Analisis Kasus Kecelakaan BMW Maaut Putra Rajasa





BAB II
PEMBAHASAN

2.1     Kronologi Kasus Kecelakaan Anak Hatta Rajasa
Putra bungsu Menko Perekonomian Hatta Rajasa yaitu Rasyid Amrullah Rajasa menyetir mobil BMW B 272 HR berwarna hitam dalam kondisi mengantuk. Saat itu Rasyid usai merayakan pergantian malam tahun baru bersama teman wanitanya. Pada malam tahun baru, Senin 31 Desember 2012 sekitar pukul 20.00 WIB Rasyid berangkat dari kediamannya di daerah Fatmawati untuk menjemput teman wanitanya di daerah Tebet, Jakarta Selatan. Setelah itu mereka pergi ke sebuah kafe di daerah Kemang untuk menghadiri perayaan tahun baru. Mereka pulang pukul 1.00 dinihari, Selasa, 1 Januari 2013. Dia lalu mengantar kembali ke rumah teman wanitanya itu di Tebet. Sepulang dari Kemang Rasyid ngobrol di rumah kekasihnya hingga pukul 05.00. Lalu dia pulang ke Fatmawati mengambil jalur tol dengan masuk dari gerbang Pancoran. Dan pada pukul 05.45 kecelakaan terjadi di Tol Jagorawi Km 3 + 350[1]
Peristiwa itu bermula ketika kedua mobil berada di jalur paling kanan. Mobil Luxio berada di depan, lalu tiba-tiba ditabrak mobil BMW hingga pintu samping mobil Luxio terbuka dan penumpang jatuh hingga kedua penumpang tewas. Berdasarkan keterangan pengemudi Luxio, Frans Sirait, kepada penyidik Polda, dirinya melanjukan kendaraan dengan kecepatan 80 KM/jam. Sopir BMW diduga mengantuk sehingga melaju lebih cepat dari mobil Luxio. Kedua mobil itu bertujuan dari arah Jakarta menuju Bogor.[2]
Dua korban tewas dalam kecelakaan tersebut diketahui bernama Harun, 57, warga Jalan Semangka 1 N0.99 Cibodas Sari, Tangerang dan M Raihan, bayi berumur 14 bulan, anak laki-laki dari Enung, warga Kampung Ciaul RT 8/2 Mekarjaya, Kababungan, Sukabumi, Jawa Barat. Sedangkan korban luka ringan adalah Enung (32 tahun), Moh Rifan dirawat di RS Polri. Lalu, Supriyati (30 tahun). Dia terluka di kaki kiri lecet serta lengan tangan kiri retak, kini dirawat di RS UK.[3] Rasyid telah terbukti melanggar dua pasal, yakni Pasal 310 Ayat (2) dan Pasal 310 Ayat (4) Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) Nomor 22 Tahun 2009. Dalam sidang vonis yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Senin (25/3/2013), majelis hakim menjelaskan, terdakwa terbukti melanggar kedua pasal tersebut. Adapun dua pasal itu berisi bahwa pengemudi kendaraan bermotor yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan serta mengakibatkan korban meninggal dunia."Kelalaian yang dialami terdakwa menyebabkan terjadinya kecelakaan. Terdakwa telah terbukti melakukan kesalahan atas pasal primer atau subsider," ujar Ketua Majelis Hakim Suharjono saat membacakan poin pertimbangan hakim.
Dalam masa persidangan, sebanyak 27 saksi dimasukkan ke dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), namun hanya 17 orang saksi yang hadir. Tak ada satu pun saksi yang bisa membuktikan bahwa meninggalnya dua orang tersebut dipicu oleh benturan keras mobil BMW X5 milik Rasyid. Bahkan, saksi sopir Luxio sendiri pun mengaku tidak sadar bahwa mobilnya terbentur. Frans Joner Sirait hanya merasa terdorong ke depan. Salah seorang saksi ahli malah mengatakan bahwa modifikasi yang dilakukan Frans Joner Sirait terhadap posisi duduk bagian belakang Daihatsu Luxio-nya menyebabkan pintu mudah terbuka jika terjadi benturan. Hal itulah yang menyebabkan penumpangnya terlempar ke luar. Dalam sidang dengan agenda vonis, Suharjono kembali mengatakan, pihaknya menggunakan teori pemidanaan Restorative justice  dalam memutus vonis terhadap Rasyid. Teori tersebut, dikatakan hakim, adalah perspektif hukum yang ikut memasukkan pertangungjawaban terdakwa kepada korbannya sebagai bahan pertimbangan.[4]
Akhirnya, meski dua pasal kecelakaan hingga menyebabkan korban luka ringan, korban meninggal dunia, dan kerusakan barang telah terpenuhi, hakim hanya memvonis Rasyid pidana penjara 5 bulan atau denda uang sebesar Rp 12 juta dengan masa percobaan hukuman selama 6 bulan, lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum, yakni 8 bulan penjara dengan masa percobaan 12 bulan dan subsider 6 bulan..[5]
2.2      Konsep Pemidanaan
Pemidanaan dapat diartikan sebagai “sistem pemberian  atau penjatuhan pidana”. Sistem pemberian/penjatuhan pidana (sistem  pemidanaan)   itu dapat dilihat dari 2 (dua) sudut[6] :
1.      Sudut fungsional (dari sudut bekerjanya/berfungsinya/proses-nya), sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk fungsionalisasi/operasionalisasi/konkretisasi pidana, Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) yang mengatur bagaimana   hukum pidana ditegakkan atau dioperasionalkan secara  konkret sehingga  seseorang  dijatuhi  sanksi  (hukum)  pidana. Dengan pengertian demikian, maka sistem pemidanaan identik dengan sistem penegakan hukum pidana yang terdiri dari sub-sistem Hukum Pidana Materiel/Substantif, sub-sistem Hukum Pidana Formal dan sub-sistem Hukum Pelaksanaan  Pidana. Ketiga sub-sistem itu merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan, karena tidak mungkin hukum pidana dioperasionalkan/ditegakkan secara konkret hanya dengan salah satu sub-sistem itu. Pengertian sistem pemidanaan yang demikian itu dapat disebut dengan “sistem pemidanaan fungsional” atau “sistem pemidanaan dalam arti luas”.
2.      Sudut norma-substantif (hanya dilihat dari norma-norma hukum pidana substantif), sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai Keseluruhan sistem aturan/norma hukum pidana materiel untuk pe-midanaan atau Keseluruhan sistem aturan/norma hukum pidana materiel untuk pemberian/penjatuhan dan pelaksanaan pidana. Dengan pengertian demikian, maka keseluruhan peraturan perundang-undangan (“statutory rules”) yang ada di dalam KUHP maupun UU khusus di luar KUHP, pada  hakikatnya  merupakan  satu  kesatuan   sistem pemidanaan, yang terdiri dari “aturan umum” (“general rules”) dan “aturan khusus” (“special rules”). Aturan umum terdapat di dalam Buku I KUHP, dan aturan khusus terdapat di dalam Buku II dan III KUHP maupun dalam UU Khusus di luar KUHP.
Muladi membagi teori-teori tentang tujuan pemidanaan menjadi 3 kelompok yakni[7] :
1.                            Teori absolut (retributif);
2.                            Teori teleologis; dan
3.                            Teori retributifteleologis.
Teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan.
Teori teleologis (tujuan) memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan, maka bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan.
Teori retributif-teleologis memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip teleologis (tujuan) dan retributif sebagai satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda, dimana pemidanaan mengandung karakter retributif sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter teleologisnya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi atau perubahan perilaku terpidana di kemudian hari. Pandangan teori ini menganjurkan adanya kemungkinan untuk mengadakan artikulasi terhadap teori pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus retribution yang bersifat utilitarian dimana pencegahan dan sekaligus rehabilitasi yang kesemuanya dilihat sebagai sasaran yang harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan
Tujuan pemidanaan yang terdapat dalam RKUHP berorientasi untuk perlindungan masyarakat dan melakukan pembinaan kepada pelaku. Hal ini tercermin dari 4 tujuan pemidanaan yang lebih banyak menitikberatkan pada bagaimana mengembalikan pelaku menjadi pihak yang tidak akan mengulangi tindak pidana dan juga masyarakat yang lain agar tidak melakukan tindak pidana. Tujuan pemidanaan yang bermaksud untuk merehabilitir pelaku ini dikuatkan dengan ketentuan bahwa tujuan pemidanaan bukan dimaksudkan untuk menderitakan atau merendahkan martabat manusia.
Dalam Hal penetapan jenis sanksi pidana, RKUHP menambahkan beberapa jenis pidana baru, yakni pidana pengawasan dan pidana kerja sosial. Penetapan hukuman mati, meskipun ditempatkan pidana yang bersifat khusus dan dalam penerapannya dilakukan secara selektif, merupakan pidana yang tetap tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan sebagai landasan untuk menetapkan sanksi pidana. Hal ini terlihat dari masih banyaknya tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati. Beberapa ketentuan tentang pelaksanaan hukuman mati, termasuk adanya kesadaran bahwa hukuman mati merupakan hukuman yang sangat berat dan tidak akan dapat melakukan koreksi jika terjadi kekeliruan, menunjukkan bahwa ada keragu-raguan untuk menerapkan hukuman mati.

2.3      Analisis Kasus Kecelakaan Anak Hatta Rajasa
Menurut analisis penulis tangkap dari kasus kecelakaan anak hatta rajasa, bahwa rasyid (anak hatta rajasa) telah menabrak mobil yang ada didepannya yang menimbulkan dua korban tewas yaitu Harun (57 tahun) dan Raihan (14 bulan). Rasyid dalam hal ini ditetapkan sebagai tersangka dan telah terbuti melakukan tindak pidana yang menyebabkan seseorang tewas, sehingga Rasyid mendapatkan hukuman yang ditetapkan oleh Hakim. Dan dalam pembahasan ini penulis akan menganilis dengan konsep pemidanaan dan yang lebih ditekankan yaitu Sistem pemidaan yang berbasis Restorative justice .
Berdasarkan data kasus yang telah diuraikan di atas, dan berdasarkan fakta dalam kasus kecelakaan Rasyid anak Hatta Rajasa adalah :
1.      Telah terbukti melakukan tindak pidana yang menyebabkan tewasnya orang.
2.      Rasyid telah terbukti melanggar dua pasal, yakni Pasal 310 Ayat (2)[8] dan Pasal 310 Ayat (4)[9] Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) Nomor 22 Tahun 2009.
3.      Teori pemidanaan Restorative justice  dalam memutus vonis terhadap Rasyid.
4.      Hakim hanya memvonis Rasyid pidana penjara 5 bulan atau denda uang sebesar Rp 12 juta dengan masa percobaan hukuman selama 6 bulan.
Menurut Sudarto, pidana adalah nestapa yang diberikan oleh Negara kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang (hukum pidana), sengaja agar diberikan sebagi nestapa.[10] Pemberian nestapa atau penderitaan yang sengaja dikenakan kepada seorang yang melanggar ketentuan Undang-undang tidak hanya dimaksudkan untuk memberikan penderitaan, kan tetapi bertujuan agar orang tersebut merasa jera dan membuat pelanggar kembali hidup bermasyarakat sebagi mana layaknya.[11]
Berdasarkan konsep pemidanaan yang bertujuan salah satunya adalah perlindungan masyarakat (social defence) dengan rumusan mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat dan menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.[12]
Dalam kasus kecelakaan yang menewaskan dua korban itu Hakim menggunakan teori pemidanaan Restorative justice  dalam memutus vonis terhadap Rasyid. Restorative justice  merupakan perkembangan dari teori pemidanaan, Restorative justice  menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam keterlibatan yang langsung dari para pihak. Korban mampu untuk mengembalikan unsur kontrol, sementara pelaku didorong untuk memikul tanggung jawab sebagai sebuah langkah dalam memperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh tindak kejahatan dan dalam membangun sistem nilai sosialnya. Keterlibatan komunitas secara aktif memperkuat komunitas itu sendiri dan mengikat komunitas akan nilai-nilai untuk menghormati dan rasa saling mengasihi antar sesama. Peranan pemerintah secara substansial berkurang dalam memonopoli proses peradilan sekarang ini. Restorative justice  membutuhkan usaha-usaha yang kooperatif dari komunitas dan pemerintah untuk menciptakan sebuah kondisi dimana korban dan pelaku dapat merekonsiliasikan konflik mereka dan memperbaiki luka-luka mereka.[13]
Restorative justice  mengembalikan konflik kepada pihak-pihak yang paling terkenal pengaruh – korban, pelaku dan “kepentingan komunitas” mereka -- dan memberikan keutamaan pada kepentingan-kepentingan mereka. Restorative justice  juga menekankan pada hak asasi manusia dan kebutuhan untuk mengenali dampak dari ketidakadilan sosial dan dalam cara-cara yang sederhana untuk mengembalikan mereka daripada secara sederhana memberikan pelaku keadilan formal atau hukum dan korban tidak mendapatkan keadilan apapun. Kemudian Restorative justice  juga mengupayakan untuk merestore keamanan korban, penghormatan pribadi, martabat, dan yang lebih penting adalah sense of control.[14]
Secara lebih rinci Muladi[15] menyatakan bahwa Restorative justice  model mempunyai beberapa karakteristik yaitu :
  1. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang lain dan diakui sebagai konflik;
  2. Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan kewajiban pada masa depan;
  3. Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi;
  4. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan utama;
  5. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas dasar hasil;
  6. Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial;
  7. Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restoratif;
  8. Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak pidana didorong untuk bertanggung jawab;
  9. Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik;
  10. Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial dan  ekonomis;
  11. Stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif.

Dengan demikian penulis memiliki kesimpulan yang kritis yaitu hukuman Rasyid yang berdasarkan teori pemidanaan Restorative justice  merupakan perspektif hukum yang ikut memasukkan pertangungjawaban terdakwa kepada korbannya sebagai bahan pertimbangan.
Selain menggunakan teori pemidanaan Restorative justice , Hakim juga dalam memeutuskan hukumannya penjara 5 bulan atau denda uang sebesar Rp 12 juta dengan masa percobaan hukuman selama 6 bulan juga berdasarkan dengan isi Pasal 310 Ayat (2) dan Pasal 310 Ayat (4) Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) Nomor 22 Tahun 2009. Yang berbunyi :
(2) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
(4) Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Tidak hanya itu, pengemudi juga wajib memberikan bantuan biaya pengobatan untuk korban cedera, serta bantuan biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman bagi korban meninggal dunia sebagaimana diatur Pasal 235 UU LLAJ.














BAB III
PENUTUP

1.1  Kesimpulan
Dari penjelasan (deskripsi) dan analisis kasus kecelakaan BMW maaut putra Rajasa adalah sebagai berikut :
1.         Telah terbukti melakukan tindak pidana yang menyebabkan tewasnya orang.
2.         Rasyid telah terbukti melanggar dua pasal, yakni Pasal 310 Ayat (2) dan Pasal 310 Ayat (4) Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) Nomor 22 Tahun 2009.
3.         Teori pemidanaan Restorative justice  dalam memutus vonis terhadap Rasyid.
4.         Hakim hanya memvonis Rasyid pidana penjara 5 bulan atau denda uang sebesar Rp 12 juta dengan masa percobaan hukuman selama 6 bulan.
Dalam kasus kecelakaan yang menewaskan dua korban itu Hakim menggunakan teori pemidanaan Restorative justice  dalam memutus vonis terhadap Rasyid. Restorative justice  merupakan perkembangan dari teori pemidanaan, Restorative justice  menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam keterlibatan yang langsung dari para pihak. Korban mampu untuk mengembalikan unsur kontrol, sementara pelaku didorong untuk memikul tanggung jawab sebagai sebuah langkah dalam memperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh tindak kejahatan dan dalam membangun sistem nilai sosialnya. Keterlibatan komunitas secara aktif memperkuat komunitas itu sendiri dan mengikat komunitas akan nilai-nilai untuk menghormati dan rasa saling mengasihi antar sesama. Peranan pemerintah secara substansial berkurang dalam memonopoli proses peradilan sekarang ini.
hukuman Rasyid yang berdasarkan teori pemidanaan Restorative justice  yang merupakan perspektif hukum yang ikut memasukkan pertangungjawaban terdakwa kepada korbannya sebagai bahan pertimbangan.

DAFTAR PUSTAKA

Dari Buku
Andi hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia (Jakarta: Pradnya Paramita,1986)
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 2005).
Kitab Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ)
Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan (Jakarta: Sinar Grafika, 1996)
File Doc
Dr.Setyo Utomo.SH.,M.Hum SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA YANG BERBASIS RESTORATIVE JUSTICE
Dari Internet
Semanggi, Warta Kota 2012 “http://www.wartakota.co.id/read/news/kasusbabe.” Diakses pada 10 April 2014
Desy Afrianti, Viva News 2013 “http://us.metro.news.viva.co.id/news/read/378937-usai-pesta-tahun-baru--rasyid-rajasa-kelelaha” Diakses pada 16 Juni 2014
2mata.net 2013 http://www.2mata.net/index.php/spy-article/3-spy-article/96-ini-kronologis-kecelakaan-yang-melibatkan-anak-hata-rajasa” Diakses pada 16 Juni 2014
Kabarsore.com 2013 http://kabarsore.com/berita/10074-ini-kronologi-mobil-bmw-anak-hatta-rajasa-tabrak-luxio-di-tol-jagorawi.html Diakses pada 16 Juni 2014
Namafb.com 2013 http://namafb.com/2013/03/25/ini-dia-putusan-hakim-terkait-anak-hatta-rajasa/ Diakses pada 16 Juni 2014




[1] Desy Afrianti, Viva News 2013 “http://us.metro.news.viva.co.id/news/read/378937-usai-pesta-tahun-baru--rasyid-rajasa-kelelaha” Diakses pada 16 Juni 2014
[2] 2mata.net 2013 http://www.2mata.net/index.php/spy-article/3-spy-article/96-ini-kronologis-kecelakaan-yang-melibatkan-anak-hata-rajasa” Diakses pada 16 Juni 2014
[3] Kabarsore.com 2013 http://kabarsore.com/berita/10074-ini-kronologi-mobil-bmw-anak-hatta-rajasa-tabrak-luxio-di-tol-jagorawi.html Diakses pada 16 Juni 2014
[4] Fabian Januarius Kuwado, megapolitan 2013 http://megapolitan.kompas.com/read/2013/03/26/
11124620/Akhir.Kisah.Kecelakaan.Sang.Anak.Menteri Diakses pada 16 Juni 2014
[5] Namafb.com 2013 http://namafb.com/2013/03/25/ini-dia-putusan-hakim-terkait-anak-hatta-rajasa/ Diakses pada 16 Juni 2014
[6] Dr.Setyo Utomo.SH.,M.Hum SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA YANG BERBASIS RESTORATIVE JUSTICE hal 9
[7] Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 2005), hal
[8] Bunyi Pasal 310 Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) Nomor 22 Tahun 2009 Ayat (2) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
[9] Bunyi Pasal 310 Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) Nomor 22 Tahun 2009 Ayat (4) Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
[10] Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana (Bandung: Alumni, 1981), hal 109-110.
[11] Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal 12.
[12] Andi hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia (Jakarta: Pradnya Paramita,1986),hal.27.
[13] Dr.Setyo Utomo.SH.,M.Hum SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA YANG BERBASIS RESTORATIVE JUSTICE hal 21
[14] Dr.Setyo Utomo.SH.,M.Hum SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA YANG BERBASIS RESTORATIVE JUSTICE hal 23
[15] Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 2005), 
Share:

No comments:

Post a Comment

Search This Blog