URGENSI JANJI KAMPANYE YANG BERKEKUATAN DAN BERKEPASTIAN HUKUM



Demokrasi sebagai suatu sistem telah dijadikan alternatif dalam berbagai tatanan aktivitas bermasyarakat dan bernegara di beberapa negara termasuk Indonesia. Demokrasi merupakan prinsip bangsa atau negara  dalam menjalankan pemerintahannya. Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan).[1] Demokrasi mementingkan kehendak, pendapat serta pandangan rakyat, corak pemerintahan demokrasi dipilih melalui persetujuan dengan cara mufakat. Sehingga demokrasi yang kuat adalah demokrasi yang bersumber dari hati nurani rakyat untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan rakyat.[2]
Moh. Mahfud MD mengemukakan ada dua alasan dipilihnya demokrasi sebagai sistem bermasyarakat dan bernegara. Pertama, hampir semua negara didunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asas yang fundamamental.; Kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan Negara sebagai organisasi tertingginya. Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang benar pada warga masyarakat tentang demokrasi.
Dalam sejarah demokrasi Indonesia mengalami empat masa perkembangannya. Pertama, demokrasi parlementer (1945-1959) yaitu masa demokrasi (konstitusional) yang menonjolkan peranan parlemen serta partai-partai dan yang karena itu dapat dinamakan demokrasi parlementer. Berdasarkan UUD l945 yang disahkan 18 Agustus l945, sistem pemerintahan Indonesia presidensial. Kekuasaan Presiden merupakan kekuasaan “tunggal” tanpa didampingi oleh kekuasaan lain. Oleh karena itu menjadi objek Belanda dalam propaganda di luar negeri bahwa pemerintahan Indonesia yang dibentuk adalah pemerintahan dictator, pemerintahan terpusat atau terkonsentrasikan di satu tangan yaitu Presiden.
Kedua, masa demokrasi terpimpin yang dalam banyak aspek telah menyimpang dari demokrasi konstitusional yang secara formil merupakan landasanya, dan menunjukkan beberapa aspek demokrasi rakyat. Ketiga, n masa demokrasi pancasila yang merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem presidensil. Selama masa orde baru, demokrasi adalah hal yang hanya menjadi konsumsi mereka yang bergelut dengan politik tingkat tinggi Negara, tidak mengakar kepada rakyat di kalangan bawah. diinterpretasikan bahwa budaya politik dijabarkan sedemikian rupa sehingga negara bertindak sebagai aktor tunggal dan sentral. Logika penempatan negara sebagai aktor tunggal ini terartikulasi melalui pengesahan secara tegas dan mutlak bagi sentralitas negara dengan seluruh perangkat birokrasi dan militernya demi kepentingan pembangunan ekonomi dan politik.[3] Hal ini terjadi karena keran demokrasi seakan dibungkam oleh rezim yang berkuasa.
Keempat, yaitu masa demokrasi pasca reformasi 1988 sampai sekarang. Ketika reformasi bergulir, seketika itu pula gairah demokrasi yang lama terpendam mencuat kepermukaan. Aspinall mengatakan bahwa Indonesia sedang mengalami saat yang demokratis. Inisiatif politik yang dimotori oleh Amien Rais mendorong reformasi terus bergulir. Reformasi yang gegap gempita tersebut memberikan secercah harapan akan munculnya tata kehidupan yang benar-benar demokratis, yang ditandai dengan booming munculnya banyak parpol baru, kebebasan berserikat, kemerdekaan berpendapat, kebebasan pers, dan sebagainya, yang merupakan ciri-ciri demokrasi.[4]
Sebagai bentuk pelaksanaan demokrasi, pada masa reformasi dilaksanakan Pemilihan Umum 1999. Pelaksanaan Pemilu 1999 merupakan salah satu amanat reformasi yang harus dilaksanakan. Sebagai upaya perbaikan pelaksanaan demokrasi, terdapat beberapa langkah yang dilaksanakan, yaitu: (a) banyaknya partai politik peserta pemilu, (b) pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden secara langsung, (c) pemilu untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di DPR, MPR, dan DPD. (d) pelaksanaan pemilu berdasarkan asas luber dan jurdil, (e) pemilihan kepala daerah secara langsung, dan (f) kebebasan penyampaian aspirasi lebih terbuka.
Demokrasi Indonesia pasca amandemen Undang-Undang Dasar 1945 telah mulai menunjukkan perubahan. Bila sebelum amandemen UUD 1945 kekuasaan memilih presiden dan wakil presiden oleh MPR, pasca amandemen kekuasaan tersebut beralih ke tangan rakyat. Rakyat langsung memilih presiden dan wakilnya dalam suatu pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden. Implikasi perubahan kekuasaan memilih presiden dan wakil presiden dari MPR ke tangan rakyat dalam perkembangan demokrasi dan ketatanegaran kita pada gilirannya diikuti pula oleh pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pasca pemberlakuan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, rakyat kembali diberi “tiket” untuk melaksanakan peranan langsung menentukan pilihan politiknya terhadap seorang kepala daerah dan wakilnya.[5]
Pemilihan umum merupakan aktivitas periodik yang diatur dalam konstitusi atau Undang-undang Dasar. Pemilu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan demokrasi, karena pada saat itulah rakyat berkesempatan mencurahkan segala aspirasinya kepada para kandidat/politisi dalam rangka membangun bangsa..
Pemilihan Kepala Daerah secara langsung yang sering disebut sebagai pilkada menjadi sebuah perjalanan sejarah baru dalam dinamika kehidupan berbangsa di Indonesia. Perubahan sistem pemilihan mulai dari pemilihan Legislatif, Presiden dan Wakil Presiden, dan Kepala Daerah diharapkan mampu melahirkan kepemimpinan yang dekat dan menjadi idaman seluruh lapisan masyarakat. Minimal secara moral dan ikatan dan pertanggungjawaban kepada konstituen pemilihnya yang notabene adalah masyarakat yang dipimpinnya.
Abdul Asri (Harahap 2005:122), mengatakan bahwa:
“Pilkada langsung merupakan tonggak demokrasi terpenting di daerah, tidak hanya terbatas pada mekanisme pemilihannya yang lebih demokratis dan berbeda dengan sebelumnya tetapi merupakan ajang pembelajaran politik terbaik dan perwujudan dari kedaulatan rakyat. Melalui pilkada langsung rakyat semakin berdaulat, dibandingkan dengan mekanisme sebelumnya dimana kepala daerah ditentukan oleh sejumlah anggota DPRD. Sekarang seluruh rakyat yang mempunyai hak pilih dan dapat menggunakan hak suaranya secara langsung dan terbuka untuk memilih kepala daerahnya sendiri. Inilah esensi dari demokrasi dimana kedaulatan ada sepenuhnya ada ditangan rakyat, sehingga berbagi distorsi demokrasi dapat ditekan seminimal mungkin”.

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan di atas, maka pada hakikatnya pilkada merupakan sebuah peristiwa luar biasa yang dapat membuat perubahan berarti bagi daerah. Ini merupakan suatu cara dari kedaulatan rakyat yang menjadi esensi dari demokrasi. Oleh karena itu, esensi dari demokrasi yang melekat pada pilkada hendaknya disambut masyarakat secara sadar dan cerdas dalam menggunakan hak politiknya. Partisipasi, aktif, cermat, dan jeli hendaknya menjadi bentuk kesadaran politik yang harus dimiliki oleh masyarakat daerah dalam Pilkada ini.
Pemilihan umum kepala daerah merupakan aktivitas periodik yang diatur dalam konstitusi atau Undang-undang Dasar. Pemilu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan demokrasi, karena pada saat itulah rakyat berkesempatan mencurahkan segala aspirasinya kepada para kandidat/politisi dalam rangka membangun bangsa. Dalam setiap pemilukada, tentu ada kampanye, dan setiap kampanye pasti melibatkan sejumlah orang.
Menurut Pasal 1 angka 35 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, kampanye Pemilu adalah kegiatan Peserta Pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu untuk meyakinkan Pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri Peserta Pemilu.[6]
Dalam kampanye, masalah program mestinya menjadi perhatian serius kandidat karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Dinamika tersebut terdapat hal serius yang semestinya memperoleh perhatian memadai. Jika kita refleksikan bersama, dinamika politik yang sekarang tengah berlangsung sebenarnya tidak lebih dari dinamika elitis. Mereka yang sibuk berkompetisi hanyalah para elite partai yang sedang berkompetisi menuju kursi kekuasaan. Pada momen politik semacam ini, mereka sibuk mengobral janji-janji manis kepada rakyat, mulai dari pendidikan gratis, pengobatan murah, peningkatan kesejahteraan dan berbagai janji manis lainnya. Tujuannya jelas, yaitu menarik simpati dan dukungan rakyat.[7]
Mengenai janji kampanye atau dalam bahasa yuridis formalnya di atur dalam Undang-undang adalah visi, misi dan program. Untuk pemilihan presiden da wakil presiden mengacu pada Undang-undang No. 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum. berikut pasal-pasal yang berkaitan dengan visi, misi dan program:
Pasal 169 
Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah:  (t) memiliki visi, misi, dan program dalam melaksanakan pemerintahan negara Republik Indonesia.
Pasal 229 ayat (1)
Partai Politik atau Gabungan Partai Politik dalam mendaftarkan bakal Pasangan Calon ke KPU wajib menyerahkan: (e) naskah visi, misi, dan program dari bakal Pasangan Calon;
Pasal 274 ayat (1) dan (2)
(1) Materi kampanye meliputi: a. visi, misi, dan program Pasangan Calon untuk Kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden;
(2)Dalam rangka pendidikan politik, KPU wajib memfasilitasi penyebarluasan materi Kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang meliputi visi, misi, dan program Pasangan Calon melalui laman KPU dan lembaga penyiaran publik.
Sedangkan janji kampanye untuk pemilihan kepala daerah yaitu gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota diatur dalam UU No. 1 Tahun 2005, UU No. 8 Tahun 2005 dan UU No. 10 Tahun 2016. Berikut pasal-pasal yang berkaitan dengan janji kampanye atau visi, misi dan program:
Pasal 64 ayat (1)
Pasangan calon wajib menyampaikan visi dan misi yang disusun berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi atau Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten/Kota secara lisan maupun tertulis kepada masyarakat.
Pasal 45 pasal (1) dan (2)
(1) Pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota disertai dengan penyampaian kelengkapan dokumen persyaratan.
(2) Dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: (g) naskah visi, misi, dan program Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota.
Pasal 68 ayat (4)
Materi debat adalah visi, misi, dan program Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota dalam rangka:[8]
Diaturnya mengenai janji kampanye dalam Undang-undang tidak diimbangi dengan kontrol realisasi janji-janji tersebut. Janji kampanye para kontestan pemilu seolah-olah hanya menjadi pemanis bibir semata untuk mengelabui rakyat agar tertarik memilih dirinya padahal dari semula janji tersebut (mungkin) telah direncanakan untuk tidak dipenuhi. Maka tidak heran bila sebagian besar rakyat menganggap janji politik sangat identik dengan kebohongan. Pemilu di mata rakyat tidak lebih dari sekadar sebuah ajang tempat orang memberikan janji-janji untuk diingkari.
Oleh karena itu, untuk menarik minat masyarakat di laksanakan suatu kegiatan peserta pemilukada untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program peserta. kampanye lebih merupakan suatu ajang manuver politik untuk menarik sebanyak mungkin pemilih dalam pemilu sehingga bisa meraih kekuasaan. Setelah pemilu selesai dan kekuasaan diperoleh, mereka melupakan janji-janji. Yang penting sudah berkuasa, lalu bertindak semau mereka sendiri dan seringkali hanya mementingkan diri atau kelompok sendiri.[9]
Terdapat opini adalah janji kampanye disebutkan atau diedarkan atau sebagai visi dan misi adalah janji yang tidak memiliki kekuatan hukum. Janji itu adalah janji “bodong”. Unsurnya adalah “Penipuan” bagi masyarakat Pemilih. Janji kampanye lebih merupakan janji publik ketimbang janji perdata. Sehingga penyelesaiannnya kurang tepat ke peradilan umum. Namun, ada opini menegaskan, bukan berarti janji-janji kampanye politik tidak bisa dituntut secara hukum. Ranahnya bisa saja ke peradilan umum atau badan peradilan lain setingkat Mahkamah Konstitusi (MK).
Janji kampanye juga jelas bukan bentuk dari suatu perjanjian yang mengikat secara hukum. Oleh karena itu rakyat tidak bisa menuntut pertanggungjawaban janji kampanye dikemudian hari, apabila kandidat tersebut terpilih menjadi Presiden atau Kepala Daerah. Celah ini pula yang selalu “dimanfaatkan” oleh para pelaku kampanye, pada saat kampanye. Wal hasil, janji kampanye hanya dipertanggungjawabkan secara moral kepada Yang Maha Kuasa dan masyarakat yang sifatnya tidak mengikat secara hukum.
Gabriel Almon menjelaskan bahwa janji politik adalah bagian dari alat komunikasi politik dari partai politik yang dijalankan oleh struktur yang tersedia yaitu para calon terpilih. Disini Gabriel Almon menjelaskan bahwa janji-janji politik harus dilakaksanakn oleh pasangan calon yang terpilih. Jangan sampai janji-janji yang sudah digembor-gemborkan pada saat kampanye hanya sebagai lips service saja, dan jangan sampai janji-janji tersebut hanya menjadi andalan saja untuk menarik simpati rakyat, tapi realisasinya nol besar.[10]
Rakyat mempunyai hak untuk menagih secara hukum atas dasar ingkar janji, ketika janji-janji politiknya tidak dilaksanakan oleh pasangan terpilih. Fakta para elite yang maju dalam kontestasi pemilu mengecewakan masyarakat pemilihnya, dimana setelah memberikan suaranya, segala janji yang diucapkan pada masa kampanye langsung dilupakan. Sedangkan dalam tata hukum nasional hari ini sama sekali belum ada pengaturannya.  Sehingga masyarakat sangat dirugikan dengan adanya para elite yang tidak menempati janjinya. Dengan demikian  perlu adanya suatu instrumen hukum yang mengakomodir pengaturan terhadap janji kampanye. Upaya membentuk pengaturan mengenai realisasi terhadap janji politik / janji kampanye (visi, misi dan program) menciptakan kepastian hukum dalam sistem hukum nasional.
Dari gambaran singkat tentang fakta-fakta dan isu hukum yang terjadi di masyarakat, maka pentingnya melakukan positivisasi janji kampanye ke dalam tata hukum nasional, penulis merasa terpanggil untuk melakukan penelitian dengan judul “ Pengaturan Tentang Realisasi Visi, Misi dan Program Kepala Daerah Terpilih”.


[1] Azumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 125
[2] Zakaria Bangun, Demokrasi dan Kehidupan Demokrasi di Indonesia, (Medan: Bina Media Perintis, 2008), hlm. 2
[3] Suharso, "Quo Vadis Demokrasi Indonesia" dalam Mahfud MD (eds), Wacana Politik, Hukum dan Demokrasi, (Yogyakarta: LkiS, 2000), hlm 18
[4] Aspinall, "Bagaimana Peluang Demokratisasi?" dalam Edward Aspinall (eds). Titik Tolak Reformasi: Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto, (Yogyakarta: LkiS, 2004)
[5] Mukthie Fadjar, Konstitusionalisme Demokrasi (sebuah diskursus tentang pemilu, otonomi daerah dan mahkamah konstitusi sebagai kado untuk sang penggembala) Malang 2010 In-Trans Publishing hlm. 210
[6] UU hal 6
[7] Adman Nursal, Political Marketing: Strategi Memenangkan Pemilu, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 44
[8] Baca: (a) meningkatkan kesejahteraan masyarakat; (b) memajukan daerah; (c) meningkatkan pelayanan kepada masyarakat; (d) menyelesaikan persoalan daerah; (f) menyerasikan pelaksanaan  pembangunan daerah kabupaten/kota dan provinsi dengan nasional; dan (g) memperkokoh       Negara   Kesatuan Republik Indonesia dan kebangsaan.
[9] Suharso, "Quo Vadis Demokrasi Indonesia" dalam Mahfud MD (eds), Wacana Politik, Hukum dan Demokrasi, (Yogyakarta: LkiS, 2000), hlm 34
[10] Yenrizal, Budaya Politik Kulit dan Komunikasi Politik Demokratis di Indonesia, (Jurnal Hukum Mediator, 2004), hlm 13

Share:

No comments:

Post a Comment

Search This Blog