Agama seiring
tumbuhnya bank-bank syariah di Indonesia. Dalam perkembangannya tidak hanya
mencakup bank syariah, namun meliputi ekonomi syariah yang kemudian diakomodir
dalam undang-undang ini. Jika diperinci kewenangan Pengadilan Agama dalam
ekonomi syariah mencakup: bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah,
asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan
surat berharga berjangka menegah syariah dan bisnis syariah.
Rumusan
Pasal 2 UU Nomor 3 tahun 2006 menyebutkan Pengadilan Agama adalah salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkara tertentu, berbeda dengan kewenangan sebelumnya yang terbatas
pada perkara perdata tertentu. Ketentuan ini menunjukkan bahwa Pengadilan Agama
berwenang menangani perkara pidana, terutama berkaitan dengan pelanggaran
terhadap Undang-Undang Perkahwinan dan peraturan di bawahnya. Ketentuan pidana
yang dimaksud seperti ancaman pidana terhadap pelaku penikahan yang tidak
dilakukan di hadapan pegawai pencatat nikah, namun perlaksanaanya tidak
berjalan efektif. Pelanggaran perkahwinan sangat jarang yang diproses, kalaupun
ada biasanya diproses dengan ketentuan Pasal 279 KUHP, sehingga diperlukan
payung hukum dan institusi yang diharapkan dapat menegakkan aturan mengenai
pelanggaran perkahwinan iaitu Pengadilan Agama.[7]
Perubahan
signifikan lainnya dari UU Nomor 3 tahun 2006 adalah mengenai subjek hukum yang
diperluas menjadi tidak hanya orang Islam dalam pengertian teologis, akan
tetapi termasuk orang atau badan hukum yang menundukkan diri secara sukarela
kepada hukum Islam. Pilihan hukum dalam perkara waris (alinea 2 Penjelasan umum
UU Nomor 7 tahun 1989) dihilangkan. Dengan demikian perkara kewarisan bagi
orang Islam mutlak menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama.
Kewenangan
Peradilan Agama yang semakin luas harus diimbangi dengan peningkatan sumber
daya manusia (SDM), aparatur pengadilan, sarana dan prasarana yang memadai,
serta ketentuan hukum yang aplikatif. Dengan demikian paradigma baru Peradilan
Agama benar-benar dapat menjawab tuntutan dan masalah hukum yang berkembang di
masyarakat.
2.3 Peran Peradilan Agama dalam lingkungan Satu
Atap
Perspektif
sejarah tentang pasang surut eksistensi Peradilan Agama di Indonesia tidak
hanya dipengaruhi oleh faktor politik kolonial saja (sebagaimana diketahui dari
fakta-fakta sejarah), namun faktor adanya konflik antara tiga sistem hukum yang
berlaku di Indonesia (Hukum Islam, Hukum Sipil/Barat, dan Hukum Adat) yang
kemudian diperuncing oleh konsep-konsep/teori-teori hukum yang dicetuskan para
ahli hukum kolonial pun memiliki andil atas pasang surutnya eksistensi
Peradilan Agama. Sebut saja teori Receptio in complexu (Prof. Mr. Lodewijk
William Christian Van Den Berg), teori Reseptie (Prof. Christian Snouck
Hurgronje dan C. Van vallenhoven), teori Receptie Exit (Prof. Dr. Hazairin,
SH.) dan teori Receptie a Contrario.[8]
Maka
peradilan agama sebagai sistem peradilan yang diakui sebagai sistem peradilan
nasional di Indonesia berada pada sistem kekuasaan pemerintahan di sektor
kekuasaan yudikatif atau kehakiman yang eksistensinya jika dilihat sebagaimana
ketentuan Pasal 2 Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan
Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, maka landasan hukum yang mengatur
tentang eksistensi peradilan agama secara hierarki sebagai berikut :[9]
·
UUD 1945
Pasal 24 dan 25 tentang Kekuasaan kehakiman
·
Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
Keberadaan
sistem Hukum Islam di Indonesia sejak lama telah dikukuhkan dengan berdirinya
sistem peradilan agama yang diakui dalam sistem peradilan nasional di
Indonesia. Bahkan dengan diundangkannya UU tentang Peradilan Agama tahun 1998,
kedudukan Pengadilan Agama Islam itu makin kokoh. Akan tetapi, sejak era reformasi,
dengan ditetapkannya Ketetapan MPR tentang Pokok-Pokok Reformasi yang
mengamanatkan bahwa keseluruhan sistem pembinaan peradilan diorganisasikan
dalam satu atap di bawah Mahkamah Agung.
2.4 Realisasi atau Langkah Pelaksanaan Sistem Peradilan
Satu Atap
Independensi kekuasaan lembaga peradilan tidak dapat
dilepaskan dari perdebatan teoritik tentang pemisahan kekuasaan (separation of
power), karena pemisahan kekuasaan dari cabang-cabang kekuasaan dari
cabang-cabang kekuasaan dimaksudkan untuk menjamin adanya independensi
kekuasaan lembaga peradilan.
Keterkaitan antara pemisahan kekuasaan dengan konsep
Negara hukum terletak pada pengaturan batas-batas kekuasaan yudikatif,
eksekutif, dan legislatife ataupun hubungan antara cabang-cabang kekuasaan
tersebut dalam konstitusi.
Teori independensi lembaga peradilan merupaka pilar
dari Negara hukum. Ini dimaksudkan untuk tidak adanya campur tangan
lembaga-lembaga diluar pengadilan, terutama kekuasaan eksekutif dan yudikatif
terhadap pelaksaan fungsi pengadilan.
Alexis de tocquivelle memberikan tiga cirri bagi
pelaksanaan kekuasaan lembaga peradilan yang independen:
Pertama; kekuasaan
lembaga peradilan di semua Negara merupakan pelaksana fungsi peradilan, dimana
lembaga peradilan hanya bekerja jika ada pelanggaran hukum atau hak warga
Negara tanpa ada suatu kekuasaan lainnya dapat melakukan intervensi.
Kedua; fungsi lembaga
peradilan hanya berlangsung kalau ada kasus pelanggaran kasus yang khusus.
Ketiga; kekuasaan
lembaga peradilan hanya berfungsi jika diperlukan dalam hal adanya sengketa
yang diatur dalam hukum.
Langkah Pelaksanaan Sistem Satu Atap ;
Diketahui secara Universal bahwa pada akhir
pemerintahan Orde Baru Indonesia, sebagaimana Negara-negara tetangganya,
tertimpa krisis moneter, yang diikuti krisi ekonomi, social, politik, budaya.
Krisis tersebut berlangsung dan berkepanjangan, sehingga terjadi reformasi di
semua bidang. Tak terkecuali UUD 1945 yang telah di amandemen beberapa kali,
demikian undang-undang juga menjabarankannya. Perumusan pasal 24 disempurnakan
dan ditambah dengan pasal 24A, 24B, dan 24C. pasal-pasal tersebut mengatur
kekuasaan lembaga peradilan. Pokok-pokok fikiran dalam pasal-pasal tersebut
antara lain:
1. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan.
2. Kekuasan kehakiman dilakukan oleh:
a. Sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan lingkungan peradilan
militer.
b. Sebuah mahkamah konstitusi.
3. Hakim Agung diusulkan oleh komisi
yudisial kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan dan kemudian ditetapkan oleh
presiden sebagai kepala Negara.
4. Ketua dan wakil ketua mahkamah Agung
dipilih oleh dan di antara hakim Agung.
5. Komisi yudisial bersifat mandiri
disamping memiliki wewenang mengusulkan hakim Agung, juga mempunyai wewenang
lainnya dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim.
Pada era reformasi untuk membenahai penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman telah dibentuk beberapa undang-undang dan peraturan
mengenai kekuasaan kehakiman dan badan-badan yang melaksanakannya, pada UU no.
4 Tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman perubahan atas UU no. 14.
Gagasan penerapan satu atap di peradilan agama ini
muncul dari Syamsuhadi Irsyad, sewaktu masih menduduki jabatan direktur
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam. Tahun 1999, yakni tentang:
Pemisahan
fungsi Yudikatif dan Eksekutif, ini diambil dari pasal 24 UUD 1945.
Implementasi Pemisahan Fungsi Yudikatif dan
Eksekutif, sebagaimana dalam Tap MPR No. X/MPR/1998, mengenai implementasi
pemisahan fungsi yudikatif ke eksekutif.
Pemindahan kewenangan mengurusi organisasi,
administrasi, dan finansial dari departemen (eksekutif) kepada Mahkamah Agung
(yudikatif), menjadikan Mahkamah Agung memiliki kewenangan teknis yudisial dan
kewenangan administrative manajerial. Mahkamah Agung menangani urusan teknis
dan administrative kekuasaan kehakiman dalam satu atap.
Sebagai realisasi dari pasal 42 UU 4/2004 dan
Keppres No. 21/2004 Menteri Agama telah menyerahkan organisasi, administrasi,
dan finansiil Peradilan Agama kepada Ketua Mahkamah Agung pada tanggal 30 Juni
2004. Yang sebelumnya pada tanggal 31 Maret 2004 Menteri Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia telah menyerahkan organisasi, administrasi dan finansiil dalm
lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara kepada ketua Mahkamah
Agung. Selanjutnya pada lingkungan Peradilan Militer pada tanggal 09 Juli 2004.
Dengan demikian empat lingkungan peradilan sebagai
pelaksana kekuasaan kehakiman di Negara kita baik pembinaan teknis yuridis dan
pengawasan maupun organisasi, administrasi, dan finansiil berada dalam satu
atap di bawah Mahkamah Agung sehingga kemerdekaan seorang hakim di harapkan benar-benar
lebih terjamin. Dalam pasal 4 ayat (3 dan 4) UU No. 4/2004 ditegaskan bahwa
segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain diluar kekuasaan
kehakiman di larang dan setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan
tersebut dipidana.
2.5 Sistem Satu Atap di Bawah Mahkama peradilan
agama Agung
BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Dari penjelasan umum UU Nomor 4 Tahun 2004 tersebut
dapat diajukan pertanyaan tentang siapa sebenarnya yang berkompeten memberikan
saran dan pendapat dan tentang materi atau masalah apa yang diberi saran saat
dilakukan pembinaan terhadap lembaga Peradilan Agama. Kedua pertanyaan tersebut
perlu diwacanakan dan didiskusikan secara terbuka dengan harapan dapat
memperoleh masukan yang bermanfaat bagi keberadaan Pengadilan Agama dimasa yang
akan datang.
Pelaksanaan peradilan satu atap dengan pengalihan
organisasi, administrasi dan keuangan kekuasaan kehakiman ke Mahkamah Agung
tidak akan mengubah kinerja peradilan. Pengalihan adalah pelaksanaan perintah UU
no 35 tahun 1999.
Sistem peradilan satu atap dibawah Mahkamah Agung
(MA) secara efektif telah dimulai 1 April 2004. Hasil revisi UU nomor 14/1985
tentang Mahkamah Agung yang telah ditetapkan DPR.
1.2 Saran
Harapan saya setelah tersusunnya
tugas ini dapat menambah ilmu pengetahuan bagi pembaca. Dan saya juga menyadari
tugas ini jauh dari kesempurnaan untuk itu saya mengharapkan keritik dan saran
yang bersifat membangun untuk di jadikan bahan acuan dalam pemuatan tugas
selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
.
Mujahidin, Ahmad, Dr., Peradilan
Satu Atap di Indonesia (Bandung, Refika Aditama, 2007)
Abdul
Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al Wajiz, (Bogor: Daar Ibnu Rajab, 2001)
Mohammad Daud Ali, Pengantar Ilmu
Hukum dan tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
2005),
Zuhriah,
Erfaniah, M.H., Peradilan Agama di Indonesia (Malang, UIN Press, 2009)
Cik Hasan Bisri. 1997. Peradilan
Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Cetakan Pertama. Bandung: Remadja
Rosdakarya.
Busthanul Arifin. 1993. “Peradilan
Agama di Indonesia”, dalam Mimbar Hukum: Aktualisasi Hukum Islam, Nomor 10
Tahun IV, hlm. 1-9. Jakarta: Al-Hikmah & Direktorat Pembinaan Badan
Peradilan Agama Islam.
Zainuddin Fajari. 2006. Paradigma
Baru Peradilan Agama. Makalah Disampaikan dalam Kegiatan Sosialisasi
Undang-undang tentang Peradilan Agama tanggal 12 Juli 2006 di Bandung.
[1]
Cik Hasan Basri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003), hal. 2.
[2]
Mohammad Daud Ali, Pengantar Ilmu Hukum dan tata Hukum Islam di Indonesia,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2005), hal. 278.
[3]
Cik Hasan Basri, Peradilan Agama di Indonesia…, hal. 3.
[4]
QS. Al-Maidah ayat 49
[5]
Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al Wajiz, (Bogor: Daar Ibnu Rajab, 2001),
hal. 7
[6]
Ahsan Dawi Mansur, Paradigma Baru Peradilan Agama
[7]
Ahsan Dawi Mansur, Paradigma Baru Peradilan Agama
[8]
Raj Firass Cakrayukti, Satu Atap dalam Mahkamah Agung RI
[9]
Raj Firass Cakrayukti, Satu Atap dalam Mahkamah Agung RI.
No comments:
Post a Comment