POSITIVISME TEORI



Teori Hans kelsen yang mendapat banyak perhatian adalah hierarki norma hukum dan rantai validitas yang membentuk piramida hukum (stufentheorie). Salah seorang tokoh yang mengembangkan teori tersebut adalah murid Hans Kelsen, yaitu Hans Nawiasky. Teori Nawiaky disebut dengan theorie von stufenufbau der rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut adalah
1.      Norma fundamental negara
2.      Aturan dasar negara
3.      Undang-undang formal. Dan
4.      Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom.
Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung) dari suatu negara. Posisi hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai syarat bagi berlakunya suatu konstitusi. Staatsfundamentalnorm ada terlebih dahulu dari konstitusi suatu negara. Menurut Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai staatsgrundnorm melainkan Staatsfundamentalnorm, atau norma fundamental negara. Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi.[1]
Berdasarkan teori Nawiaky tersebut, kita dapat memban­dingkannya dengan teori Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah:
1)      Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945).
2)      Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan.
3)      Formell gesetz: Undang-Undang.
4)      Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Gubernur, Bupati atau Walikota.
Pancasila dilihatnya sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan pengemudi. Hal ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide yang tercantum dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm  maka pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari apa yang tercantum dalam Pancasila.
Namun, dengan penempatan Pancasila sebagai Staats-fundamentalnorm berarti menempatkannya di atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jika demikian, Pancasila tidak termasuk dalam pengertian konstitusi, karena berada di atas konstitusi. Untuk membahas permasalahan ini dapat dilakukan dengan melacak kembali konsepsi norma dasar dan konstitusi menurut Kelsen dan pengembangan yang dibuat oleh Nawiasky, serta melihat hubungan antara Pancasila dan Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945.[2]
Pada dasarnya Inti ajaran Hans kelsen terkait dengan Hukum Murni ada tiga konsep, yaitu:
1.      Ajaran murni hukum Hans Kelsen ingin membersihkan ilmu hukum dari anasir-anasir non hukum seperti sejarah, moral, sosiologis, politik, dan sebagainya.
2.      Ajaran tentang Grundnorm merupakan induk yang melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem hukum tertentu. Jadi antara Grundnorm  yang ada pada tata hukum A tidak mesti sama dengan Grundnorm pada tata hukum B. Grundnorm ibarat bahan bakar yang menggerakkan seluruh sistem hukum. Grundnorm  memiliki fungsi sebagai dasar mengapa hukum itu ditaati dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan hukum.
3.      Ajaran tentang Stufenbautheorie, peraturan hukum keseluruhannya diturunkan dari norma dasar yang berada dipuncak piramida, dan semakin kebawah semakin beragam dan menyebar. Norma dasar teratas adalah abstrak dan makin kebawah makin konkrit. Dalam proses itu, apa yang semula berupa sesuatu yang “seharusnya” berubah menjadi sesuatu yang “dapat” dilakukan.


[1] Jimly Asshiddiqie, M. Ali Safa’at, Teori Hans Kalsen Tentang Hukum, Sekretariat Jendral & Kepaniteraan Mahkama Konstitusi RI, Jakarta, 2006.
[2] H. L. A. Hart, Konsep Hukum, (Bandung: Nusa Media, 2011)

Share:

TEORI PERLINDUNGAN HUKUM



Satjipto Raharjo menjelaskan  hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan kekuasaanya kepadanya, untuk bertindak dalam rangka kepentinggannya, dan kepentingan itu merupakan sasaran hak.[1] Fitzgerald memaparkan : “That the law aims to integrate and coordinate various interests in society by limiting the variety of interests such as in a traffic interest on the other” (bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagi kepentingan dalam masyarakat dengan cara membatasi berbagai kepentingan tersebut karena dalam suatu lalulintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tersebut hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi kepentingan di lain pihak).
            Perlindungan hukum selalu terkait dengan peran dan fungsi hukum sebagai pengatur dan pelindung kepentingan masyarakat, Bronislaw Malinowski dalam bukunya berjudul Crime and Custom in Savage, mengatakan “bahwa hukum tidak hanya berperan di dalam keadaan-keadaan yang penuh kekerasan dan pertentangan, akan tetapi bahwa hukum juga berperan pada aktivitas sehari-hari”.[2]
            Perlindungan hukum yang ditempuh melalui suatu legislasi memiliki asas hukum yang mendasarinya. Demikian pula perlindungan hukum yang ditempuh melalui upaya pembuatan dan pencantuman langkah-langkah melalui legislasi yang memiliki tujuan, ruang lingkup direncanakan melalui setrategi dan kebijakan. Semua hal itu dapat dijumpai dalam setiap legislasi yang utama diadakan dengan persamaan tujuan yaitu perlindungan hukum.
            Pound mengklasifikasikan kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh hukum dalam 3 (tiga) kategori pokok, meliputi kepentingan-kepentingan umum (public interests), Kepentingan-kepentingan kemasyarakatan (social interests), kepentinga-kepentingan pribadi (private interests).[3]
            Kepentingan individu (individu interest) ini terdiri dari kepentingan pribadi, sedangkan kepentingan kemasyarakatan (social interest) terdiri dari keamanan sosial, keamanan atas lembaga-lembaga sosial, kesusilaan umum, perlindungan atas sumber-sumber sosial dari kepunahan, perkembangan sosial, dan kehidupan manusia. Adapun kepentingan publik (public interest) berupa kepentingan negara dalam bertindak sebagai representasi dari kepentingan masyarakat.[4]
            Philipus M. Hadjon menyebutkan bahwa sarana perlindungan hukum ada dua macam, yaitu:
1.      Sarana Perlindungan Hukum Preventif
Pada perlindungan hukum preventif ini, subyek hukum diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Tujuannya adalah mencegah terjadinya sengketa. Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi tindak pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersifat hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi. Di Indonesia belum ada pengaturan khusus mengenai perlindungan hukum preventif.
2.      Sarana Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum dan Pengadilan Administrasi di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum ini. Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah. Prinsip kedua yang mendasari perlindungan hukum terhadap tindak pemerintahan adalah prinsip negara hukum. Dikaitkan dengan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari negara hukum.[5]


[1] Satjipto Rahardjo. 2000. Ilmu hukum. Bandung. Citra Aditya Bakti. Hal. 53.
[2] Soeroso. 2006. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta. Sinar Grafika. Hal.13.
[3] Marmi Emmy Mustafa. 2007. Prinsip-Prinsip Beracara Dalam Penegakan Hukum Paten di Indonesia Dikatikan Dengan TRiPs-WTO. Bandung. PT. Alumni. Hal.58.
[4] Marmi Emmy Mustafa. 2007. Prinsip-Prinsip Beracara Dalam Penegakan Hukum Paten di Indonesia Dikatikan Dengan TRiPs-WTO. Bandung. PT. Alumni. Hal.58.
[5] Philipus M. Hadjon. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. Surabaya. Bina Ilmu. Hal.30.

Share:

KONSEP JANJI KAMPANYE


          
Kampanye adalah kegiatan dalam rangka meyakinkan para pemilih dengan cara menawarkan visi, misi dan program pasangan calon. Kampanye dilaksanakan sebagai bagian dari penyelenggaraan pemilihan. Dilakukan di seluruh wilayah kabupaten/kota untuk pemilihan walikota dan wakil walikota. Pasangan calon wajib menyampaikan materi kampanye yang diwujudkan dalam visi, misi, dan program secara lisan maupun tertulis kepada masyarakat. penyampaian materi kampanye disampaikan dengan cara yang sopan, tertib, dan bersifat edukatif.                     Janji menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ucapan yg menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat. Dengan kata lain, janji hanya menyiratkan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat. Lantaran itu, janji lebih sulit diminta pertanggungjawabannya. Janji bisa diibaratkan seperti seorang yang berjanji akan bertemu dengan orang lain di suatu tempat. Apabila orang pertama tidak datang, maka orang kedua tidak bisa menuntut orang pertama, atas ketidak hadirannya.
            Terkait kata janji, ada istilah lain, yang berasal dari kata janji, yaitu perjanjian. Meskipun sama berasal dari kata janji, namun perjanjian memiliki arti yang sangat berbeda. Perjanjian selain mempunyai makna "saling" juga menimbulkan akibat hukum, sebagaimana yang dikemukakan Prof. Subekti, suatu perjanjian adalah suatu peristiwa ketika seseorang berjanji kepada orang lain atau antara dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Pengertian lain dari perjanjian menurut Prof. Van Dune berarti hubungan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Oleh karena itu, dalam suatu perjanjian, dua orang atau lebih tersebut, sudah terikat secara hukum. Maka apabila salah satu pihak ingkar, maka pihak lainnya dapat menuntut pertanggungjawabannya secara hukum.
            Sedangkan definisi kampanye menurut (Roger dan Storey), seperti yang dikutip, http://all-about-theory.blogspot.com dalam (Antar Venus, 2004: 7) adalah serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakuan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu.
            Para ahli komunikasi mengakui Definisi Rogers dan Storey adalah yang paling popular dan dapat diterima dikalangan ilmuwan komunikasi. Hal ini didasarkan kepada dua alasan (1)  definisi tersebut secara tegas menyatakan bahwa kampanye merupakan wujud tindakan komunikasi; (2) bahwa definisi tersebut dapat mencakup keseluruhan proses dan fenomena praktik kampanye yang terjadi dilapangan Tujuan lain dari kampanye menurut Ibnu Hamad[1] adalah menciptakan pendapat umum. Kegiatan kampanye juga sering dianggap sebagai komunikasi politik. Para kontentan Pemilu biasanya memilih komunikasi politiknya dengan pendekatan propaganda, dibanding pendekatan persuasif.
            Pada pendekatan propoganda, upaya mempengaruhi orang lain dilakukan secara searah, dengan memafaatkan sentimen kelompok. Pesan dalam progpaganda biasanya disusun secara akurat berdasarkan analisis yang lengkap terhadap norma kelompok. Sedangkan pendekatan persuasif jarang digunakan, karena dalam pendekatan persuasif, upaya dilakukan untuk mempengaruhi perpesi dan kesan orang dengan mengekspolrasi perasaan kerangkan pikir dan sebagainya harus dilakukan secara interpersonal karena memerlukan feedback dari penerima.[2]
            Disamping, itu janji kampanye mempunyai ciri khas tersendiri dibandingkan aspek lain dari kampanye, karena janji kampanye tidak diatur dalam undang-undang pemilu. Janji kampanye juga jelas bukan bentuk dari suatu perjanjian yang mengikat secara hukum. Oleh karena itu rakyat tidak bisa menuntut pertanggungjawaban janji kampanye dikemudian hari, apabila kandidat tersebut terpilih menjadi Presiden atau Kepala Daerah. Celah ini pula yang selalu “dimanfaatkan” oleh para pelaku kampanye, pada saat kampanye. Wal hasil, janji kampanye hanya dipertanggungjawabkan secara moral kepada Yang Maha Kuasa dan masyarakat yang sifatnya tidak mengikat secara hukum.



[1] Ibnu Hamad, Memahami Komunikasi Pemasaran Politik,(Jurnal Mediator,2008), hlm. 148
[2] Ibnu Hamad, Memahami Komunikasi Pemasaran Politik,(Jurnal Mediator,2008), hlm. 74

Share:

Search This Blog