Syarat - syarat mufti
Seorang
mufti (pemberi Fatwa) tentulah orang yang mempunyai wawasan keilmuan yang luas,
agar yang difatwakannya tentang suatu masalah hukum sesuai dengan yang
sebenarnya. Abu Ishaq Ibrahim3 menguraikan secara detail tentang syarat-syarat
seorang mufti, yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Harus Mengetahui sumber hukum, yaitu al-Qur‟an dan sunah, baik qauliyah,
fi’liyah dan taqririyah;
2.
Mengetahui cara mengambil hukum dari keduanya;
3.
Mengetahui kaidah-kaidah ushul fiqh;
4.
Mengetahui bahasa Arab dan tata bahasa Arab;
5.
Mengetahui nasakh, mansukh, dan hukum-hukumnya;
6.
Mengetahui ijma’ dan khilafiyah ulama
terdahulu;
7.
Mengetahui cara mengqiyas dan hukum-hukumya;
8.
Mengetahui ijtihad;
9.
Mengetahui cara mengambil ‘illat dan urutan dalil-dalil;
10.
Mengetahui cara mentarjih;
11.
Harus orang yang dipercaya dan jujur; dan
12.
Orang yang tidak menganggap enteng dalam soal agama.
Mufti
adalah panutan dan ikutan kaum muslimin, karena itu disamping ia ahli al-Qur‟an
dan hadits, ia juga seorang yang mempunyai akhlakul karimah (budi pekerti yang
mulia), sabar tidak pemarah, bilaksana, selalu memikirkan kepentingan kaum
muslimin.
Sehubungan
dengan hal di atas, Imam Ahmad Ibn Hambal sepertinya mengidentikkan
syarat-syarat seorang mufti dengan sifat-sifat yang dimiliki seorang mufti,
sebagaimana dikutip oleh Kamal Mukhtar sebagai berikut:
1.
Mufti memberi fatwa dengan niat semata-mata mencari keridhaan Allah SWT., bukan
untuk sesuatu kepentingan seperti untuk mencari pangkat, kedudukan, kekayaan,
kekuasaan dan sebagainya. Dengan adanya niat yang seperti itu, maka Allah SWT.
akan memberinya petunjuk dalam melaksanakan tugasnya itu.
2.
Hendaklah seorang mufti itu berwibawa, sabar dan dapat menguasai
dirinya, tidak cepat marah dan tidak suka menyombongkan diri.
3.
Mufti itu hendaklah seorang yang berkecukupan hidupnya, tidak menggantungkan
hidupnya kepada orang lain. Dengan hidup ber kecukupan itu ia dapat memperdalam
ilmunya, dapat mengemukakan kebenaran sesuai dengan kehendak Allah dan
Rasul-Nya, sukar dipengaruhi pendapatnya oleh orang lain.
4.
Hendaklah seorang mufti mengetahui ilmu kemasyarakatan, karena ketetapan
hukumnya harus diambil setelah memperhatikan
kondisi masyarakat, memperhatikan perubahan-perubahan dan sebagainya, sehingga
fatwanya tidak menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat, sekaligus dapat
diterima dan tidak bertentangan dengan hukum Allah dan Rasul-Nya.
Selanjutnya
Imam Syafi‟i mengatakan, bagi yang berfatwa (mufti) harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1.
Mengetahui kitab Allah (al-Qur‟an), nasakh-mansukh, takwil- tanzilnya,
makiyah–madaniyahnya, dan segala sesuatu yang menyangkut al-Qur‟an itu sendiri.
2.
Mengetahui hadis Rasulullah SAW., nasakh-mansukhnya, pengetahuannya tentang
hadis ini kira-kira sama dengan pengetahuannya tentang al-Qur‟an.
3.
Mengetahui bahasa Arab beserta kaidah-kaidanya yang dengan pengetahuan bahasa
Arabnya itu difahaminya al Qur‟an dan sunnah. Disyaratkan juga pengetahuannya
tentang hal-hal yang tersebut di atas
digunakannya dengan kesadaran yang tinggi.
Syarat-syarat
yang dikemukakan Imam Syafi‟i di atas adalah syarat- syarat yang hampir sama
dengan syarat–syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid muthlaq yang
dapat memberikan fatwa dalam segala masalah yang berhubungan dengan hukum.
Sebagai
bahan perbandingan, ada baiknya dilihat pula 3 (tiga) kelompok syarat
berijtihad yang telah disepakati para ulama,7 yaitu:
1.
Syarat-syarat umum:
a.
Dewasa;
b.
Sehat fikirannya;
c.
Sangat kuat daya tangkapnya dan ingatannya (IQ-nya tinggi);
d.
Islam.
2. Syarat-syarat pokok:
a.
Menguasai al-Qur‟an dan ilmu-ilmu al-Qur‟an, terutama ayat-ayat hukumnya, asbab
an-nuzul-nya, nasakh-mansukhnya dan sebagainya;
b.
Menguasai hadits dan ilmu-ilmu hadits, terutama mengenai hadits hasan, nasakh
mansukh dan sebagainya;
c.
Menguasai bahasa Arab dan ilmu-ilmu bahasa, termasuk Nahwu- Sharaf, Balaghah,
Fiqh al-Lughah dan Adabu al-Jahili.
d.
Menguasai ilmu ushul fiqh;
e.
Memahami benar-benar tujuan-tujuan pokok syari‟at Islam;
f. Memahami benar-benar qawaid
al-kulliyah/qawa’id al- fiqhiyah.
3.
Syarat-syarat pelengkap.
a.
Mengetahui tidak ada dalil yang qath’i tentang kasus yang dihadapi;
b.
Mengalami masalah yang telah tercapai konsensus, masalah- masalah khilafiyah
dan masalah-masalah yang belum ada kepastian hukumnya.
Berfatwa
dalam beberapa hal sebenarnya merupakan proses lanjut dari berijtihad, karena definisi
ijtihad itu sendiri adalah seperti yang dikatakan sebagian ulama ushul:
“Mempergunakan segala kesanggupan untuk mengeluarkan hukum syara‟ dari kitabullah
dan hadis Rasul”.
Walaupun
syarat-syarat mufti hampir sama dengan syarat-syarat mujtahid, tetapi tidak
semua yang difatwakan itu merupakan hasil ijtihad. Artinya ada juga fatwa yang
dikeluarkan merupakan butir-butir hukum yang sudah jelas rumusannya di dalam
al-Qur‟an dan sunnah. Dengan demikian, apabila yang difatwakan itu sudah jelas
rumusannya di dalam al-Qur‟an dan sunnah, maka syarat-syarat seorang mufti
seperti yang kemukakan Imam Syafi‟i tidak disyaratkan lagi. Hal ini dapat
dilihat pada fatwa-fatwa yang muncul setelah berlalunya periode tasyri’ masa
imam-imam mujtahid.
Abdul
Karim Amrullah mengatakan; “Bahwasanya setengah daripada syarat-syarat orang
yang akan berfatwa, hendaklah dia ‘alim (mengerti betul) dengan fiqh, ushul dan
furu’nya, yaitu sanggup dan sedia (taahhul) pengetahuannya dalam perkara itu”.
Dimaksudkan
dengan ‘alim bukanlah bahwa hendaknya hadir segala ilmu itu pada otaknya setiap
waktu, tetapi orang ‘alim adalah orang yang selalu berusaha memperkecil berbuat
yang salah dan memperbesar jumlah berbuat yang baik dalam rangka membersihkan jiwanya dari
kotoran- kotoran hal-hal yang maksiat.
Mempunyai
pengetahuan tentang ushul, maksudnya ialah orang yang mengetahui tentang
dali-dalil yang 5 (lima), demikian juga mengetahui cara- cara yang dapat
dipakai ketika mengambil hukum apabila terdapat dalil-dalil yang
berlawanan/bertentangan antara satu dengan yang lain, hendaklah ia tahu pula
masalah-masalah mana yang sudah di ijma‟kan para ulama, supaya dalam fatwanya
tidak menyalahi ijma’ itu.
Tentang
pengetahui mengenai masalah furu’, maksudnya hendaklah ia mengetahui masalah
yang sudah disepakati ulama dan mana yang belum disepakati, termasuk juga di
sini adanya pengetahuan tentang ilmu nahwu, sharaf, bayan yang semuanya itu
berhubungan dengan bahasa Arab sekedar yang diperlukan dalam mengambil
(mengistimbatkan) hukum.
Kemudian
hendaklah ada pengetahuannya mengenai masalah hadis dan perawi-perawinya,
sehingga dapat diketahuinya mana yang dapat diterima dan mana yang ditolak, demikian juga
pengetahuannya tentang tafsir. Pengetahuannya tentang tafsir dan hadits ini
sudah memadai kiranya dengan mengetahui kitab-kitab yang mu’tamad dan mu’tabar
dikalangan umat Islam, begitu juga dengan ilmu nasakh mansukh.
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa seorang mufti bisa memfatwakan semua
masalah hukum, apabila telah memenuhi syarat- syarat sebagai seorang mujtahid.
Seorang mufti yang hanya mengungkap kembali suatu rumusan hukum yang sudah ada,
seperti di dalam al-Qur‟an dan sunnah, Ijma‟, fatwa shahabi atau hasil-hasil
ijtihad para mujtahid sebelumnya, maka ia tidak harus memenuhi semua syarat
mujtahid. Cukup memadai jika ia dapat mempertanggungjawabkan sumber pengambilan
hukum-hukum yang difatwakan itu.
FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor
: 07 Tahun 2010
Tentang
KOPI LUWAK
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
setelah :
MENIMBANG :a.bahwa di masyarakat muncul usaha kopi
luwak, di mana kopi tersebut berasal dari biji kopi yang dimakan oleh luwak dan
kemudian dikeluarkan kembali bersama kotorannya, kemudian diolah kembali
menjadi serbuk kopi yang dikonsumsi masyarakat dan dikenal dengan kopi luwak;
b.bahwa
terhadap masalah tersebut, muncul pertanyaan di tengah masyarakat terkait hukum mengonsumsi kopi luwak.
c.bahwa
oleh karena itu dipandang perlu adanya fatwa tentang Kopi Luwak sebagai pedoman
bagi masyarakat, baik dalam rangka memproduksi, menjual, maupun mengonsumsi
kopi luwak.
MENGINGAT : 1.Firman Allah SWT:
وَكُلُواْ مِمَّا رَزَقَكُمُ اللّهُ حَلاَلاً طَيِّباً وَاتَّقُواْ
اللّهَ الَّذِيَ أَنتُم بِهِ مُؤْمِنُونَ -٨٨
“Dan
makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan
kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.”
(QS. Al-Ma’idah [5] : 88)
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ كُلُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُواْ لِلّهِ
إِن كُنتُمْ
إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ -١٧٢
“Hai
orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami
berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya
kamu menyembah”. (QS. Al-Baqarah [2] : 172
يَا أَيُّهَا
النَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّباً وَلاَ تَتَّبِعُواْ
خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ -١٦٨-
“Hai
sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi,
dan janganlah kamu mengikuti langkah- langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan
itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (Al-Baqarah [2] : 168)
هُوَ الَّذِي
خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاء
فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ -٢٩-
“Dia-lah
Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak
(menciptakan) langit, lalu dijadikan- Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui
segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah [2] : 29)
قُل لاَّ أَجِدُ
فِي مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ
مَيْتَةً أَوْ دَماً مَّسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ
فِسْقاً أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ
فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ -١٤٥-
“Katakanlah:
"Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu
bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua
itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa
yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang". (QS. Al-An’am [6] : 145
وَيُحِلُّ
لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَآئِثَ -١٥٧-
“…..
dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka
segala yang …. (QS. Al-A’raf [7] : 157)
2.Hadits Rasulullah s.a.w. antara
lain:
"Yang
halal adalah sesuatu yang dihalalkan oleh Allah dalam Kitab-Nya, dan yang haram
adalah apa yang diharamkan oleh Allah dalam Kitab-Nya; sedang yang tidak
dijelaskan-Nya adalah yang dimaafkan." (HR. al-Tirmidzi & Ibnu
Majah)
"Apa-apa
yang dihalalkan oleh Allah dalam Kitab-Nya (al- Qur'an) adalah halal, apa-apa
yang diharamkan-Nya hukumnya haram, dan apa-apa yang Allah diamkan/tidak
dijelaskan hukumnya, dimaafkan. Untuk itu terimalah pemaafan-Nya, sebab Allah
tidak pernah lupa tentang suatu apa pun." (HR. al- Hakim)
“Allah
telah mewajibkan beberapa kewajiban: jangan kamu abaikan, telah menetapkan
beberapa batasan, janganlah kamu langgar, telah mengharamkan beberapa hal,
janganlah kamu rusak, dan tidak menjelaskan beberapa hal sebagai kasih sayang
kepadamu, bukan karena lupa, maka janganlah kamu tanya-tanya hukumnya."
(HR. Daraquthni dan dinilai sahih oleh Imam Nawawi) 3.Qaidah Fiqhiyyah:
3.Qaidah Fiqhiyyah:
"Hukum
asal sesuatu yang bermanfaat adalah boleh dan hukum asal sesuatu yang berbahaya
adalah haram."
"Hukum
asal mengenai sesuatu adalah boleh selama tidak ada dalil muktabar yang mengharamkannya."
"Hukum
asal mengenai sesuatu adalah boleh selama tidak ada dalil muktabar yang
mengharamkannya."
MEMPERHATIKAN
:
1. Pendapat
dalam Kitab al-Majmu' Juz 2 halaman 573, yang menerangkan jika ada hewan
memakan biji tumbuhan kemudian dapat dikeluarkan dari perut, jika tetap
kondisinya dengan sekira jika ditanam dapat tumbuh maka tetap suci:
"Jika
ada hewan memakan biji tumbuhan kemudian dapat dikeluarkan dari perut, jika
kekerasannya tetap dalam kondisi semula, dengan sekira jika ditanam dapat
tumbuh maka tetap suci akan tetapi harus disucikan bagian luarnya karena
terkena najis.....
2. Pendapat
dalam Kitab Nihayatul Muhtaj juz II halaman 284:
"Ya,
jika biji tersebut kembali dalam kondisi semula sekira ditanam dapat tumbuh
maka statusnya adalah mutanajjis, bukan najis. Bisa dipahami, pendapat yang
menegaskan kenajisannya kemungkinan jika tidak dalam kondisi kuat. Sementara,
pendapat yang menegaskan sebagai mutanajjis kemungkinan karena dalam kondisi
tetap; sebagaimana barang yang terkena kotoran lain. Analog dengan biji-bijian
adalah pada masalah telur, jika keluar dalam kondisi utuh setelah ditelan
dengan sekira ada kekuatan untuk dapat menetas, maka hukumnya mutanajjis, bukan
najis."
3. Pendapat
dalam kitab Hasyiyah I'anatu al-Thalibin Syarh Fath al-Mu'in juz I halaman 82
yang menerangkan jika ada hewan memuntahkan biji tumbuhan atau mengeluarkannya
melalui kotoran, jika biji tersebut keras, sekira ditanam dapat tumbuh maka
statusnya adalah mutanajjis:
"Jika
ada hewan memuntahkan biji tumbuhan atau mengeluarkannya melalui kotoran, jika
biji tersebut keras, [redaksi dalam kitab Nihayah "ya jika biji tersebut
kembali dalam kondisi semula sekira ditanam dapat tumbuh maka statusnya adalah
mutnajjis, bukan najis. Bisa dipahami, pendapat yang menegaskan kenajisannya
kemungkinan jika tidak dalam kondisi kuat. Sementara, pendapat yang menegaskan
sebagai mutanajjis kemungkinan karena dalam kondisi tetap; sebagaimana barang
yang terkena kotoran lain.....]. (Perkataanya: tidak menejelaskan) maksudnya
fuqaha. dan perkataanya: "Hukum masalah biji-bijian sebagaimana telur,
kacang-kacangan dan buah-buahan dan sejenisnya, apabila dimuntahkan oleh hewan
atau dikeluarkan melalui kotoran, maka berkata pengarang Nihayah: "Analog
dengan biji-bijian adalah pada masalah telur, jika keluar dalam kondisi utuh
setelah ditelan dengan sekira ada kekuatan untuk dapat menetas, maka hukumnya
mutanajjis, bukan najis."
4. Hasil
rapat Kelompok Kerja Komisi Fatwa MUI Bidang Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika
beserta TIM LPPOM MUI pada 2 Juni 2010.
5. Makalah
Dr. K.H. Munif Suratmaputra dan penjelasan Tim LPPOM MUI yang disajikan pada
Rapat Komisi Fatwa tanggal 16 Juni 2010.
6. Penjelasan
LPPOM MUI atas pertanyaan dari Komisi Fatwa mengenai kemungkinan tumbuhnya biji
kopi yang telah dimakan luwak pada rapat Komisi Fatwa MUI tanggal 14 juli 2010,
yang pada intinya menyatakan secara umum biji kopi yang keluar dari kotoran
luwak tidak berubah dan dapat tumbuh jika ditanam.
7. Pendapat
peserta rapat-rapat komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia, mulai tanggal 2 Juni
2010 hingga terakhir pada tanggal 20 Juli 2010.
Dengan
bertawakkal kepada Allah SWT
MEMUTUSKAN :
MENETAPKAN : FATWA TENTANG KOPI LUWAK
Pertama :
Ketentuan Umum
Dalam
fatwa ini yang dimaksud dengan: Kopi Luwak adalah kopi yang berasal dari biji
kopi yang dimakan oleh luwak ( paradoxorus hermaproditus ) kemudian keluar
bersama kotorannya dengan syarat:
1.
biji kopi masih utuh terbungkus kulit tanduk.
2.
dapat tumbuh jika ditanam kembali.
Kedua :
Ketentuan Hukum
1.Kopi
Luwak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan umum adalah mutanajjis (barang
terkena najis), bukan najis.
2.Kopi
Luwak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan umum adalah halal setelah disucikan.
3.Mengonsumsi
Kopi Luwak sebagaimana dimaksud angka 2 hukumnya boleh.
4.Memproduksi
dan memperjualbelikan Kopi Luwak hukumnya boleh.
Ketiga :
Ketentuan Penutup
1.Fatwa
ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari
ternyata terdapat kekeliruan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana
mestinya.
2.Agar
setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau
semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini.
No comments:
Post a Comment