BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kronologi Kasus Kecelakaan Anak Hatta Rajasa
Putra bungsu
Menko Perekonomian Hatta Rajasa yaitu Rasyid Amrullah Rajasa menyetir mobil BMW
B 272 HR berwarna hitam dalam kondisi
mengantuk. Saat itu Rasyid usai merayakan pergantian malam tahun baru bersama
teman wanitanya. Pada malam tahun baru, Senin 31 Desember 2012 sekitar pukul
20.00 WIB Rasyid berangkat dari kediamannya di daerah Fatmawati untuk menjemput
teman wanitanya di daerah Tebet, Jakarta Selatan. Setelah itu mereka pergi ke
sebuah kafe di daerah Kemang untuk menghadiri perayaan tahun baru. Mereka
pulang pukul 1.00 dinihari, Selasa, 1 Januari 2013. Dia lalu mengantar kembali
ke rumah teman wanitanya itu di Tebet. Sepulang dari Kemang Rasyid ngobrol di
rumah kekasihnya hingga pukul 05.00. Lalu dia pulang ke Fatmawati mengambil
jalur tol dengan masuk dari gerbang Pancoran. Dan pada pukul 05.45 kecelakaan
terjadi di Tol Jagorawi Km 3 + 350[1]
Peristiwa itu
bermula ketika kedua mobil berada di jalur paling kanan. Mobil Luxio berada di
depan, lalu tiba-tiba ditabrak mobil BMW hingga pintu samping mobil Luxio
terbuka dan penumpang jatuh hingga kedua penumpang tewas. Berdasarkan
keterangan pengemudi Luxio, Frans Sirait, kepada penyidik Polda, dirinya
melanjukan kendaraan dengan kecepatan 80 KM/jam. Sopir BMW diduga mengantuk
sehingga melaju lebih cepat dari mobil Luxio. Kedua mobil itu bertujuan dari
arah Jakarta menuju Bogor.[2]
Dua korban
tewas dalam kecelakaan tersebut diketahui bernama Harun, 57, warga Jalan
Semangka 1 N0.99 Cibodas Sari, Tangerang dan M Raihan, bayi berumur 14 bulan,
anak laki-laki dari Enung, warga Kampung Ciaul RT 8/2 Mekarjaya, Kababungan,
Sukabumi, Jawa Barat. Sedangkan korban luka ringan adalah Enung (32 tahun), Moh
Rifan dirawat di RS Polri. Lalu, Supriyati (30 tahun). Dia terluka di kaki kiri
lecet serta lengan tangan kiri retak, kini dirawat di RS UK.[3]
Rasyid telah terbukti melanggar dua pasal, yakni Pasal 310 Ayat (2) dan Pasal
310 Ayat (4) Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) Nomor 22 Tahun
2009. Dalam sidang vonis yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Senin
(25/3/2013), majelis hakim menjelaskan, terdakwa terbukti melanggar kedua pasal
tersebut. Adapun dua pasal itu berisi bahwa pengemudi kendaraan bermotor yang
mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan
serta mengakibatkan korban meninggal dunia."Kelalaian yang dialami terdakwa menyebabkan terjadinya kecelakaan.
Terdakwa telah terbukti melakukan kesalahan atas pasal primer atau subsider,"
ujar Ketua Majelis Hakim Suharjono saat membacakan poin pertimbangan hakim.
Dalam masa
persidangan, sebanyak 27 saksi dimasukkan ke dalam Berita Acara Pemeriksaan
(BAP), namun hanya 17 orang saksi yang hadir. Tak ada satu pun saksi yang bisa
membuktikan bahwa meninggalnya dua orang tersebut dipicu oleh benturan keras
mobil BMW X5 milik Rasyid. Bahkan, saksi sopir Luxio sendiri pun mengaku tidak sadar
bahwa mobilnya terbentur. Frans Joner Sirait hanya merasa terdorong ke depan.
Salah seorang saksi ahli malah mengatakan bahwa modifikasi yang dilakukan Frans
Joner Sirait terhadap posisi duduk bagian belakang Daihatsu Luxio-nya
menyebabkan pintu mudah terbuka jika terjadi benturan. Hal itulah yang
menyebabkan penumpangnya terlempar ke luar. Dalam sidang dengan agenda vonis,
Suharjono kembali mengatakan, pihaknya menggunakan teori pemidanaan Restorative justice dalam memutus vonis terhadap Rasyid. Teori
tersebut, dikatakan hakim, adalah perspektif hukum yang ikut memasukkan
pertangungjawaban terdakwa kepada korbannya sebagai bahan pertimbangan.[4]
Akhirnya,
meski dua pasal kecelakaan hingga menyebabkan korban luka ringan, korban
meninggal dunia, dan kerusakan barang telah terpenuhi, hakim hanya memvonis
Rasyid pidana penjara 5 bulan atau denda uang sebesar Rp 12 juta dengan masa
percobaan hukuman selama 6 bulan, lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut
umum, yakni 8 bulan penjara dengan masa percobaan 12 bulan dan subsider 6
bulan..[5]
2.2 Konsep Pemidanaan
Pemidanaan dapat diartikan sebagai “sistem pemberian atau penjatuhan pidana”. Sistem
pemberian/penjatuhan pidana (sistem
pemidanaan) itu dapat dilihat
dari 2 (dua) sudut[6] :
1. Sudut fungsional (dari sudut
bekerjanya/berfungsinya/proses-nya), sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai
Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk fungsionalisasi/operasionalisasi/konkretisasi
pidana, Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) yang mengatur bagaimana hukum pidana ditegakkan atau
dioperasionalkan secara konkret
sehingga seseorang dijatuhi
sanksi (hukum) pidana. Dengan pengertian demikian, maka
sistem pemidanaan identik dengan sistem penegakan hukum pidana yang terdiri
dari sub-sistem Hukum Pidana Materiel/Substantif, sub-sistem Hukum Pidana
Formal dan sub-sistem Hukum Pelaksanaan
Pidana. Ketiga sub-sistem itu merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan,
karena tidak mungkin hukum pidana dioperasionalkan/ditegakkan secara konkret
hanya dengan salah satu sub-sistem itu. Pengertian sistem pemidanaan yang
demikian itu dapat disebut dengan “sistem pemidanaan fungsional” atau “sistem
pemidanaan dalam arti luas”.
2.
Sudut
norma-substantif
(hanya dilihat dari norma-norma hukum
pidana substantif), sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai Keseluruhan
sistem aturan/norma hukum pidana materiel untuk pe-midanaan atau Keseluruhan
sistem aturan/norma hukum pidana materiel untuk pemberian/penjatuhan dan
pelaksanaan pidana. Dengan pengertian demikian, maka keseluruhan peraturan
perundang-undangan (“statutory rules”) yang
ada di dalam KUHP maupun UU khusus di luar KUHP, pada hakikatnya
merupakan satu kesatuan
sistem pemidanaan, yang terdiri dari “aturan umum” (“general rules”) dan “aturan khusus” (“special rules”). Aturan umum terdapat di dalam Buku I KUHP, dan
aturan khusus terdapat di dalam Buku II dan III KUHP maupun dalam UU Khusus di
luar KUHP.
Muladi membagi teori-teori tentang tujuan pemidanaan
menjadi 3 kelompok yakni[7]
:
1.
Teori absolut (retributif);
2.
Teori teleologis; dan
3.
Teori retributifteleologis.
Teori
absolut memandang bahwa pemidanaan
merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi
pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini
mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena
orang telah melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus
ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga
sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan.
Teori
teleologis (tujuan) memandang bahwa
pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana
mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju
kesejahteraan masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk
mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan, maka bukan bertujuan untuk
pemuasan absolut atas keadilan.
Teori
retributif-teleologis memandang bahwa
tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip
teleologis (tujuan) dan retributif sebagai satu kesatuan. Teori ini bercorak
ganda, dimana pemidanaan mengandung karakter retributif sejauh pemidanaan
dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah.
Sedangkan karakter teleologisnya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral
tersebut ialah suatu reformasi atau perubahan perilaku terpidana di kemudian
hari. Pandangan teori ini menganjurkan adanya kemungkinan untuk mengadakan
artikulasi terhadap teori pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus
retribution yang bersifat utilitarian dimana pencegahan dan sekaligus
rehabilitasi yang kesemuanya dilihat sebagai sasaran yang harus dicapai oleh
suatu rencana pemidanaan
Tujuan pemidanaan yang terdapat dalam RKUHP berorientasi
untuk perlindungan masyarakat dan melakukan pembinaan kepada pelaku. Hal ini
tercermin dari 4 tujuan pemidanaan yang lebih banyak menitikberatkan pada
bagaimana mengembalikan pelaku menjadi pihak yang tidak akan mengulangi tindak
pidana dan juga masyarakat yang lain agar tidak melakukan tindak pidana. Tujuan
pemidanaan yang bermaksud untuk merehabilitir pelaku ini dikuatkan dengan
ketentuan bahwa tujuan pemidanaan bukan dimaksudkan untuk menderitakan atau
merendahkan martabat manusia.
Dalam Hal penetapan jenis sanksi pidana, RKUHP
menambahkan beberapa jenis pidana baru, yakni pidana pengawasan dan pidana
kerja sosial. Penetapan hukuman mati, meskipun ditempatkan pidana yang bersifat
khusus dan dalam penerapannya dilakukan secara selektif, merupakan pidana yang
tetap tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan sebagai landasan untuk menetapkan
sanksi pidana. Hal ini terlihat dari masih banyaknya tindak pidana yang diancam
dengan hukuman mati. Beberapa ketentuan tentang pelaksanaan hukuman mati,
termasuk adanya kesadaran bahwa hukuman mati merupakan hukuman yang sangat
berat dan tidak akan dapat melakukan koreksi jika terjadi kekeliruan,
menunjukkan bahwa ada keragu-raguan untuk menerapkan hukuman mati.
2.3 Analisis Kasus Kecelakaan Anak
Hatta Rajasa
Menurut analisis penulis tangkap dari kasus kecelakaan
anak hatta rajasa, bahwa rasyid (anak hatta rajasa) telah menabrak mobil yang
ada didepannya yang menimbulkan dua korban tewas yaitu Harun (57 tahun) dan
Raihan (14 bulan). Rasyid dalam hal ini ditetapkan sebagai tersangka dan telah
terbuti melakukan tindak pidana yang menyebabkan seseorang tewas, sehingga
Rasyid mendapatkan hukuman yang ditetapkan oleh Hakim. Dan dalam pembahasan ini
penulis akan menganilis dengan konsep pemidanaan dan yang lebih ditekankan
yaitu Sistem pemidaan yang berbasis Restorative
justice .
Berdasarkan data kasus yang telah diuraikan di atas, dan berdasarkan fakta
dalam kasus kecelakaan Rasyid anak Hatta Rajasa adalah :
1. Telah terbukti melakukan tindak pidana yang menyebabkan
tewasnya orang.
2. Rasyid telah terbukti melanggar dua pasal, yakni Pasal
310 Ayat (2)[8] dan
Pasal 310 Ayat (4)[9]
Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) Nomor 22 Tahun 2009.
3. Teori pemidanaan Restorative
justice dalam memutus vonis terhadap
Rasyid.
4. Hakim hanya memvonis Rasyid pidana penjara 5 bulan atau
denda uang sebesar Rp 12 juta dengan masa percobaan hukuman selama 6 bulan.
Menurut Sudarto, pidana adalah nestapa yang diberikan oleh Negara kepada
seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang (hukum
pidana), sengaja agar diberikan sebagi nestapa.[10]
Pemberian nestapa atau penderitaan yang sengaja dikenakan kepada seorang yang
melanggar ketentuan Undang-undang tidak hanya dimaksudkan untuk memberikan
penderitaan, kan tetapi bertujuan agar orang tersebut merasa jera dan membuat
pelanggar kembali hidup bermasyarakat sebagi mana layaknya.[11]
Berdasarkan konsep pemidanaan yang bertujuan salah satunya adalah
perlindungan masyarakat (social defence)
dengan rumusan mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma
hukum demi pengayoman masyarakat dan menyelesaikan konflik yang ditimbulkan
oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat.[12]
Dalam kasus kecelakaan yang menewaskan dua korban itu Hakim menggunakan teori
pemidanaan Restorative justice dalam memutus vonis terhadap Rasyid. Restorative justice merupakan perkembangan dari teori pemidanaan, Restorative justice menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam
keterlibatan yang langsung dari para pihak. Korban mampu untuk mengembalikan
unsur kontrol, sementara pelaku didorong untuk memikul tanggung jawab sebagai
sebuah langkah dalam memperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh tindak
kejahatan dan dalam membangun sistem nilai sosialnya. Keterlibatan komunitas
secara aktif memperkuat komunitas itu sendiri dan mengikat komunitas akan
nilai-nilai untuk menghormati dan rasa saling mengasihi antar sesama. Peranan
pemerintah secara substansial berkurang dalam memonopoli proses peradilan
sekarang ini. Restorative justice membutuhkan usaha-usaha yang kooperatif dari
komunitas dan pemerintah untuk menciptakan sebuah kondisi dimana korban dan
pelaku dapat merekonsiliasikan konflik mereka dan memperbaiki luka-luka mereka.[13]
Restorative justice mengembalikan konflik kepada
pihak-pihak yang paling terkenal pengaruh – korban, pelaku dan “kepentingan
komunitas” mereka -- dan memberikan keutamaan pada kepentingan-kepentingan
mereka. Restorative justice juga menekankan pada hak asasi manusia dan
kebutuhan untuk mengenali dampak dari ketidakadilan sosial dan dalam cara-cara
yang sederhana untuk mengembalikan mereka daripada secara sederhana memberikan
pelaku keadilan formal atau hukum dan korban tidak mendapatkan keadilan apapun.
Kemudian Restorative justice juga mengupayakan untuk merestore keamanan
korban, penghormatan pribadi, martabat, dan yang lebih penting adalah sense of
control.[14]
Secara lebih rinci Muladi[15] menyatakan bahwa Restorative
justice model mempunyai beberapa
karakteristik yaitu :
- Kejahatan
dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang lain dan diakui
sebagai konflik;
- Titik
perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan kewajiban pada
masa depan;
- Sifat
normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi;
- Restitusi
sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai
tujuan utama;
- Keadilan
dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas dasar hasil;
- Sasaran
perhatian pada perbaikan kerugian sosial;
- Masyarakat
merupakan fasilitator di dalam proses restoratif;
- Peran
korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah maupun
penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak pidana didorong
untuk bertanggung jawab;
- Pertanggungjawaban
si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk
membantu memutuskan yang terbaik;
- Tindak
pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial dan ekonomis;
- Stigma
dapat dihapus melalui tindakan restoratif.
Dengan demikian
penulis memiliki kesimpulan yang kritis yaitu hukuman Rasyid yang berdasarkan
teori pemidanaan Restorative
justice merupakan perspektif
hukum yang ikut memasukkan pertangungjawaban terdakwa kepada korbannya sebagai
bahan pertimbangan.
Selain menggunakan
teori pemidanaan Restorative justice , Hakim juga dalam memeutuskan hukumannya penjara 5 bulan atau denda uang sebesar Rp 12 juta dengan
masa percobaan hukuman selama 6 bulan juga berdasarkan dengan isi Pasal 310
Ayat (2) dan Pasal 310 Ayat (4) Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
(LLAJ) Nomor 22 Tahun 2009. Yang berbunyi :
(2) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan
Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan
korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
(4) Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Tidak hanya itu,
pengemudi juga wajib memberikan bantuan biaya pengobatan untuk korban cedera,
serta bantuan biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman bagi korban meninggal
dunia sebagaimana diatur Pasal 235 UU LLAJ.
BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Dari penjelasan
(deskripsi) dan analisis
kasus kecelakaan BMW maaut putra Rajasa adalah sebagai berikut :
1.
Telah terbukti melakukan tindak pidana yang menyebabkan tewasnya orang.
2.
Rasyid telah terbukti melanggar dua pasal, yakni Pasal 310 Ayat (2) dan
Pasal 310 Ayat (4) Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) Nomor 22
Tahun 2009.
3.
Teori pemidanaan Restorative justice dalam memutus vonis terhadap Rasyid.
4.
Hakim hanya memvonis Rasyid pidana penjara 5 bulan atau denda uang sebesar
Rp 12 juta dengan masa percobaan hukuman selama 6 bulan.
Dalam kasus kecelakaan yang menewaskan dua korban itu Hakim menggunakan teori
pemidanaan Restorative justice dalam memutus vonis terhadap Rasyid. Restorative justice merupakan perkembangan dari teori pemidanaan, Restorative justice menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam
keterlibatan yang langsung dari para pihak. Korban mampu untuk mengembalikan
unsur kontrol, sementara pelaku didorong untuk memikul tanggung jawab sebagai
sebuah langkah dalam memperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh tindak
kejahatan dan dalam membangun sistem nilai sosialnya. Keterlibatan komunitas
secara aktif memperkuat komunitas itu sendiri dan mengikat komunitas akan
nilai-nilai untuk menghormati dan rasa saling mengasihi antar sesama. Peranan
pemerintah secara substansial berkurang dalam memonopoli proses peradilan
sekarang ini.
hukuman Rasyid yang berdasarkan teori pemidanaan Restorative justice yang merupakan perspektif
hukum yang ikut memasukkan pertangungjawaban terdakwa kepada korbannya sebagai
bahan pertimbangan.
DAFTAR
PUSTAKA
Dari Buku
Andi hamzah,
Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia (Jakarta: Pradnya Paramita,1986)
Muladi dan
Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 2005).
Kitab
Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ)
Niniek Suparni,
Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan (Jakarta: Sinar
Grafika, 1996)
File Doc
Dr.Setyo
Utomo.SH.,M.Hum SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA YANG BERBASIS RESTORATIVE
JUSTICE
Dari Internet
Semanggi, Warta
Kota 2012 “http://www.wartakota.co.id/read/news/kasusbabe.” Diakses pada 10
April 2014
Desy Afrianti,
Viva News 2013
“http://us.metro.news.viva.co.id/news/read/378937-usai-pesta-tahun-baru--rasyid-rajasa-kelelaha”
Diakses pada 16 Juni 2014
2mata.net 2013
http://www.2mata.net/index.php/spy-article/3-spy-article/96-ini-kronologis-kecelakaan-yang-melibatkan-anak-hata-rajasa”
Diakses pada 16 Juni 2014
Kabarsore.com
2013 http://kabarsore.com/berita/10074-ini-kronologi-mobil-bmw-anak-hatta-rajasa-tabrak-luxio-di-tol-jagorawi.html
Diakses pada 16 Juni 2014
Namafb.com 2013
http://namafb.com/2013/03/25/ini-dia-putusan-hakim-terkait-anak-hatta-rajasa/
Diakses pada 16 Juni 2014
[1]
Desy Afrianti, Viva News 2013 “http://us.metro.news.viva.co.id/news/read/378937-usai-pesta-tahun-baru--rasyid-rajasa-kelelaha”
Diakses pada 16 Juni 2014
[2]
2mata.net 2013 http://www.2mata.net/index.php/spy-article/3-spy-article/96-ini-kronologis-kecelakaan-yang-melibatkan-anak-hata-rajasa”
Diakses pada 16 Juni 2014
[3]
Kabarsore.com 2013 http://kabarsore.com/berita/10074-ini-kronologi-mobil-bmw-anak-hatta-rajasa-tabrak-luxio-di-tol-jagorawi.html
Diakses pada 16 Juni 2014
11124620/Akhir.Kisah.Kecelakaan.Sang.Anak.Menteri
Diakses pada 16 Juni 2014
[5]
Namafb.com 2013 http://namafb.com/2013/03/25/ini-dia-putusan-hakim-terkait-anak-hatta-rajasa/
Diakses pada 16 Juni 2014
[6]
Dr.Setyo Utomo.SH.,M.Hum SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA YANG BERBASIS
RESTORATIVE JUSTICE hal 9
[7]
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana,
(Bandung: Alumni, 2005), hal
[8]
Bunyi Pasal 310 Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) Nomor 22
Tahun 2009 Ayat (2) Setiap orang yang
mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan
Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan
dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
[9]
Bunyi Pasal 310 Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) Nomor 22
Tahun 2009 Ayat (4) Dalam hal kecelakaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal
dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
[10]
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana (Bandung: Alumni, 1981), hal 109-110.
[11]
Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan
(Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal 12.
[12]
Andi hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia (Jakarta: Pradnya Paramita,1986),hal.27.
[13]
Dr.Setyo Utomo.SH.,M.Hum SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA YANG BERBASIS
RESTORATIVE JUSTICE hal 21
[14]
Dr.Setyo Utomo.SH.,M.Hum SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA YANG BERBASIS
RESTORATIVE JUSTICE hal 23
[15]
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana,
(Bandung: Alumni, 2005),
No comments:
Post a Comment