1. Konsep Kedaulatan Negara
Konsep
kedaulatan negara mencakup dua konteks pengertian, yaitu pengertian internal
dan eksternal. Dalam arti internal, kedaulatan sebagai konsep kekuasaan
tertinggi yang dikenal selama
ini dalam dunia filsafat hukum dan politik mencakup ajaran tentang
Kedaulatan Tuhan (Theocracy),
Kedaulatan Rakyat (Democracy),
Kedaulatan Hukum (Nomocracy),
dan Kedaulatan Raja
(Monarchy). Dalam perspektif kekuasaan negara secara internal ini bahkan nanti
akan dijelaskan pula
mengenai adanya ajaran Kedaulatan Lingkungan yang dapat kita perkenalkan dengan istilah ‘Ecocracy’. Sedangkan dalam perspektif yang bersifat
eksternal, konsep kedaulatan itu biasa dipahami dalam konteks hubungan antar negara. Dalam hubungan Internasional, orang
biasa berbicara mengenai status suatu negara merdeka yang berdaulat keluar dan
ke dalam. Karena, dalam
praktik hubungan antar
negara mutlak diperlukan adanya pengakuan Internasional terhadap status suatu negara yang
dianggap merdeka dan berdaulat itu. Tanpa adanya pengakuan, negara yang
mengklaim dirinya sendiri secara sepihak sebagai negara akan sulit ikut serta dalam pergaulan
internasional.
Menyadari
hal itu, para perancang dan perumus undang-undang dasar negara kita pada tahun
1945 juga mendeklarasikan dengan tegas adanya prinsip kedaulatan negara
Indonesia itu, baik dalam Pembukaan maupun dalam pasal-pasal UUD 1945. Alinea I
Pembukaan menyatakan, “Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala
bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena
tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan”.
Alinea II
Pembukaan UUD 1945 tersebut menyatakan pula, “Dan perjuangan pergerakan
kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan
selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang
kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan
makmur.” Untuk menjaga keutuhan dan kedaulatan negara, diatur pula tugas
konstitusional yang dibebankan kepada Tentara Nasionjal Indonesia (TNI) dalam
Pasal 30 ayat (3) UUD 1945. Pasal 30 ayat (3) tersebut menentukan, “Tentara
Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan
Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara
keutuhan dan kedaulatan negara”. Dari kutipan-kutipan di atas jelas tergambar
bahwa UUD 1945 juga menganut ajaran kedaulatan negara itu dalam konteks
hubungan antar negara yang bersifat eksternal.
Di samping ide kedaulatan
dalam konteks pengertian yang bersifat eksternal dalam hubungan antar negara, UUD 1945 juga dapat dikatakan
menganut beberapa ajaran tentang kedaulatan dalam pengertian internal, terutama
dalam hubungan antara negara dan warga negara dan antara sesama warga negara.
Dari keempat konsep kekuasaan tertinggi atau kedaulatan, yaitu Kedaulatan Tuhan
(Theocracy), Kedaulatan Raja/Ratu (Monarchy), Kedaulatan Rakyat (Democracy), dan ide Kedaulatan Hukum (Nomocracy), setidaknya UUD 1945 menganut 2 ajaran secara
eksplisit, yaitu kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum yang berkaitan dengan
ide demokrasi dan negara hukum. Bahkan, dalam pengertian yang berbeda dari konsepsi klasik tentang
teokrasi, UUD 1945 juga mengakui adanya prinsip kekuasaan tertinggi yang
bersumber dari Tuhan Yang Maha Kuasa, di samping adanya praktik sistem kerajaan
di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang statusnya diakui dan dihormati menurut
Pasal 18B ayat (1) UUD 1945[3].
Sementara itu, dalam
Pembukaan UUD 1945 pada Alinea III, dinyatakan, “Atas berkat rakhmat Allah Yang
Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan
kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya.” Ide Kemahakuasaan Tuhan dalam Pembukaan UUD 1945 ini jelas
merupakan pengakuan bahwa Yang Maha Berkuasa dalam Kehidupan bernegara pun pertama-tama
adalah Tuhan, yaitu Allah Yang Maha Kuasa. Selanjutnya, Pasal 1 ayat (2) UUD
1945 menyatakan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
undang-undang dasar”. Sedangkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Negara
Indonesia adalah negara hukum”[4],
yang tidak lain menegaskan dianutnya prinsip kedaulatan hukum. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengandung dan
menganut hampir semua ajaran kedaulatan, yaitu mulai dari prinsip Kedaulatan
Negara secara eksternal dan semua ajaran kedaulatan secara internal, yaitu prinsip
Kedaulatan Tuhan, Kedaulatan Rakyat, Kedaulatan Hukum[5], Kedaulatan
Raja[6],
dan bahkan Kedaulatan Lingkungan yang telah saya uraikan dalam buku “Green
Constitution: Nuansa Hijau UUD 1945” dan juga akan diuraikan lebih lanjut dalam
tulisan ini.
2. Kedaulatan Tuhan
Dalam
ide Kedaulatan Tuhan,
kekuasaan tertinggi dianggap ada di tangan Tuhan. Tuhanlah yang
dipandang sebagai sumber dari segala sumber kekuasaan manusia di dunia. Manusia
hanya lah pelaksana belaka dari kehendak Tuhan. Dapat dikatakan bahwa pengertian demikian
ini dikenal ada dalam datau oleh semua
agama besar dunia dalam sejarah.
Agama Hindu, agama Yahudi, Kristen, maupun Islam mempunyai pengalaman yang sama
dalam berhubungan dengan ide-ide tentang kekuasaan bernegara. Tuhan lah yang
pertama-tama dipandang sebagai sumber dari segala kekuasaan manusia, termasuk
dalam urusan bernegara.
Namun
demikian, dalam perwujudan konkritnya, dimanakah kekuasaan Tuhan itu tampil atau menampilkan diri dalam praktik kegiatan bernegara?
Dalam kenyataan praktiknya, sejak dari zaman pra-sejarah, kekuasaan tuhan itu
selalu dipahami melekat dalam diri para pemimpin yang bersifat turun-temurun.
Karena itu, di antara berbagai agama, muncul konsep Raja-Dewa dalam sejarah
umat Hindu, Raja-Pendeta dalam sejarah Kristen, dan Raja-Khalifah dalam sejarah
umat Islam.
Di
zaman Plato dan Aristoteles[7] di
Yunani kuno ketika masyarakatnya yang sedang bergairah dengan pemikiran
filsafat, berkembang pula konsep “The
Philosopher’s King” atau Raja-Filosof, yang kurang lebih sama saja dengan
Raja-Dewa tersebut di atas. Para raja tersebut diharapkan mempunyai kepribadian
yang ideal dan dapat dijadikan panutan sesuai dengan idealitas yang diajarkan
oleh agama yang mereka anut.
Demikian pula pandangan Plato tentang “The
Philosopher’s King”. Pemimpin negara di zaman Plato tidak lain adalah Raja,
tetapi Raja yang diidealkan oleh Plato itu hendaklah memahami masalah-masalah
kenegaraan secara mendalam seperti para filosof.
Jikalau
Plato memadukan idealitas kepemimpinan negara antara Filosof dan Raja, maka
dalam paham-paham keagamaan klasik, yang diintegrasikan adalah ide tentang
kepemimpinan agama dengan Raja. Dari pengertian demikian inilah kemudian
muncul doktrin ‘theocracy’ dalam sejarah, yaitu bahwa
kekuasaan bernegara pada prinsipnya berasal dari Tuhan yang diwujudkan dalam
pribadi raja atau ratu secara turun temurun. Di beberapa negara, hanya
laki-laki yang diperbolehkan menjadi pemimpin negara, tetapi di beberapa negara
lainnya, tidak mempersoalkan jenis kelamin, sehingga dapat menerima raja atau ratu
sebagai kepala negara. Dalam paham teokrasi itu, siapa saja yang diangkat
menjadi raja atau ratu, dialah yang juga menjadi pemimpin agama yang dianut
warga atau rakyatnya.
Dalam perkembangannya, praktik teokrasi ini tentu banyak sekali menghadapi persoalan. Agama dan Tuhan seringkali dengan sangat mudah dijadikan alat
legitimisasi kekuasaan. Bahkan
agama dan Tuhan dengan mudah diperalat dalam rangka keserakahan nafsu manusia
akan kekuasaan, akan kekayaan, dan pelampiasan nafsu seks secara tanpa kendali.
Jika sang Raja atau Ratu bertindak sewenang-wenang, maka
kesewenang-wenangannya itu tidak dapat diganggu-gugat oleh siapapun juga,
karena titah Raja atau Ratu dianggap identik dengan titah Tuhan yang Maha Kuasa.
Itu
sebabnya di zaman sekarang, doktrin kedaulatan tuhan dan konsep Negara Teokrasi
itu dianggap sudah ketinggalan zaman dan tidak relevan lagi dan bahkan sangat
berbahaya untuk diterapkan. Ide
teokrasi juga selalu dilihat dari segi negatifnya karena sifatnya yang
sewenang-wenang. Setiap kali orang membicarakan negara agama, sering timbul
salah paham seolah hal itu pasti terkait dengan pengertian yang negatif itu.
Bahkan, lebih ekstrim lagi, membicarakan agama dalam konteks kehidupan
bernegara seringkali dikaitkan dengan pengertian teokrasi yang negatif itu.
Menurut pendapat saya, ide teokrasi (theocracy)
menjadi negatif karena perwujudannya terkait dengan kerajaan atau monarki,
sehingga pemahaman mengenai Tuhan Yang Maha Kuasa diwujudkan dalam Kekuasaan
Raja yang dapat bertindak apa saja atas nama Tuhan.
Para
Raja atau Ratu itu sekaligus bertindak sebagai Kepala Agama, sehingga
kekuasaannya sangat luas dan termasuk urusan-urusan pribadi warganya. Karena
itu, bangsa-bangsa Eropah yang pada umumnya beragama Kristen, dalam waktu yang
cukup lama, dipimpin oleh para Raja atau Ratu yang juga sekaligus merupakan
Kepala Gereja. Dalam status ganda itu, kekuasaan Raja-Pendeta terus berkembang
ke tingkat yang sangat ekstrim, sehingga pada akhirnya mendorong munculnya
gerakan perlawanan dari rakyat yang kemudian dikenal sebagai gerakan
sekularisme. Gerakan sekularisme ini pada pokoknuya berusaha memisahkan negara
dari agama dalam wilayah kekuasaannya masing-masing.
Kecuali di
Inggeris yang sampai sekarang -- meskipun hanya secara simbolis – masih
memertahankan kedudukan Raja atau Ratu sebagai Kepala Gereja Anglikan,
kebanyakan negara-negara Eropah memang telah berhasil memisahkan negara dari
agama. Bahkan, banyak juga negara yang atas desakan rakyatnya berhasil diubah
dari bentuk kerajaan menjadi republik, seperti Perancis, Jerman, Austria,
Italia, Portugal, Russia, Hongaria, Polandia, dan lain-lain sebagainya.
Sesudah
itu ajaran kedaulatan tuhan ini dapat dikatakan mulai ditinggalkan orang,
karena kelemahan-kelemahan inheren yang terdapat di dalamnya. Namun demikian, sekali
lagi, patut diperhatikan oleh para ahli bahwa doktrin mengenai kedaulatan tuhan
atau ‘theocracy’ itu, sebenarnya, ditolak
dalam sejarah karena kelemahannya yang mewujudkan diri dalam gagasan kedaulatan
raja. Kedaulatan Tuhan atau teokrasi itu, apabila diwujudkan dalam sistem
kerajaan, terbukti telah menyebabkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan
kewenang-wenangan. Oleh karena itu, sistem yang demikian ini dapat dipandang
tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan, meskipun masih tetap banyak juga
negara yang menerapkannya sampai sekarang.
Namun
demikian, apabila konsep teokrasi atau prinsip Kedaulatan Tuhan itu tidak
diwujudkan dalam sistem kerajaan, tentu tetap dapat dipertimbangkan
relevansinya di zaman modern sekarang ini. Misalnya, paham Kedaulatan Tuhan itu
dapat diwujudkan dalam paham Kedaulatan Rakyat, atau dapat pula
diimplementasikan melalui paham Kedaulatan Hukum. Kekuasaan Tuhan Yang Maha
Kuasa tetap diakui, tetapi perwujudannya dalam praktik dipandang menjelma dalam
keyakinan setiap rakyat yang berdaulat. Keyakinan akan ke-Maha-Kuasaan Tuhan
itu, menurut saya, justru menimbulkan sikap kesetaraan di antara sesama manusia
yang sama-sama berdaulat. Setiap manusia hanya tunduk kepada Tuhan, dan bukan
kepada manusia. Jikalau seorang manusia harus tunduk kepada manusia lain yang
menduduki status sebagai pemimpin, maka ketundukan itu hanya dapat diterima sepanjang
sang pemimpin dapat dijadikan teladan dalam sikap taat kepada aturan hukum yang
berlaku, termasuk ketentuan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Dalam
pengertian yang terakhir ini, saya berpendapat bahwa paham teokrasi itu masih
relevan asalkan perwujudannya dikaitkan dengan gagasan kedaulatan rakyat
dan/atau kedaulatan hukum, bukan dengan gagasan kedaulatan raja seperti dalam
sistem monarki. UUD 1945, menurut saya, juga dapat dikatakan menganut paham
Kedaulatan Tuhan atau Teokrasi itu, yaitu Kedaulatan Tuhan Yang Maha Esa yang
perwujudannya dikaitkan dengan gagasan Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Hukum.
Kedaulatan Tuhan Yang Maha Esa dalam rumusan Pancasila dan UUD 1945, mempunyai
ciri yang berbeda dari konsep Teokrasi (Theocracy)
yang dianggap negatif seperti dalam pengertiannya di Eropah di zaman dahulu
dimana Kedaulatan Tuhan atau Teokrasi itu diwujudkan dalam Sistem Kerajaan
(Monarchy).
3 Kedaulatan Raja
Konsep
Kedaulatan Raja sama tuanya dengan gagasan Kedaulatan Tuhan. Bahkan sampai abad
ke-6, semua negara yang tercatat dalam sejarah selalu dipimpin oleh penguasa
yang bersifat tuturn temurun, yang biasa disebut sebagai Raja atau Ratu. Negara
pertama yang tercatat melakukan suksesi kepemimpinan tidak melalui hubungan
darah hanya di zaman sepeninggal nabi Muhammad saw yang kemudian digantikan
oleh Khalifah Abubakar Shiddiq, dilanjutkan oleh Umar ibn Khattab, Usman ibn
‘Affan, dan terakhir Ali ibn Abi Thalib sebelum akhirnya kembali lagi ke sistem
kerajaan. Karena itu, dapat dikatakan bahwa negara Madinah selam periode
keempat khalifah inilah yang disebut sebagai negara yang berbentuk republik
yang murni sebagaimana yang diidealkan oleh Plato di zamannya[8].
Sesudah
itu, negara Madinah dipimpin oleh Raja-Khalifah dari Dinasti Ummayah, dan
seterusnya. Karena itu, hampir dapat dikatakan bahwa sejarah kekuasaan di
antara umat manusia adalah sejarah tentang kerajaan. Orang baru mengenal bentuk
republik seperti yang dipraktikkan dewasa ini paling-paling baru 3 abad
terakhir, terutama setelah Amerika Serikat memerdekakan diri dan menjadi negara
republik konstitusional yang pertama.
Dalam
konsep kedaulatan raja ini, Raja lah yang dipandang mempunyai kekuasaan
tertinggi atas apa saja. Karena besarnya kekuasaan para raja itu, berkembang pula
pengertian mengenai imperium yang
dibedakan dari dominion. Seperti
dikatakan oleh Montesquieu, ‘imperium’
merupakan konsep ‘rule over individuals
by the prince’, sedangkan dominium atau ‘dominion’ merupakan ‘rule
over things by the individuals’. Namun, jika kedua pengertian itu berhimpun
jadi satu, maka sang Raja sudah dipastikan menjadi tiran yang tidak dapat
dikendali oleh apapun dan siapapun.
Semua
sumber-sumber ekonomi dalam wilayah kerajaan dianggap sebagai hak milik raja,
demikian pula semua warganya dipandang tidak lebih daripada budak-budak dan
hamba sahaya bagi para raja dan keluarganya. Raja menguasai semua orang dan
semua benda di tangan genggamannya sendiri. Karena itu, setiap warga di
sepanjang hidupnya diwajibkan membayar upeti dan pajak wajib kepada Raja agar
dapat terus diperlakukan sebagai rakyat dan hamba sahaya. Jika tidak memenuhi
kewajibannya, tidak ada yang dapat menghalangi jika sang Raja menurunkan titah
agar yang bersangkutan dipenjarakan atau dihukum mati.
Tentu,
di zaman sekarang, pengertian yang demikian ekstrim sudah banyak ditinggalkan
orang. Meskipun demikian, negara-negara yang berbentuk kerajaan masih cukup
banyak di dunia sekarang ini. Akan tetapi, semua kerajaan-kerajaan yang masih
ada itu, pada umumnya, sudah mengalami perubahan mendasar dalam cara bekerjanya
sehari-hari. Di zaman sekarang, konsep kedaulatan rakyat tidak lagi dikaitkan
dengan kedaulatan Tuhan, melainkan diintegrasikan dengan konsep kedaulatan
rakyat, sehingga negara-negara kerajaan dewasa ini berhasil membedakan dan
memisahkan antara fungsi kepala negara dengan kepala pemerintahan.
Dalam
praktik sehari-hari, Kedaulatan Raja diwujudkan dalam kedudukan Kepala Negara,
sedangkan sistem pemerintahan dikaitkan dengan konsep Kedaulatan Rakyat yang
tercermin dalam kedudukan Kepala Pemerintahan. Karena itu, kerajaan-kerajaan
seperti Inggeris, Belanda, Belgia, Jepang, Malaysia biasa disebut sebagai
negara demokrasi, dimana pemerintahannya dipilih oleh rakyat melalui pemilihan
umum. Dari segi yang lain, prinsip kedaulatan raja itu juga diwujudkan dalam
gagasan kedaulatan hukum, dimana hukum juga dianggap sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi dalam kerajaan. Karena itu, muncullah konsep monarki konstitusional (constitutional monarchy) dalam praktik.
Negaranya adalah kerajaan, tetapi hukum tertinggi yang berlaku adalah
konstitusi.
Dengan
demikian, dewasa ini, tidak ada masalah dengan pengertian umum mengenai
kerajaan yang menganut paham kedaulatan raja, karena pada saat yang sama
kerajaan-kerajaan itu dapat mengadopsi gagasan-gasan kedaulatan rakyat dan
kedaulatan hukum sekaligus. Karena itu, seperti kemukakan di atas, konsep
teokrasi juga dapat dipandang positif apabila tidak dikaitkan atau diwujudkan
dalam paham kedaulatan raja atau kerajaan. Seperti halnya sistem kerajaan dapat
diintegrasikan dengan kedaulatan rakyat atau sistem demokrasi dan paham
kedaulatan hukum atau nomokrasi (the rule
of law atau pun rechtsstaat),
maka teokrasi atau paham Kedaulatan Tuhan juga dapat diwujudkan dalam paham
Kedaulatan Rakyat dan paham Kedaulatan Hukum. Dengan demikian, jika sistem
kerajaan masih dapat dipandang relevan, sistem teokrasi juga dapat diterima
asalkan bukan dalam pengertian yang berkembang pada abad pertengahan.
4. Kedaulatan Rakyat
Yang
paling menarik di atas ajaran-ajaran kedaulatan tersebut di atas adalah ajaran
kedaulatan rakyat dan ajaran kedaulatan hukum. Meskipun belum dipraktikkan
sebagaimana mestinya, keduanya telah digagaskan sejak dari zaman Yunani kuno
dan Rumawi kuno. Mengenai yang pertama, yaitu ajaran kedaulatan rakyat, pada
pokoknya terkait dengan konsep yang dikenal sebagai demokrasi. Demokrasi
berasal dari perkataan ‘demos’ yang
berarti rakyat dan ‘kratien’ atau ‘cratie’ yang berasti kekuasaan[9]. Dengan demikian demokrasi berarti kekuasaan rakyat, yaitu sebagai
suatu konsep tentang pemerintahan oleh rakyat atau ‘rule by the people’.
Cakupan
pengertian yang sering dipopulerkan sehubungan dengan konsep demokrasi itu mencakup
prinsip dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Bahkan saya sering menambahkan
satu prinsip lagi yaitu prinsip bersama rakyat. Jadi, demokrasi itu tidak lain
adalah prinsip dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, dan bersama rakyat.
Itulah demokrasi atau kedaulatan rakyat, yaitu satu ajaran yang memandang kekuasaan
tertinggi ada di tangan rakyat, berasal dari rakyat, untuk kepentingan rakyat, dan
diselenggarakan bersama-sama dengan rakyat pula.
Istilah
demokrasi (demos + cratos) dalam sejarah Yunani kuno sebetulnya tidaklah
dipandang ideal. Di zaman Plato, yang dianggap ideal adalah republik impian (ideal state) yang dipimpin oleh
Raja-Filosof atau “the Philosopher’s King”[10].
Baru setelah Plato wafat, dengan mengambil inspirasi dari buku Plato sendiri
yang dihimpun oleh murid-muridnya dari tulisan-tulisan yang berserak menjadi
sebuah buku tebal yang diberi judul oleh Plato sendiri dengan judul “Nomoi”. Kata ‘nomoi’ yang secara harfiah berarti norma itu lah yang kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris menjadi “The Laws”[11]. Oleh
karena itu, yang diidealkan kemudian adalah prinsip nomokrasi sebagai konsep
awal negara hukum modern, bukan konsep demokrasi yang justru dipandang negatif
di zaman Plato.
Karena
itu, tradisi demokrasi atau kedaulatan rakyat ini oleh para ahli lebih dinisbatkan
sebagai kelanjutan tradisi Romawi dari pada dengan tradisi Yunani. Ide
demokrasi lebih pesat tumbuhnya di Romawi daripada di Yunani yang lebih akrab dengan ide negara hukum sejak
zaman Plato dan Aristoteles[12].
Konsep demokrasi atau kedaulatan rakyat dinilai oleh orang Yunani dengan
kacamata negatif karena mengandaikan bahwa suatu pemerintahan dikendalikan oleh
massa rakyat dan bahkan mobokrasi yang tidak menjamin ketertiban[13].
Perkataan
demokrasi baru mendapatkan pamaknaan yang positif di abad-abad modern, terutama
setelah muncul praktik-praktik yang dipandang baik di abad pertengahan, yaitu
di dunia Arab pada abad ke-7. Praktik-praktik penulisan formal kontrak-kontrak
sosial seperti Piagam Madinah, sistem pemilihan kepala negara tanpa melalui
prinsip hubungan darah, mekanisme permusyawaratan dan perwakilan untuk
pengambilan keputusan atas masalah-masalah bersama, yang diterapkan di masa
nabi Muhammad saw dan empat khalifah pertama sesudah nabi Muhammad wafat atau biasa
disebut periode Khulafau al-Rasyidin, -- di kemudian hari – ternyata memberikan
inspirasi yang penting bagi penamaan sistem yang baik itu sebagai demokrasi.
Sesudah periode ini, konsep ‘kekhalifahan’
terjebak perwujudannya dalam sistem kerajaan (monarki)[14].
Kemudian,
sesudah periode itu, praktik-praktik yang dianggap baik dalam penyelenggaraan
kekuasaan negara dinisbatkan dengan istilah yang pernah dianggap negatif di
masa Yunani kuno, yaitu demokrasi. Sampai pertengahan abad ke-20, menurut Amos
J. Peslee, lebih dari 90% negara di dunia mengaku menganut paham demokrasi atau
kedaulatan rakyat ini. Artinya, wacana tentang demokrasi itu sudah demikian
luas diterima di seluruh penjuru dunia, terlepas dari apa yang dipraktekkan di
lapangan. Sebab nyatanya, spektrum praktik demokrasi yang diterapkan oleh semua
negara yang mengaku demokrasi itu sangat beraneka-ragam mulai dari Amerika
Serikat sampai ke Uni Soviet yang sekarang sudah tiada, Kuba, dan negara-negara
komunis lainnya yang mempunyai penafsiran berbeda satu sama lain.
Dewasa
ini, memang ada usaha untuk membatasi pengertian demokrasi itu hanya untuk
negara-negara tertentu saja. Misalnya, Indonesia – di masa Orde Lama dan Orde –
dipandang tidak demokratis dan baru sesudah masa reformasi Indonesia dianggap
sebagai negara demokrasi. Dari segi jumlah penduduknya, Indonesia bahkan sering
disebut sebagai ‘the third largest
democracy in the world’ sesudah India dan Amerika Serikat. Republik
Federasi Russia yang sekarang dibandingkan dengan Uni Soviet yang ada sebelumnya,
juga dinilai merupakan hasil perubahan dari komunisme ke demokrasi. Russia
sekarang, dari segi jumlah penduduknya, merupakan ‘the fourth largest democracy in the world’. Semua negara bekas
komunis di Eropah Timur biasa disebut sebagai ‘new democracies’ atau negara-negara demokrasi baru.
Negara-negara
komunis Eropah Timur, seperti Uni Soviet, Hongaria, Polandia, Cekoslovakia, dan
lain-lain, setelah berubah meninggalkan paham komunisme, semuanya disebut
sebagai negara demokrasi. Tentu, konsep demokrasi yang dimaksudkan disini identik
dengan pengertian kedaulatan rakyat atau ‘the
rule by the people’ (the people’s
sovereignty). Artinya, selama era komunisme Uni Soviet masih berjaya,
Russia dan negara-negara Eropah Timur lainnya tersebut tidak dianggap sebagai
negara demokrasi. Padahal, konstitusi negara-negara komunis itu masing-masing mengaku
atau mengklaim menganut prinsip kedaulatan rakyat. Artinya, demokrasi itu dalam
arti normatif dan formalistik, memang harus dibedakan dari pengertiannya yang aktual
dalam kenyataan.
Dalam
rangka pelaksanaan prinsip kedaulatan rakyat itu di lapangan, diperlukan
mekanisme yang secara substansial menjamin penyaluran aspirasi, pendapat,
kehendak rakyat yang berdaulat itu. Karena itu, orang menciptakan lembaga perwakilan
rakyat dan lembaga partai politik sebagai penyalurnya. Bahkan, kepala
pemerintahan eksekutif juga dipilih langsung ataupun tidak langsung oleh
rakyat, sehingga – baik pejabat yang menjalankan fungsi legislatif maupun
eksekutif – merupakan wujud dari rakyat yang berdaulat. Malah, di negara
demokrasi, para hakim agung juga dipilih melalui mekanisme di parlemen,
sehingga dapat dikatakan bahwa para pejabat di lingkungan cabang kekuasaan
judikatif juga mencerminkan prinsip kedaulatan rakyat itu, meskipun hanya
secara tidak langsung.
5. Kedaulatan Hukum
Konsep
terakhir ialah kedaulatan hukum yang mengandaikan bahwa pemimpin tertinggi di
suatu negara bukanlah figur atau tokoh, tetapi sistem aturan. Manusia hanyalah wayang dari skenario yang telah disusun dan
disepakati bersama dengan menampilkan para wayang itu sebagai pemeran.
Karena itu, teori kedaulatan hukum[15]
itu menurut tradisi Anglo-Amerika diistilahkan dengan ‘the rule nof law, not of man’, pemerintahan oleh hukum, bukan oleh
orang; kepemimpinan oleh sistem, bukan oleh tokoh atau oleh orang per orang.
Istilah-istilah
terkait dengan itu yang tidak boleh dikacaukan penggunaannya satu sama lain
adalah ‘the rule by law’, ‘the rule of man by using law’, ‘the rule of dictatorship’. Istilah yang
benar untuk menunjuk kepada pengertian kedaulatan hukum atau negara hukum dalam
bahasa Inggeris adalah rule of law,
bukan rule by law yang menggunakan
hukum sebagai sebagai alat kekuasaan. Pengertian ‘rule by law’ identik dengan pengertian ‘rule of dictatorship’, bukan negara hukum yang disebut ‘rechtsstaat’ menurut tradisi Jerman dan
Belanda. Meskipun unsur-unsur pengertian ‘rule
of law’[16] menurut tradisi
Inggeris sangat berbeda dari unsur-unsur pengertian ‘rechtsstaat’ menurut tradisi Eropah Kontinental, kedua konsep ini
dapat kita terjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan kata ‘negara hukum’.
Dengan
cara berpikir yang demikian itulah kita menyebut adanya prinsip negara hukum.
Dalam negara hukum, hukumlah yang dijadikan panglima, bukan ekonomi dan apalagi
kekuasaan politik semata (machtsstaat).
Menurut tradisi Anglo Amerika, unsur-unsur pengertian negara hukum yang disebut
dengan istilah ‘the rule of law’ tersebut mengandung
tiga prinsip, yaitu[17]:
(i) supremasi hukum (supremacy of law);
(ii) persamaan dalam hukum (equality before the law); dan
(iii) proses pemerintahan atau
penyelenggaraan kekuasaan berdasarkan undang-undang (due process of law).
Ketiga prinsip
inilah yang membentuk pengertian tentang negara hukum menurut versi
Anglo-Amerika. Sedangkan menurut tradisi Eropah Kontinental, khususnya Jerman
dan Belanda, pengertian klassik tentang ‘rechtsstaat’
itu mencakup empat prinsip, yaitu:
(i) pengakuan dan perlindungan
hak asasi manusia;
(ii) pembatasan kekuasaan;
(iii) pemerintahan berdasarkan
undang-undang; dan
(iv) adanya peradilan administrasi negara.
Dalam
pengertian modern sekarang, menurut pendapat saya, formula unsur-unsur ‘rechtsstaat’ tersebut dapat pula dikemas
dengan cara baru, yaitu (i) adanya perlindungan hak-hak asasi manusia, baik
sebagai hak konstitusional maupun dalam tindakan-tindakan nyata dalam praktik
kenegaraan, (ii) adanya pembatasan kekuasaan negara menurut sistem ‘checks and balances’ antar fungsi
kekuasaan, (iii) pelaksanaan pemerintahan didasarkan atas undang-undang yang
telah ditetapkan lebih dulu, dan (iv) tersedianya mekanisme atau upaya hukum
melalui proses peradilan yang dapat dipakai untuk maksud melawan, menggugat atau
menguji keputusan-keputusan negara (beschikking),
peraturan-peraturan resmi negara (regelingen),
ataupun putusan-putusan pengadilan negara (vonnis). Jika keempat hal ini ada,
maka negara yang bersangkutan dapat disebut sebagai ‘rechtsstaat’ atau negara hukum[18].
Pendek kata,
dalam aneka kegiatan bernegara, hukum lah yang menjadi penentu segalanya. Hukum
merupakan panglima. Hukum merupakan sistem aturan. Yang memimpin kita adalah
sistem aturan itu, bukan orang per orang yang kebetulan menduduki jabatan.
Orang yang memegang jabatan-jabatan publik datang dan pergi secara dinamis,
tetapi sistem aturan bersifat ajeg dan relatif tetap. Karena itu, pergantian
orang tidak boleh secara serta merta berakibat pada pergantian sistem aturan.
Semua orang yang menduduki jabatan dan secara hukum diberi kewenangan untuk
bertindak atas nama negara, wajib ditaati oleh semua subjek hukum yang
bersangkutan atau yang terkait sepanjang pejabat tersebut menjalankan peraturan
perundang-undangan sebagaimana mestinya dan dapat dijadikan teladan (role model) dalam sikapnya yang taat
kepada aturan-aturan hukum itu.
B. GAGASAN KEDAULATAN LINGKUNGAN HIDUP
1. Pembebasan dan Kebebasan Manusia
Sesudah
membahas konsep Kedaulatan Tuhan (Sovereignty
of God), Kedaulatan Raja (Sovereign
Monach), Kedaulatan Rakyat (Sovereignty
of the People), dan Kedaulatan Hukum (Sovereignty
of Law), sekarang tiba gilirannya kita membahas persoalan Kedaulatan
Lingkungan (Sovereignty of the
Environment) yang menjadi salah satu gagasan pokok yang hendak ditawarkan dalam
tulisan ini. Namun demikian, sebelum membahas hal itu, kita perlu menguraikan
lebih dulu akibat-akibat dari paham demokrasi yang dipraktikkan selama ini,
terutama akibat dari kebebasan yang dipraktikkan dalam dan atas nama sistem
demokrasi modern. Hampir semua orang, semua masyarakat, dan negara yang ada
sekarang mengidealkan konsep kekuasaan negara yang disebut demokrasi. Semua
sistem politik yang ada sekarang mengklaim dirinya sebagai penganut paham
demokrasi. Bahkan jika kita pelajari konstitusi negara-negara anggota PBB satu
per satu, maka – seperti dikatakan oleh Amos J. Peaslee[19], akan
kita dapati bahwa lebih dari 90% konstitusi itu mengaku menganut demokrasi atau
ajaran kedaulatan rakyat.
Artinya, kata
demokrasi itu sudah berkembang menjadi simbol mengenai sistem pemerintahan atau
sistem kekuasaan negara yang baik dan ideal. Bahkan, seperti dikatakan oleh Ian
Shapiro, “The democratic idea is close to
nonnegotiable in today’s world”[20]. Padahal,
di zaman Artistoteles dan Plato, istilah demokrasi itu sendiri dianggap mempunyai
citra dan konotasi yang negatif atau buruk. Sekarang kita harus menerima
kenyataan bahwa semua orang mengidealkan demokrasi sebagai bahasa pergaulan
dalam pemikiran dan praktik penyelenggaraan negara di dunia, meskipun setiap
negara mempunyai pengertiannya sendiri dan menerapkan ukurannya sendiri
mengenai apa yang demokratis dan apa yang tidak.
Meskipun
semua negara mengaku demokratis, tetapi setiap negara juga mempunyai
definisinya sendiri tentang demokrasi dan menerapkan ukuran-ukuran sendiri
tentang apa yang diidealkan dalam demokrasi itu. Karena itu, tidaklah aneh jika
di masa lalu kita menyaksikan bagaimana Uni Soviet yang komunis dalam
konstitusinya mengaku menganut paham kedaulatan rakyat atau demokrasi, sama
seperti Amerika Serikat yang sangat anti-komunis menganut sebagai model bagi
demokrasi yang ideal di dunia. Demikian pula negara-negara seperti Ekuador,
Cuba, Vietnam, Korea Utara, Pakistan, Nigeria, Sudan, Libya, dan Iran semua
mengakt sebagai demokrasi, sama dengan Jepang, Filipina, Korea Selatan, Afrika
Selatan, Perancis, Jerman, Belanda, Spanyol, dan lain-lain sebagainya. Padahal
dalam praktiknya, setiap negara itu mempunyai ciri khas dan kinerja demokrasi
yang berbeda-beda satu dengan yang lain.
Terlepas
dari perbedaan-perbedaan itu, yang pasti ialah bahwa semua negara dan semua
orang mengaku demokratis. Sekarang tidak ada orang yang mau dipandang tidak
demokratis dalam setiap pengambilan keputusan. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa gagasan demokrasi sudah benar-benar tertanam dalam hati sanubari dan
dalam paradigma berpikir umat manusia modern dimana-mana dewasa ini. Lalu apa
yang terpenting dalam cara berpikir demokrasi itu? Apa dampaknya bagi
keseimbangan-keseimbangan yang diperlukan dalam kehidupan umat manusia dewasa
ini? Dapatkah kita mengaitkan gejala kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup
yang terjadi dimana-mana dewasa ini dengan kebebasan manusia yang diciptakan
oleh sistem demokrasi?
Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, marilah kita memulai pembahasan dengan
melihat hakikat manusia dalam sistem demokrasi. Dalam demokrasi, yang dianggap
pokok adalah manusia. Manusia bahkan dianggap sebagai pusat kehidupan. Memang
terdapat perbedaan antara sistem individualisme-liberal dengan sistem
kolektivisme-sosialis. Yang satu melibat setiap pribadi manusia sebagai pribadi
yang otonom, sedangkan yang kedua lebih mengutamakan otonomi dari kolektivitas
manusia yang hidup bersama. Namun demikian, baik paham pertama yaitu paham
individualisme-liberal maupun paham kedua kolektivisme-sosialis dan komunis
sesungguhnya sama-sama memandang bahwa manusia adalah titik pusat dari semua
aspek kehidupan.
Kedua
paham kedaulatan rakyat atau demokrasi tersebut sama-sama bersifat
anthroposentris dengan menempatkan manusia sebagai pusat kehidupan. Dalam
hubungan dengan itu, kita perlu juga mendiskusikan lebih dulu mengenai perubahan
pola hubungan antara manusia dan kebudayaan dalam sejarah umat manusia. Menurut
van Peursen[21], pola hubungan manusia
dengan kebudayaan berkembang melalui tiga tahapan, yaitu tahap mistis, tahap
ontologis, dan tahap fungsional.
a.
Tahap Mitis
Pada
tahap pertama, manusia memandang dirinya sebagai bagian saja dari alam semesta,
sehingga hidup dan kehidupan manusia sangat bergantung dan menggantungkan diri
pada alam sekitar. Untuk mendapatkan makanan, minuman, pakaian, tempat tidur
atau menetap, sepenuhnya tergantung kepada pemberian alam. Apa yang dapat
dijangkau oleh masing-masing, mereka ambil untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
pokok sehari-hari. Sandang, pangan, papan, obat-obatan dan apa saja yang
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup, semuanya disandarkan hanya kepada
anugerah alam yang tersedia di sekitar kehidupan masing-masing. Pada tahap
perkembangan yang masih sedemikian primitif seperti itu, manusia belum mengenal
ilmu pengetahuan dan teknologi yang memungkinkannya memenuhi kebutuhan hidupnya
dengan alat-alat yang canggih.
Cara
berpikir manusia primitif juga sangat tergantung kepada alam. Setiap
kejadian-kejadian alam, seperti bencana, ataupun peristiwa-peristiwa alam
lainnya selalu dikaitkan dengan kekuatan-kekuatan super-natural yang mereka
yakini adanya, meskipun tanpa verifikasi. Jika muncul banjir atau air bah dari
lautan ke daratan atau munculnya gelombang laut di pantai selatan pulau Jawa
yang besar dan membahayakan nelayan, dengan mudah kejadian seperti akan
dikaitkan dengan kemarahan Nyi Roro Kidul atau hal-hal gaib lainnya yang tidak
masuk akal bagi manusia modern. Namun bagi masyarakat primitif,
kekuatan-kekuatan super-natural seperti sangat dipercaya dan karenanya
disembah-sembah, meskipun harus dengan mengorbankan kekayaan dan kadang-kadang
mengorbankan manusia sebagai tumbal.
Pada
malam hari yang gelap, jika dengan tiba-tiba ada warna putih terbang ditiup
angin ke arah pohon tertentu, maka pohon itu dengan mudah akan dianggap ada
‘penunggu’nya, yaitu roh halus. Kadang-kadang pohon seperti itu lama-lama
dipercaya mengandung kekuatan tertentu sehingga disembah oleh orang-orang yang
percaya kepada roh halus sebagai dewa atau setidaknya tempat dewa berada. Jika
petir yang sangat keras terjadi di satu waktu, maka kekuatan petir itu dapat
dianggap sebagai cermin kemarahan Tuhan kepada manusia yang tidak tunduk
kepadanya. Pendek kata, kehidupan manusia diisi penuh oleh mitos-mitos,
mistik-mistik, dan hal-hal yang bersifat magis. Pada tahap perkembangan
demikian ini, dapat dikatakan bahwa manusia tunduk dan bahkan terkungkung dalam
alam. Kehidupan manusia tergantung kepada alam, termasuk dalam menyediakan
makanan untuk hidup bagi manusia. Manusua primitif makan apa saja yang secara
langsung disediakan oleh alam. Pendek kata, alamlah yang dianggap menjadi
penentu segala kehidupan umat manusia dan penentu segala-galanya.
Dengan
cara berpikir semacam itu manusia menciptakan tuhan-tuhannya sendiri-sendiri,
sehingga semua masyarakat manusia selalu mengenal tuhan dan menciptakan agama
untuk kebahagiaan hidup mereka masing-masing atau bersama-sama. Pendek kata,
semua masyarakat berusaha mencari tuhannya sendiri dengan menggunakan akal
masing-masing, yang tanpa wahyu dari Tuhan, menafsirkan apa saja kekuatan
supernatural yang berada di luar jangkauan kekuasaannya sebagai tuhan. Oleh karena
itu, dalam satu studi antropologi oleh Kluckhon, dikatakan bahwa agama atau
religi merupakan salah satu dari “the
seven cultural universals”[22]. Adalah
merupakan gejala universal bahwa dimana ada masyarakat, disana pasti ada sistem
kepercayaan atau religi. Pendek kata, manusia hidup dalam dan tergantung kepada
alam serta menganggapnya lebih tinggi dan lebih berkuasa daripada dirinya.
Pandangan
van Peursen tentang tahap mitis ini mirip dengan titik berangkat teori positivsme
Auguste Comte mengenai tahap-tahap perkembangan masyarakat. Menurut Comte[23],
masyarakat berkembang dari tahap mitis-religius ke tahap Metafisis, lalu ke
tahap ketiga yaitu tahap positif. Meskipun banyak kritik kepada pemikiran
Auguste Comte ini yang berpandangan bahwa makin modern kehidupan umat manusia,
makin jauh manusia itu dari kepercayaan kepada Tuhan. Namun, titik berangkat
pandangan Comte dan van Peursen ini sama, yaitu pada tahap pertama, kehidupan
diisi oleh ketergantungan kepada kekuatan-kekuatan yang bersifat supernatural
sebagai tanda bahwa manusia tunduk dan bersikap inferior terhadap alam.
b.
Tahap Ontologis
Pada
tahap kedua atau tahap ontologis, pola hubungan manusia dengan alam itu berubah
total. Setelah umat manusia berhasil mengembangkan filsafat dan ilmu
pengetahuan dan teknologi, manusia dapat merasa dan menjadi lebih bebas dan
merdeka dari ketergantungannya kepada alam. Makin tinggi tingkat peradaban umat
manusia karena keberhasilannya mengembangkan filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi,
makin besar kekuasaannya atas alam dan kehidupan mereka sendiri.
Filsafat
berkembang dengan membebaskan manusia untuk berpikir, berpikir, dan berpikir,
baik mengenai kehidupan manusia sendiri maupun mengenai alam semesta di luar
diri manusia. Kedua subjek pemikiran inilah yang melahirkan ilmu-ilmu sosial
dan humaniora serta ilmu-ilmu kealaman yang bersifat eksakta (natural sciences). Filsafat dan ilmu
pengetahuan berhasil membebaskan umat manusia dari kungkungan dan
ketergantungan kepada alam, dan teknologi menyediakan peralatan bagi manusia bahkan
untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi alam untuk kepentingannya sendiri.
Jika
pada tahap mitis, manusia berada dan terkungkung di dalam alam, maka pada tahap
ontologis manusia berada di luar alam dan menjadikannya objek eksplorasi dan
eksploitasi. Sikap-sikap superioritas semacam itulah sebenarnya yang mendorong
dan menyebabkan terjadinya eksploitasi alam secara besar-besaran oleh umat
manusia di era industrialisasi sampai sekarang. Apa saja yang ada di atas
langit, di bawah perut bumi, di bawah laut dalam, semua dapat diteliti,
diketahui, dan dikuasai oleh umat manusia berkat bantuan ilmu pengetahuan dan
teknologi super-modern. Bahkan, misalnya, dalam ilmu psikologi dan kedokteran,
manusia berhasil mempelajari dirinya sendiri, baik dari segi fisik maupun dari
kejiwaan. Demikian pula dalam bidang sosial politik, manusia juga berhasil
mempelajari watak-watak kekuasaan dan motif-motif manusia untuk berkuasa.
Di
bidang kedoketeran, misalnya, jasad manusia sudah biasa disayat-sayat, baik
untuk kepentingan kesehatan maupun untuk kepentingan penelitian ilmiah.
Demikian pula operasi plastik untuk maksud mengubah penampilan manusia, untuk
mempercantik wajah dan sebagainya sudah lazim dikerjakan oleh umat manusia
dewasa ini. Apalagi, eskplorasi dan eksploitasi energi dan sumber daya mineral,
tambang emas, timah, nikel, penambangan hutan untuk perkebunan besar, dan
sebagainya, semuanya dikerjakan dengan mudah dengan bantuan teknologi modern,
semuanya untuk kepentingan manusia sendiri yang seringkali dilakukan dengan
mengabaikan kelestarian daya dukung lingkungan itu untuk masa-masa yang akan
datang.
Pendek
kata, pada tahap ontologis ini, manusia menempatkan dirinya berada di luar dan
bahkan di atas alam. Jika pada tahap perkembangan kebudayaan mitis, manusia
hidup tergantung dan berada dalam kungkungan alam, maka dalam kebudayaan
ontologis dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin
canggih, posisi manusia berubah, alam menjadi terkungkung dalam diri manusia. Umat
manusia dengan otonomi dan kebebasan yang dimilikinya, memanfaatkan dan
menikmati kebebasannya itu dengan cara mengekspoitasi alam secara besar-besaran
yang mengakibatkan terjadinya kerusakan besar-besaran pula keseimbangan alam
sampai dewasa ini.
c.
Tahap Fungsional
Sesudah
orang menyadari dampak buruk yang bersifat ikutan atau efek samping dari
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, baru berkembang gagasan baru untuk
menyeimbangkan pola hubungan antara manusia dengan alam. Kesadaran semacam
inilah yang mendorong dan menyertai muncul dan berkembangnya gerakan lingkungan
hidup di dunia. Kesadaran akan lingkungan hidup yang baik dan sehat sangat
diperlukan untuk memelihara dan memperbaiki kembali keseimbangan ekosistem yang
telah mengalami kerusakan dimana-mana.
Tahap
inilah yang disebut oleh van Peursen dengan tahap fungsional, dimana hubungan
antar manusia dan alam berlangsung secara seimbang. Manusia dan alam dilihat
sebagai dua enitas yang setara yang saling membutuhkan dan saling
ketergantungan satu sama lain secara fungsional. Dengan cara pandang demikian,
diharapkan bahwa kebijakan pemerintahan di seluruh dunia akan berubah menjadi
ramah lingkungan, berpihak kepada lingkungan untuk menjamin kelangsungan hidup
bersama melalui prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
2. Demokrasi, Kebebasan dan Kerusakan Lingkungan
Bersamaan
dengan munculnya upaya
liberasi dan liberalisasi atau
pembebasan manusia dari kungkungan alam sebagaimana telah diuraikan di atas,
juga berkembang aliran pemikiran filsafat individualisme dan liberalisme dalam
sejarah. Paham ini berkembang di seluruh dunia dengan maksud membebaskan manusia untuk
berpikir dan berpendapat. Manusia menemukan kenyataan bahwa sistem kekuasaan dalam
kehidupan bersama – seperti juga alam – dapat mengungkung kebebasan manusia dalam
menggunakan akal pikirannya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri.
Struktur kehidupan bersama yang mengungkung itu juga terwujud dalam struktur
organisasi kekuasaan yang disebut sebagai negara.
Dimana-mana
sejak zaman pra-sejarah sampai dengan sekarang, orang selalu mengorganisasikan
diri dalam organisasi bersama yang bernama negara. Dengan organisasi negara
itu, orang bersepakat untuk mengatur kehidupan bersama, juga untuk kepentingan
bersama. Jika perlu, negara dapat memutuskan segala sesuatu dengan daya paksa (coersive power). Namun, lama kelamaan, karena tiadanya
kebebasan berpikir, semua bentuk organisasi negara itu menjadi sangat dominan
dan menguasai setiap individu warganya secara sewenang-wenang. Makin absolut kekuasaan
terlembagakan makin sewenang-wenang pula kekuasaan itu mengungkung kebebasan
manusia. Dalam keadaan semacam itu, mirip dengan pola hubungan antara
manusia dengan alam, warga pun terkungkung hidupnya dalam negara. Kebebasan
hidupnya hilang dan harus tunduk sepenuhnya kepada penguasa negara.
Untuk
mengatasi keadaan itu, maka -- bersamaan dengan berkembangnya paham
individualisme dan liberalisme sebagai akibat tumbuh-suburnya filsafat dan ilmu
pengetahuan – manusia berusaha membebaskan diri. Upaya pembebasan itulah yang
tercermin dalam istilah demokratisasi. Meskipun di zaman Yunani kuno, istilah
demokrasi mempunyai konotasi yang buruk, tetapi di zaman modern sekarang,
demokrasi dan demokratisasi dipakai sebagai istilah untuk menggambarkan upaya
pembebasan dari keterkungkungan dalam organisasi kekuasaan negara. Pembebasan
dilakukan ke arah otonomi dan kemerdekaan setiap orang dengan diakui dan
dilindunginya hak-hak asasi manusia dalam sistem kekuasaan negara.
Dengan
demikian gerakan demokratisasi tidak lebih daripada gerakan liberasi (liberation) atau gerakan pembebasan umat
manusia dari kungkungan kehidupan sosial politik antar manusia sendiri. Gerakan
liberasi ini tentu semakin bertambah subur setelah munculnya paham
individualisme dan liberalisme dalam sejarah yang mengagungkan otonomi dan
kebebasan setiap manusia dalam kehidupan bersama. Pada dasarnya, gelombang
pembebasan (liberation) dari kungkungan
kekuasaan yang timbul dalam pola keorganisasian umat manusia inilah yang
merupakan substansi dari gerakan demokratisasi di zaman modern sekarang.
Dapat
dikatakan bahwa gerakan pembebasan sosial-politik ini berlangsung bersamaan
dengan gerakan pembebasan dari keterkungkunganan manusia dalam alam dan ketergantungan manusia kepada alam. Gerakan
ini dimulai dengan berkembang dan dikembangkannya filsafat dan ilmu pengetahuan
dan teknologi, sejak dari era Yunani kuno sampai dengan sekarang. Pendek kata,
keterkukungan dan ketergantungan manusia kepada alam itu pada pokoknya dapat
dilihat dari tiga segi, yaitu (i) ketergantungan kepada struktur alam di luar
manusia, (ii) struktur kehidupan umat manusia itu sendiri, dan (iii) struktur
organisasi kekuasaan politik yang dibentuk oleh masyarakat manusia dalam
kehidupan bersama. Upaya pembebasan manusia dari kungkungan ketiga struktur kehidupan
itu tumbuh dan berkembang sebagai akibat berkembangnya filsafat, ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam kehidupan yang menyebabkan manusia merasa
berada dan harus berada di luar alam dan bahkan dapat menguasai alam semesta pada
semua aspeknya untuk kepentingan manusia sendiri.
Akibatnya,
terjadilah kerusakan alam dimana-mana. Seperti tergambar dalam perkembangan
pola hubungan yang eksploitatif antara manusia dan alam selama abad ke-20, kita
menyaksikan kerusakan yang sangat dahsyat dalam keseimbangan ekosistem dunia.
Semua ini disebabkan oleh tindakan massif yang dilakukan berupa kegiatan
eksplorasi dan eksploitasi alam yang dilakukan dalam proses industrialisasi
besar-besaran di seluruh dunia, demi mengejar keuntungan ekonomis. Lingkungan
alam dimana-mana mengalami kerusakan dan kemunduran fungsi serta daya dukung
bagi kehidupan bersama. Padahal, alam raya dan alam sekitar kita memiliki
ekosistemnya sendiri yang satu sama lain saling ketergantungan. Kerusakan di
satu bidang menimbulkan dampak kerusakan pula pada bidang yang lain, kemusnahan
satu spesies menyebabkan perubahan pula dalam pola kehidupan yang semula
tergantung kepada eksistensi spesies tersebut.
Menurut
Al Gore dalam bukunya “Earth in the
Balance”, ketidakharmonisan hubungan kita dengan alam (bumi) yang sebagian
menyangga ketergantungan kita terhadap pola konsumsi yang terus menerus
meningkat jumlahnya atas sumber-sumber alam/bumi, sekarang terungkap dalam
bentuk krisis-krisis yang berkelanjutan. Kehilangan kawasan hutan tadah hujan
yang terjadi setiap detik, akselerasi dalam tingkatan kerusakan alam, lubang
ozon yang makin menganga, kemungkinan atau potensi pengrusakan pada
keseimbangan alam yang menyebabkan bumi dapat dijadikan ruang untuk kita hidup,
semuanya menunjukkan terus meningkatnya derajat konflik antara peradaban
manusia dengan alam sekitar dan bahkan alam raya[24].
Menurut
Al Gore[25],
“The waste crisis is integrally related
to the crisis of industrial civilization as a whole”. Krisis penangan
sampah tidak dapat dipisahkan dari krisis peradaban industri sebagai
keseluruhan. Jumlah sampah kimia terus meningkat dan mencemari tanah, danau,
sungai, dan bahkan laut. Di Amerika Serikat saja, diperkirakan tidak kurang
dari 650.000 sampah industri dan perdagangan yang diproduksi, dua pertiga di
antaranya berasal dari industri kimia, dan hampir seperempatnya dari industri
logam dan permesinan[26].
Meski banyak
kemajuan yang telah dicapai di negara industri maju, tetapi jauh lebih banyak
masih yang memerlukan penyelesaian. Masalah-masalah yang harus diatasi, mulai
dari tingginya konsentrasi zat berbahaya dalam air minum sampai ke persoalan
praktik yang umum terjadi di kota-kota lama dimana air limbah mengalir ke
got-got dan drainase bercampur dengan air hujan, terutama jika terjadi hujan
lebat, sehingga mengharuskan dilakukan perbaikan besar-besaran dalam fasilitas
pengelolaan air limbah, agar tidak mencemari sungai dan bahkan laut[27].
Pendek
kata, apa yang digambarkan di atas hanyalah contoh yang terjadi di Amerika
Serikat, tempat dimana peradaban umat manusia dewasa ini berpusat. Artinya,
kondisi lingkungan di negara-negara yang masih sangat terbelakangan tentu jauh
lebih buruk. Apalagi di negara-negara yang sedang membangun dan memasuki tahap
industrialisasi seperti Indonesia dan kebanyakan negara-negara Asia dan Afrika,
dapat dipastikan bahwa keadaannya jauh lebih parah. Bahkan sebagai negara
dengan luas hutan tropis terbesar di dunia bersama dengan Brazil, Indonesia
sedang menghadapi persoalan besar dengan kasus-kasus penggundulan dan/atau
kebakaran hutan.
Dalam
laporan penelitian lembaga Australian Geo-Science yang setara dengan Pusat
Penelitian Geoteknologi LIPI yang dilaporkan oleh Sudney Morning Herald
beberapa waktu yang lalu (2008) juga menggambarkan hal itu[28].
Menurut laporan itu, pertumbuhan penduduk yang tinggi disertai kemiskinan,
ditambah adanya perubahan iklim, berpotensi menimbulkan dampak bencana alam di
Asia Pasifik menjadi berlipat-lipat ganda akibatnya. Satu juta jiwa manusia
dapat melayang hanya dalam sekali kejadian tunggal. Dalam laporan itu, tiga
titik yang dianggap terpanas di kawasan Asia Pasifik ini adalah Indonesia,
Philipna, dan Sabuk Himalaya di Cina. Bahkan, untuk Indonesia dan Philipina,
ancaman juga datang dari letusan gunung berapi, sehingga potensi bencananya
jauh lebih dahsyat. Karena itu, tidak ada jalan lain bagi para ilmuwan
Indonesia, khususnya para sarjana hukum, untuk turut berpartisipasi
mempersiapkan segala perangkat hukum yang diperlukan untuk mengembangkan
kebijakan pemerintahan dan pembangunan yang pro-lingkungan.
Seperti
ajakan Presiden Perancis, Jacques Chirac, ketika menjadi pembicara pada forum
Earth Summit 2002 di Johannesburg, Russia, mengenai pentingnya lingkungan hidup
untuk kepada generasi mendatang. Dikatakan oleh Jacques Chirac[29],
“Our house is
burning and we look away. Nature is mutilated, over exploited and cannot manage
to reconstitute herself any more, and we refuse to admit it. Humanity is
suffering (.....). The earth and humanity are imperilled and we are all
responsible for this (...). We cannot say that we did not know! Let us beware
lest the XXIst century becomes, for future generations, that of a crime against
life” (Rumah kita terbakar and kita hanya menyaksikan. Alam dimutilasi,
dieksploitasi secara berlebihan tanpa dapat lagi dipulihkan lagi, dan kita pun
tidak mau mengakuinya. Kemanusiaan tengah menderita. Bumi dan kemanusiaan dan
kita bertanggungjawab untuk ini. Kita tidak dapat berkata bahwa kita tidak
tahu! Marilah kita waspada, demi generasi mendatang, jangan sampai abad ke-21
menjadi abad kejahatan terhadap kehidupan).
Semua
fenomena pengrusakan dan kerusakan ekosistem disebabkan oleh adanya kebebasan
manusia tanpa kendali. Kebebasan dihasilkan oleh sistem demokrasi yang
dikembangkan oleh umat manusia dimana-mana tanpa menyadari bahwa kebebasan itu
telah menimbulkan efek samping berupa kerusakan ekosistem. Oleh karena itu,
saya berpendapat, terdapat hubungan yang erat antara kerusakan lingkungan dan
ekosistem dengan demokrasi. Makin kuat arus demokratisasi dan kebebasan
manusia, makin terbuka lebar pula potensi pengrusakan ekosistem yang terjadi.
Apalagi, penerapan sistem demokrasi kontemporer selalu diimbangi dan disertai
oleh liberalisasi pasar dan pengurangan tanggungjawab negara dalam urusan
bisnis dengan memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada setiap individu
yang merdeka untuk menguasai dan menggunakan modal dalam mengeksploitasi alam
secara besar-besaran.
Artinya,
demokrasi harus dipandang juga turut bertanggung jawab atas terjadinya
gelombang kerusakan lingkungan hidup dan ekosistem dunia dewasa ini. Meskipun
demokrasi itu sendiri tentu tidak perlu dimusuhi, akan tetapi perkembangannya
di masa depan harus lebih dikendalikan oleh hukum dengan diimbangi oleh konsep
baru yang dinamakan ekokrasi. Dalam konsep ekokrasi itu, lingkungan alam –
seperti halnya manusia – juga dianggap mempunyai otonomi dan keadulatannya
sendiri. Jika dalam demokrasi setiap manusia yang disebut rakyat dianggap
merupakan pemegang kedaulatan atau kekuasaan tertinggi, maka lingkungan alam
juga dipandang mempunyai hak asasinya sendiri dan memegang kedaulatannya
sendiri seperti manusia. Perkembangan baru inilah yang saya uraikan dalam buku
saya, Green Constitution: Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar 1945 (2008)[30].
Dalam buku ini saya terangkan bagaimana perkembangan upaya untuk melakukan
konstitusionalisasi kebijakan yang bersifat pro-lingkungan hidup dalam sejarah
yang berpuncak pada diadopsikannya dokumen ‘Charter
for Environment’ (2004) menjadi tambahan materi Preambule Konstitusi
Perancis pada tahun 2006, dan dimuatnya ide tentang kedaulatan lingkungan hidup
dalam Konstitusi Ekuador pada tahun 2008.
3. Wacana Ekokrasi dan Kedaulatan Lingkungan
Seperti
dikemukakan di atas, yang dikenal sebagai pemegang kedaulatan dalam sistem
kekuasaan bernegara ada Tuhan (theos),
Raja (monarch), Hukum (nomos), atau Rakyat (demos). Konsep yang menganggap Tuhan
sebagai pemegang kedaulatan atau kekuasaan tertinggi disebut teokrasi. Konsep
kedaulatan atau kekuasaan tertinggi oleh hukum disebut nomokrasi, sedangkan konsep
kedaulatan di tangan rakyat disebut demokrasi. Buku ini menawarkan pengertian
baru bahwa lingkungan hidup juga mempunyai otonomi dan kedaulatannya sendiri. Dalam hubungan itu, lingkungan atau ekosistem dapat
dilihat sebagai subjek kedaulatan yang tersendiri. Jika selama ini kita sudah
mengenal doktrin-doktrin teokrasi, monarki, demokrasi, nomokrasi, maka konsep
Kedaulatan Lingkungan dapat kita kaitkan dengan istilah Ekokrasi (ecocracy) atau kedaulatan ekologi.
Seperti
yang telah diadopsikan dalam Konstitusi Ekuador 2008, lingkungan alam sekitar
dapat diberikan hak konstitusional sebagai subjek hukum dalam lalu lintas
hukum. Gunung, sungai, hutan, lautan, hewan liar, dan tumbuh-tumbuhan dianggap
memiliki hak-hak asasinya sendiri, di samping konsepsi tentang hak asasi
manusia yang sudah kita kenal selama ini[31]. Dalam
artikel 10 Konstitusi Ekuador 2008 itu ditentukan[32],
“Rights Entitlement. Persons and people have
the fundamental rights guaranteed in this Constitution and in the international
human rights instruments. Nature is subject to those rights given by this
Constitution and Law”.
Selanjutnya,
dalam Artikel 71 ditentukan,
“Nature or Pachamama, where life is
reproduced and exists, has the right to exist, persist, maintain and regenerate
its vital cycles, structure, functions and its processes in evolution. Every
person, people, community or nationality, will be able to demand the
recognitions of rights for nature before the public organisms. The application
and interpretation of these rights will follow the related principles
established in the Constitution. The State will motivate natural and juridical
persons as well as collectives to protect nature; it will promote respect
towards all the elements that form an ecosystem.
Sementara
itu, Artikel 72 menyatakan pula,
“Nature has the right to restoration. This
integral restoration is independent of the obligation on natural and juridical
persons or the State to indemnify the people and the collectives that depend on
the natural systems. In the cases of severe or permanent environmental impact,
including the ones caused by the exploitation on non renewable natural
resources, the State will establish the most efficient mechanisms for the
restoration, and will adopt the adequate measures to eliminate or mitigate the
harmful environmental consequences”.
Dari
kutipan-kutipan tersebut jelas tergambar bahwa menurut Konstitusi Ekuador[33], di
samping manusia yang berstatus sebagai rakyat, lingkungan hidup juga dapat
menjadi pemegang hak dan kekuasaannya sendiri. Hak dan kekuasaan lingkungan itu
bersifat sama tingginya dengan hak dan kekuasaan manusia rakyat. Dengan
perkataan lain, dapat menjadi subjek kedaulatan yang tersendiri. Karena jika
kekuasaan tertinggi yang berada di tangan rakyat disebut sebagai demokrasi atau
kedaulatan rakyat, maka kekuasaan tertinggi yang ada pada lingkungan dapat kita
sebut sebagai ekokrasi atau kedaulatan lingkungan.
Gagasan
Ekokrasi dan Kedaulatan Lingkungan ini dapat dikembangkan sebagai pengimbang
sistem demokrasi yang dikembangkan oleh umat manusia dimana-mana dewasa ini.
Konsep ekokrasi ini dapat dipahami dalam konteks keseimbangan hubungan antara
Tuhan, Alam, dan Manusia. Selama ini, relasi-relasi kekuasaan hanya dipandang
sebagai persoalan manusia. Dalam demokrasi, hanya manusia yang disebut rakyat
saja lah yang dijadikan titik tolak dan pusat perhatian satu-satunya. Pandangan
ini dikenal dengan istilah anthropocentrisme
yang menempatkan kehidupan terpusat hanya pada diri manusia. Dibandingkan masa
sebelumnya, terutama di zaman pra-modern, pandangan yang bersifat ‘anthropocentris’ ini tentu dapat
dianggap lebih maju dan lebih baik. Akan tetapi dewasa ini, orang harus
menyadari bahwa demokrasi bukanlah segala-galanya jika sistem ini ternyata
justru menyebabkan umat manusia merusak ekosistem dan sumber kehidupannya
sendiri.
Dengan
demokrasi, umat manusia telah berhasil menikmati kebebasan dalam kehidupan
bersama, tetapi kebebasan itu ternyata telah menyebabkan manusia menjadi
sewenang-wenang. Sama dengan maxim ‘power
tends to corrupt’ yang dipopulerkan oleh Lord Acton, kekuasaan rakyat yang
berdaulat dalam sistem demokrasi modern juga berpotensi untuk disalahgunakan
oleh rakyat itu sendiri. Manusia yang bebas dapat berbuat tanpa kendali yang
mengorbankan alam sekitar dan lingkungan hidup pada umumnya. Manusia
mengeksploitasi alam dengan segala daya upaya, dengan segala kekerasan yang
dapat dilakukan, semata-mata untuk mengejar keuntungan bagi dirinya sendiri
dengan tanpa memikirkan kemungkinan terjadinya kerusakan lingkungan yang dapat
terganggu karenanya. Dengan perkataan lain, kita dapat mengatakan bahwa
demokrasi secara langsung atau pun tidak langsung telah turut menjadi penyebab
timbulnya kerusakan lingkungan di seluruh dunia.
Karena itu,
doktrin demokrasi yang bersifat anthroposentris harus diseimbangkan dengan
ekokrasi yang bersifat ekosentris. Paham antroposentisme harus berada dalam
posisi hubungan yang saling imbangi-mengimbangi (checks and balances) dengan paham ekosentrisme. Semua cabang ilmu
pengetahuan perlu mempertimbangkan keperluan mengembangkan
perspektif-perspektif yang bersifat ekosentris, dan demikian pula semua
kebijakan kenegaraan dan pemerintahan perlu melengkapi diri dengan perspektif
yang bersifat ekosentris ini, di samping melanjutkan paradigma antroposentrisme
yang sudah dipraktikkan selama ini. Dengan meningkatnya kesadaran akan
paradigma ekosentrisme ini, baik di dunia pemikiran akademis maupun di dunia
praktik penyelenggaraan kekuasaan negara, kita dapat berharap bahwa pada
saatnya, paham antroposentrisme dan ekosentrisme, serta konsep demokrasi dan
ekokrasi dapat benar-benar saling imbang mengimbangi satu sama lain. Alam
semesta ini merupakan suatu kesatuan sistim yang saling berhubungan dan saling
bergantung sama sama lain. Alam kehidupan merupakan suatu kesatuan ekosistem.
Karena itu, paradigma berpikir manusia harus berubah dari ‘anthropocentris’ ke ‘theocentrisme’
sampai ke titik keseimbangan (equilibrium).
Untuk itulah
kita memerlukan pihak ketiga. Guna menjamin keseimbangan di antara kedua
perspektif atau cara pandang antroposentrisme versus ekosentrisme, kita
memelukan wasit pengimbang. Untuk itu, dalam pandangan saya, peri kehidupan
modern yang serba sekuler dan positivistik perlu mempertimbangkan kembali
kehadiran Tuhan dalam cara pandang umat manusia tentang alam dan lingkungan
hidup. Dalam pola hubungan antara manusia dengan alam sekitar dan bahkan dengan
alam seluruhnya yang seimbang dan saling mengimbangi itu, diperlukan cara
pandang theosentrisme yang memandang Tuhan-lah yang menjadi pusat dari segala
kehidupan manusia dan alam. Hubungan segi tiga antara Tuhan, Alam, dan Manusia
itulah yang dapat menjamin pola hubungan yang seimbang antara manusia versus
alam, antara antroposentrisme versus ekosentrisme, dan antara demokrasi versus
ekokrasi.
.Pentingnya
kehadiran Tuhan dalam pandang manusia modern dewasa ini perlu disadari, karena
– seperti dikatakan oleh Wendell Berry dalam bukunya[34],
“our ecological crisis is a crisis of
character, nota political or social crisis”. Oleh karena itu, menurut
Preston Bristow[35], masalahnya menyangkut
persoalan spiritualitas. Menurut Bristow, “The
religion of cunsumerism is a spiritual problem, and we must fight fire with
fire. Spiritual problems require spiritual solutions”. Itulah sebabnya,
paham Kedaulatan Tuhan juga harus ikut disertakan dalam pengkajian paradigmatik
untuk menyelesaikan kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh pola
hubungan yang tidak seimbang antara manusia dan alam. Karena terus menerus
melupakan kehadiran Tuhan, manusia merasa dirinya yang menjadi pusat dari
segala-galanya.
Dengan
mengakui kehadiran Tuhan Yang Maha Kuasa, manusia dipaksa untuk bertindak adil
terhadap sesama makhluk Tuhan, yaitu alam sekitar dan alam semesta yang berada
di luar diri manusia. Sudah saatnya, lingkungan juga dianggap sebagai subjek
hukum. Yang harus dianggap sebagai subjek kekuasaan dan hak-hak asasi, bukan
hanya manusia, tetapi juga alam semesta. Alam mempunyai hak-hak dasar atau
hak-hak asasinya sendiri untuk tidak dirusak dan diganggu keseimbangannya. Daya
dukung alam untuk kehidupan manusia dari generasi ke generasi harus dijaga
keberlangsungannya sepanjang masa. Inilah yang menjadi substansi pokok doktrin sustainable development yang telah
diterima luas sebagai prinsip pembangunan di zaman sekarang.
Dalam
hubungannya dengan sistim kekuasaan negara, dapat dikatakan bahwa dewasa ini,
alam semesta juga harus dipandang merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam
kehidupan. Jika dikaitkan dengan konsep kedaulatan sebagai ide tentang
kekuasaan tertinggi (concept of
sovereignty), kita dapat memperkenalkan istilah Kedaulatan Lingkungan untuk
melengkapi khazanah teori kedaulatan yang sudah dikenal selama ini, yaitu Kedaulatan
Tuhan, yang dikaitkan dengan Teokrasi, gagasan Kedaulatan Rakyat yang dikaitkan
dengan demokrasi dan Kedaulatan Hukum yang terkait dengan Nomokrasi. Sekarang,
kita perlu memperkenalkan konsep Ekokrasi yang dikaitkan dengan Kedaulatan
Lingkungan.
Dengan
demikian, para ilmuwan hukum dan politik dapat membantu upaya membangkitkan
kesadaran mengenai pentingnya lingkungan hidup prinsip pembangunan
berkelanjutan. Keyakinan umat manusia akan penting lingkungan hidup dan
pembangunan berkelanjutan ini juga telah tercermin dalam Konstitusi Perancis yang
terakhir diubah pada tahun 2005[36].
Dalam perubahan tahun 2005 itu, Charter for Environment of 2004[37]
dimuat dalam Preambule Konstitusi sejajar dengan Declaration of the Rights of
Man and of Citizen tahun 1789[38].
Dengan begitu ide lingkungan hidup dan prinsip pembangunan berkelanjutan telah
mendapatkan statusnya yang sangat tinggi dalam pemahaman bangsa Perancis
tentang sistem kekuasaan kenegaraan. Hanya saja, dalam perspektif Perancis ini,
hak-hak atas lingkungan hidup itu masih dilhat sebagai bagian dari perkembangan
mutakhir mengenai hak asasi hak manusia, yaitu hak-hak dasar manusia atas
lingkungan yang sehat dan hak asasi generasi mendatang atas lingkungan hidup
yang sehat itu.
Karena
itu, yang dapat dikatakan lebih baru lagi adalah dalam perubahan Konstitusi
Equador Tahun 2008. Dalam konstitusi ini, lingkungan hidup itu sendiri
dikukuhkan sebagai subjek hak konstitusional tersendiri dalam sistem
kenegaraan. Dengan demikian, di samping manusia dan badan-badan hukum,
lingkungan alam juga dipandang mempunyai status sebagai pemegang kekuasaan yang
tersendiri dalam sistem kenegaraan. Dengan kata lain, lingkungan alam juga
merupakan pemegang kedaulatan di samping rakyat dan hukum dalam perspektif
demokrasi dan rule of law di zaman
modern.
Apa yang sudah
diadopsikan ke dalam Konstitusi Equador seperti yang telah diuraikan terdahulu,
tidak lain merupakan perwujudan dari ide kedaulatan lingkungan hidup atau
ekokrasi ini. Lihatlah bagaimana Konstitusi Equador menentukan bahwa alam juga
merupakan subjek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum
seperti halnya subjek hukum manusia dan badan hukum. Subjek yang dimaksudkan
disini tidak lagi sekedar hak-hak hukum (legal
rights) yang biasa dan sudah dikenal umum. Subjek hak yang dimaksud disini
adalah subjek hak konstitusional yang sepadan dengan pengertian hak asasi
manusia yang juga menjadi ciri materiel dari konstitusi modern di dunia.
Karena
itu, seperti diceritakan di atas, menjelang referendum 28 September 2008, Clare
Kendall dari The Guardian Inggeris menulis laporan khusus dengan judul sangat
panjang dan antusias[39],
“A New Law of Nature: Equador Next
Week Votes on Giving Legal Rights to
Rivers, Forests and Air. Is this the end of damaging development? The World Is
Waching”. Untuk pertama kalinya undang-undang dasar suatu negara menentukan
bahwa bagi sungai-sungai, hutan-hutan, dan udara ada hak konstitusional yang
harus dilindungi dalam lalu lintas hukum dan pemerintahan.
Dalam
Konstitusi Equador seperti sudah dikutipkan di atas ditegaskan, “Persons and people have the fundamental
rights guaranteed in this Constitution and in the International human rights
instruments. Nature is subject to those rights given by this Constitution and
Law”. Setiap orang mempunyai hak-hak dasar yang dijamin dalam konstitusi
dan berbagai instrumen hukum Internasional. Alam dapat dijadikan objek hak oleh
setiap orang yang dijamin dalam undang-undang dasar. Mengenai kedudukan alam
sebagai objek hak dalam rumusan tersebut tentu dapat dikatakan masih sama
dengan konstitusi negara-negara yang melihat persoalan lingkungan hidup itu
dalam konteks hak asasi manusia. Namun, pada penggalan kedua, dinyatakan bahwa
“Nature is subject to those rights given
by this Constitution and Law”. Alam diharuskan tunduk kepada hak asasi manusia
atas lingkungan hidup. Artinya, alam dapat dibebani dengan kewajiban untuk
tunduk kepada hak orang. Tentu dengan penafsiran a contrario, berarti alam juga
dapat menyandang hak hukum dalam hubungannya dengan manusia. Dengan demikian,
alam dan manusia sama-sama dapat dibebani dengan hak dan kewajiban dalam lalu
lintas hukum.
Bahkan secara
lebih tegas lagi, dalam Chapter of Rights
of Nature, Article 1 Konstitusi Ekuador 2008 itu menentukan pula bahwa pachamama atau alam, tempat kehidupan
bersama tumbuh dan mengalami reproduksi, juga mempunyai hak asasinya sendiri,
di samping hak asasi manusia. Setiap
orang, masyarakat atau bangsa membutuhkan pengakuan akan hak-haknya atas alam
di hadapan hukum dan pemerintahan. Setiap pelaksanaan atau penafsiran yang
dilakukan sehubungan dengan hak-hak yang dimaksudkan tersebut haruslah sesuai
dengan dan tunduk kepada prinsip-prinsip yang telah ditentukan dalam
undang-undang dasar.
Selain itu,
ditentukan pula dalam Article 2-nya bahwa alam juga berhak atas pemulihan atau
restorasi yang bersifat integral yang terpisah dari kewajiban orang atau badan
hukum atau negara to menjamin kerugian orang atau kelompok orang yang
menggantungkan hidupnya dari ekosistem. Dalam hal timbul dampak kerusakan alam
yang permanen, termasuk yang disebabkan oleh eksploitasi atas sumber-sumber
yang tidak dapat diperbarui (non-renewable
resources), negara harus menentukan mekanisme yang paling efisien untuk
restorasi. Untuk itu, negara harus menerapkan langkah-langkah yang tepat guna
mengeliminasi atau melakukan mitigasi akibat-akibat buruk terhadap lingkungan
hidup.
Dengan
adanya ketentuan-ketentuan konstitusional tentang hak-hak lingkungan seperti
yang diadopsikan ke dalam norma Konstitusi Equador 2008 tersebut, kita telah
memasuki era baru dalam peri kehidupan umat manusia dalam hubungannya dengan
alam sekitar dan bahkan alam semesta. Manusia yang mengklaim dirinya berdaulat tidak
lagi menjadi penentu segala-galanya. Baik manusia maupun alam kehidupan
sama-sama mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik dalam hubungan antar
keduanya. Karena itu, selain manusia, alam juga mempunyai kedaulatannya sendiri
yang harus diakui, dihormati, dan diikuti ‘kehendak’nya.
Sebelum
fenomena konstitutionalisasi kebijakan lingkungan hidup dikembangkan di Equador,
sebenarnya, pengertian mengenai kekuasaan lingkungan yang dikaitkan dengan ide
kedaulatan, juga sudah diperbincangkan sejak tahun-tahun terakhir abad ke-20.
Misalnya, Carl Pietsch[40],
dalam artikelnya “Regimes of Nature – the
Human Challenges of Ecological Restoration”, mengaitkan gagasan kemerdekaan
lingkungan dengan perkembangan mutakhir mengenai gagasan “popular sovereignty” atau kedaulatan rakyat. Menurutnya, “Since the World War I, virtually all
government have acknowledged a responsibility to maintain the political, social
and economic welfare of the people they represent. Popular sovereignty has thus
come to cover almost every aspect of human culture. But so far the theory of
popular sovereignty-which might also be called human sovereignty – has not been
applied to our relationship with nature, at least not explicitly.” Hanya
saja, tulisan Carl Pietsch ini sama sekali belum mengaitkannya dengan ide “the sovereignty of nature” atau
kedaulatan lingkungan.
Ada
juga beberapa artikel atau tulisan lain yang mengaitkan isu lingkungan ini
dengan ide kedaulatan, tetapi konsep kedaulatan yang dimaksud adalah dalam
konteks hubungan internasional, tidak terkait dengan gagasan kekuasaan yang
bersifat domestik. Misalnya, tulisan Paul Wapner, “The Sovereignty of Nature? Environmental Protection in a Postmodern
Age”[41]; Carl Pietsch, “Regimes of Nature – the Human Challenges of
Ecological Restoration”[42];
Focseneanu, Veronice, “Walls, Sovereignty
and Nature”[43]; juga Nisha Shah, “Beyond Sovereignty and the State of Nature”[44],
semuanya melihat menjadi semakin relatifnya pengertian kedaulatan teritorial
suatu negara di era globalisasi yang semakin pro-lingkungan hidup dewasa ini.
Namun, ide lingkungan itu belum dipandang setara dengan ide demokrasi atau
bahkan sebagai kelanjutan historis dari perkembangan kedaulatan rakyat yang
perlu diimbangi oleh gagasan kedaulatan lingkungan yang perlu diadopsikan dalam
konstitusi modern.
Sebelum
diterima resmi menjadi muatan materi konstitusi, seperti di Portugal, Perancis
dan Equador, ide untuk menjadikan lingkungan sebagai subjek hukum tentu saja
sudah lebih dulu berkembang dalam wacana di antara para aktifis dan para
ilmuwan lingkungan. Bahkan, pada tahun 1972 Christopher D. Stone, misalnya, sudah menulis
artikel dengan judul “Should Trees Have
Standing? Towards Legal Rights for Natural Objects”[45]. Dalam tulisan ini, Stone
mendiskusikan akankah pohon-pohon akan memiliki kedudukan hukumnya sendiri di
pengadilan? Dalam pendapat
berbeda (dissenting opinion) atas putusan Mahkamah Agung
dalam kasus Sierra Club versus Morton, Hakim Douglas menyatakan, “....
Contemporary public concern for protecting nature’s ecological equilibrium
should lead to the conferral of standing upon environmental objects to sue for
their own preservation”[46]. Pendapat yang diajukan oleh Hakim Douglas tersebut kemudian mendapat
sambutan hangat di kalangan masyarakat luas, sehingga seorang pengacara terkenal menulis puisi dalam Journal of the American Bar
Association (ABA) sebagai
berikut:
“If justice Douglas has his way –
O come not that dreadful day –
We’ll be sued by lakes and hills –
Seeking a redress of ills –
Great mountain peaks of name prestigious –
Will suddenly become litigious –
Our brooks will babble in the courts, Seeking damages for torts.
How can I rest beneath a tree –
If it may soon be suing me?” dan seterusnya[47].
Dalam puisi
itu jelas digambarkan bagaimana jalan pikiran yang dianut oleh Hakim Douglas “Great mountain peaks of name prestigious,
will suddenly become litigious”. Puncak-puncak gunung tiba-tiba menjadi
pihak dalam perkara di pengadilan. Kita bisa digugat oleh danau-danau dan
bukit-bukit, yang menuntut ganti rugi. Bahkan, bagaimana mungkin kita dapat
berisitirahat dengan tenang di bawah pohon yang rindang, jika kelak pohon itu
ternyata dapat menuntut kita ke pengadilan. “How
can I rest beneath a tree, if it may soon be suing me?” Artinya, dalam
wacana akademik dan dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat barat, setidaknya
di Amerika Serikat, sudah biasa membayangkan adanya hak-hak hukum dari alam
sekeliling kita dalam hubungan dengan masyarakat manusia.
Dengan
perkataan lain, sejak lama memang sudah ramai dibicarakan mengenai pemberian
status sebagai subjek hukum tersendiri kepada benda-benda alam di lingkungan
hidup kita. Karena itu, tidak berlebihan jika kita memperkenalkan gagasan
ekokrasi dalam studi tentang kekuasaan negara. Sistim demokrasi yang bersifat ‘anthropocentris’ dan mengandaikan
kedudukan sentral rakyat manusia dalam paradigma berpikirnya harus diimbangi
oleh sistim ekokrasi (ecocracy) yang
memandang alam semesta berada dalam hubungan kekuasaan yang seimbang dengan
manusia. Alam dan manusia dipandang sama-sama mempunyai hak dan kekuasaannya
sendiri. Alam dan manusia sama-sama merupakan subjek hak-hak yang bersifat
asasi. Karena itu, seperti halnya rakyat manusia, alam juga memegang kekuasaan
yang di bidang atau dalam hal-hal tertentu juga bersifat tertinggi, sehingga
hal itu dapat disebut sebagai Kedaulatan Lingkungan.
4. Catatan Akhir: Ekokrasi dan
Demokrasi
Karena
itu, dalam tulisan ini, saya ingin mempromosikan gagasan penting di masa depan,
yaitu “ecocracy” sebagai pengimbang
gagasan “democracy” yang sekarang
sudah dianggap sebagai gagasan paling ideal di zaman sekarang, sebagai jaminan
kemuliaan hidup di atas segala-galanya oleh hampir semua bangsa di dunia.
Dewasa ini, istilah demokrasi pun sudah menjadi semacam bahasa pergaulan yang
lazim di seluruh dunia, yang seakan tanpa sistem demokrasi suatu kehidupan
negara ideal yang diimpikan tidak akan dapat diwujudkan. Padahal, dalam
kenyataannya, dengan demokrasi, kerusakan lingkungan hidup di mana-mana menjadi
semakin meluas bersamaan dengan penerapan demokrasi yang membebaskan manusia
untuk berbuat sesuka-hatinya atas nama kemuliaan hak-hak asasi manusia. Dalam sistem
demokrasi sangat diagagungkan adanya kebebasan manusia, yang dengan bantuan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serba modern menyebabkan manusia
dengan mudah dapat menguasai alam, termasuk untuk mengekploitasinya dalam
rangka memenuhi hasrat kemanusiaan yang cenderung serakah dan tanpa batas.
Dalam
alam pikiran sistem demokrasi, manusia dianggap berada di atas segala-gala.
Manusia adalah tuan bagi dirinya sendiri. Semua gagasan pembangunan bertumpu
pada perspektif yang sama, yaitu paradigma ‘anthropocentrisme’
yang memusatkan kehidupan pada diri manusia. Sebagai akibat dari cara berpikir
demikian, maka jadilah manusia menganggap dirinya sendiri berada di atas
segala-galanya yang dapat mengeksploitasi alam dengan sesukanya sendiri. Karena
itulah, dengan cara yang ekstrim dan provokatif, dengan maksud untuk menggugah,
kita dapat mengatakan bahwa kerusakan alam yang terjadi dimana-mana dewasa ini
pada pokoknya disebabkan oleh penerapan sistem demokrasi yang luas di seluruh
dunia. Kerusakan lingkungan hidup yang terjadi dimana-mana dewasa ini,
disebabkan oleh demokrasi yang tidak diiringi dan diimbangi secara memadai oleh
kesadaran mengenai pentingnya keseimbangan ekologis dalam hubungan antara
manusia dengan alam sekitar dan bahkan dengan alam semesta.
Oleh
karena itu, saya menganjurkan agar
di masa depan, ada kesadaran baru dalam kehidupan umat manusia bahwa
demokrasi harus dikembangkan seiring, sejalan dan berkeseimbangan dengan ide
ekokrasi. Demokrasi yang bersifat ‘anthropocentris’
harus diimbangi dengan gagasan ekokrasi yang lebih bercorak ‘ecocentris’. Keseimbangan itu, bahkan
boleh jadi harus dikontrol dengan mengedepankan orientasi baru yang lebih
bercorak ‘theocentrisme’ dengan gaya
baru, yang menyeimbangkan secara fungsional hubungan antara Tuhan, Alam, dan
Manusia dalam satu kesatuan sistem yang fungsional. Dengan demikian ide
demokrasi pasca modern harus dikembangkan secara seimbang dan saling isi
mengisi secara fungsional dengan gagasan ekokrasi dan bahkan teokrasi dalam
pengertiannya yang baru. Yaitu teokrasi yang tidak tercermin dan terwujud dalam
praktek Kedaulatan Raja dan Maha-Raja seperti di zaman kuno, tetapi paham
teokrasi yang tercermin dan terwujud dalam gagasan dan praktik demokrasi yang
berjalan seiring dengan ekokrasi.
[1]
Tulisan ini disarikan sebagian dari materi buku Jimly Asshiddiqie, “Green
Constitution: Nuansa Hijau UUD 1945”, Rajagrafindo/Rajawali Pers, Jakarta, 2009.
[2]
Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, mantan Ketua
Mahkamah Konstitusi, mantan Anggota Wantimpres Bidang Hukum dan Ketatanegaraan,
sekarang Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Republik Indonesia, dan
Penasihat Komnas Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
[3] Perubahan Kedua UUD 1945 Tahun 2000,
Pasal 18B ayat (1), “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan
daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan
undang-undang”.
[4] Perubahan Ketiga UUD 1945 tahun
2001. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Kedaulatan berada di tangan rakyat
dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”; dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945
berbunyi, “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
[5] Bandingkan dengan Jimly
Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di
Indonesia, Ichtiar Baru-van Hoeve, 1994.
[6]
Lihat sistem pemerintahan kesultanan Yogyakarta yang oleh Pasal 18B ayat (1)
UUD 1945 diakui dan dihormati sebagai satuan pemerintahan daerah yang bersifat
istimewa yang khusus diatur dengan UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan
Daerah Istimewa Yogyakarta. LNRI Tahun 2012 No. 170.
[7] Carnes Lord (translator
& editor), Aristotle The Politics, University of Chicago Press, 1985. Bandingkan dengan Ernest Barker,
The Politics of Aristotle, Oxford University Press, 1958.
[8] Jimly Asshiddiqie,
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, hal.87-88.
[9]
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan
Pelaksanaannya di Indonesia, Ichtiar Baru-van Hoeve, 1994.
[10]
Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, BIP-Gramedia, Jakarta,
2009, hal. 395.
[11] Thomas L. Pangle
(translator & editor), The Laws of Plato, University of Chicago Press,
1988.
[12] Martin Ostwald, From Popular Sovereignty to the
Sovereignty of Law: Law, Society and Politics in Fifth Century Athens,
University of California Press, Berkeley, 1986, hal. 79-83.
[13] Bhandari, History of European Political
History, Evernew Book, Lahore, 1969, hal.1-89.
[14] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara, Rajagrafindo, Jakarta,
[15] Dapat dikatakan, Aristoteles lah yang
pertama kali memperkenalkan ide tentang kedaulatan hukum (sovereignty of law) ini meneruskan pemikiran gurunya, yaitu Plato,
yang dalam bukunya The Laws (Nomoi) memberikan
tempat yang penting kepada hukum dalam kegiatan bernegara. Dikatakan oleh
Ernest Barker (editor and translator), “Aristotle
rendered less service to law; on the other hand he was, in general and in
principle, a steady and consistent advocate of its sovereignty, ‘The rule of
law is preferable to that of a single citizen: even if it be the better course
to have individuals ruling, they should be made law-guardians or ministers of
the law’”. Lihat The Politics of
Aristotle, Oxford University Press, London-Oxford-New York, 1958, hal. LV.
[16]Meskipun ide nomokrasi sudah
dikembangkan sejak Plato, tetapi yang mempopulerkan istilah ‘rule of law’ di
zaman modern adalah sarjana Inggeris, Albert Venn "A. V." Dicey (4 February 1835 – 7 April 1922) melalui bukunya” An
Introduction to the Study of the Law of the Constitution” (1885). Dicey
memperkenalkan istilah "rule of law" ini,
meskipun ide negara hukum itu sendiri sudah dikembangkan sejak abad ke-17, dan
bahkan sejak Yunani kuno.
[17] Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis,
BIP-Gramedia, Jakarta, 2009, hal. 396-397.
[18]Para
sarjana biasanya mengaitkan ide awal ‘rechtsstaat’ ini dengan teori-teori Immanuel Kant. Rechtsstaat tidak lain adalah ide ‘constitutional state’ yang diperkenalkan oleh Kant (1724–1804) sesudah Konstitusi Amerika Serikat dan Perancis terbentuk
pada akhir abad ke-18. Negara dalam pandangan Immanuel
Kant merupakan “the union of men under law”. Negara terbentuk karena hukum yang
sudah ada lebih dulu. Suatu pemerintahan hanya dapat diangkat, dinilai, diberi
tugas dan tanggungjawab dan bahkan diberhentikan hanya atas dasar perintah
hukum yang sah. Penggunaan istilah Rechtsstaat ini paling awal dapat
ditemukan tahun 1798, tetapi dipopulerkan pertama kali dalam buku Robert von Mohl, Die deutsche Polizeiwissenschaft nach den Grundsätzen des
Rechtsstaates ("German Policy Science according to the Principles of
the Constitutional State") (1832–1833).
[19]
Amos J. Peaslee, Contitutions of Nations, Martinus Nijhoff, The Hague, Volume 1
(1950) dan Volume2 dan 3 (1968).
[20]
Ian Shapiro, The State of Democratic Theory, Princeton University Press,
Princeton and Oxford, 2003. hal.1.
[21] C.A. van Peursen,
Strategi Kebudayaan (terjemahan Dick Hartoko), Kanisius, Yogyakarta, 2000.
[22]
Lihat Koentjaraningrat (1985) yang menyebutnya sebagai tujuh unsur-unsur pokok
kebudayaan, yaitu: (1) Sistem Religi, (2) Sistem Organisasi Masyarakat, (3)
Sitem Pengetahuan, (4) Sistem Mata Pencaharian dan Sistem Ekonomi, (5) Sistem
Teknologi dan Peralatan, (6) Sistem Bahasa, dan (7) Sistem Kesenian.
[23]
Auguste Francois Xavier Comte lahir 19 Januari, 1798 di Montpeller, Perancis
Selatan. Lihat Kees Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Kanisius, Yogyakarta,
1998.
[24] “The disharmony in our relationship to the earth,
which stems in part from our addiction to a pattern of consuming ever-larger
quantities of the resources of the earth, is now manifest in successive
crises.The lost of 1 acres of rain
forest every second; the acceleration of the natural extinction rate; the ozone
hole; the possible destruction of the climate balance that makes our earth
livable - all these suggest the increasingly violent collision between human
civilization and the natural world”. Lihat Al Gore, Earth in the Balance:
Ecology and the Human Spirit, , Houghton Mifflin, Boston, MA, 1992, hal. 223.
[25]
Al Gore, Earth in the Balance: Ecology and the Human Spirit, Houghton Mifflin,
Boston, MA, 1992, hal. 147.
[26] Ibid.,
hal.148.
[27] Ibid.,
hal. 109.
[28] Baca laporan Koran TEMPO, 27 Desember 2008.
[29] President Jacques
Chirac’s Speech at the Earth Summit, Johannesburg, 2002.
[30] Jimly Asshiddiqie, Green
Constitution: Nuansa Hijau UUD 1945, Rajawali Pers, Jakarta, 2009.
[31]
Lihat Stone CD, Should Trees Have Standing? Toward Legal Rights for Natural
Objects. Southern California Law Review 1972;45:450; W Kaufmann, Los Altos,
1974) p 8.
[33]
Lihat juga Becker, Marc. 2011 Correa, Indigenous Movements, and the Writing of
a New Constitution in Ecuador. Latin American Perspectives 38(1):47-62.
[34]
Wendell Berry, The Unsetting of America: Culture and Agriculture, Sierra Club
Books, San Fransisco, 1996.
[35]
The Root of Our Ecological Crisis, 2001.
[36]
Perubahan Konstitusi Kelima (the French Fifth Constitution) disahkan pada
tanggal 1 Maret 2005, David Marrani, Human Rights and Environmental Protection:
The Pressure of the Charter for the Environment on the French Administrative
Court, lihat digitalcommons.wcl.american.edu/cgi/viewcontent.cgi.
[37]
Charter for the Environment 2004 disahkan pada tanggal 1 Maret 2005, dan
selanjutnya ditambahkan menjadi materi Preambule Konstitusi pada tahun 2006.
Lihat www.cidce.org/pdf/Charte_ANGLAIS.pdf.
[38]
Sejak tahun 2006, rumusan Peambule Konstitusi Perancis berubah menjadi sebagai
berikut: “The French people
solemnly proclaim their attachment to the Rights of Man and the principles of
national sovereignty as defined by the Declaration of 1789, confirmed and
complemented by the Preamble to the Constitution of 1946, and to the rights and
duties as defined in the Charter for the Environment of 2004”. “By virtue of these
principles and that of the self-determination of peoples, the Republic offers
to the overseas territories which have expressed the will to adhere to them new
institutions founded on the common ideal of liberty, equality and fraternity
and conceived for the purpose of their democratic development”. Dengan demikian,
Preambule Konstitusi Perancis sekarang memuat substansi tiga dokumen, yaitu (i)
Declaration of human and civic rights of 26 august 1789, (ii) naskah Preamble to the Constitution of 27 october 1946,
dan (iii) Charter for the environnement of
2004. Lihat www.conseil-constitutionnel.fr.
[39]
Clare Kendall, A new law of nature: Ecuador
next week votes on giving legal rights to rivers, forests and air. Is this the
end of damaging development? The world is watching, The
Guardian, Wednesday 24 September 2008.
[40] Carl Pietsch, “Regimes of
Nature – the Human Challenges of Ecological Restoration”, Humanist, Nov-Dec,
1993, hal.4. http://findarticles.com/p/articles/m1374/is_n6_v53/ai_14289333.
[41]
Paul Wapner, “The Sovereignty of Nature? Environmental Protection in a
Postmodern Age”, International Studies Assocation, vol.46, no.2, pages 167-187,
International Studies Association. Blackwell Publishing, 2002
[42]
Carl Pietsch, Op.Cit.
[43] Focseneanu, Veronica, “Walls,
Sovereignty and Nature”, Ecological Security in an Interdependence World”.
[44]
Nisha Shah, “Beyond Sovereignty and the State of Nature”, Annual Meeting of the
International Studies Association, San Diego, 2006.
http://www.academic.com/meta/p99286_index.html.
[45]
Christhopher D. Stone, “Should Trees Have Standing? Towards Legal Rights for
Natural Objects, William Kaufmann, Los Altos, 1974, lihat dalam Earth and Other
Ethics, Harper & Row, New York, 1987, hal.1.
[46] Christhopher D. Stone, Earth and Other Ethics,
ibid., hal.4.