PENDAHULUAN
Islam tidak senang kepada orang
yang membujang. Membujang termasuk perbuatan yang menimbulkan dasar kebencian
Islam terhadap setiap sesuatu yang tidak sesuai antara insting dan akal.
Sesuatu yang tidak mempertimbangkan antara kenyataan dan kebutuhan dasar
kehidupan manusia.
Allah telah menciptakan lelaki dan
perempuan sehingga mereka dapat berhubungan satu sama lain, sehingga mencintai,
menghasilkan keturunan, serta hidup dalam kedamaian yang sesuai dengan perintah Allah dan
petunjuk Rasulallah SAW.
Islam mendorong manusia untuk
membentuk keluarga. Islam mengajak manusia untuk membentuk kelurga, karena
keluarga itu gambaran kecil dalam kehidupan stabil yang menjadi pemenuhan
keinginan manusia, tanpa menghilangkan kebutuhannya.
Keluarga merupakan tempat fithroh
yang sesuai dengan keinginan Allah bagi kehidupan manusia sejak keberadaan
khalifah, Allah SWT. berfirman:
ôs)s9ur
$uZù=yör&
Wxßâ
`ÏiB
y7Î=ö6s%
$uZù=yèy_ur
öNçlm;
%[`ºurør&
ZpÍhèur
4
Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami
memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. (QS. Ar-Ra’d (13): 38)
Kehidupan manusia secara individu
berada dalam perputaran kehidupan dengan berbagai arah yang menyatu dengannya.
Karena sesungguhnya fitrah kebutuhan manusia mengajak untuk keluarga sehingga
mencapai kerindangan dalam tabiat kehidupan. Bahwasannya tiadalah kehidupan
yang dihadapi dengan kesungguhan oleh pribadi yang kecil.
Bahkan telah membutuhkan
unsur-unsur kekuatan, memperhatikannya pada tempat-tempat berkumpul,
tolong-menolong dalam menanggung beban, menghadapi kesulitan, dari segenap
kebutuhan aturan keluarga.
1
|
|NtôÜÏù
«!$#
ÓÉL©9$#
tsÜsù
}¨$¨Z9$#
$pkön=tæ
4
w
@Ïö7s?
È,ù=yÜÏ9
«!$#
(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah.
Dalam hal ini penulis mencoba
menyajikan karya ilmiayah tentang pernikahan yang berjudul “Fiqih Munakahat: Pengertian,
Hukum, Rukun, dan Syarat serta Hikmah Pernikahan dalam Kehidupan.” Untuk
memenuhi tugas Fiqih Munakahat, dan semoga bermanfaat bagi kami khususnya dan
bagi pembaca umumnya.
Untuk mempermudah dalam
pemahaman isi makalah ini, penulis akan memberikan rumusan masalah yang mengenai
pembahasan. Rumusan masalah tersebut sebagai mana berikut ini:
1. Bagaimana pengertian pernikahan?
2. Bagaimana dasar hukum pernikahan dan
hukum-hukum pernikahan dalam kehidupan?
3. Apa saja rukun-rukun pernikahan yang
harus dipenuhi?
4. Apa saja syarat dari masing-masing rukun
pernikahan?
5. Bagaimana hikmah pernikahan dalam
realita kehidupan?
Tujuan penulis dalam
pembahasan di sini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk
mengetahui Bagaimana pengertian pernikahan.
2.
Untuk
mengetahui dasar hukum pernikahan dan hukum-hukum pernikahan dalam kehidupan.
3.
Untuk
mengetahui rukun-rukun pernikahan yang harus dipenuhi dalam akad pernikahan.
4.
Untuk
mengetahui syarat dari masing-masing rukun pernikahan.
5.
Untuk
mengetahui hikmah hikmah pernikahan dalam realita kehidupan.
BAB II
PEMBAHASAN
Secara
bahasa nikah diartikan sebagai berkumpul, wathi, dan akad. Sedangkan secara
istilah diartikan sebagai:
عقد يتضمن ملك وطء بلفظ
إنكاح أو تزويج أو معناهما
Akad yang
mengandung maksud untuk memiliki kesenangan wat’I dengan menggunakan lafadz
nikah atau kawin atau yang semakna dengan keduanya.
Perkawinan
atau pernikahan dalam literatur fiqih berbahasa arab disebut dengan dua kata,
yaitu nikah(إنكاح), dan zawaj(تزويج). Kedua kata ini
yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam
al-Qur’an dan hadits Nabi. Kata nakaha banyak terdapat dalam al-Qur’an
dengan arti kawin, seperti dalam surat an-Nisa’ ayat 3:
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz wr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz wr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù
Dan jika kamu takut tidak akan
dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya),
maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.
kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah)
seorang saja.
Demikian
pula banyak terdapat kata zawaja dalam al-Qur’an dalam arti kawin, seperti
dalam surat al-Ahzab ayat 37:
øÎ)ur$£Jn=sù 4Ó|Ós% Ó÷y $pk÷]ÏiB #\sÛur $ygs3»oYô_¨ry ös5Ï9 w tbqä3t n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# Óltym þÎû Ælºurør& öNÎgͬ!$uÏã÷r&
Maka
tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya),
Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin
untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka.
3
|
bÎ*sù $ygs)¯=sÛ xsù @ÏtrB ¼ã&s! .`ÏB ß÷èt/ 4Ó®Lym yxÅ3Ys? %¹`÷ry ¼çnuöxî
Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang
kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan
suami yang lain.
Mengandung arti
hubungan kelamin dan bukan hanya sekedar akad nikah karena ada petunjuk dari
hadits Nabi bahwa setelah akad nikah dengan laki-laki kedua perempuan itu belum
boleh dinikahi oleh mantan suaminya kecuali suami kedua telah merasakan
nikmatnya hubungan kelamin dengan perempuan tersebut.[1]
Sedangkan
secara istilah pernikahan menurut Abu Hanifah adalah “aqad yang dikukuhkan[2]
untuk memperoleh kenikmatan dari seorang
wanita, yang dilakukan dengan sengaja”. Secara syara’ akad yang sudah mashur dan terdapat syarat
dan rukun yang harus dipenuhi.
Madzhab
Maliki, Pernikahan adalah “akad yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan
dari wanita” arti esensialnya disini adalah dengan aqad tersebut maka
terhindarlah seseorang dari bahaya fitnah perbuatan Haram (Zina).[3]
Sedangkan
menurut penganut madzhab Imam Syafi’i berpendapat bahwa, yang dimaksud dari
pernikahan itu sendiri yaitu “akad yang didalamnya menjamin diperbolehkannya
persetubuhan antara kedua belah pihak .“
Menurut
madzhab Imam Hambali adalah “akad yang didalamnya terdapat lafadh pernikahan
secara jelas, agar diperbolehkan bercampur.
Setelah
kita perhatikan dan kita telaah secara mendalam dari berbagai definisi
pernikahan dari masing-masing lintas madzhab diatas jelas, bahwa yang menjadi inti pokok dari
perrnikahan itu adalah aqad (perjanjian). Yaitu penyerahan dan penerimaan antara orang tua calon mempelai wanita dengan
calon mempelai pria. Penyerahan dan penerimaan tanggung jawab secara arti luas,
telah terjadi pada saat Aqad nikah tersebut, disamping penghalalan bercampur
keduanya sebagai suami-istri dan tentunya adanya pencataan yang legal pada
negara.
Sedangkan
pengertian perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam pada Bab II pasal 2 mengenai
dasar–dasar perkawinan disebutkan: perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan,
yaitu akad yang sangat kuat atau untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
adalah ibadah. Dan pada pasal 4
disebutkan bahwa “Perkawinan adalah
sah, apabila dilakukan menurut hukum
Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang– Undang No.1 Tahun 1974 tentang
perkawinan.[4]
Dan pada pasal 5 ayat 1 disebutkan: “ agar
terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus
dicatat. Selanjutnya pada pasal 6 disebutkan pada ayat (1) “ untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5,
setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai
Pencatatan Nikah”. (2) “perkawinan
yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatatan Nikah tidak mempunyai
kekuatan hukum “.
Bila
kita teliti secara seksama pada berbagai definisi diatas tentang berbagai
penafsiran dalam pernikahan (perkawinan), maka menurut hemat penulis
berpendapat bahwa ada perbedaan pengertian mengenai pernikahan dan perkawinan
meskipun tidak ada perbedaan yang prinsipil.
Secara garis besar, ada sebuah humor yang bisa di jadikan acuan yakni “
nikah itu berbedada dengan kawin, nikah itu pake urat, kalo kawin pake surat”
humor ini sejalur dengan definisi perkawinan yang berdasarkan Kompilasi Hukum Islam yang tertera diatas.
Walaupun ada perbedaan pendapat tentang perumusan
pengertian diatas, tetapi dari semua rumusan yang dikemukakan ada
satu unsur yang merupakan kesamaan dari seluruh pendapat, yaitu bahwa nikah itu merupakan suatu perjanjian
perikatan antara seorang laki-laki dan seorang wanita. Perjanjian disini bukan
sembarang perjanjian belaka sepertihalnya jual beli atau sewa menyewa.
Tetapi merupakan perjanjian suci untuk membentuk keluarga
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Suci disini dilihat dari segi
keagamaannya dari suatu perkawinan[5].
Hukum-Hukum
pernikahan Nikah disyariatkan oleh agama sejalan dengan hikmah manusia
diciptakan oleh Allah yaitu kemakmuran dunia dengan jalan terpeliharanya keturunan
manusia. Para ualama sependapat bahwa nikah itu disyariatkan oleh agama,
perselisihan mereka diantaranya dalam hal hukum menikah.[6]
Dalam masalah
hukum menikah terdapat perselisihan pendapat dalam hukum Islam yang terbagi
dalam tiga kelompok, yakni:
Hukum menikah adalah wajib, karena perintah
menikahkan dalam al-Qur’an surat an-Nisa ayat 3:
÷bÎ)ur
÷LäêøÿÅz
wr&
(#qäÜÅ¡ø)è?
Îû
4uK»tGuø9$#
(#qßsÅ3R$$sù
$tB
z>$sÛ
Nä3s9
z`ÏiB
Ïä!$|¡ÏiY9$#
4Óo_÷WtB
y]»n=èOur
yì»t/âur
(
÷bÎ*sù
óOçFøÿÅz
wr&
(#qä9Ï÷ès?
¸oyÏnºuqsù
÷rr&
$tB
ôMs3n=tB
öNä3ãY»yJ÷r&
4
y7Ï9ºs
#oT÷r&
wr&
(#qä9qãès?
ÇÌÈ
Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang
saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat
kepada tidak berbuat aniaya.
Dan perintah
menikahkan dalam kedua hadits riwayat Bukhari-Muslim sebagaimana telah disebut,
kesemuanya menunjukkan kepada perintah wajib. Hal ini berdasarkan kaidah bahwa
setiap sighot “amar” itu
menunjukkan wajib secara muthlaq. Pendapat ini dipelopori oleh Daud Az-Zhahiry,
yaitu satu kali nikah untuk seumur hidup walaupun yang bersangkutan impoten;
Ibnu Hazm, hukum wajib hanya ditujukan kepada mereka yang tidak impoten; dan
juga dipelopori oleh Imam Ahmad.
Hukum menikah
adalah sunnah, dengan berpegangan pada surat an-Nisa’ ayat 3 yang menunjukkan
jalan halal untuk mendekati wanita itu ada dua cara: dengan jalan menikah atau
dengan jalan tasarri yakni memiliki jariyah (budak perempuan).
Ketentuan surat an-Nisa’ menuruh untuk memilih antara tasarri dan
menikah, oleh karena tasarri tidak wajib, maka ini menunjukkan bahwa
menikah hukumnya tidak wajib. Menurut ushul fiqh, tidak ada pilihan antara
wajib dan tidak wajib, karena yang dikatakan wajib itu suatu yang tidak dapat
ditinggalkan, dengan demikian hukumnya adalah sunnah. Pendapat ini dikemukakan
oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad dalam suatu riwayat.
Hukum menikah
adalah mubah, dengan alasan firman Allah dalam an-Nisa’ ayat 3 adalah Allah
menyerahkan kepada kita untuk memperoleh wanita dengan jalan menikah atau
dengan tasarri yang menunjukkan kedua jalan itu sama derajatnya. Menurut
Ijma’, tasarri hukumnya mubah, karena itu menikah hukumnya juga mubah
(tidak sunnah) karena tidak ada pilihan antara sunnah dan mubah. Pendapat ini
dipelopori oleh Imam Syafi’i.
2.2.2
Hukum-Hukum
Pernikahan dalam Kehidupan
Imam Syafi’i
mengatakan bahwa nikah itu hukumnya jaiz atau mubah, atau bisa dikatakan
bahwa seseorang itu boleh nikah juga boleh tidak nikah. Hukum jaiz tersebut
dapat berkembang ke tingkat yang lebih tinggi yaitu wajib juga dapat pula menjadi
haram. Dalam sistem hukum Syafi’iyah tidak menekankan hanya kepada kaidah hukum
asalnya saja tetapi juga pada segi agama, sosial, moralnya, sesuai dengan jiwa
syari’at Islam. Lebih lanjut kita tinjau hukum menikah dari kondisi
perseorangan dengan berlandaskan pada kaidah ushul fiqh yang berbunyi: “Hukum
itu beredar atau berganti-ganti menurut illatnya.”
Kaidah ini
setelah diterapkan dalam hukum perkawinan, menghasilkan perubahan hukum yang
didasarkan dari perbedaan illat.[7]
pada tataran selanjutnya, hukum pernikahan sangat bergantung pula kepada
keadaan orang yang bersangkutan, baik dari segi psikologis, materi maupun
kesanggupannya memikul tanggung jawab. Bisa jadi, bagi seseorang pernikahan itu
wajib. Dan, bisa jadi pula bagi orang lain hukumnya adalah mubah. Untuk lebih
jelasnya, marilah kita bahas satu per satu hukum pernikahan.[8]
1.
Wajib
Menikah hukumnya wajib bagi orang yang khawatir berbuat zina jika
tidak melakukannya. Sebagaimana kita ketahui menikah adalah satu cara untuk
menjaga kesucian diri. Maka jika tidak ada jalan lain untuk meraih kesucian
itu, kecuali dengan menikah, maka menikah hukumnya adalah wajib bagi yang
bersangkutan. Imam al-Qurthubi mengatakan,”orang yang mampu menikah, kemudian
khawatir terhadap diri dan agamanya, dan itu tidak dapat dihilangkan kecuali
dengan menikah, maka dia harus menikah”.
Misalnya, seorang pemuda memiliki banyak harta dan berlimpahan
materi, dan dia tidak mampu mnahan syahwatnya sehingga akan dengan mudah
terjerumus ke dalam lembah kemaksiatan. Pada saat bersamaan dia juga memiliki
kewajiban menunaikan ibadah haji karena syarat-syaratnya sudah terpenuhi. Maka,
dalam keadaan seperti itu dia harus menikah terlebih dahulu. Ibnu Taimiyah Rahimahullah
mengatakan, “jika seorang harus menikah karena takut terjerumus ke lembah
perzinaan maka dia harus mendahulukannya daripada kewajiban berhaji.”
Bahkan, jika keadaan sudah darurat, dalam arti bahwa seseorang
benar-benar terjerumus ke dalam perzinaan, maka menikah hukumnya wajib baginya,
baik sudah siap secara materi maupun belum sama sekali.[9]
Sementara itu Allah SWT. telah menjanjikan hamba-Nya yang fakir
akan kaya dengan menikah, sebagaimana firman-Nya:
(#qßsÅ3Rr&ur 4yJ»tF{$# óOä3ZÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur ô`ÏB ö/ä.Ï$t6Ïã öNà6ͬ!$tBÎ)ur 4 bÎ) (#qçRqä3t uä!#ts)èù ãNÎgÏYøóã ª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ª!$#ur ììźur ÒOÎ=tæ ÇÌËÈ
“Dan
kawinkanlah orang-orang yang sedirian* diantara kamu, dan
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka
dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (Pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.” (QS Al-Nur [24]: 32)
الآيمى (Al-Ayaama)
merupakan jamak dari lafadh أَيَّمٍ (ayyam)
yaitu seseorang yang tidak mempunyai suami atau istri, baik dari laki-laki
maupun perempuan.[10]
Dalam buku lain dijelaskan, seandainya hasratnya untuk menikah
sangat kuat, namun dia tidak memiliki kemampuan untuk menafkahi istrinya kelak,
lalu dia terpaksa tidak melakukan pernikahan, hendaklah dia bersabar dan
bersungguh-sungguh dalam upaya menjaga dirinya daripada terjerumus dalam
perzinaan, seraya mengikuti petunjuk firman Allah SWT.:[11]
É#Ïÿ÷ètGó¡uø9ur
tûïÏ%©!$#
w
tbrßÅgs
%·n%s3ÏR
4Ó®Lym
ãNåkuÏZøóã
ª!$#
`ÏB
¾Ï&Î#ôÒsù
3
“Dan mereka yang tidak memiliki kemampuan untuk menikah,
hendaklah menjaga kesucian dirinya, sampai Allah memampukan mereka dengan
karunia-Nya.” (QS Al-Nur [24]: 33)
2.
Sunnah
Pernikahan tidak menjadi wajib, namun sangat dianjurkan bagi siapa
saja yang memiliki hasrat atau dorongan seksual untuk menikah dan memiliki
kemampuan untuk melakukannya, walaupun merasa yakin akan kemampuannya
mengendalikan dirinya sendiri, sehingga tidak khawatir akan terjerumus dalam
perbuatan yang diharamkan Allah. Orang seperti ini, tetap dianjurkan untuk
menikah, sebab bagaimanapun nikah adalah tetap lebih afdhal daripada
mengkontrasikan diri secara total (ber-thakhalli) untuk beribadah.[12]
Sabda Nabi Muhammad SAW.:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ قال: قال لنا رسول الله صلى الله عليه و سلم:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ, فَإِنَّهُ
أَغَضُّ لِلْبَصَرِ, وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ, وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ,
فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.[13]
Dari Abdillah ibn Mas’ud berkata: Nabi Muhammad Saw. telah bersabda, kepada kami “Wahai sekalian pemuda, barang siapa diantara kamu mampu al baa’ah maka
hendaklah menikah, dan barang siapa tidak mampu maka hendaklah berpuasa,
sesungguhmya puasa itu menjadi perisai baginya.”
الباءة (Al-Baa’ah). Terkadang dibaca ‘al bah’ dan juga ‘al baa’a’ serta ‘al baahah’.
Dikatakan bila dibaca panjang maknanya kemampuan menanggung biaya nikah, dan
bila dibaca tanpa tanda panjang maknanya kemampuan melakukan hubungan intim.
Al-Khathathabi berkata, “Maksud ‘al baa’ah’ adalah nikah. Asalnya adalah tempat
yang disiapkan untuk berlindung.” Sementara Al-Maziri berkata, “Akad terhadap
wanita diambil dari asal kata ‘al baa’ah’, karena menjadi kebiasaan seseorang
yang menikahi perempuan, menyiapkan tempat tinggal.”[14]
Hadits
tersebut menunjukkan kesunahan dalam pernikahan yaitu kekhawatiran rusaknya
mata dan farji. Lafadh wija’ itu menjadi
ibarat dari hancurnya dua testis “رضّ الخصيتين” manusia, sehingga hilanglah sifat kelelakian
laki-laki. Adapun lafadh رضّ
الخصيتين dipinjam karena ketidak
bolehan jima’ pada saat puasa.[15]
Pernikahan itu disunahkan jika seseorang sudah mampu secara materi
dan sehat jasmani, namun tidak ada kekhawatiran akan terjerumus ke dalam
perzinaan. Ia masih memiliki filter untuk melindungi dirinya dari terjerembah
ke dalam lembah kemaksiatan.
Jika dia mempunyai keinginan untuk menikah dengan niat memelihara
diri atau mendapat keturunan, maka hukum menikah baginya adalah sunnah. Tetapi
kalau dia tidak berkeinginan untuk menikah sedang dia ahli ibadah, maka lebih
utama untuk tidak menikah. Jika dia bukan ahli ibadah, maka lebih utama baginya
untuk menikah. Menurut Imam Ahmad dari suatu riwayat, sunah menikah bagi yang
tidak berkeinginan untuk kawin walaupun tidak khawatir jatuh ke dalam perzinaan
yang oleh karenanya menikah lebih utama dari ibadah-ibadah sunnah.[16]
3.
Makruh
Jika seseorang laki-laki yang tidak mempunyai syahwat untuk
menikahi seseorang perempuan, atau sebaliknya, sehingga tujuan pernikahan yang
sebenarnya tidak akan tercapai, maka yang demikian itu hukumnya makruh.
Misalnya seorang yang impoten. Sebagaimana kita ketahui, salah satu tujuan dari
pernikahan adalah menjaga diri, sehingga ketika tujuan ini tidak tercapai, maka
ada faedahnya segera menikah.[17]
Juga pada laki-laki yang sebetulnya tidak membutuhkan perkawinan, baik
disebabkan tidak mampu memenuhi hak calon istri yang bersifat nafkah lahiriyah
maupun yang tidah memiliki hasrat seksual, sementara si perempuan tidak
terganggu dengan ketidakmampuan sang calon suami. Misalnya, karena perempuan
itu kebetulan seorang yang kaya raya dan juga tidak memiliki hasrat kuat untuk
melakukan hubungan seksual. Kurang disukainya perkawinan ini terutama apabila
dapat mengakibatkan si laki-laki seperti itu meninggalkan kegiatannya dalam
beribadah ataupun dalam menuntut ilmu yang biasanya dilakukan sebelum itu.[18]
Begitu pula makruh bagi orang yang kalau dia menikah, dia khawatir
istrinya akan teraniaya, akan tetapi kalau dia tidak menikah dia khawatir akan
jatuh kepada perzinaan, karena manakala bertentangan antara hak Allah dan hak
manusia, maka hak manusia diutamakan dan orang ini wajib mengekang nafsunya
supaya tidak berzina.[19]
4.
Haram
Pernikahan menjadi haram bila bertujuan untuk menyakiti salah satu
pihak, bukan demi menjalankan sunnah rasulallah Saw. Misalnya, ada seorang
laki-laki yang mau menikahi seorang perempuan demi balas dendam atau
sejenisnya. Ini hukumnya haram.
Masuk dalam kategori ini ketidakmampuan memberi nafkah atau
menunaikan kewajiban yang lainnya.
Imam al-Qhurtubi mengatakan,”Jika seorang suami mengetahui bahwa
dia tidak mampu untuk menafkahi istrinya, membayar mahar, atau menunaikan salah
satu haknya, maka dia tidak boleh menikahinya sampai ia menjelaskan keadaan
tersebut kepada istrinya. Begitu juga jika dia memiliki penyakit yang
menyebabkan tidak bisa bersena-senang dengan istrinya, agar dia tidak merasa
ditipu.”[20]
Diantara penyakit-penyakit yang diderita laki-laki yang menyebabkan terhalangnya
pernikahan ataupun termasuk dalam عيوب النّكاح (aib-aib pernikahan) yang memberikan pilihan terhadap istri untuk
melanjutkan atau menyudahi pernikahan antara lain: gila (الجنون), lipra atau kusta (الجذام) penyakit pada anggota badan berwarna merah kemudian menjadi
hitam dan akhirnya rontok atau terputus dari anggota badan yang lain, belang (البرص), penyakit keputihan pada kulit yang menghilangkan darah pada
kulit tersebut, putusnya dzakar (الجبّ), baik seluruhnya atau hanya sebagiannya saja sekiranya yang
tersisa kurang dari panjangnya khasyafah, dan
impoten (العنّة).[21]
Ini tidak berlaku bagi laki-laki saja, perempuan pun harus menjelaskan dengan terus
terang terhadap suaminya jika mempunyai masalah yang akan menghilangkan
kebahagiaan rumah tangga.
Imam Qhurthubi melanjutkan, ”jika sesorang perempuan mengetahui
bahwa dia tidak mampu menunaikan hak suami, atau memiliki penyakit yang akan
menghalanginya berhubungan badan, maka dia tidak boleh menipunya, dan harus
menjelaskannya.[22]
Diantara penyakit-penyakit yang diderita perempuan sebagaimana penyakit pria yang
menyebabkan terhalangnya pernikahan ataupun termasuk dalam عيوب النّكاح (aib-aib pernikahan) antara lain: gila (الجنون), lipra atau kusta (الجذام), belang (البرص),
buntu daging (الرّتق),
tertutupnya vagina perempuan dengan daging, dan yang terakhir buntu tulang (القرن), tertutupnya vagina perempuan dengan tulang.[23]
5.
Mubah
Pernikahan menjadi mubah (yakni bersifat netral, boleh dikerjakan
dan boleh juga ditinggalkan) apabila tidak ada dorongan atau hambatan untuk
melakukannya ataupun meninggalkannya, sesuai dengan pandangan syari’at, seperti
telah dijelaskan diatas.[24]
Adapun hukum pernikahan di Indonesia sama dengan hukum yang telah disebutkan di
atas.
Rukun dan syarat menentukan suatu
perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan
tersebut darisegi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam
hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu acara
perkainan umpamanya rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti
perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Keduanya
mengandung arti yang berbeda dari segi bahwa rukun itu adalah sesuatu yang
berada di luarnya dan tidak merupakan unsurnya. Syarat itu ada yang berkaitan
dengan rukun dalam arti syarat yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi
rukun. Ada pula syarat itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria
dari unsur-unsur rukun.[25]
Nikah tidak sah jika tidak terpenuhinya beberapa
perkara (syarat-ayarat dan rukun nikah), yaitu:
1. Shighot (ijab qobul)
2. Calon istri
3. Calon suami
4. Wali
5. Dua orang saksi
Mahar yang harus ada di setiap
perkawinan tidak termasuk ke dalam rukun, karena mahar tersebut tidak mesti
disebut dalam akad perkawinan dan tidak mesti diserahkan pada waktu akad itu berlangsung. Dengan demikian, mahar
itu termasuk dalam syarat perkawinan.
UU perkawinan sama sekali tidak
berbicara tentang rukun perkawinan. UU perkawinan hanya membicarakan
syarat-syarat perkawinan, yang mana syarat-syarat tersebut lebih banyak
berkenaan dengan unsur-unsur atau rukun
perkawinan. KHI secara jelas membicarakan rukun perkawinan sebagaimana yang
terdapat dalam pasal 14, yang keseluruhan rukun tersebut mengikuti fiqh Syafi’i
dengan tidak memasukkan mahar dan rukun.
Adalah perjanjian yang berlangsung
antara dua pihak yang melangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab dan qobul.
Ulama sepakat menempatkan ijab qobul sebagai rukun perkawinan.[26] Akad ijab qabul merupakan rukun yang paling menentukan dalam menjadikan
sesuatu yang haram menjadi halal dan tidak sah suatu pernikahan tanpa ijab
qabul. Adapun akad ijab diucapkan si wali nikah, sedangkan akad qabul di
ucapakan calon suami. Sebagaimana
rukun-rukun yang lain akad ijab qabul mempunyai syarat-syarat yaitu sebagai
berikut.
1. Akad ijab
qabul tersebut harus dengan kalimat “tazwijun
nikah” atau dengan
terjemahannya yaitu kalimat kawin dan nikah saja, maka tidak sah dengan kalimat
lainnya, walaupun memberi artian seperti kalimat tersebut.[27]
Tidak sah akad nikah kecuali dengan lafadh nikah, tazwij, atau
terjemahan dari keduanya. Sabda Nabi SAW.:
إِتَّقُوْا
اللهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوْهُنَّ بِأَمَانَةِ اللهِ
وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَاتِ اللهِ. رواه المسلم
“Takutlah kepada Allah dalam urusan perempuan. Sesungguhnya kami
abbil mereka dengan kepercayaan Allah, dan kamu halalkan kehormatan mereka
dengan kalimat Allah.” (Riwayat Muslim)
Yang
dimaksud dengan “kalimat Allah” dalam hadits ialah al-Qur’an, dan dalam
al-Qur’an tidak disebutkan selain dua kalimat itu (nikah dan tazwij), maka
harus dituruti agar tidak salah. Pendapat yang lain mengatakan bahwa akad sah
dengan lafadh yang lain, asal maknanya sama dengan kedua lafadh tersebut ma’qul
makna, tidak semata-mata ta’abbudi.[28]
2.
Antara ijab dan qabul tidak diselingi oleh
kata-kata yang tidak ada hubungannya dengan tuntunan nikah, maslahat, dan
sunnah-sunnah dalam akad nikah, karena seakan-akan dengan kalimat tersebut dia
berpaling dari akad itu.
3.
Antar ijab dan qabul tidak diselingi diam yang lama
yaitu waktu yang sekiranya menjawab setelah waktu itu sudah tidak dianggap lagi
jawaban bagi akad ijab.
4.
Antara ijab dan qabul harus sesuai dengan arti dan
maksudnya, lain halnya jika tidak sesuai, mislanya si wali berkata “ aku
nikahkan kamu dengan Fatimah putriku” lau si suami menjawab “aku bersedia
menikahi zainab” maka yidak sah, karena tidak sama maksud akad ijab dan
qabulnya.
5.
Akad ijab qabul tersebut tidak digantungkan dengan sesuatu apapun, misalanya jika si wali
di beritahu dengan kelahiran istrinya lalu dia berkata, “aku nikahkan putriku
Fatimah denganmu” jika anak yang dilahirkan laki-laki, maka tidak sah.
6.
Akad ijab qabulnya tidak menyebutkan batasan waktu
baik tertentu atau tidak, yaitu yang disebut kawin mut’ah, maka tidak sah akad
ijab qabul jika disebutkan batasan waktunya.
7.
Akad ijab qabul tersebut harus dilafazkan sekiranya
didengar oleh orang yang berada didekatnya, maka tidak sah jika hanya
berbisik-bisik.
8.
Dalam akad ijab qabul tersebut tidak boleh
menyebutkan syarat yang merusak tujuan menikah.
9.
Si wali dengan suami harus tetap keadaannya yaitu
dalam keadaan memnuhi syarat melangsungkan akad nikah hingga selesai, lafaz
ijab qabulnya dan jika salah satunya gila atau pingsan sebelum rampungya akad
maka batalah akad itu.[29]
Islam
hanya mengakui perkawinan antara laki-laki dan perempuan dan tidak boleh lain
dari itu, seperti sesama laki-laki atau sesama perempuan, karena ini yang
disebut dalam al-Qur’an. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk
laki-laki dan perempuan yang akan kawin adalah sebagai berikut:[30]
a. Keduanya jelas identitasnya dan dapat
dibedakan dengan yang lainnya.
b. Keduanya sama-sama beragama Islam.
c. Antara keduanya tidak terlarang
melangsungkan perkawinan.
d. Kedua belah pihak telah setuju untuk
kawin dan setuju pula dengan pihak yang akan mengawininya.
e. Perkawinan hanya diizinkan jika pihak
pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16
tahun.
Syarat-syarat
Wanita Menjadi Seorang Istri adalah sebagai berikut:
a. Seorang wanita tulen, bukan banci.
b. Wanita itu tidak sedang melakukan ihram,
baik dengan ihram haji atau umrah.
c. Wanita itu bukan istri seseorang, maka tidak
sah wanita yang sudah bersuami menikah lagi sebelum diceraikan oleh suami yang
pertama.
d. Wanita itu bukan mahram bagi calon pengantin
pria, maka tidak sah perkawinan seorang pria dengan wanita mahramnya, baik
mahram dari nasab.
e. Wanita itu tidak sedang menjalankan
iddah
f. Wanita itu diketahui oleh calon
suaminya, maka tidak sah seseorang kawin dengan wanita yang tidak diketahui
sebelumnya.
g. Wanita itu bukan istri yang kelima bagi
calon suami itu.[31]
Adapun
Syarat-syarat Menjadi Seorang Suami adalah sebagai berikut:
a.
Dia menikahi calon istrinya dengan sukarela bukan
karena dipaksa, kecuali karena paksaan agama.
b.
Calon suami tersebut adalah laki-laki yang tulen,
bukan banci.
c.
Calon suami tresebut diketahui dengan jelas
identitasnya oleh wali nikah calon istri dan kedua saksi.
d.
Calon suami harus mengetahui calon istrinya baik
dengan mengetahui namanya atau melihatnya dengan cara ditunjuk.
e.
Calon suami tidak sedang ihram baik dengan haji atau
umroh. Sebagaimana sabda Rosulullah SAW :
f.
“seorang yang sedang menjalankan ihram tidak boleh
dikawinkan atau mengawinkan”
g.
Calon istri bukan makhram atas suami baik makhrm
karena nasab atau rodlo’ (kesusuan)
h.
Calon suami harus mengetahui bahwa calon isterinya
adalah halal baginya.
i.
Calon suami adalah seorang muslim jika calon isteri
adaah seorang muslimah, karena tidak sah nikahnya nikahnya seorang muslimah
dengan non muslim. Firman Allah Surah Al-Baqarah ayat 221:
wur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sã 4
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
(dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
j.
Jangan kamu nikahkan orang musyrik sampai mereka
beriman.[32]
Wali
secara umun adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak
terhadap dan atas nama orang lain. Dalam akad perkawinan wali itu adalah
seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah.
Keberadaan
seorang wali secara umum adalah suatu yang mesti dan tidak sah akad perkawinan
yang tidak dilakukan oleh wali. Wali itu ditempatkan sebagai rukun dalam
perkawinan menurut kesepakatan ulama secara prinsip. Dalam akad perkawinan itu
sendiri wali dapat berkedudukan sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai
perempuan dan dapat pula sebagai orang yang diminta persetujuannya untuk
kelangsungan perkawinan tersebut.[33]
Keterangan
adalah sabda Nabi Muuhammad SAW. dari Aisyah yang dikeluarkan olem empat orang
perowi hadits selain Nasa’i:
وَعَنْ عَائِشَةَ
رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم (
أَيُّمَا اِمْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا, فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ,
فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا اَلْمَهْرُ بِمَا اِسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا, فَإِنِ
اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ ) أَخْرَجَهُ
اَلْأَرْبَعَةُ إِلَّا النَّسَائِيَّ, وَصَحَّحَهُ أَبُو عَوَانَةَ , وَابْنُ
حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ.[34]
Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Perempuan yang nikah
tanpa izin walinya, maka nikahnya batil. Jika sang laki-laki telah
mencampurinya, maka ia wajib membayar maskawin untuk kehormatan yang telah dihalalkan
darinya, dan jika mereka bertengkar maka penguasa dapat menjadi wali bagi
wanita yang tidak mempunyai wali." Dikeluarkan oleh Imam Empat kecuali
Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Uwanah, Ibnu Hibban, dan Hakim.
Juga
hadits dari Abu Hurairah yang mengutip ucapan Nabi:
وعنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم
( لَا تُزَوِّجُ اَلْمَرْأَةُ اَلْمَرْأَةَ, وَلَا تُزَوِّجُ اَلْمَرْأَةُ
نَفْسَهَا ) رَوَاهُ اِبْنُ مَاجَهْ , وَاَلدَّارَقُطْنِيُّ , وَرِجَالُهُ
ثِقَاتٌ[35] .
Dari
Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Perempuan tidak boleh menikahkan perempuan lainnya, dan
tidak boleh pula menikahkan dirinya." Riwayat Ibnu Majah dan Daruquthni
dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya.
Terdapat banyak
perbedaan pendapat dalam hal perwalian ini, diantaranya:
a. Ulama Hanafiyah dan ulama Syi’ah
Imamiyah berpendapat bahwa untuk perkawinan anak kecil baik sehat akal atau
tidak sehat akal diwajibkan adanya wali yang akan mengakadkan perkawinannya.
Sedangkan perempuan yang sudah dewasa dan sehat akalnya dapat melangsungkan
sendiri akad perkawinannya tanpa adanya wali.
b. Ulama Syafi’iyah dan ulama Hanabilah
berpendapat bahwa setiap akad perkawinan dilakukann oleh wali, baik perempuan
itu dewasa atau masih kecil, janda atau masih perawan, sehat akalnya atau tidak
sehat. Tidak ada hak sama sekali bagi perempuan untuk mengakadkan
perkawinannya.
c. Pendapat Imam Malik menurut riwayat
Asyhab wali muthlaq dalam suatu perkawinan dan tidak sah perkawinan tanpa
adanya wali. Namun menurut riwayat Ibnu
Qosim, keberadaan wali hanyalah sunnah hukumnya dn tidak wajib.
d. Ulama Zhahiriyah berpendapat bahwa untuk
perempuan yang masih kecil atau tidak sehat akal diwajibkan adanya wali,
sedangkan untuk perempuan yang sudah dewasa yang diwajibkan adalah izin wali untuk
melangsungkan perkawinan.[36]
a. Islam, maka tidak diperbolehkan wali
perempuan itu orang kafir.[37]
Hal ini berdalil dari firman Allah dalam surat Ali Imron ayat 28:
w ÉÏGt tbqãZÏB÷sßJø9$# tûïÍÏÿ»s3ø9$# uä!$uÏ9÷rr& `ÏB Èbrß tûüÏZÏB÷sßJø9$# ( `tBur ö@yèøÿt Ï9ºs }§øn=sù ÆÏB «!$# Îû >äóÓx«
Janganlah orang-orang mukmin
mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang
mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan
Allah.[38]
b.
Baligh,
dalam arti tidak diperbolehkan wali perempuan dari golongan anak kecil.
c.
Berakal,
juga tidak diperbolehkan wali yang gila, sama halnya gilanya itu terus-menerus
atau putus-putus.
d.
Merdeka,
maka juga tidak diperbolehkan wali perempuan itu budak dalam ijab pernikahan,
tetapi seorang budak tersebut boleh qobul dalam pernikahan.
e.
Laki-laki.
Tidak boleh seorang perempuan dan khuntsa itu menjadi wali.
f.
Adil.[39] Maka
orang fasiq tidak boleh menjadi wali. Dalam arti tidak pernah terlibat dengan
dosa besar dan tidak sering terlibat dengan dosa kecil serta memelihara muruah
atau sopan santun.
g.
Tidak
sedang melaksanakan ibadah ihram, untuk haji atau umroh. Hal ini berdasarkan
hadits Nabi yang dari ‘Utsman menurut
riwayat Muslim mengatakan:
لا
ينكح المحرم ولا ينكح
“Orang yang sedang ihram tidak boleh
menikahkan seseorang dan tidak boleh juga dinikahkan seseorang”[40]
Orang-orang yang berhak
menjadi wali adalah:
1. Wali Nasab, yaitu wali yang berhubungan
tali kekeluargaan dalam perempuan yang akan kawin. Dalam KHI pasal 21 dijelaskan bahwa, “Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan,
kelompok yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya
susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.”
Pertama: Kelompok
kerabat laki–laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek
dari pihak ayah dan seterusnya.
Kedua: Kelompok
kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan
laki – laki mereka.
Ketiga: Kelompo kerabat paman, yakni saudara laki–laki kandung
ayah, saudara seayah dan keturunan laki – laki mereka.
Empat: Kelompok saudara laki – laki kandung kakek, saudara laki –
laki seayah kakek dan keturunan laki- laki mereka.
Apabila dalam suatu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang
yang sama- sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah
yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
Apabila dalam suatukelompok sama derajat kekerabatannya maka yang
paling berhak menjadi wali nikah adalah kerabat kandung dari kerabat yang hanya
seayah.
Apabila dalam suatu koelompok, derajat kekerabatannya sama, yakni
sama-sama derajat kandung atau sama-sama
derajat kerabat seayah. Mereka sama – sama berhak menjadi wali nikah, dengan
mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.
Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannnya tidak
memenuhisyarat sebagai wali nikah atau oleh wali nikah itu menderita cacat tuna
wicara, tungs rungu atau sudah udzur. Maka hak walinikh bergeser kepada wali
nikah yang lain menurut derajat berikutnya.[41]
Adapun urutan wali nasab adalah sebagai
berikut:
1.
Ayah
kandung;
2.
Kakek,
bapaknya ayah atau bapaknya kakek;
3.
Saudara
laik-laki kandung;
4.
Saudara
Saudara laki-laki seayah, tidak berhak saudara laki-laki seibu;
5.
Anak
saudara laik-laki kandung (keponakan);
7.
Paman
atau saudara ayah kandung;
8.
Paman
atau saudara ayah seayah, tidak berhak paman saudara laki-laki seibu;
9.
Anak
paman saudara laki-laki syah kandung;
10.
Anak
paman saudara laki-laki ayah seayah;
11.
Paman
ayah;
12.
Anak
paman ayah;
13.
Paman
kakek, kemudian anaknya;
14.
Paman
ayah kakek, kemudian anaknya dan begitu seterusnya.[42]
2. Wali Hakim, yaitu orang yang menjadi
wali dalam kedudukannya sebagai hakim
atau pengusaha.
Dalam
penetapannya terdapat beda pendapat di kalangan ulama. Beda pendapat ini di
sebabkan oleh tidak adanya petunjuk yang jelas dari nabi, sedangkan Al-Qur’an
tidak membicarakan sama sekali siapa-siapa yang berhak menjadi wali. Dalam KHI
pasal 23 dijelaskan bahwa Wali
hakim beru bisa bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau
tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib
atau adalah atau enggan.
dalam wali adlal atau enggan maka wali
hakim baru dapat bertindaksebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan
agama tentang wali tersebut. [43]
Jumhur
ulama yang terdiri dari Syafi’iyah, Hanabillah, Zhahiriyah dan Syi’ah Imamiyah
membagi wali itu kepada dua kelompok:
Pertama:
Wali dekat atau wali qorib (الوليّ الأقرب);
yaitu ayah dan kalau tidak ada ayah pindah kepada kakek. Keduanya mempunyai
kekuasaan yang mutlak terhadap anak perempuan yang akan dikawinkannya. Ia dapat
mengawinkan anaknya yang masih berusia muda tanpa minta persetujuan dari
anaknya tersebut wali dalam kedududkan seperti ini disebut wali mujbir. Ketidak
harusan minta pendapat dari anaknya yang masih usia muda itu adalah karena
orang yang masih muda tidak mempunyai kecakapan untuk memberi persetujuan.
Ulama hanabillah menempatkan orang yang di beri wasiat oleh ayah untuk
mengawinkan anaknya berkedududkan sebagai ayah.
Kedua:
Wali jauh atau wali ab’ad (الوليّ الأبعد); yaitu wali dalam
garis kerabat selain dari ayah dan kakek, juga selain dari anak dan cucu,
karena anak menurut ulama jumhur tidak boleh menjadi wali terhadap ibunya dari
segi dia adalah anak, bila anak berkedudukan sebagai wali hakim boleh dia
mengawinkan ibunya sebagai wali hakim.
Ulama
Hanafiah menempatkan seluruh kerabat nasab, baik sebagai ashabah dalam
kewarisan atau tidak. Sebagai wali nasab, termasuk zaul arham. Menurut mereka
yang mempunyai hak ijbar bukan hanya ayah dan kakek tetapi semuanya mempunyai
hak ijbar, selama yang akan di kawinkan itu adalah perempuan yang masih kecil
atau tidak sehat akalnya. (ibnu al-humam: 285) berbeda dengan pendapat umhur
ulama, anak dapat menjadi wali terhadap ibunya yang akan kawin.
Ulama
Malikiyah menempatkan seluruh kerabat nasab yang ashabah sebagai wali nasab dan
membolehkan anak mengawinkan ibunya, bahkan kedudukannya lebih utama dari ayah
atau kakek. Golongn ini menambah orang yang diberi wasiat oleh ayah sebagai
wali dalamkedudukan sebagaimana kedudukan ayah. (ibnu rasyid;19) berbeda dengan
ulama hanafiyah golongan ini memberikan hak ijbar hanya kepada ayah saja dan
menempatkannya dalam kategori wal akrab.[44]
Sebagaimana
dengan wali maka perkawinan dalam pelaksanaannya harus dihadiri oleh
saksi-saksi. Adapun Dasar hukum perwalian adalah sabada rosulallah SAW,:
وَرَوَى اْلإِمَامُ أَحْمَدُ عَنِ الْحَسَنِ عَنْ
عِمْرَانَ ابْنِ الْحُصَيْنِ مَرْفُوْعًا ( لاَنِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
وَشَاهِدَيْنِ(
Imam Ahmad
meriwayatkan hadits marfu' dari Hasan, dari Imran Ibnu al-Hushoin: "Tidak
sah nikah kecuali dengan seorang wali dan dua orang saksi."
Para ahli fiqih sepakat bahwa
pelaksanaan akad nikah hanya dihadiri oleh saksi-saksi. Karena kehadiran
saksi-saksi merupakan rukun atau hakikat dari perkawinan itu sendiri.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa
perkawinan itu harus ada saksi, beliau mendasarkan diri pada hadits Nabi.
Imam Abu hanifah berpendapat bahwa
saksi dalam akad nikah adalah merupakan rukun dari akad nikah. Beliau
mengqiaskan persaksian dalam akad nikah pada persaksian dalam akad muamalah.
Kesaksian merupakan rukun dari akad muamalah. Menurut beliau akad nikah lebih
utama dari akad muamalah. Oleh karena itu adanya saksi-saksi dalam akad
muamalah. Beliau melakukan qiyas dalam hal ini, karena menurut beliau tidak ada
nash yang dapat disajikan dasar hukum bagi persaksian itu.[45]
Syarat-syarat
menjadi saksi akad nikah
1.
Sudah mencapai batas baligh (genap 15 tahun,
bermimpi hingga mengeluarkan air sperma)
2.
Keduanya adalah orang yang berakal, maka tidak sah
kesaksian seorang yang gila sampai dia waras.
3.
Keduanya dari kaum pria, dan tidak sah kesaksian
seorang wanita atau banci dalam pernikahan.
4.
Keduanya beragama islam
5.
Keduanya termasuk orang yang adil dan tidak fasik.
6.
Keduanya bukan orang yang idiot.
7.
Keduanya bukan orang yang tuli
8.
Keduanya bukan orang yang buta
9.
Keduanya tidak bisu.
10.
Keduanya harus memahami bahasa yang digunakan oleh
wali dan suami maka tidak cukup hanya menghafal kalimat yang diucapkan si wali
dan suami tanpa memahami artinya.
11.
Keduanya tidak memiliki ingatan yang lemah
12.
Salah satu dari dua saksi tersebut bukan wali
satu-satunya dari calon isteri.
Dan jika terjadi suatu pernikahan daengan kesaksian
salah satu saksi atau keduanya tidak memenuhi syarat salah satu dari
syarat-syarat diatas, maka tidak sah pernikahan tersebut dan harus diulang
prosesi akad nikahnya dengan kesaksian orang yang memenuhi syarat
Dan dapat diketahui bahwasanya satu atau keduanya
tidak memenuhi syarat dengan dua hal:
1.
Jika ada dua saksi yang bersaksi bahwa dua saksi
tersebut tidak memenuhi syarat.
2.
Dengan pengakuan suami istri tersebut bahwa kedua
saksi tersebut adalah orang yang tidak memnuhi syarat, maka batalah nikahnya.[46]
Seseorang
yang berfikir atas dorongan Islam dalam mewujudkan dan menginginkan berkeluarga,
ia akan memperhatikan dengan penuh kejelasan dan mendapatkannya tanpa letih
terhadap berbagai tugas terpenting dan tujuan keluarga menurut Islam.[47]
Ada
beberapa tujuan dari disyariatkan perkawinan atas umat Islam. Di antaranya
adalah:
a. Untuk mendapatkan anak keturunan yang
sah untuk melanjutkan generasi yang akan datang. Hal ini terlihat dari isyarat
surat an-Nisa’ ayat 1:
$pkr'¯»t
â¨$¨Z9$#
(#qà)®?$#
ãNä3/u
Ï%©!$#
/ä3s)n=s{
`ÏiB
<§øÿ¯R
;oyÏnºur
t,n=yzur
$pk÷]ÏB
$ygy_÷ry
£]t/ur
$uKåk÷]ÏB
Zw%y`Í
#ZÏWx.
[ä!$|¡ÎSur
4
“Hai
sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang menjadikan kamu dari diri
yang satu daripadanya Allah menjadikan istri-istri; dan dari keduanya Allah
menjadikan anak keturunan yang banyak, laki-laki dan perempuan.”
Keinginan
untuk melanjutkan keturunan merupakan naluri umat manusia bahkan juga naluri
bagi makhluk hidup yang diciptakan Allah. Untuk maksud itu Allah menciptakan
bagi manusia nafsu syahwat yang dapat mendorongnya untuk mencari pasangan hidupnya
untuk menyalurkan nafsu syahwat tersebut. Untuk memberi saluran yang sah dan
legal bagi penyaluran nafsu syahwat tersebut adalah melalui lembaga perkawinan.[48] Anak merupakan tujuan asal yang disandarkan dalam
pernikahan. Maqsudnya yaitu melanjutkan keturunan sekiranya dunia ini tidak
sepi dari jenis-jenis manusia. Empat perkara dalam menghasilkan anak menjadi
sebuah ibadah, yang kesemuanya menjadi asal dari kecintaan Allah dalam pernikahan: Pertama, sesuai dengan kecintaan Allah dalam menghasilkan keturunan untuk
melanjutkan generasi manusia. Kedua, mencari kesunahan Rosul dalam
memperbanyak anak. Ketiga, mencari barokah doanya anak yang sholeh. Keempat,
mencari syafaat dengan kematiannya anak yang masih kecil.[49]
b. Menjaga diri dari syetan
Kemampuan
seksual yang diciptakan pada manusia, laki-laki dan perempuan untuk mencapai
tujuan yang mulia yaitu berketurunan, beranak, memperbanyak anak dengan
melanjutkann keturunan jenis manusia.
Benar,
bahwa orang-orang islam melakukannya agar Allah memberkati keturunan yang
dinantikan, namun nama Allah adalah nama yang paling suci, Ia akan memberi
jawaban pada buah pikir orang Islam yang beriman yakni penyebutan nama Allah,
pada kesempatan ini terdapat ketenangan bagi seorang muslim bahwa dia sedang
mengerjakan amal yang bersih sehingga dia berhak menyebut nama Allah yang
mulia.
Hubingan
seksual yang diperintahkan antara suami dan istri dapat menjaga dirinya dari
tipu daya syetan, melemahkan keberingasan, mencegah keburukan-keburukan
syahwat, memelihara pandangan, dan menjaga kelamin.[50]
Dari faedah tersebut Rosulallah SAW.
mengisyarahkan:
مَنْ
نَكَحَ فَقَدْ حَصَنَ نِصْفَ دِيْنِهِ فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي الشَّرْطِ الآخَرِ.
c. Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang
penuh ketenangan hidup dan rasa kasih sayang. Hal ini terlihat dari firman
Allah dalam surat al-Rum ayat 21:
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»t#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøs9Î) @yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨uq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºs ;M»tUy 5Qöqs)Ïj9 tbrã©3xÿtGt
ÇËÊÈ
“Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
Penyaluran nafsu syahwat untuk menjamin
kelangsungan hidup umat manusia dapat saja ditempuh melalui jalur melalui jalur
perkawinan; namun dalam mendapatkan ketenangan dalam hidup bersama suami istri
itu mangkin di dapatkan kecuali melalui jalur perkawinan.[51]
d. Menghibur jiwa dan menenangkannya dengan
bersama-sama
Sesungguhnya
kenyamanan jiwa dan ketenangan dengan bersama-sama, mamandang dan bermain main,
menyegarkan hati, dan menguatkannya untuk beribadah sebagai sesuatu yang di
perintahkan.
Jiwa
yang gelisah menjadi enggan pada kebenaran karena kebenaran bersebrangan dengan
tabi’at nafsu. jika nafsu dibebabni secara terus menerus dengan paksaan pada
suatu yang bersebrangan dengannya maka ia menjadi keras kepala dan kokoh. Jika
nafsu disegarkan dengan kenikmatan pada waktu tertentu maka ia menjadi kuat dan
bergairah.
Bersahabat
dengan perempuan termasuk istirahat yang menghilangkankan kesempitan dan
menyegarkan hati. Sepantasnya bagi jiwa orang-orang bertakwa untuk
menyegarkannya dengan hal-hal mubah.[52]
Secara
bahasa nikah diartikan sebagai berkumpul, wathi, dan akad. Sedangkan secara
istilah diartikan sebagai, Akad
yang mengandung maksud untuk memiliki kesenangan wat’i dengan menggunakan
lafadz nikah atau kawin atau yang semakna dengan keduanya.
Menurut
penganut madzhab Imam Syafi’i berpendapat bahwa, yang dimaksud dari pernikahan
itu sendiri yaitu “akad yang didalamnya menjamin diperbolehkannya persetubuhan
antara kedua belah pihak“.
Sedangkan
pengertian perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam pada Bab II pasal 2 mengenai
dasar–dasar perkawinan disebutkan: perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan,
yaitu akad yang sangat kuat atau untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
adalah ibadah.
1.
Wajib
Menikah hukumnya wajib bagi orang yang khawatir berbuat zina jika
tidak melakukannya. Sebagaimana kita ketahui menikah adalah satu cara untuk
menjaga kesucian diri. Maka jika tidak ada jalan lain untuk meraih kesucian
itu, kecuali dengan menikah, maka menikah hukumnya adalah wajib bagi yang
bersangkutan. Imam al-Qurthubi mengatakan,”orang yang mampu menikah, kemudian
khawatir terhadap diri dan agamanya, dan itu tidak dapat dihilangkan kecuali
dengan menikah, maka dia harus menikah”.
2.
Sunnah
Pernikahan tidak menjadi wajib, namun sangat dianjurkan bagi siapa
saja yang memiliki hasrat atau dorongan seksual untuk menikah dan memiliki
kemampuan untuk melakukannya, walaupun merasa yakin akan kemampuannya mengendalikan
dirinya sendiri, sehingga tidak khawatir akan terjerumus dalam perbuatan yang
diharamkan Allah. Orang seperti ini, tetap dianjurkan untuk menikah, sebab
bagaimanapun nikah adalah tetap lebih afdhal daripada mengkontrasikan diri
secara total (ber-thakhalli) untuk beribadah.
3.
Makruh
27
|
4.
Haram
Pernikahan menjadi haram bila bertujuan untuk menyakiti salah satu pihak,
bukan demi menjalankan sunnah rasulallah Saw. Misalnya, ada seorang laki-laki
yang mau menikahi seorang perempuan demi balas dendam atau sejenisnya. Ini
hukumnya haram. Masuk dalam kategori ini ketidakmampuan memberi nafkah atau
menunaikan kewajiban yang lainnya.
5.
Mubah
Pernikahan menjadi mubah (yakni bersifat netral, boleh dikerjakan
dan boleh juga ditinggalkan) apabila tidak ada dorongan atau hambatan untuk
melakukannya ataupun meninggalkannya, sesuai dengan pandangan syari’at, seperti
telah dijelaskan diatas.
Rukun
dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan
sah atau tidaknya perbuatan tersebut darisegi hukum.
Adapun
rukun-rukun nikah adalah:
1. Shighot (ijab qobul)
2. Calon istri
3. Calon suami
4. Wali
5. Dua orang saksi
Adalah perjanjian yang berlangsung
antara dua pihak yang melangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab dan qobul.
Ulama sepakat menempatkan ijab qobul sebagai rukun perkawinan. Sebagaimana rukun-rukun yang lain akad ijab qabul mempunyai
syarat-syarat yaitu sebagai berikut.
a.
Akad ijab qabul tersebut harus dengan kalimat “tazwijun nikah” atau dengan terjemahannya yaitu kalimat kawin dan
nikah saja, maka tidak sah dengan kalimat lainnya, walaupun memberi artian
seperti kalimat tersebut
b.
Antara ijab dan qabul tidak diselingi oleh
kata-kata yang tidak ada hubungannya dengan tuntunan nikah, maslahat, dan
sunnah-sunnah dalam akad nikah, karena seakan-akan dengan kalimat tersebut dia
berpaling dari akad itu.
c.
Antar ijab dan qabul tidak diselingi diam yang lama
yaitu waktu yang sekiranya menjawab setelah waktu itu sudah tidak dianggap lagi
jawaban bagi akad ijab.
d.
Antara ijab dan qabul harus sesuai dengan arti dan
maksudnya, lain halnya jika tidak sesuai, mislanya si wali berkata “ aku
nikahkan kamu dengan Fatimah putriku” lau si suami menjawab “aku bersedia
menikahi zainab” maka yidak sah, karena tidak sama maksud akad ijab dan
qabulnya.
e.
Akad ijab qabul tersebut tidak digantungkan dengan sesuatu apapun, misalanya jika si wali
di beritahu dengan kelahiran istrinya lalu dia berkata, “aku nikahkan putriku
Fatimah denganmu” jika anak yang dilahirkan laki-laki, maka tidak sah.
f.
Akad ijab qabulnya tidak menyebutkan batasan waktu
baik tertentu atau tidak, yaitu yang disebut kawin mut’ah, maka tidak sah akad
ijab qabul jika disebutkan batasan waktunya.
g.
Akad ijab qabul tersebut harus dilafazkan sekiranya
didengar oleh orang yang berada didekatnya, maka tidak sah jika hanya
berbisik-bisik.
h.
Dalam akad ijab qabul tersebut tidak boleh
menyebutkan syarat yang merusak tujuan menikah.
i.
Si wali dengan suami harus tetap keadaannya yaitu
dalam keadaan memnuhi syarat melangsungkan akad nikah hingga selesai, lafaz
ijab qabulnya dan jika salah satunya gila atau pingsan sebelum rampungya akad
maka batalah akad itu.
a. Seorang wanita tulen, bukan banci.
b. Wanita itu tidak sedang melakukan ihram,
baik dengan ihram haji atau umrah.
c. Wanita itu bukan istri seseorang, maka
tidak sah wanita yang sudah bersuami menikah lagi sebelum diceraikan oleh suami
yang pertama.
d. Wanita itu bukan mahram bagi calon pengantin
pria, maka tidak sah perkawinan seorang pria dengan wanita mahramnya, baik
mahram dari nasab.
e. Wanita itu tidak sedang menjalankan
iddah
f. Wanita itu diketahui oleh calon
suaminya, maka tidak sah seseorang kawin dengan wanita yang tidak diketahui
sebelumnya.
g. Wanita itu bukan istri yang kelima bagi
calon suami itu.
Adapun
Syarat-syarat Menjadi Seorang Suami adalah sebagai berikut:
a.
Dia menikahi calon istrinya dengan sukarela bukan
karena dipaksa, kecuali karena paksaan agama.
b.
Calon suami tersebut adalah laki-laki yang tulen,
bukan banci.
c.
Calon suami tresebut diketahui dengan jelas
identitasnya oleh wali nikah calon istri dan kedua saksi.
d.
Calon suami harus mengetahui calon istrinya baik
dengan mengetahui namanya atau melihatnya dengan cara ditunjuk.
e.
Calon suami tidak sedang ihram baik dengan haji atau
umroh. Sebagaimana sabda Rosulullah SAW :
f.
“seorang yang sedang menjalankan ihram tidak boleh
dikawinkan atau mengawinkan”
g.
Calon istri bukan makhram atas suami baik makhrm
karena nasab atau rodlo (kesusuan)
h.
Calon suami harus mengetahui bahwa calon isterinya
adalah halal baginya.
i.
Calon suami adalah seorang muslim jika calon isteri
adaah seorang muslimah, karena tidak sah nikahnya nikahnya seorang muslimah
dengan non muslim. Firman Allah Surah Al-Baqarah ayat 221.
j.
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mukmin) sebelum mereka beriman.
k.
Jangan kamu nikahkan orang musyrik sampai mereka
beriman.
Wali
secara umun adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak
terhadap dan atas nama orang lain. Dalam akad perkawinan wali itu adalah
seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah.
1.
Islam,
maka tidak diperbolehkan wali perempuan itu orang kafir.
2. Baligh, dalam arti tidak diperbolehkan
wali perempuan dari golongan anak kecil.
3. Berakal, juga tidak diperbolehkan wali
yang gila, sama halnya gilanya itu terus-menerus atau putus-putus.
4. Merdeka, maka juga tidak diperbolehkan
wali perempuan itu budak dalam ijab pernikahan, tetapi seorang budak tersebut
boleh qobul dalam pernikahan.
5. Laki-laki. Tidak boleh seorang perempuan
dan khuntsa itu menjadi wali.
6. Adil. Maka orang fasiq tidak boleh
menjadi wali. Dalam arti tidak pernah terlibat dengan dosa besar dan tidak
sering terlibat dengan dosa kecil serta memelihara muruah atau sopan santun.
7.
Tidak
sedang melaksanakan ibadah ihram, untuk haji atau umroh.
Orang-orang
yang berhak menjadi wali adalah:
1. Wali Nasab, yaitu wali yang berhubungan
tali kekeluargaan dalam perempuan yang akan kawin.
Adapun urutan wali nasab adalah sebagai
berikut:
1) Ayah kandung;
2) Kakek, bapaknya ayah atau bapaknya
kakek;
3) Saudara laik-laki kandung;
4) Saudara Saudara laki-laki seayah, tidak
berhak saudara laki-laki seibu;
5) Anak saudara laik-laki kandung
(keponakan);
6) Anak saudara laki-laki seayah, tidak
berhak anak saudara laki-laki seibu;;
7) Paman atau saudara ayah kandung;
8) Paman atau saudara ayah seayah, tidak
berhak paman saudara laki-laki seibu;
9) Anak paman saudara laki-laki syah
kandung;
10)
Anak
paman saudara laki-laki ayah seayah;
11)
Paman
ayah;
12)
Anak
paman ayah;
13)
Paman
kakek, kemudian anaknya;
14)
Paman
ayah kakek, kemudian anaknya dan begitu seterusnya.
2. Wali Hakim, yaitu orang yang menjadi
wali dalam kedudukannya sebagai hakim
atau pengusaha.
Para ahli fiqih sepakat bahwa
pelaksanaan akad nikah hanya dihadiri oleh saksi-saksi. Karena kehadiran
saksi-saksi merupakan rukun atau hakikat dari perkawinan itu sendiri.
Syarat-syarat
menjadi saksi akad nikah
1)
Sudah mencapai batas baligh (genap 15 tahun,
bermimpi hingga mengeluarkan air sperma)
2)
Keduanya adalah orang yang berakal, maka tidak sah
kesaksian seorang yang gila sampai dia waras.
3)
Keduanya dari kaum pria, dan tidak sah kesaksian
seorang wanita atau banci dalam pernikahan.
4)
Keduanya beragama islam
5)
Keduanya termasuk orang yang adil dan tidak fasik.
6)
Keduanya bukan orang yang idiot.
7)
Keduanya bukan orang yang tuli
8)
Keduanya bukan orang yang buta
9)
Keduanya tidak bisu.
10)
Keduanya harus memahami bahasa yang digunakan oleh
wali dan suami maka tidak cukup hanya menghafal kalimat yang diucapkan si wali
dan suami tanpa memahami artinya.
11)
Keduanya tidak memiliki ingatan yang lemah
Ada
beberapa tujuan dari disyariatkan perkawinan atas umat Islam. Di antaranya
adalah:
a. Untuk mendapatkan anak keturunan yang
sah untuk melanjutkan generasi yang akan datang.
b. Menjaga diri dari syetan
Kemampuan
seksual yang diciptakan pada manusia, laki-laki dan perempuan untuk mencapai
tujuan yang mulia yaitu berketurunan, beranak, memperbanyak anak dengan
melanjutkann keturunan jenis manusia.
c. Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang
penuh ketenangan hidup dan rasa kasih sayang.
d. Menghibur jiwa dan menenangkannya dengan
bersama-sama
Sesungguhnya
kenyamanan jiwa dan ketenangan dengan bersama-sama, mamandang dan bermain main,
menyegarkan hati, dan menguatkannya untuk beribadah sebagai sesuatu yang di
perintahkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Abi al-Fath, Syaikh
Taqiyuddin as-Syuhairy. 2000. Ahkamu
al-ahkami: Syarhu Umdatu al-Ahkam Jus II. Bairut: Darul Kutub al-Islamiyah.
Abi Hamid al-Ghozali.
2004. Ikhya’ Ulumu al-Din
Juz II. Kairo: Dar el-Hadith.
Bagir, Muhammad. 2008. Fiqih
Praktis II: Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Pendapat Para Ulama’. Bandung:
Karisma.
Baharun, Segaf Hasan.
1426 H. Bagaimanakah Anda Menikah? Dan Mengatasi Permasalahannya. Pasuruhan:
Ma’had Darul Lughoh Wadda’wah.
Hasan, M. Ali. 2006. Pedoman
Hidup Berumah Tangga dalam Islam. Jakarta: Siraja Prenada Media Grup.
Ibnu Hajar al-Asqalani.
Fathul Baari Syarah Shohih
al-Bukhari. diterjemahkan Amiruddin. 2008. Fathul Baari: Penjelasan
Kitab Shahih Al-Bukhari. Jakarta: Pustaka Azzam.
-------.
2008. Bulughu al-Marom: Min Adillati al-Ahkam Software. Tasikmalaya:
Pustaka al-Hidayat.
Instruksi Presiden RI
Nomor 1 Tahun 1991. 2001. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta
Muhammad Bin Qosim
al-Ghozi. 2003. Fathu al-Qorib al-Mujib: Fi Syarhi Alfadzi al-Taqrib. Jakarta:
Dar al-Kutub al-Islamiyyah.
Musthofa Dib al-Bagho. Tadzhib
fi Adillati Matan al-Ghoyah Wa al-Taqrib.
Malang: MSAA.
Nawawi, Muhammad bin
Umar al-Jawi. Tausyaikh ‘Ala Ibni Qosim: Quutu al-Khabib al-Ghorib. Surabaya:
Maktabah al-Hidayah.
Rasyid, Sulaiman. 2009. Fiqh
Islam: Hukum Fiqh Lengkap.
Bandung:
Sinar Baru Algensindo.
Sati, Pakih. 2011. Panduan Lengkap Pernikahan: Fiqh Munakahat
Terkini. Jogjakarta: Bening.
Shomad, Abd. 2010. Hukum Islam:
Penormaan Prinsip Syari’ah dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Kencana.
Soemiyati. 2004. Hukum
Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan: Undang-Undang No. 1 Tahun 1974,
Tentang Perkawinan. Yogyakarta: Liberty.
Syarifuddin, Amir.
2006. Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia: Antara Figh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta:
Kencana.
Yusuf, Ali As-Subki.
2010. Fiqih Keluarga: Pedoman
Berkembang dalam Islam. Jakarta: AMZAH.
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّ حِيْم
Puja dan puji syukur ucapkan atas kehadirat Allah SWT, atas
rahmat-Nya maka kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah Fiqih Munakahat ini
sub pembahasan “Fiqih Munakahat: Pengertian, Hukum,
Rukun, dan Syarat serta Hikmah Pernikahan dalam Kehidupan” dengan baik sesuai
kemampuan penulis.
Sekuntum Sholawat bertangkaikan Salam dengan
semerbak parfum kerinduan, yang terbungkus dengan sampul ketulusan semoga tetap
tercurahkan kepangkuan beliau, Kekasih kita, Junjungan kita, Nabi Agung, Nabi
Besar Muhammad SAW. yang telah mengangkat manusia dari lembah kesesatan akidah
menapaki terangnya Islam. Dan semoga kita nantinya mendapatkan Syafa’atul Udzma
esok di yaumul qiyamah. Amin
Penulisan makalah ini adalah merupakan salah satu tugas dan
persyaratan untuk menyelesaikan mata kuliah Fiqih Munakahat.
Dalam penulisan makalah ini kami menyampaikan terima kasih yang tak
terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini,
khususnya kepada :
1. Bapak Rektor UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2. Ustadz Ahmad Izzuddin, M. HI, selaku dosen mata kuliah “Fiqih Munakahat”
yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam pelaksanaan bimbingan, pengarahan,
dorongan dalam rangka penyelesaian penyusunan makalah ini.
3. Rekan-rekan semua dikelas A jurusan Al Ahwal Al Syaksiyah angkatan 2012-2013.
4. Secara khusus kami menyampaikan terima kasih kepada keluarga
tercinta yang tiada henti-hentinya memberikan dorongan dan semangat kepada kami
baik dalam selama mengikuti perkuliahan maupun dalam menyelesaikan makalah ini.
5. Serta semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu, yang
telah memberikan bantuan dalam penulisan makalah ini.
Akhirnya saya berharap semoga Allah
memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan,
dorongan serta memberikan semangat kepada kami sehingga makalah ini dapat
selesai, Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
Malang, 16 Maret 2013
i
|
[1] Prof. DR. Amir
Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Figh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan. (Jakarta: Kencana, 2006), 35-36.
[2] Maksud dari pengukuhan
disini adalah: suatu pengukuhan yang sesuai dengan ketetapan pembuat syaria,
bukan sekadar pengukuhan yang dilakuakan oleh dua orang yang saling membuat aqad yang bertujuan untuk
mendapatkan kenikmatan semata.
[3] M. Ali Hasan, Pedoman
Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Siraja Prenada Media Grup,
2006), 12.
[4] “perkawinan ialah ikatan
lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami-istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumahtangga)yang bahagia yang kekal berdasarkan Ketuhanan
yang Maha Esa”
[5] Ibid., 9.
[6] Dr. Abd. Shomad, Hukum
Islam: Penormaan Prinsip Syari’ah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2010), 282
[7] Ibid., 284
[8] D.A. Pakih Sati, Lc, Panduan
Lengkap Pernikahan: Fiqh Munakahat Terkini, (Jogjakarta: Bening, 2011), 18
[9] Ibid,. 19
[10] Dr. Musthofa Dib
al-Bagho, Tadzhib fi Adillati Matan al-Ghoyah Wa at-Taqrib, (Malang:
MSAA, t. th), 157.
[11] Muhammad Bagir, Fiqih Praktis II: Menurut
Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Pendapat Para Ulama’, (Bandung: Karisma, 2008), 4.
[12] Ibid., 4-5
[13] Syaikh Taqiyuddin Abi
al-Fath as-Syuhairy, Ahkamu al-ahkami: Syarhu Umdatu al-Ahkam Jus II,(Bairut:
DAR al-KOTOB al-ILMIYAH, 2000), 19-20.
[14] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul
Baari Syarah Shohih al-Bukhari, diterjemahkan
Amiruddin, Fathul Baari: Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhari, (Cet. I;
Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), 20.
[16] Dr. Abd. Shomad, Hukum
Islam: Penormaan Prinsip Syari’ah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2010), 285.
[17] D.A. Pakih Sati, Lc, Panduan
Lengkap Pernikahan: Fiqh Munakahat Terkini, (Jogjakarta: Bening, 2011), 21.
[18] Muhammad Bagir, Fiqih
Praktis II: Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Pendapat Para Ulama’, (Bandung:
Karisma, 2008), 6-7.
[19] Dr. Abd. Shomad, Hukum
Islam: Penormaan Prinsip Syari’ah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2010), 286.
[20] D.A. Pakih Sati, Lc, Panduan
Lengkap Pernikahan: Fiqh Munakahat Terkini, (Jogjakarta: Bening, 2011),
[21] Muhammad Bin Qosim
al-Ghozi, Fathu al-Qorib al-Mujib: Fi Syarhi Alfadzi al-Taqrib, (
Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2003), 106.
[22] D.A. Pakih Sati, Lc, Panduan
Lengkap Pernikahan: Fiqh Munakahat Terkini, (Jogjakarta: Bening, 2011),
[23] Muhammad Bin Qosim
al-Ghozi, Fathu al-Qorib al-Mujib: Fi Syarhi Alfadzi al-Taqrib, (
Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2003), 105-106.
[24] Muhammad
Bagir, Fiqih
Praktis II: Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Pendapat Para Ulama’, (Bandung: Karisma, 2008),
7.
[25] Prof. DR. Amir
Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Figh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan. (Jakarta: Kencana, 2006), 59.
[26] Prof.
DR. Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Figh
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. (Jakarta: Kencana, 2006), 59.
[27] Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bagaimanakah Anda Menikah? Dan Mengatasi
Permasalahannya, (pasuruhan: Ma’had Darul Lughoh Wadda’wah, 1426 H), 72.
[28] H.
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam: Hukum Fiqh Lengkap, (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2009), 382.
[29] Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bagaimanakah Anda Menikah? Dan Mengatasi
Permasalahannya, (pasuruhan: Ma’had Darul Lughoh Wadda’wah, 1426 H), 72-76.
[30] Prof. DR. Amir
Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Figh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan. (Jakarta: Kencana, 2006), 64-68.
[31] Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bagaimanakah Anda Menikah? dan Mengatasi
Permasalahannya, (pasuruhan: Ma’had Darul Lughoh Wadda’wah, 1426 H), 33-35.
[32] Ibid., 53-58.
[33] Prof. DR. Amir
Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Figh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan. (Jakarta: Kencana, 2006), 69.
[34] Al-Hafidh Imam Ibnu
Hajar al-Asqolany, Bulughu al-Marom: Min Adillati al-Ahkam Software, (Tasikmalaya:
Pustaka al-Hidayat, 2008), Hadits no 1010.
[35] Ibid., Hadits no 1013.
[36] Prof. DR. Amir
Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Figh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan. (Jakarta: Kencana, 2006), 74.
[37] Muhammad Bin Qosim
al-Ghozi, Fathu al-Qorib al-Mujib: Fi Syarhi Alfadzi al-Taqrib, (
Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2003), 102.
[38] Prof. DR. Amir
Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Figh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan. (Jakarta: Kencana, 2006), 77.
[39] Muhammad Bin Qosim
al-Ghozi, Fathu al-Qorib al-Mujib: Fi Syarhi Alfadzi al-Taqrib, (
Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2003), 102-103.
[40] Prof. DR. Amir
Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Figh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan. (Jakarta: Kencana, 2006), 77-78.
[41] Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, (Jakarta, 2001), 20-22.
[42] Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bagaimanakah Anda Menikah? Dan Mengatasi
Permasalahannya, (pasuruhan: Ma’had Darul Lughoh Wadda’wah, 1426 H), 19.
[43] Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, (Jakarta, 2001), 20-22.
[44] Prof.
DR. Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Figh
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. (Jakarta: Kencana, 2006), 75-76.
[45] Ny. Soemiyati, S.H, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang
Perkawinan: Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan, (Yogyakarta:
Liberty, 2004), 50-51.
[46] Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bagaimanakah Anda Menikah? Dan Mengatasi
Permasalahannya, (pasuruhan: Ma’had Darul Lughoh Wadda’wah, 1426 H), 67-68.
[47] Dr. Ali Yusuf As-Subki. Fiqih
Keluarga: Pedoman Berkembang dalam Islam. (Jakarta: AMZAH, 2010), 24.
[48] Prof. DR. Amir
Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Figh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan. (Jakarta: Kencana, 2006), 46-47.
[50] Dr. Ali Yusuf As-Subki. Fiqih
Keluarga: Pedoman Berkembang dalam Islam. (Jakarta: AMZAH, 2010), 25-27.
[51] Prof. DR. Amir
Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Figh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan. (Jakarta: Kencana, 2006), 47.
[52] Dr.
Ali Yusuf As-Subki. Fiqih Keluarga: Pedoman Berkembang dalam Islam. (Jakarta:
AMZAH, 2010), 29.
No comments:
Post a Comment