BAHASA INDONESIA DI TENGAH GEMPURAN GLOBALISASI DAN NASIB BAHASA DAERAH
Berita Kompas (29/12/09) tentang banyaknya penggunaan bahasa asing
(Inggris) di hotel dan tempat hiburan dalam rangka menyambut malam tahun
baru 2010 menarik untuk disimak. Ini mengingatkan kita pada kriktik
sejarawan Swiss terkemuka, Hebert Luethy, sebagaimana dikutip Benedict
Anderson (1990) bahwa “sebagai bahasa, bahasa Indonesia suka meminjam
istilah asing apa saja dengan begitu melimpah, sehingga bahasa ini
merupakan bahasa “sintesis”. Sikap sinis lain disampaikan oleh sejarawan
Perancis , Jerome Samuel, sebagaimana dikutip P. Ari Subagyo (Kompas,
24/10/2009) bahwa penambahan puluhan ribu istilah baru secara cepat ---
terutama demi perannya sebagai bahasa ilmiah--- membuat bahasa Indonesia
“sama dengan bahasa baru”.
Kritik Luethy dan Jerome Samuel tidak berlebihan. Sebab, memang
demikian keadaaanya. Sebagian orang berpendapat banyaknya istilah asing
yang diadopsi ke dalam bahasa Indonesia bisa dimengerti sebab bahasa
Indonesia tergolong muda dan tidak memiliki kosakata yang cukup untuk
mengakomodasi berbagai kepentingan dan tuntutan akibat kemajuan ilmu
pengetahuan, sains dan teknologi. Malah menurut Pramoedya Ananta Toer
bahasa Indonesia miskin dan belang-bonteng dengan mengambil kata-kata semua bangsa di seluruh dunia, sehingga bahasa Indonesia menjadi sangat terbuka.
Yang lain berpendapat bahwa mengadopsi istilah asing merupakan salah
satu cara terbaik dan cepat untuk memperkaya kosakata bahasa Indonesia
yang jumlahnya masih sangat sedikit dibanding dengan bahasa-bahasa lain
yang sudah mapan, seperti bahasa Inggris, Mandarin, Arab, Perancis, dan
sebagainya. Jadi sah-sah saja. Malah menurut P Ari Subagyo (Kompas,
24/10/2009) dilihat dari derajatnya, bahasa Indonesia adalah bahasa yang
sedang dipromosikan. Ia adalah bahasa yang belum jadi, dan karena itu
diperlukan promosi dan kesetiaan yang besar dari pemiliknya.
Tetapi persoalannya adalah yang dilaporkan Kompas (29/12/2009: 2)
bukan adopsi istilah asing ke dalam bahasa Indonesia, melainkan
penggunaan istilah asing (Inggris) secara utuh di hotel dan
tempat-tempat hiburan untuk menyambut tamu yang akan merayakan malam
pergantian tahun memasuki tahun baru 2010. Misalnya, di Hotel Gran
Melia, Jakarta terpampang tulisan “Romantic Red Flair”, di Hotel
Borobudur di Bogor Café terpampang tema “Special New Year’s Eve Buffet”.
Tempat hiburan Ancol Taman Impian memasang tema “Explore Your
Imagination”. Hotel JW Marriot Surabaya memasang tema “The Spirit of
Colours”, sedangkan Sheraton Surabaya Hotel &Towers mengusung tema
“Celebrations are Better When Shared”.
Penggunaan bahasa asing sebenarnya tidak saja di hotel dan
tempat-tempat hiburan, tetapi juga di nama rubrik beberapa media cetak,
seperti ‘Main Issue’, ‘Woman’s Secret’, ‘Man of the Month’, ‘Life Style’
dan sebagainya. Dengan demikian, konstruksi budaya yang dibangun media,
disadari atau tidak, semakin memarginalkan posisi bahasa Indonesia dan
bahasa daerah. Padahal, seharusnya media massa memiliki peran sangat
penting untuk memberikan contoh pengokohan jati diri bangsa melalui
penggunaan bahasa nasional dan mengangkat kearifan lokal dengan tetap
menjaga kelestarian bahasa daerah.
Menariknya lagi, menurut pihak penyelenggara, penggunaan bahasa
Inggris tersebut supaya lebih mengena ke semua golongan masyarakat.
Selain itu, penggunaan bahasa Inggris juga dinilai lebih kreatif,
efektif, dan mudah dipahami. Bagi pengkaji bahasa, alasan penyelenggara
hiburan dalam menggunakan bahasa Inggris bukan persoalan sederhana.
Setidaknya menyiratkan beberapa hal. Pertama, kurang percaya
diri orang Indonesia terhadap bahasanya sendiri. Padahal, Presiden
Yudhoyono usai pelantikannya sebagai presiden periode yang kedua
mengajak segenap bangsa untuk menegakkan jati diri. Salah satunya
melalui pengokohan budaya bangsa yang di dalamnya ada bahasa.
Kedua, dengan berbahasa asing, terutama bahasa Inggris, orang Indonesia merasa lebih keren.
Tampaknya berbahasa tidak cukup hanya dengan maksud untuk menyampaikan
pesan. Ada faktor lain mengapa orang milih bahasa tertentu dalam
berkomunikasi. Salah satunya adalah faktor gengsi atau agar dianggap lebih keren.
Jika ini yang dimaksudkan pilihan bahasa Inggris memang tidak salah.
Sebab, selain sebagai salah satu bahasa internasional dan bahasa ilmu
pengetahuan, bahasa Inggris memiliki jumlah peminat sangat besar dan
tersebar di hampir seluruh penjuru dunia. Dengan berbahasa Inggris,
orang merasa sebagai warga dunia.
Ketiga, dengan menggunakan bahasa Inggris dan bahasa asing
lainnya dalam berbagai aktivitas, tanpa disadari orang Indonesia lebih
suka memromosikan bahasa asing daripada bahasa Indonesia. Sejak akhir
1990-an Indonesia menjadi lahan subur promosi bahasa asing. Kita bisa
melihat menjamurnya lembaga-lembaga kursus bahasa asing di berbagai
tempat, tidak hanya di kota besar, tetapi juga di kota-kota kecil di
seluruh pelosok negeri, sehingga seolah-olah bahasa Indonesia tidak
dianggap bahasa penting oleh pemiliknya sendiri. Malah ada kesan bahasa
Indonesia “termarginalkan”.
Keempat, bahasa Indonesia terkena gempuran globalisasi,
sehingga semakin tereduksinya nilai-nilai lokal dalam masyarakat.
Indikasinya adalah semakin berkurangnya jumlah penutur bahasa daerah dan
menurunnya rasa bangga berbahasa Indonesia di kalangan masyarakat.
Pengamat bahasa dari Universitas Airlangga, Listiyono Santoso,
mengatakan dari 742 bahasa daerah yang ada di Indonesia, 273 di
antaranya ada di Papua yang setiap tahun mengalami penurunan jumlah
penutur.
Kelima, lemahnya rasa percaya diri penggunaan bahasa
Indonesia dan bahasa daerah juga menggambarkan semakin rendahnya rasa
setia masyarakat kita terhadap bahasa nasional dan lokal. Padahal, rasa
setia bahasa sangat diperlukan untuk menjamin keberlangsungan sebuah
bahasa. Bahasa yang penuturnya tidak lagi setia atau ditinggal
penuturnya akan dengan sendirinya mati. Padahal, kematian bahasa
merupakan kehilangan budaya yang tidak ternilai harganya.
Bagi kita sebagai bangsa yang sedang tumbuh dan berupaya mengokohkan
jati dirinya agar sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju,
kondisi di atas sangat memprihatinkan dan karenanya diperlukan kebijakan
pemerintah mengatasi persoalan tersebut. Jika tidak, saya khawatir
bahasa Indonesia akan menjadi bahasa “asing” karena melimpahnya kosakata
asing dari berbagai bahasa di seluruh dunia dan pada saat yang sama
bahasa daerah akan lenyap. Saya takut jika kita tidak akan lagi
mendengar orang berbahasa daerah. Karena itu, jangan heran jika kelak
anak orang Jawa tidak lagi bisa berbahasa Jawa!
No comments:
Post a Comment