POSITIVISME TEORI



Teori Hans kelsen yang mendapat banyak perhatian adalah hierarki norma hukum dan rantai validitas yang membentuk piramida hukum (stufentheorie). Salah seorang tokoh yang mengembangkan teori tersebut adalah murid Hans Kelsen, yaitu Hans Nawiasky. Teori Nawiaky disebut dengan theorie von stufenufbau der rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut adalah
1.      Norma fundamental negara
2.      Aturan dasar negara
3.      Undang-undang formal. Dan
4.      Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom.
Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung) dari suatu negara. Posisi hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai syarat bagi berlakunya suatu konstitusi. Staatsfundamentalnorm ada terlebih dahulu dari konstitusi suatu negara. Menurut Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai staatsgrundnorm melainkan Staatsfundamentalnorm, atau norma fundamental negara. Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi.[1]
Berdasarkan teori Nawiaky tersebut, kita dapat memban­dingkannya dengan teori Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah:
1)      Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945).
2)      Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan.
3)      Formell gesetz: Undang-Undang.
4)      Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Gubernur, Bupati atau Walikota.
Pancasila dilihatnya sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan pengemudi. Hal ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide yang tercantum dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm  maka pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari apa yang tercantum dalam Pancasila.
Namun, dengan penempatan Pancasila sebagai Staats-fundamentalnorm berarti menempatkannya di atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jika demikian, Pancasila tidak termasuk dalam pengertian konstitusi, karena berada di atas konstitusi. Untuk membahas permasalahan ini dapat dilakukan dengan melacak kembali konsepsi norma dasar dan konstitusi menurut Kelsen dan pengembangan yang dibuat oleh Nawiasky, serta melihat hubungan antara Pancasila dan Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945.[2]
Pada dasarnya Inti ajaran Hans kelsen terkait dengan Hukum Murni ada tiga konsep, yaitu:
1.      Ajaran murni hukum Hans Kelsen ingin membersihkan ilmu hukum dari anasir-anasir non hukum seperti sejarah, moral, sosiologis, politik, dan sebagainya.
2.      Ajaran tentang Grundnorm merupakan induk yang melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem hukum tertentu. Jadi antara Grundnorm  yang ada pada tata hukum A tidak mesti sama dengan Grundnorm pada tata hukum B. Grundnorm ibarat bahan bakar yang menggerakkan seluruh sistem hukum. Grundnorm  memiliki fungsi sebagai dasar mengapa hukum itu ditaati dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan hukum.
3.      Ajaran tentang Stufenbautheorie, peraturan hukum keseluruhannya diturunkan dari norma dasar yang berada dipuncak piramida, dan semakin kebawah semakin beragam dan menyebar. Norma dasar teratas adalah abstrak dan makin kebawah makin konkrit. Dalam proses itu, apa yang semula berupa sesuatu yang “seharusnya” berubah menjadi sesuatu yang “dapat” dilakukan.


[1] Jimly Asshiddiqie, M. Ali Safa’at, Teori Hans Kalsen Tentang Hukum, Sekretariat Jendral & Kepaniteraan Mahkama Konstitusi RI, Jakarta, 2006.
[2] H. L. A. Hart, Konsep Hukum, (Bandung: Nusa Media, 2011)

Share:

TEORI PERLINDUNGAN HUKUM



Satjipto Raharjo menjelaskan  hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan kekuasaanya kepadanya, untuk bertindak dalam rangka kepentinggannya, dan kepentingan itu merupakan sasaran hak.[1] Fitzgerald memaparkan : “That the law aims to integrate and coordinate various interests in society by limiting the variety of interests such as in a traffic interest on the other” (bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagi kepentingan dalam masyarakat dengan cara membatasi berbagai kepentingan tersebut karena dalam suatu lalulintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tersebut hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi kepentingan di lain pihak).
            Perlindungan hukum selalu terkait dengan peran dan fungsi hukum sebagai pengatur dan pelindung kepentingan masyarakat, Bronislaw Malinowski dalam bukunya berjudul Crime and Custom in Savage, mengatakan “bahwa hukum tidak hanya berperan di dalam keadaan-keadaan yang penuh kekerasan dan pertentangan, akan tetapi bahwa hukum juga berperan pada aktivitas sehari-hari”.[2]
            Perlindungan hukum yang ditempuh melalui suatu legislasi memiliki asas hukum yang mendasarinya. Demikian pula perlindungan hukum yang ditempuh melalui upaya pembuatan dan pencantuman langkah-langkah melalui legislasi yang memiliki tujuan, ruang lingkup direncanakan melalui setrategi dan kebijakan. Semua hal itu dapat dijumpai dalam setiap legislasi yang utama diadakan dengan persamaan tujuan yaitu perlindungan hukum.
            Pound mengklasifikasikan kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh hukum dalam 3 (tiga) kategori pokok, meliputi kepentingan-kepentingan umum (public interests), Kepentingan-kepentingan kemasyarakatan (social interests), kepentinga-kepentingan pribadi (private interests).[3]
            Kepentingan individu (individu interest) ini terdiri dari kepentingan pribadi, sedangkan kepentingan kemasyarakatan (social interest) terdiri dari keamanan sosial, keamanan atas lembaga-lembaga sosial, kesusilaan umum, perlindungan atas sumber-sumber sosial dari kepunahan, perkembangan sosial, dan kehidupan manusia. Adapun kepentingan publik (public interest) berupa kepentingan negara dalam bertindak sebagai representasi dari kepentingan masyarakat.[4]
            Philipus M. Hadjon menyebutkan bahwa sarana perlindungan hukum ada dua macam, yaitu:
1.      Sarana Perlindungan Hukum Preventif
Pada perlindungan hukum preventif ini, subyek hukum diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Tujuannya adalah mencegah terjadinya sengketa. Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi tindak pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersifat hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi. Di Indonesia belum ada pengaturan khusus mengenai perlindungan hukum preventif.
2.      Sarana Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum dan Pengadilan Administrasi di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum ini. Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah. Prinsip kedua yang mendasari perlindungan hukum terhadap tindak pemerintahan adalah prinsip negara hukum. Dikaitkan dengan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari negara hukum.[5]


[1] Satjipto Rahardjo. 2000. Ilmu hukum. Bandung. Citra Aditya Bakti. Hal. 53.
[2] Soeroso. 2006. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta. Sinar Grafika. Hal.13.
[3] Marmi Emmy Mustafa. 2007. Prinsip-Prinsip Beracara Dalam Penegakan Hukum Paten di Indonesia Dikatikan Dengan TRiPs-WTO. Bandung. PT. Alumni. Hal.58.
[4] Marmi Emmy Mustafa. 2007. Prinsip-Prinsip Beracara Dalam Penegakan Hukum Paten di Indonesia Dikatikan Dengan TRiPs-WTO. Bandung. PT. Alumni. Hal.58.
[5] Philipus M. Hadjon. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. Surabaya. Bina Ilmu. Hal.30.

Share:

KONSEP JANJI KAMPANYE


          
Kampanye adalah kegiatan dalam rangka meyakinkan para pemilih dengan cara menawarkan visi, misi dan program pasangan calon. Kampanye dilaksanakan sebagai bagian dari penyelenggaraan pemilihan. Dilakukan di seluruh wilayah kabupaten/kota untuk pemilihan walikota dan wakil walikota. Pasangan calon wajib menyampaikan materi kampanye yang diwujudkan dalam visi, misi, dan program secara lisan maupun tertulis kepada masyarakat. penyampaian materi kampanye disampaikan dengan cara yang sopan, tertib, dan bersifat edukatif.                     Janji menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ucapan yg menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat. Dengan kata lain, janji hanya menyiratkan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat. Lantaran itu, janji lebih sulit diminta pertanggungjawabannya. Janji bisa diibaratkan seperti seorang yang berjanji akan bertemu dengan orang lain di suatu tempat. Apabila orang pertama tidak datang, maka orang kedua tidak bisa menuntut orang pertama, atas ketidak hadirannya.
            Terkait kata janji, ada istilah lain, yang berasal dari kata janji, yaitu perjanjian. Meskipun sama berasal dari kata janji, namun perjanjian memiliki arti yang sangat berbeda. Perjanjian selain mempunyai makna "saling" juga menimbulkan akibat hukum, sebagaimana yang dikemukakan Prof. Subekti, suatu perjanjian adalah suatu peristiwa ketika seseorang berjanji kepada orang lain atau antara dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Pengertian lain dari perjanjian menurut Prof. Van Dune berarti hubungan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Oleh karena itu, dalam suatu perjanjian, dua orang atau lebih tersebut, sudah terikat secara hukum. Maka apabila salah satu pihak ingkar, maka pihak lainnya dapat menuntut pertanggungjawabannya secara hukum.
            Sedangkan definisi kampanye menurut (Roger dan Storey), seperti yang dikutip, http://all-about-theory.blogspot.com dalam (Antar Venus, 2004: 7) adalah serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakuan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu.
            Para ahli komunikasi mengakui Definisi Rogers dan Storey adalah yang paling popular dan dapat diterima dikalangan ilmuwan komunikasi. Hal ini didasarkan kepada dua alasan (1)  definisi tersebut secara tegas menyatakan bahwa kampanye merupakan wujud tindakan komunikasi; (2) bahwa definisi tersebut dapat mencakup keseluruhan proses dan fenomena praktik kampanye yang terjadi dilapangan Tujuan lain dari kampanye menurut Ibnu Hamad[1] adalah menciptakan pendapat umum. Kegiatan kampanye juga sering dianggap sebagai komunikasi politik. Para kontentan Pemilu biasanya memilih komunikasi politiknya dengan pendekatan propaganda, dibanding pendekatan persuasif.
            Pada pendekatan propoganda, upaya mempengaruhi orang lain dilakukan secara searah, dengan memafaatkan sentimen kelompok. Pesan dalam progpaganda biasanya disusun secara akurat berdasarkan analisis yang lengkap terhadap norma kelompok. Sedangkan pendekatan persuasif jarang digunakan, karena dalam pendekatan persuasif, upaya dilakukan untuk mempengaruhi perpesi dan kesan orang dengan mengekspolrasi perasaan kerangkan pikir dan sebagainya harus dilakukan secara interpersonal karena memerlukan feedback dari penerima.[2]
            Disamping, itu janji kampanye mempunyai ciri khas tersendiri dibandingkan aspek lain dari kampanye, karena janji kampanye tidak diatur dalam undang-undang pemilu. Janji kampanye juga jelas bukan bentuk dari suatu perjanjian yang mengikat secara hukum. Oleh karena itu rakyat tidak bisa menuntut pertanggungjawaban janji kampanye dikemudian hari, apabila kandidat tersebut terpilih menjadi Presiden atau Kepala Daerah. Celah ini pula yang selalu “dimanfaatkan” oleh para pelaku kampanye, pada saat kampanye. Wal hasil, janji kampanye hanya dipertanggungjawabkan secara moral kepada Yang Maha Kuasa dan masyarakat yang sifatnya tidak mengikat secara hukum.



[1] Ibnu Hamad, Memahami Komunikasi Pemasaran Politik,(Jurnal Mediator,2008), hlm. 148
[2] Ibnu Hamad, Memahami Komunikasi Pemasaran Politik,(Jurnal Mediator,2008), hlm. 74

Share:

KONSEPSI JANJI KAMPANE


COMING SOON
Share:

URGENSI JANJI KAMPANYE YANG BERKEKUATAN DAN BERKEPASTIAN HUKUM



Demokrasi sebagai suatu sistem telah dijadikan alternatif dalam berbagai tatanan aktivitas bermasyarakat dan bernegara di beberapa negara termasuk Indonesia. Demokrasi merupakan prinsip bangsa atau negara  dalam menjalankan pemerintahannya. Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan).[1] Demokrasi mementingkan kehendak, pendapat serta pandangan rakyat, corak pemerintahan demokrasi dipilih melalui persetujuan dengan cara mufakat. Sehingga demokrasi yang kuat adalah demokrasi yang bersumber dari hati nurani rakyat untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan rakyat.[2]
Moh. Mahfud MD mengemukakan ada dua alasan dipilihnya demokrasi sebagai sistem bermasyarakat dan bernegara. Pertama, hampir semua negara didunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asas yang fundamamental.; Kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan Negara sebagai organisasi tertingginya. Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang benar pada warga masyarakat tentang demokrasi.
Dalam sejarah demokrasi Indonesia mengalami empat masa perkembangannya. Pertama, demokrasi parlementer (1945-1959) yaitu masa demokrasi (konstitusional) yang menonjolkan peranan parlemen serta partai-partai dan yang karena itu dapat dinamakan demokrasi parlementer. Berdasarkan UUD l945 yang disahkan 18 Agustus l945, sistem pemerintahan Indonesia presidensial. Kekuasaan Presiden merupakan kekuasaan “tunggal” tanpa didampingi oleh kekuasaan lain. Oleh karena itu menjadi objek Belanda dalam propaganda di luar negeri bahwa pemerintahan Indonesia yang dibentuk adalah pemerintahan dictator, pemerintahan terpusat atau terkonsentrasikan di satu tangan yaitu Presiden.
Kedua, masa demokrasi terpimpin yang dalam banyak aspek telah menyimpang dari demokrasi konstitusional yang secara formil merupakan landasanya, dan menunjukkan beberapa aspek demokrasi rakyat. Ketiga, n masa demokrasi pancasila yang merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem presidensil. Selama masa orde baru, demokrasi adalah hal yang hanya menjadi konsumsi mereka yang bergelut dengan politik tingkat tinggi Negara, tidak mengakar kepada rakyat di kalangan bawah. diinterpretasikan bahwa budaya politik dijabarkan sedemikian rupa sehingga negara bertindak sebagai aktor tunggal dan sentral. Logika penempatan negara sebagai aktor tunggal ini terartikulasi melalui pengesahan secara tegas dan mutlak bagi sentralitas negara dengan seluruh perangkat birokrasi dan militernya demi kepentingan pembangunan ekonomi dan politik.[3] Hal ini terjadi karena keran demokrasi seakan dibungkam oleh rezim yang berkuasa.
Keempat, yaitu masa demokrasi pasca reformasi 1988 sampai sekarang. Ketika reformasi bergulir, seketika itu pula gairah demokrasi yang lama terpendam mencuat kepermukaan. Aspinall mengatakan bahwa Indonesia sedang mengalami saat yang demokratis. Inisiatif politik yang dimotori oleh Amien Rais mendorong reformasi terus bergulir. Reformasi yang gegap gempita tersebut memberikan secercah harapan akan munculnya tata kehidupan yang benar-benar demokratis, yang ditandai dengan booming munculnya banyak parpol baru, kebebasan berserikat, kemerdekaan berpendapat, kebebasan pers, dan sebagainya, yang merupakan ciri-ciri demokrasi.[4]
Sebagai bentuk pelaksanaan demokrasi, pada masa reformasi dilaksanakan Pemilihan Umum 1999. Pelaksanaan Pemilu 1999 merupakan salah satu amanat reformasi yang harus dilaksanakan. Sebagai upaya perbaikan pelaksanaan demokrasi, terdapat beberapa langkah yang dilaksanakan, yaitu: (a) banyaknya partai politik peserta pemilu, (b) pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden secara langsung, (c) pemilu untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di DPR, MPR, dan DPD. (d) pelaksanaan pemilu berdasarkan asas luber dan jurdil, (e) pemilihan kepala daerah secara langsung, dan (f) kebebasan penyampaian aspirasi lebih terbuka.
Demokrasi Indonesia pasca amandemen Undang-Undang Dasar 1945 telah mulai menunjukkan perubahan. Bila sebelum amandemen UUD 1945 kekuasaan memilih presiden dan wakil presiden oleh MPR, pasca amandemen kekuasaan tersebut beralih ke tangan rakyat. Rakyat langsung memilih presiden dan wakilnya dalam suatu pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden. Implikasi perubahan kekuasaan memilih presiden dan wakil presiden dari MPR ke tangan rakyat dalam perkembangan demokrasi dan ketatanegaran kita pada gilirannya diikuti pula oleh pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pasca pemberlakuan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, rakyat kembali diberi “tiket” untuk melaksanakan peranan langsung menentukan pilihan politiknya terhadap seorang kepala daerah dan wakilnya.[5]
Pemilihan umum merupakan aktivitas periodik yang diatur dalam konstitusi atau Undang-undang Dasar. Pemilu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan demokrasi, karena pada saat itulah rakyat berkesempatan mencurahkan segala aspirasinya kepada para kandidat/politisi dalam rangka membangun bangsa..
Pemilihan Kepala Daerah secara langsung yang sering disebut sebagai pilkada menjadi sebuah perjalanan sejarah baru dalam dinamika kehidupan berbangsa di Indonesia. Perubahan sistem pemilihan mulai dari pemilihan Legislatif, Presiden dan Wakil Presiden, dan Kepala Daerah diharapkan mampu melahirkan kepemimpinan yang dekat dan menjadi idaman seluruh lapisan masyarakat. Minimal secara moral dan ikatan dan pertanggungjawaban kepada konstituen pemilihnya yang notabene adalah masyarakat yang dipimpinnya.
Abdul Asri (Harahap 2005:122), mengatakan bahwa:
“Pilkada langsung merupakan tonggak demokrasi terpenting di daerah, tidak hanya terbatas pada mekanisme pemilihannya yang lebih demokratis dan berbeda dengan sebelumnya tetapi merupakan ajang pembelajaran politik terbaik dan perwujudan dari kedaulatan rakyat. Melalui pilkada langsung rakyat semakin berdaulat, dibandingkan dengan mekanisme sebelumnya dimana kepala daerah ditentukan oleh sejumlah anggota DPRD. Sekarang seluruh rakyat yang mempunyai hak pilih dan dapat menggunakan hak suaranya secara langsung dan terbuka untuk memilih kepala daerahnya sendiri. Inilah esensi dari demokrasi dimana kedaulatan ada sepenuhnya ada ditangan rakyat, sehingga berbagi distorsi demokrasi dapat ditekan seminimal mungkin”.

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan di atas, maka pada hakikatnya pilkada merupakan sebuah peristiwa luar biasa yang dapat membuat perubahan berarti bagi daerah. Ini merupakan suatu cara dari kedaulatan rakyat yang menjadi esensi dari demokrasi. Oleh karena itu, esensi dari demokrasi yang melekat pada pilkada hendaknya disambut masyarakat secara sadar dan cerdas dalam menggunakan hak politiknya. Partisipasi, aktif, cermat, dan jeli hendaknya menjadi bentuk kesadaran politik yang harus dimiliki oleh masyarakat daerah dalam Pilkada ini.
Pemilihan umum kepala daerah merupakan aktivitas periodik yang diatur dalam konstitusi atau Undang-undang Dasar. Pemilu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan demokrasi, karena pada saat itulah rakyat berkesempatan mencurahkan segala aspirasinya kepada para kandidat/politisi dalam rangka membangun bangsa. Dalam setiap pemilukada, tentu ada kampanye, dan setiap kampanye pasti melibatkan sejumlah orang.
Menurut Pasal 1 angka 35 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, kampanye Pemilu adalah kegiatan Peserta Pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu untuk meyakinkan Pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri Peserta Pemilu.[6]
Dalam kampanye, masalah program mestinya menjadi perhatian serius kandidat karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Dinamika tersebut terdapat hal serius yang semestinya memperoleh perhatian memadai. Jika kita refleksikan bersama, dinamika politik yang sekarang tengah berlangsung sebenarnya tidak lebih dari dinamika elitis. Mereka yang sibuk berkompetisi hanyalah para elite partai yang sedang berkompetisi menuju kursi kekuasaan. Pada momen politik semacam ini, mereka sibuk mengobral janji-janji manis kepada rakyat, mulai dari pendidikan gratis, pengobatan murah, peningkatan kesejahteraan dan berbagai janji manis lainnya. Tujuannya jelas, yaitu menarik simpati dan dukungan rakyat.[7]
Mengenai janji kampanye atau dalam bahasa yuridis formalnya di atur dalam Undang-undang adalah visi, misi dan program. Untuk pemilihan presiden da wakil presiden mengacu pada Undang-undang No. 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum. berikut pasal-pasal yang berkaitan dengan visi, misi dan program:
Pasal 169 
Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah:  (t) memiliki visi, misi, dan program dalam melaksanakan pemerintahan negara Republik Indonesia.
Pasal 229 ayat (1)
Partai Politik atau Gabungan Partai Politik dalam mendaftarkan bakal Pasangan Calon ke KPU wajib menyerahkan: (e) naskah visi, misi, dan program dari bakal Pasangan Calon;
Pasal 274 ayat (1) dan (2)
(1) Materi kampanye meliputi: a. visi, misi, dan program Pasangan Calon untuk Kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden;
(2)Dalam rangka pendidikan politik, KPU wajib memfasilitasi penyebarluasan materi Kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang meliputi visi, misi, dan program Pasangan Calon melalui laman KPU dan lembaga penyiaran publik.
Sedangkan janji kampanye untuk pemilihan kepala daerah yaitu gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota diatur dalam UU No. 1 Tahun 2005, UU No. 8 Tahun 2005 dan UU No. 10 Tahun 2016. Berikut pasal-pasal yang berkaitan dengan janji kampanye atau visi, misi dan program:
Pasal 64 ayat (1)
Pasangan calon wajib menyampaikan visi dan misi yang disusun berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi atau Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten/Kota secara lisan maupun tertulis kepada masyarakat.
Pasal 45 pasal (1) dan (2)
(1) Pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota disertai dengan penyampaian kelengkapan dokumen persyaratan.
(2) Dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: (g) naskah visi, misi, dan program Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota.
Pasal 68 ayat (4)
Materi debat adalah visi, misi, dan program Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota dalam rangka:[8]
Diaturnya mengenai janji kampanye dalam Undang-undang tidak diimbangi dengan kontrol realisasi janji-janji tersebut. Janji kampanye para kontestan pemilu seolah-olah hanya menjadi pemanis bibir semata untuk mengelabui rakyat agar tertarik memilih dirinya padahal dari semula janji tersebut (mungkin) telah direncanakan untuk tidak dipenuhi. Maka tidak heran bila sebagian besar rakyat menganggap janji politik sangat identik dengan kebohongan. Pemilu di mata rakyat tidak lebih dari sekadar sebuah ajang tempat orang memberikan janji-janji untuk diingkari.
Oleh karena itu, untuk menarik minat masyarakat di laksanakan suatu kegiatan peserta pemilukada untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program peserta. kampanye lebih merupakan suatu ajang manuver politik untuk menarik sebanyak mungkin pemilih dalam pemilu sehingga bisa meraih kekuasaan. Setelah pemilu selesai dan kekuasaan diperoleh, mereka melupakan janji-janji. Yang penting sudah berkuasa, lalu bertindak semau mereka sendiri dan seringkali hanya mementingkan diri atau kelompok sendiri.[9]
Terdapat opini adalah janji kampanye disebutkan atau diedarkan atau sebagai visi dan misi adalah janji yang tidak memiliki kekuatan hukum. Janji itu adalah janji “bodong”. Unsurnya adalah “Penipuan” bagi masyarakat Pemilih. Janji kampanye lebih merupakan janji publik ketimbang janji perdata. Sehingga penyelesaiannnya kurang tepat ke peradilan umum. Namun, ada opini menegaskan, bukan berarti janji-janji kampanye politik tidak bisa dituntut secara hukum. Ranahnya bisa saja ke peradilan umum atau badan peradilan lain setingkat Mahkamah Konstitusi (MK).
Janji kampanye juga jelas bukan bentuk dari suatu perjanjian yang mengikat secara hukum. Oleh karena itu rakyat tidak bisa menuntut pertanggungjawaban janji kampanye dikemudian hari, apabila kandidat tersebut terpilih menjadi Presiden atau Kepala Daerah. Celah ini pula yang selalu “dimanfaatkan” oleh para pelaku kampanye, pada saat kampanye. Wal hasil, janji kampanye hanya dipertanggungjawabkan secara moral kepada Yang Maha Kuasa dan masyarakat yang sifatnya tidak mengikat secara hukum.
Gabriel Almon menjelaskan bahwa janji politik adalah bagian dari alat komunikasi politik dari partai politik yang dijalankan oleh struktur yang tersedia yaitu para calon terpilih. Disini Gabriel Almon menjelaskan bahwa janji-janji politik harus dilakaksanakn oleh pasangan calon yang terpilih. Jangan sampai janji-janji yang sudah digembor-gemborkan pada saat kampanye hanya sebagai lips service saja, dan jangan sampai janji-janji tersebut hanya menjadi andalan saja untuk menarik simpati rakyat, tapi realisasinya nol besar.[10]
Rakyat mempunyai hak untuk menagih secara hukum atas dasar ingkar janji, ketika janji-janji politiknya tidak dilaksanakan oleh pasangan terpilih. Fakta para elite yang maju dalam kontestasi pemilu mengecewakan masyarakat pemilihnya, dimana setelah memberikan suaranya, segala janji yang diucapkan pada masa kampanye langsung dilupakan. Sedangkan dalam tata hukum nasional hari ini sama sekali belum ada pengaturannya.  Sehingga masyarakat sangat dirugikan dengan adanya para elite yang tidak menempati janjinya. Dengan demikian  perlu adanya suatu instrumen hukum yang mengakomodir pengaturan terhadap janji kampanye. Upaya membentuk pengaturan mengenai realisasi terhadap janji politik / janji kampanye (visi, misi dan program) menciptakan kepastian hukum dalam sistem hukum nasional.
Dari gambaran singkat tentang fakta-fakta dan isu hukum yang terjadi di masyarakat, maka pentingnya melakukan positivisasi janji kampanye ke dalam tata hukum nasional, penulis merasa terpanggil untuk melakukan penelitian dengan judul “ Pengaturan Tentang Realisasi Visi, Misi dan Program Kepala Daerah Terpilih”.


[1] Azumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 125
[2] Zakaria Bangun, Demokrasi dan Kehidupan Demokrasi di Indonesia, (Medan: Bina Media Perintis, 2008), hlm. 2
[3] Suharso, "Quo Vadis Demokrasi Indonesia" dalam Mahfud MD (eds), Wacana Politik, Hukum dan Demokrasi, (Yogyakarta: LkiS, 2000), hlm 18
[4] Aspinall, "Bagaimana Peluang Demokratisasi?" dalam Edward Aspinall (eds). Titik Tolak Reformasi: Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto, (Yogyakarta: LkiS, 2004)
[5] Mukthie Fadjar, Konstitusionalisme Demokrasi (sebuah diskursus tentang pemilu, otonomi daerah dan mahkamah konstitusi sebagai kado untuk sang penggembala) Malang 2010 In-Trans Publishing hlm. 210
[6] UU hal 6
[7] Adman Nursal, Political Marketing: Strategi Memenangkan Pemilu, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 44
[8] Baca: (a) meningkatkan kesejahteraan masyarakat; (b) memajukan daerah; (c) meningkatkan pelayanan kepada masyarakat; (d) menyelesaikan persoalan daerah; (f) menyerasikan pelaksanaan  pembangunan daerah kabupaten/kota dan provinsi dengan nasional; dan (g) memperkokoh       Negara   Kesatuan Republik Indonesia dan kebangsaan.
[9] Suharso, "Quo Vadis Demokrasi Indonesia" dalam Mahfud MD (eds), Wacana Politik, Hukum dan Demokrasi, (Yogyakarta: LkiS, 2000), hlm 34
[10] Yenrizal, Budaya Politik Kulit dan Komunikasi Politik Demokratis di Indonesia, (Jurnal Hukum Mediator, 2004), hlm 13

Share:

Search This Blog