Organisasi NU , Bahsul Masail dan Istimbat Hukum

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Di Indonesia, pelaksanaan hukum Islam diwakili oleh beberapa institusi. Majlis Ulama Indonesia (MUI) lebih dikenal oleh masyarakat sebagai lembaga yang berusaha menyelesaikan banyak permasalahan agama dengan mengeluarkan fatwa. Disamping itu, ormas-ormas Islam seperti Nahdhatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), dan yang lainnya memiliki institusi yang bertugas untuk mendalami dan merekomendasikan pendapat (bahkan sikap) organisasi terhadap persoalan (hukum) yang terjadi di masyarakat.
Nahdlatul Ulama merupakan organisasi jami’iyyah diniyah yang didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya oleh sekelompok ulama’ yang merupakan kepentingan Islam tradisional, terutama sistem kehidupan pesantren. Dimana wilayah ajaran dan praktik Islam tradisional telah tergeser akibat pesatnya perkembangan modernisme Islam saat itu.

  1. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas maka rumusan masalah yang akan menjadi pembahasan adalah:
  1. Bagaimana Sejarah Nahdhatul Ulama?
  2. Bagaimana Faham keagamaan apa yang diikuti oleh Ormas NU?
  3. Bagaimana pendukung organisasi NU ?
  4. Bagaimanausaha organisasi NU ?
  5. Bagaimana struktur organisasi dalam NU ?
  6. Bagaimana teologi kaum nahdliyin ?
  7. Bagaimana metode istinbath hukum NU ?
  8. Bagaimana Lajnah bahtsul Masail (Forum Pembahasan Masalah) ?
  9. Bagaimana istinbath hukum Bahsul Masa’il NU ?
  10. Bagaimana contoh Bahsul Masa’il NU ?

  1. Tujuan

Dari Rumusan masalah di atas maka tujuan dari pembuatan makalah ini adalah?
  1. Untuk mengetahui Sejarah Nahdhatul Ulama
  2. Untuk mengetahui Faham keagamaan apa yang diikuti oleh Ormas NU
  3. Untuk mengetahui pendukung organisasi NU
  4. Untuk mengetahui usaha organisasi NU
  5. Untuk mengetahui struktur organisasi dalam NU
  6. Untuk mengetahui teologi kaum nahdliyin
  7. Untuk mengetahui metode istinbath hukum NU
  8. Untuk mengetahui Lajnah bahtsul Masail (Forum Pembahasan Masalah)
  9. Untuk mengetahui istinbath hukum Bahsul Masa’il NU
  10. Untuk mengetahui contoh Bahsul Masa’il NU
















BAB II

PEMBAHASAN

  1. Sejarah Nahdlatul Ulama’ (NU)

Perjalanan Nahdlatul Ulama’ sepanjang 72 tahun lebih, berawal dari sebuah kelompok kajian pencerahan Taswirul Afkar (1914), kemudian berkembang menjadi Nahdlatut Tujjar (1916), Syubbanul Wathan (1918), Nahdlatul Wathan (1924), dan akhirnya menjadi Nahdlatul Ulama (1926). Dalam usianya yang 80 tahun, jati diri Nahdhatul Ulama hakekatnya tidak pernah berubah atau memudar, yakni mengembangkan mainstream ke-Indonesiaan yang dijiwai semangat keislaman secara inklusif dan kultural.
Suatu waktu Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni madzab Wahhabi di Makkah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bid’ah. Gagasan kaum Wahhabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan maupun PSII di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermadzab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.
Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al-Islam di Yogyakarta pada tahun 1925. Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Makkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahhab Hasbullah dan sesepuh NU lainya melakukan walk out.1
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermadzab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hijaz, yang diketuai oleh KH. Wahhab Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hijaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di Makkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat berharga.
Berangkat dari Komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (13 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar.
Untuk menegaskan prinsip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy’ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I’tiqad Ahlussunah Wal Jama’ah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam KhittahNU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.2

  1. Faham Keagamaan NU

NU menganut faham Ahlussunah Wal Jamaah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengan antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Al-Qur’an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berfikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang Fiqih mengikuti empat madzab: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Sementara dalam bidang Tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syari’at.3
Kesetiaan pada tradisi ditegaskan oleh NU dengan menyatakan dirinya tergolong pada Ahlussunah Wal Jama’ahyang berarti penganut tradisi (kebiasaan) Nabi Muhammad sebagaimana yang dilakukan oleh mayoritas umat Islam. Bisa ditegaskan bahwa NU lebih mengutamakan tradisi daripada pertimbangan rasional dalam memberlakukan Islam di seluruh lapangan kehidupan. Ahmad Shiddiq menjabarkan “Ajaran Islam yang murni sebagaimana diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah SAW bersama para sahabatnya.” Dalam pendidikan di madrasah NU, ahlussunah wal jama’ah, dirumuskan:
Pengikut ajaran Islam, yang berlandaskan pada: (1) Al-Qur’anul karim; (2) Sunnah (perkataan, perbuatan dan taqrir) Nabi Muhammad SAW sebagaimana telah dilakukan bersama para sahabatnya; (3) Sunnah Khulafaurrasyidin: Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Bagi NU memberlakukan ajaran Islam menurut aliran Ahlussunah Wal Jama’ahtidak terlepas dari pengakuan terhadap ajaran keempat madzab Islam (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) dan peranan bimbingan para ulama. Hal ini ditegaskan oleh Hasyim Asy’ari perumus pengertian ahlussunah wal jama’ah, seperti yang dirumuskanya dalam Muktamar III (1928) yang kemudian menjadi Muqaddimah Qanun Asasi Nahdlatul Ulama(Pembukaan Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama) yang berbunyi:
Hai para ulama dan pemimpin yang takut kepada Allah dari kalangan Ahlussunah Wal Jamaah dan pengikut Madzab imam empat! Kalian sudah menuntut ilmu agama dari orang-orang yang hidup sebelum kalian, begitu pula generasi sebelumnya dengan bersambung sanadnya sampai pada kalian, dan kalian harus melihat dari siapa kalian mencari dan menuntut ilmu agama Islam.
Berhubung dengan caranya menuntut ilmu pengetahuan sedemikian itu, maka kalian menjadi pemegang kuncinya, bahkan menjadi pintu-pintu gerbangnya ilmu agama Islam. Oleh karena itu janganlah memasuki suatu rumah kecuali melalui pintunya. Siapa saja yang memasuki suatu rumah tidak melalui pintunya maka pencueilah namanya.
Pengertian Ahlussunah Wal Jama’ah menjadi berkembang, ia merupakan penegasan kaum tradisional menanggapi gerakan pembaharuan bahwa memahami Islam tidak cukup hanya berlandaskan Qur’an dan Hadist tapi harus melalui jenjang tertentu, yaitu ulama, madzab, Hadits (Sunnah) dan akhirnya pada sumber yang utama Al-Qur’an itu sendiri. Itulah sebabnya pengertian Ahlussunah Wal Jama’ah bagi NU adalah “para pengikut tradisi Nabi Muhammad dan ijma’ ulama.”
NU tidak menentang ijtihad (penalaran) tapi memikirkanya dalam konteks sebagaimana suatu ijtihad dimengerti oleh umat. Dengan demikian NU telah mengembangkan sebuah metodologi tersendiri dalam mengembangkan ajaran Islam. Dalam pengakuannya terhadap keberadaan madzab dan tradisi (kebiasaan-kebiasaan sebelumnya), NU tidak akan mudah jatuh kepada sikap Fundamentalis karena ia mempunyai banyak rujukan untuk untuk memberikan fatwannya. Dengan menerima keempat madzab NU menjadi golongan yang berpengaruh luas, ia mampu menghimpun berbagai tradisi dan sekaligus potensi.4

  1. Basis Pendukung Organisasi Nahdlatul Ulama

Jumlah warga NU yang merupakan basis pendukungnya diperkirakan mencapai lebih dari 80 juta orang, yang mayoritas di pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatra dengan beragam profesi, yang sebagian besar dari mereka adalah rakyat jelata, baik di kota maupun di desa. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi karena secara sosial ekonomi memiliki problem yang sama, selain itu mereka juga sangat menjiwai ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.
Basis pendukung NU ini mengalami pergeseran, sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi, maka penduduk NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Maka kalau selama ini basis NU lebih kuat di sektor petani di pedesaan, maka saat di sektor buruh di perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan terbukannya sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini.

  1. Usaha Organisasi Nahdhatul Ulama

Usaha-usaha yang dilakukan organisasi masyarakat Nahdlatul Ulama adalah sebagai berikut:
  1. Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
  2. Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.
  3. Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
  4. Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.
  5. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
Adapun tujuan dari pada ORMAS NU sendiri adalah “menegakkan ajaran Islam menurut faham Ahlussunah Wal Jama’ahdi tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.5

  1. Struktur Organisasi dalam NU

Adapun struktur organisasi dalam NU adalah:
  • Pengurus Besar (tingkat pusat)
  • Pengurus Wilayah (tingkat Propinsi)
  • Pengurus Cabang (tingkat Kabupaten/Kota) atau pengurus Cabang istimewa untuk kepengurusan di luar Negeri
  • Pengurus Majelis Wakil Cabang / MWC (tingkat Kecamatan)
  • Pengurus Ranting (tingkat Desa / Kelurahan)
Untuk Pusat, Wilayah, Cabang, dan Majelis Wakil Cabang, setiap kepengurusan terdiri dari:
  • Mustasyar (Penasehat)
  • Syuriyah (Pimpinan Tertinggi)
  • Tanfidziyah (Pelaksana Harian)
Untuk Ranting kepengurusan terdiri dari:
  • Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
  • Tanfidziyah (Pelaksana harian)
Jaringan organisasi hingga akhir 2000, jaringan organisasi Nahdlatul Ulama meliputi 31 Wilayah, 339 Cabang, 12 Cabang Istimewa, 2.630 Majelis Wakil Cabang / MWC 37.125 Ranting.6

  1. Teologi Kaum Nahdliyin

Faham teologi NU adalah terwakili oleh faham teologi yang dikembangkan oleh Imam Al-Asy’ari dan karenanya termasuk faham teologi tradisional, yang mengambil posisi antara ekstrim rasionalis yang menggunakan metafor dan golongan ekstrim tekstualis yang leterlek. Ia mengambil posisi di antara aliran Muktazilah dan Jabariyah, tetapi “benang merah” sebagai jalan tengah yang diambilnya tidak begitu jelas. Suatu kali ia memihak Muktazilah, lain kali cenderung ke Jabariyah, dan suatu kali mengambil kedua pendapat dari kedua aliran yang bertentangan itu lalu mengkompromikanya menjadi satu.
Kitab teologi faham Asy’ari yang dijadikan pegangan Nahdlotul Ulama antara lain:
  1. Maqalah Islamiyah Wakhtilafu al-Musholliyin oleh Imam Abu Hasan al-Asy’ari.
  2. Al-Farqu bainal Firaq oleh Abdul Qohir bin Thohir bin Muhammad al-Baghdadi.
  3. I’tiqod Ahlus Sunnah wal Jama’ah oleh KH.Sirojuddin Abbas.
  4. Jauharut Tauhid oleh Ibrahim al-Baqoni dan Ibrahim al-Bajuri.
  5. Matan Sanusi oleh Syeikh Ibrahim al-Bajuri.
  6. Sulamut Taufiq oleh Abdul Amir Hakim.
  7. Buku 40 Maslaah Agama oleh KH.Sirojuddin Abbas.
Nahdlotul Ulama berteologi menganut faham Ahlus Sunnah wal Jamaah (ASWAJA) yang masih memerlukan penyempurnaan, sebab pengertian Aswaja selama ini masih dibatasi pada madzab-madzab tertentu.
Pemikiran NU dalam hal tauhid adalah bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat. Untuk itu, NU membawakan argument rasio dan nash. Yang tidak dapat dilihat, kata NU, hanyalah yang tak punya wujud. Setiap wujud mesti dapat dilihat, Tuhan berwujud, dan oleh karena itu dapat dilihat.7

  1. Metode Istinbath NU

Di kalangan NU, istinbath hukum diartikan bukan mengambil hukum secara langsung dari sumber hukum yang asli yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah, tetapi dilakukan dengan mentabiqkan secara dinamis nas-nas yang telah dielaborasi fuqoha’ kepada persoalan (waqi’iyyah) yang dicari hukumnya.Istinbathhukum langsung dari sumber primer yang cenderung kepada pengertian ijtihad mutlak, bagi ulama NU masih sangat sulit dilakukan karena keterbatasan-keterbatasan yang memang disadari, terutama dalam ilmu-ilmu penunjang dan perlengkapanyang harus dikuasai oleh seorang mujtahid. 8
Sementara ijtihad dalam batasan mazhab di samping lebih praktis juga dapat dilakukan oleh semua ulama NU yang telah mampu memahami ibarat kitab-kitab fikih yang sesuai dengan terminologinya yang baku.Secara definitif, NU memberikan arti istinbathhukum dengan upaya mengeluarkan hukum syara’ dengan al-qawaid al-fiqhiyyah dan al-qawaid al-ushuliyyah baik berupa adillah ijmaliyyah (dalil-dalil yang umum), adillah tafshiliyyah (dalil-dalil yang rinci) maupun adillah ahkam. Dengan demikian, produk hukum yang dihasilkan PBNU merupakan hasil ijtihad ulama atas nas-nas Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sesuai dengan prinsip-prinsip mujtahid tempo dulu.
Dalam buku Ushul Fiqihkarangan Prof. Muhammad Abu Zahrah, disebutkan bahwa paling tidak ada enam kriteria untuk bisa menjadi seorang mujtahid.
  1. Menguasai bahasa Arab
Imam Ghazali mensyaratkan seorang mujtahid harus mampu memahami ucapan orang Arab dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam pemakaian bahasa Arab di kalangan mereka. Sehingga ia bisa membedakan antara ucapan yang sharih, dhohir, dan mujmal, hakikatdan majaz, yang umum dan khusus, muhkam dan mutasyabih, muthlaq dan muqayyad. Kriteria yang menjadi persyaratan seperti itu tidakdapat dipenuhi kecuali oleh seseorang yang tingkat kemampuan berbahasa Arabnya sudah sampai pada derajat ijtihad.9
  1. Mengetahui nasakh dan mansukh dalam Al-Qur’an
Syarat ini telah ditentukan oleh Imam Syafi’i dalam kitab Ar-Risalah. Para ulama berpendapat bahwa seorang mujtahid harus mengerti secara mendalam ayat-ayat yang membahas tentang hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an yang jumlahnya kira-kira ada 500 ayat.Dalam ayat-ayat itu terdapat ayat yang khash dan’am,terkandung asbabun nuzul,dan sebagainya termasuk nasikhdan mansuk.
  1. Mengerti hadits
Mengerti dan memahami hadits adalah hal yang wajib dipenuhi oleh seorang mujtahid, terutama hadits-hadits yang berhubungan dengan hukum dan harus memahami ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya, seperti mukhtalif hadits (pertentangan hadits), sebab-sebab wurud (terjadinya) hadits dan sebagainya.Ilmu-ilmu seperti ini harus bisa dipahami karena terkadang ada beberapa hadits antara yang satu dengan yang lain terlihat saling bertentangan, baik itu bisa dikompromikan maupun yang tidak bisa dikompromikan.
  1. Mengerti letak ijma’ dan khilaf
Seorang mujtahid harus mengerti masalah-masalah yang menjadi kesepakatan para ulama (ijma’) dan yang menjadi perbedaan di kalangan ulama (khilaf).
  1. Mengetahui qiyas
Keharusan seorang mujtahid untuk dapat memahami tentang qiyas dikarenakan peristiwa-peristiwa hukum yang tidak disebutkan dalam nas (Al-Qur’an dan Hadits) kadang terdapat persamaan illat dengan peristiwa yang terdapat dalam nas itu. Qiyasmemiliki empat rukun yang harus dipenuhi, diantaranya:
  1. Al-Ashl yaitu sesuatu yang hukumnya terdapat dalam nas.
  2. Al-Far’uyaitu sesuatu yang hukumnya tidak terdapat di dalam nas.
  3. Hukmul ashl yaitu hukum syara’ yang terdapat nasnya menurut ashl, dan dipakai sebagai hukum asal bagi cabang (far’u).
  4. Illatyaitu keadaan tertentu yang dipakai sebagai dasarbagi hukum ashl, kemudian far’uitu disamakan kepada ashl dalam hal hukumnya.Dalam pengertian lain diartikan sebagai sebab yangmenggabungkan pokok (ashl) dengan cabangnya (far’u).10
  1. Mengetahui maksud-maksud hukum
Maksud-maksud hukum atau sering dikenal dengan istilah maqashidus syari’ah ini secara garis besar terdiri atas tiga tingkatan,yakni dharuriyat(pasti), hajjiyat (kebutuhan), dan tahsinat (pelengkap).
Alasan lain mengapa NU terkesan sangat berhati-hatidan tidak mau memecahkan persoalan keagamaan yang dihadapi dengan merujuk langsung kepada nas Al-Qur’an maupun As-Sunnah adalah adanya pandangan bahwa mata rantai perpindahan ilmu agama Islam tidak boleh terputus dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Sehingga, yang perlu dilakukan adalah menelusuri mata rantai yang baik dan sah pada setiap generasi.Pengambilan qaul (pendapat imam mazhab) ataupun wajah (pendapat pengikut mazhab), yang kemudian disebut metode qauly, merupakan metode utama yang digunakan dalam menyelesaikan masalah keagamaan, terutama yang menyangkut hukum fikih, dengan merujuk langsung pada teks kitab-kitab imam mazhabataupun kitab-kitab yang disusun para pengikut mazhabempat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali), walaupun dalam prakteknya didominasi olehkitab-kitab Syafi’iyyah.
Meski demikian, bukan berarti bahwa NU tidak menghendaki ijtihad, tetapi yang dikehendaki hanyalah ijtihad yang dilakukan oleh orang-orang yang memenuhi persyaratan sebagai mujtahid. Sedangkan orang-orang yang memiliki ilmu agama mendalam tetapi tidak memenuhi persyaratan mujtahid, lebih baik taqlid (mengikuti) kepada ulama yang memiliki kemampuan berijtihad karena telah memenuhipersyaratannya. Bagi NU, taqlid tidak hanya berarti mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya, melainkan juga mengikuti jalanpikiran imam mazhab dalam menggali hukum.11

  1. Pengertian Lajnah bahtsul Masail (Forum Pembahasan Masalah)

Bahtsul Masail Diniyah adalah satu forum diskusi keagamaan dalam organisasi NU untuk merespon dan memberikan solusi atas problematika actual yang muncul dalam kehidupan masyarakat.
Bagi masyarakat nahdiyyin, Bahtsul Masail tidak saja dikenal sebagai forum yang sarat dengan muatan kitab-kitab salaf klasik, tetapi juga merupakan sebuah lembaga di bawah NU yang menjadi candra muka. Karena dengan Bahtsul Masail, fatwa-fatwa hokum yang dihasilkan akan tersosialisasikan ke berbagai daerah di Indonesia. 12
Dari segi histori maupun operasional, Bahtsul Masail Diniyah NU merupakan forum yang sangat Dinamis, Demokratis, berwawasan Luas.
Maksudnya Dinamis adalah persoalannya yang digaarap selalu mengikuti perkembangan hokum di masyarakat.Demokratis adalah karena dalam forum tersebut tidak ada perbedaan antara kyai, santri baik yang tua maupun yang muda, karena pendapat siapapun yang paling itulah yang diambil.Dikatan Berwawasan Luas karena dalam bahtsul masail tidak ada dominasi mazhaab dan selalu sepakat dalam khilaf.Salah satu contoh untuk menunjukkan fenomena “sepakat dalam khilaf” ini adalah mengenai status hokum dalam bunga bank dalam memutuskan masalah ini tidak pernah ada kesepakatan ada yang mengatakan halal, haram, subhat.Ini terjadi sampai Muktamar NU tahun 1971 di Surabaya.Muktamar tersebut tidak mengambil sikap. Keputusannya masih tiga pendapat: halal, haram, Subhat.
Bahtsul Masail atau lembaga Bahtsul Masail Diniyah (Lembaga Masalah-Masalah Keagamaan ) di lingkungan NU adalah sebuah lembaga yang memberikan fatwa-fatwa hokum keagamaan kepada umat Islam. Hal ini menuntut Bahtsul Masail untuk mampu membumikan nilai-nilai Islam sekaligus mengakomodir berbagai pemikiran yang relevan dengan kemajuan zaman dan lingkungan sekitarnya.
Sebuah lembaga fatwa, BahstulMasail menyadari bahwa tidak seluruh peraturan-peraturan syari’at Islam data diketahui secara langsung dari Nash Al-Qur’an, melainkan banyak aturan-aturan syari’at yang membutuhkan daya nalar yang kritis melalui istimbath hokum.Tidak sedikit ayat-ayat yang memberikan peluang untuk melakukan istimbath hokum baik dilihat dari kajian kebahasaan maupun esensi makna yang dikandungnya.
Keterlibatan ulama-ulama NU dalam lembaga ini sangatlah signifikan mengingat tugas berat yangn harus diselesaikan. Dengan latar belakang ilmu-ilmu social keagamaan yang diperoleh dipesantren, ulama NU membahas persoalan-persoalan kontemporer dari persoalan Ibadah Maghdoh hingga persoalan politik, ekonomi, social dan budaya serta hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Para Ulama memberikan Alternatif jawaban yang terbaik sebagai rasa tanggung jawab yang terbaik sebagai rasa tanggung jawab social keberagamaan.
Praktek Bahtsul Masail telah berlangsung sejak NU didirikan yakni 13 Rabi’ul tsani 1345 H/21 Oktober 1926 M .waktu itu dilakukan Bahtsul Masail yang pertama kali. Untuk itu untuk melihat setting history Bahtsul Masail harus mengetahui proses sejarah NU didirikan.13
Adapun LBM secara secara institusional baru berdiri pada Muktamar XXVIII di Yogyakarta1989 .ketika itu komisi I (Bahtsul Masail) merekomendasikan kepada pengurus besar NU untuk membentuk Lajnah Bahsul Masail ad-Diniyah (lembaga kajian masalah-masalah agama) sebagai lembaga permanent yang khusus menangani persoalan-persoalan keagamaan. Rekomendasi itu kemudian didukung oleh forum Halaqah pada tanggal 26-28 januari 1990 bertempat di PP. Mamba’ul Ma’arif, Jombang, Jawa Timur yang merekomendasikan lembaga tersebut dengan harapan dapat menghimpun para ulama dan intelektual NU untuk melakukan ikhtiyar Jam’I Istimbath.kemudian pada tahun 1990 M terbentuklah sebuah institusi yang bernama Lajnah Bahtsul Masail Ad-Diniyah tersebut berdasarkan Surat Keputusan PBNU Nomor 30/A.I. 05/5/1990 M. institusi tersebut bertugas mengkoordinasikan kegiatan kajian-kajian seputar masalah-masalah keagamaan yang bersifat fiqh.
Sedangkan topic khusus yang dikaji dalam LBM NU adalah Masail Diniyah, Masail Diniyah LBM NU mempunyai tiga komisi:
  1. Masail Diniyah Waqi’iyah: permasalahan kekinian yang menyangkut hokum suatu peristiwa. Misalnya, bagaimana hokum orang Islam mendirikan gereja?
  2. Masail Diniyah Maudhu’iyyah: permasalahan yang menyangkut pemikiran. Fikrah Nadhiyah Globalisasi.
  3. penyingkapan terhadap rencana undang-undang (RUU) pemerintah. Komisi ini bertugas sebagai bahan masukan dan koreksi dalam RUU.

  1. Metode Istimbath Hukum Bahtsul Masail NU

Kata istinbath berasal dari kata “istanbatha” yang berarti “menemukan”, “menetapkan atau mengeluarkan dari sumbernya.”Sedangkan secara istilah adalah “mengeluarkan hukum-hukum fiqih dari al-Qur’an dan sunah melalui kerangka teori yang dipakai oleh ulama ushul”.
Istinbath identik dengan ijtihad yang oleh para ulama NU dirasa sangat sulit karena keterbatasan-keterbatasan yang disadari oleh mereka. Terutama di bidang ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh namanya mujtahid. Sementara itu, istinbath dalam pengertian yang kedua, selain praktis, dapat dilakukan oleh semua ulama NU yang telah memahami ibarat-ibarat kitab fiqih sesuai dengan terminologinya yang baku. Oleh karena itu, kalimat istinbath dikalangan NU terutama dalam kerja baths al-masa’ilnya Syuriah tidak dilakukan karena keterbatasan pengetahuan. Sebagai gantinya, dipakai kalimat bahtsul masail yang artinya membahas masalah-masalah waqi’ah yang terjadi melalui referensi yaitu kutub al fuqaha (kitab-kitab karya para ahli fiqh).14
Dalam lembaga bathsul masa’il NU, istilah istinbath hukum tidak banyak dikenal. Bagi ulama NU hal ini lebih dikonotasikan pada istikhraj alhukmmin al-nushush (mengeluarkan hukum dari nash-nash primer, al-Qur’an dan sunah) yang dilakukan oleh mujtahid mutlak, yang menurut ulama NU sangat berat untuk dilakukan.untuk itu sebagai gantinya adalah istilah ittifaqhukum.
Istinbath hukum langsung dari sumber primer yang cenderung kepada pengertian ijtihad mutlak, bagi ulama NU masih sangat sulit dilakukan karena keterbatasan-keterbatasan yang memang disadari, terutama dalam ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh seseorang mujtahid. Sementara ijtihad dalam batas madhzab di samping ulama NU yang telah memahami ibarat kitab-kitab fiqih yang sesuai dengan terminologinya yang baku.
  1. Otoritas Bahsul Masail dalam Penetapan Hukum
  1. Antropologi Lajnah Bahsul Masāil
Menelisik antropologi Lajnah Bahsul Masāil (dalam penyebutan selanjutnya penulis menggunakan akronim LBM) sama halnya menelursuri asal-usul sebuah pemikiran yang membutuhkan upaya serius menghubungkan antara pemikiran tersebut dengan ruang dan waktu serta masyarakat dan miliu yang melingkupinya. Sejarah telah membuktikan bahwa tidak satupun sebuah pemikiran muncul dari ruang kosong budaya yang terkonstruksi oleh sebuah komunitas sosial. Demikian halnya LBM  sebagai wahana untuk meretas pemikiran ulama NU sebagai respon terhadap masalah-masalah yang terjadi di masyarakat baik yang bersifat kasuistik (al-masāil al-wāqi'yyah), maupunyang bersifat pengembangan pemikiran (. Dalam rentang sejarah perjalanannya, tentu LBM tidak terlepas dari pengaruh situasi dan kondisi yang ada dan sekaligus mewarnai corak dan tampilannya serta keragaman produk hukum yang dihasilkannya.
Di depan telah dijelaskan bahwa LBM adalah sebuah forum pengkajian hukum Islam milik NU yang berfungsi untuk melakukan kajian-kajian seputar masalah-masalah keagamaan secara kasuistik maupun secara tematik. Merunut asal-usul LBM NU memang bukan suatu hal yang mudah karena masih minimnya dokumen-dokumen yang menginformasikan tentang kelahiran dan perkembangan LBM baik latar belakang, metode, obyek maupun pelaku sejarahnya. Hal ini karena budaya warga NU saat itu cenderung pragmatis dalam artilebih mementingkan hasil keputusan LBM, dari pada mencatat dan mendokumentasikan latar belakang, perdebatan yang muncul dan tokoh yang berperan dalam forum tersebut, sehingga sampai sekarang tidak diketemukan dokumen-dokumennya kecuali kumpulan hasil keputusan LBM.
Satu-satunya cara untuk mengkonstruksi latar belakang berdirinya LBM menurut hemat penulis adalah dengan mengambil bahan baku berupa Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga NU. Di sana ditegaskan bahwa adanya kebutuhan masyarakat terhadap hukum Islam praktis (fiqh) bagi kehidupan sehari-hari mendorong para ulama dan intelektual NU untuk mencari solusinya dengan melakukan kegiatan kajian-kajian terkait dengan masalah yang muncul melalui kajian yang dilakukan dalam sebuah forum diskusi yang disebut bahsul masāil (kajian berbagai masalah). Kegiatan seperti ini sesungguhnya telah dimulai oleh para pendahulu NU sejak kongres kali pertama beberapa bulan setelah berdirinya NU pada 1926. Pada waktu itu kegiatan kajian tentang masalah-masalah yang diajukan ke forum dibahas secara seksama oleh sebuah kelompok yang dimandatkan secara khusus untuk itu dan di bawah kendali organisasi NU sebagai induknya, belum muncul institusi LBM.
Adapun LBM secara institusional baru berdiri pada Muktamar XXVIII di Yogyakarta 1989. Ketika itu Komisi I (Bahsul Masāil) merekomendasikan kepada Pengurus Besar NU untuk membentuk Lajnah Bahsul Masāil ad-Diniyyah (lembaga kajian masalah-masalah keagamaan) sebagai lembaga permanent yang khusus menangani persoalan-persoalan keagamaan. Rekomendasi tersebut kemudian didukung oleh forum halaqah (sarasehan) pada tanggal 26-28 Januari 1990 bertempat di Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar, Jombang, Jawa Timur yang juga merekomendasikan terbentuknya lembaga tersebut dengan harapan dapat menghimpun para ulama dan intelektual NU untuk melakukan ikhtiyar istinbat jama'i (penggalian dan penetapan hukum secara kolektif). Kemudian pada tahun 1990 M. terbentuklah sebuah institusi yang bernama Lajnah Bahsul Masāil ad-Diniyyah tersebut berdasarkan Surat Keputusan PBNU Nomor 30/A.I.05/5/1990.15 Institusi tersebut bertugas mengkoordinasikan kegiatan kajian-kajian seputar masalah-masalah keagamaan yang bersifat fiqih. Kegiatannya meliputi pengumpulan masalah dari warga sampai dengan menyelenggarakan forum kajian untuk membahas masalah-masalah yang telah diinventarisasi sebelumnya.
Bahsul masāil ad-dīniyyah tingkat nasional diselenggarakan bersamaan dengan Kongres (istilah sekarang lazim disebut Muktamar),16 Konfrensi Besar disingkat KONBES, Rapat Dewan Partai (ketika NU menjadi partai politik) atau Musyawarah Nasional disingkat MUNAS Alim-ulama. Pada kurun waktu 1926 sampai dengan 1940 kegiatan bahsul masāil ad-dīniyyah dilaksanakan sekali dalam setiap tahun pada muktamar I sampai dengan Muktamar XV. Pada saat meletus perang dunia II, pelaksanaan kegiatan tersebut mengalami ketidakstabilan mengiringi tersendatnya Muktamar, seperti Muktamar XVI dan XVII (1946-1947), Muktamar XVIII dan XIX (1950-1951), Muktamar XX dan XXI (1954 dan 1956). Demikian juga kegiatan bahsul masāil ad-dīniyyah yang menyertai Konfrensi Besar, Rapat Dewan Partai maupun Musyawarah Nasional Alim-ulama terselenggara kurang stabil selama kurun waktu 1957 sampai dengan 1979. Selama periode tersebut kegiatan bahsul masāil ad-dīniyyah hanya terlaksana sebanyak delapan kali. Selanjutnya pada dekade 1980-an dan 1990-an kegiatan tersebut baru dapat berlangsung secara periodik sekali dalam kurun 2-3 tahun secara bergantian antara Muktamar, Munas dan Konfrensi Besar.
Sejak tahun 1926 sampai dengan 200417 LBM telah memutus 436 masalah keagamaan kasuistik-praktis dan 20 masalah keagamaan tematik-teoritis.  Muktamar I di Surabaya pada tanggal 13 Rabius Tsani 1345 H / 21 Oktober 1926 M memutus 27 masalah, Muktamar II di Surabaya pada tanggal 12 Rabius Tsani 1346 H. / 9 Oktober 1927 M memutus 9 masalah, Muktamar III di Surabaya pada tanggal 12 Rabius Tsani 1347 H. / 28 September 1928 M. memutus 22 masalah, Muktamar IV di Semarang pada tanggal 14 Rabius Tsani 1348 H. / 19 September 1929 M. memutus 26 masalah, Muktamar V di Pekalongan pada tanggal 13 Rabius Tsani 1349 H. / 7 September 1930 M. memutus 23 masalah, Muktamar VI di Pekalongan tanggal 22 Rabius Tsani 1350 H. / 27 Agustus 1931 M. memutus 11 masalah, Muktamar VII di Bandung pada tanggal 13 Rabius Tsani 1351 H. / 9 Agustus 1932 M. memutus 11 masalah, Muktamar VIII di Jakarta pada tanggal 12 Muharram 1352 H. / 7 Mei 1933 M. memutus 15 masalah, Muktamar IX di Banyuwangi pada tanggal 8 Muharram 1353 H. / 23 April 1934 M. memutus 12 masalah,  Muktamar X di Surakarta pada tanggal 10 Muharram 1354 H. /  5 April 1935 M. memutus 25 masalah, Muktamar XI di Banjarmasin pada tanggal 19 Rabiul Awal 1355 H. / 9 Juni 1936 M. memutus 15 masalah, Muktamar XII di Malang pada tanggal 12 Rabius Tsani 1356 H. / 25 Maret 1937 M. memutus 18 masalah, Muktamar XIII di Menes Banten pada tanggal 13 Rabius Tsani 1357 H. / 12 Juli 1938 M. memutus 22 masalah, Muktamar XIV di Magelang pada tanggal 14 Jumadil Ula 1358 H. / 1 Juli 1939 M. memutus  21 masalah, Muktamar XV di Surabaya 10 Dzul Hijjah 1359 H. / 9 Pebruari 1940 M. memutus  13 masalah. Muktamar XVI di Purwokerto tanggal 26-29 Maret 1946 M. memutus 5 masalah, Muktamar XX di Surabaya tanggal 10-15 Muharram 1374 H. / 8-13 September 1954 M. memutus 5 masalah, Konfrensi Besar Pengurus Besar Syuriah Nahdlatul Ulama di Surabaya tanggal 16-17 Sya’ban 1376 H. / 19 Maret 1957 M. memutus 2 masalah, Konfrensi Besar Pengurus Besar Syuriah Nahdlatul Ulama di Jakarta 21-25 Syawal 1379 H. / 18-22 April 1960 M. memutus 19 masalah, Konfrensi Besar Pengurus Besar Syuriah Nahdlatul Ulama di Jakarta 1-3 Jumadil Ula 1381 H. / 11-13 Oktober 1961 M. memutus 7 masalah, Rapat dewan partai NU di Salatiga tanggal 25 Oktober 1961 M. memutus 1 masalah tentang perempuan mencalonkan diri menjadi kepala desa, Muktamar Nahdlatul Ulama XXIII di Solo tanggal 29 Rojab – 3 Sya’ban 1381 H. / 25-29 Desember 1962 M. memutus 6 masalah, Muktamar Nahdlatul Ulama XXV di Surabaya tanggal 20-25 Desember 1971 M. memutus 8 Masalah, Muktamar Nahdlatul Ulama XXVI di Semarang tanggal 10-16 Rojab 1399 H. / 5-11 Juni 1979 M. memutus 6 masalah, Munas Alim Ulama di Kaliurang Yogyakarta tanggal 30 Syawal 1401 H. / 30 Agustus 1981 . memutus 11 masalah, Munas Alim Ulama di Sukorejo Situbondo tanggal 6 Rabiul Awal 1404 H. / 21 Desember 1983 M. memutus 6 masalah, Muktamar Nahdlatul Ulama XXVII di Situbondo 8-12 Desember 1984 M. memutus 16 masalah, Munas Alim Ulama di Kesugihan Cilacap 23-26 Rabiul Awal 1408 H. / 15-18 Nopember 1987 M. memutus 8 masalah, Muktamar Nahdlatul Ulama XXVIII d Muktamar Nahdlatul Ulama di Pndok Pesantren Krapayak Yogyakarta 26-29 Rabiul Akhir 1410 H. / 25-28 Nopember 1989 M. memutus 23 masalah, Munas Alim Ulama di Bandar Lampung 16-20 Rajab 1412 H. / 21-25 Januari 1992 M. memutus 1 masalah penting yaitu tentang sistem pengambilan keputusan hukum dalam Bahsul Masail di lingkungan NU. Pada saat inilah dunia pemikiran di kalangan NU telah mengalami kejuan yang signifikan karena melelui Munas ini dapat disepakati tentang metode bermazhab secara manhaji (metodologi). Metode ini sebagai metode alternatif dari dua metode yang telah digunakan sebelumnya yakni metode qauli (tekstual) dan metode ilhaqi (analogi).
Selanjutnya pada Muktamar Nahdlatul Ulama XXIX di Cipasung Tasikmalaya tanggal 1 Rojab 1415 H. / 4 Desember 1994 M. memutus 9 masalah waqi’iyyah dan 3 masalah maudu’iyyah, Munas Alim Ulama di Pondok Pesantren Qomaeul Huda Bagu, Pringgarata Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat tanggal 16-20 Rojab 1418 H. / 17-20 Nopember 1997 M. memutus 13 masalah waqi’iyyah dan 4 masalah maudu’iyyah, Muktamar Nahdlatul Ulama XXX di Lirboyo Kediri Jawa Timur 21-27 Nopember 1999 M. memutus 10 masalah waqi’iyyah dan 6 masalah maudu’iyyah, Munas Alim Ulama di Pondok Gede Jakarta tanggal 14-17 Rabiul Akhir 1423 H. / 25-28 Juli 2002 M. memutus 5 masalah waqi’iyyah (kasuistik) dan 4 masalah muduiyyah siyasiyyah (tematik-teoritis-politik) kontemporer seperti masalah zakat profesi, Hutang Negara, hukuman bagi koruptor, dan money politik. Muktamar Nahdlatul Ulama XXXI di Asrama Haji Donohudan Boyolali Jawa Tengah 16-18 Syawal 1425 H. / 29 Nopember-1 Desember 2004 M. memutus 4 masalah waqi’iyyah (realistis-kasuistik) dan 3 masalah mauduiyyah (tematik-teoritis). -………
Kegiatan bahsul masail sesungguhnya tidak hanya dilakukan di tingkat Pengurus Besar NU tetapi juga dibudayakan di tingkat Pengurus Wilayah, Pengurus Cabang, dan Pengurus Majelis Wakil Cabang di tingkat kecamatan. Pelaksanaannya bervariasi tergantung kebutuhan dan kebijakan pengurus di tingkat masing-masing yang antara satu dengan lainnya tidak ada keharusan keterikatan secara hirarkis vertikal baik dalam menentukan frekuensi pelaksanaannya maupun teknik dan waktu pelaksanaannya dan bahkan hasil keputusan yang diambil. Pola kebijakan dalam forum ini mengarusutamakan tanggungjawab secara moral dan agama secara vertical, artinya dalam bahsul masail diupayakan memberikan jawaban hukum dengan sebenar-benarnya yang akan dipertanggungjawabkan kepada Allah dan secara horisontal, artinya masyarakat sebagai sasaran dakwah menjadi titik berat dalam forum kajian ini.
  1. Dominasi Fiqh Empat Mażhab dalam Bahsul Masāil
Dalam setiap kajian hukum Islam (fiqh) di NU, yang secara operasional pelaksanaannya dilaksanakan oleh LBM menggunakan pola bermazhab, yakni mengikuti salah satu dari empat mazhab; Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali, baik secara qauliy (tektual) maupun manhajiy (metodologis). Menurut Kyai Hasyim Asy'ari, dengan mengikuti pola bermazhab akan mendapatkan kebaikan dan mashlahah yang tak terhitung bagi umat Islam. Sebab ajaran Islam tidak dapat difahami kecuali melalui pemindahan dan pengambilan hukum dengan cara tertentu yang disebut istinbāt al-ahkām. Pemindahan tidak akan benar dan murni kecuali dengan cara mentransformasikan ajaran secara langsung dari suatu generasi ke generasi selanjutnya.18 Dalam konteks istinbāt al-ahkām, mazhab-mazhab sebelumnya harus dikenali agar tidak keluar dari pendapat ulama sebelumnya yang dapat menyebabkan keluar dari ijma'. Dalam Qanūn Asāsi (undang-undang dasar) NU juga disebutkan, barang siapa mengambil ilmu dengan tidak menyebut sanad (dengan kata lain tidak bermazhab), maka orang itu seperti pencuri.[6] Oleh karenanya ilmu yang di dapat dengan cara seperti itu disebut ilmu tanpa guru yang berkonsekuensi diragukan akan kebenaran dan validitasnya.
Pola bermazhab seperti ini di dasarkan pada beberapa alasan. Pertama, empat mazhab tersebut memiliki cara istinbāt al-ahkām yang hampir sama, yang masing-masing mempunyai validitas tersendiri serta tidak didapatkan dalam mazhab lainnya. Di luar mazhab empat tersebut, misalnya Sufyan Sauri, Daud al-Zahiri, al-Auza'i dan sebagainya, pendapat mereka dipandang kurang valide lantaran tidak memiliki sanadang dapat menghindarkan terjadinya perubahan dan pergantian. Kedua, mengikuti salah satu dari mazhab empat berarti mengikuti golongan terbesar atau mayoritas, seperti yang dianjurkan oleh nabi. Ketiga, empat mazhab tersebut dan empat imam ahli fikihnya memiliki kualifikasi keilmuan sebagai mujtahid mutlak atau mujtahid mustaqil.19
Ditilik dari aspek operasionalnya Ahmad Arifi menjelaskan tiga alasan mengapa penganut mazhab (termasuk NU) memegangi pemikiran mazhab mereka. Ketiga alasan itu adalah sebagai berikut:20
  1. Pemikran madzhab (terutama fiqih madzhab empat: Hanafi, Maliki Syafi’i, dan Hanbali) telah terkodifikasi (terhimpun) secara sistematis sehingga mudah mempelajarinya.
  2. Kredibilitas imam madzhab dan keandalan pemikirannya telah teruji oleh sejarah. Hal ini terbukti diikutinya para imam madzhab oleh sebagian besar umat Islam di seluruh dunia.
  3. Mengikuti pemikiran imam madzhab mempunyai nilai praktis dan pragmatis. Dengan mengacu dan mengikuti pemikiran madzhab tidak perlu bersusah-susah untuk memulai dari awal dalam mencari solusi dan menjawab permasalahan hukum yang dihadapi, apalagi ketika masalah tersebut menghendaki segera untuk diperoleh jawabannya.

Bermazhab bagi komunitas NU merupakan sebuah keniscayaan sebagai tradisi keilmuagamaan yang selalu dipegangi baik dalam tataran orang-perorang maupan dalam tataran organisasi NU. Tradisi keilmuagamaan yang dianut komunitas NU dengan mengikuti pola bermazhab seperti ini sesungguhnya telah dikemukakan secara terbuka oleh warga NU sendiri sejak permulaan berdirinya; adalah bertumpu pada pengertian tersendiri tentang apa yang oleh NU disebut aqidah ahlussunnah wal jama’ah.21
Selanjutnya aqidah tersebut diterjemahkan secara operasional dengan berpangkal pada tiga panutan yaitu mengikuti paham Abu Hasan al-Asy’ari22 dan Abu Mansur al-Maturidi23 dalam bertauhid (mengesakan Allah dan mengakui kerasulan Muhammad), mengikuti salah satu mazhab fiqih yang empat yang terkenal dengan sebutan al-mazāhib al-arba’ah (Hanafi,24 Maliki,25 Syafi’i,26 dan Hanbali27), dan mengikuti cara yang ditetapkan dan dirumuskan al-Junaid al-Bagdadi28 dan Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali29 dalam bertasawuf.30  Pengertian seperti ini dipertegas oleh al-Hāsyiah asy-Syanwani sebagaimana diukutib Syekh Hasyim Asy’ari dalam Risalah Ahlussunnah wal jamaah.31
Berbeda dari pandangan kelompok seperti Muhammadiyah dan Persis (keduanya hanya menerima skolastisisme al-Asy’ari sebagai landasan “kesunnian” mereka), NU melalui doktrin Ahlussunnah wal jamaah-nya senagaja mengembangkan tradisi keilmuagamaan paripurna dan baku karena telah membagi siklus kehidupan para warganya dalam sejumlah lingkaran kegiatan atau bidang yang baku.32
Dalam berfiqih, NU sesungguhnya tidak hanya terbatas pada mengikuti pandangan empat imam mazhab besar tersebut tetapi juga pendapat ulama-ulama turunannnya yang telah mengembangkan tidak hanya literatur keputusan hukum agama dalam skala massif ( misalnya sebuah corpusmagnum berjudul al-Majmu’, komentar atas kitab al-Muhazzab, terdiri dari empat belas jilid dengan rata-rata 400 halaman perjilidnya), melainkan juga cara-cara untuk menyusun pemikiran hukum (legal maxim, qawaidul fiqh), menentukan bentuk akhir keputusan hukum yang akan diambil jika kondisinya dan persyaratan yang melatarbelakangi sesuatu masalah yang tadinya sudah diputuskan ternyata telah mengalami perubahan. Di sinilah terletak dinamika perkembangan hukum Islam melalui fiqh dapat dilakukan, walaupun dalam batasan-batasan yang tetap masih ketat karena harus tidak boleh keluar dari lingkup bermazhab.33
Inti dari tradisi keilmuagamaan yang dianut NU adalah perpautan organis antara tauhid, fiqh, dan tasawuf secara integral, yang dalam jangka panjang dapat menumbuhkan pandangan terpautnya sendiri antara dimensi duniawi dan ukhrawi dari kehidupan. Yang paling disukai di lingkungan NU adalah ungkapan “Hidup dunia sangatlah penting kalau dijadikan persiapan untuk kebahagiaan di akhirat, dan akan kehilangan artinya jika tidak diperlakukan seperti itu”. Perpautan antara dimensi duniawi yang profane dan dimensi ukhrawi yang sakral dari kehidupan ini merupakan mekanisme kejiwaan yang lazim dan berkembang di kalangan warga NU untuk menghadapi tantangan sekularisme terang-terangan yang timbul dari proses modernisasi dan westernisasi.34
  Pada praktiknya NU mempunyai kecenderungan mengikuti mazhab Syafi'i secara lebih dominan dibanding tiga mazhab yang lain bahkan sering “tidak konsisten” karena menggunakan pegangan pendapat para ahli fikih "turunan" imam mazhab, tidak langsung dari sumberutamanya (pendapat imam mazhab). Hal itu terjadi karena keterbatasan refrensi di luar mazhab Syafi’i dan kebiasaan para pengkajinya yang mayoritas di lingkungan pesantren yang diasuh oleh para Kyai yang mengajarkan kitab-kitab syafi’iyyah seperti Fath al-Qarīb al-Mujīb, Fath al-Mu’īn, Fath al-Wahhāb, Qulyubi ibn ‘Amīrah, Tuhfah, dan sebagainya. Dalam mazhab Syafi'i misalnya, NU lebih sering menggunakan pendapat Imam Nawawi atau Imam Rafi'i dan para ulama syafi’iyyah lainnya seperti al-Muzani, ar-Ramli, ibn Hajar al-Haitami, Zakariya al-Anshari dan sebagainya dari pada pendapat Imam Syafi'i sendiri. Dengan kata lain, NU sebetulnya mengikuti pendapat "syafi'iyyah" ketimbang "Syafi'i". Hal itu tampak jelas terutama dalam kajian-kajian wāqi’iyyah, qānūniyyah, dan maudū’iyyah di forum-forum bahsul masāil yang merupakan forum ilmiah di lingkungan NU untuk membahas persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hukum.35
  1. Sistem Pengambilan Keputusan Hukum
1. Prosedur Pemecahan Masalah
Keputusan Bahsul Masāil di lingkungan Nahdlatul Ulama dibuat dalam kerangka bermazhab kepada salah satu mazhab empat yang disepakati dan mengutamakan bermazhab secara qauliy dari pada bermazhab secara manhaji. Oleh karena itu, prosedur pemecahan masalah yang dibahas dalam forum tersebut sederhana dan praktis dengan langkah sebagai berikut:36
Pertama, dalam kasus ketika jawaban masalah bisa dicukupi oleh 'ibārah al-kitāb (ungkapan teks kitab rujukan) dan di sana terdapat hanya satu qaul/wajah (pendapat), maka dipakailah qaul/wajah sebagaimana diterangkan dalam teks tersebut. Secara operasional prosedur pertama ini dilakukan dengan mencocokkan kasus yang hendak dicari jawaban hukumnya dengan arti teks fiqh secara tektual tanpa ada pertimbangan konteks situasi dan kondisi dimana teks itu muncul.
Kedua, dalam kasus ketika jawaban masalah bisa dicukupi oleh 'ibārah al-kitāb (ungkapan teks kitab rujukan) dan di sana terdapat lebih dari satu qaul/wajah, maka dilakukan taqrīr jama'i (penetapan secara kolektif) untuk memilih satu qaul/wajah yang dianggap lebih valide. Perbedaan pendapat diselesaikan dengan memilih secara hirarkis sebagai berikut; 1)pendapat yang disepakati asy-Syaikhani (al-Nawawi dan Rofi’i), 2)pendapat yang dipegang oleh al-Nawawi saja, 3) pendapat yang dipegang oleh Rafi’I saja, 4)pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama, 5)pendapat ulama yang terpandai, 6)pendapat ulama yang paling wara’.
Ketiga, dalam kasus tidak ada qaul/wajah sama sekali yang dapat memberikan penyelesaian, maka dilakukan prosedur ilhāqul masāil bi naza'iriha37(mempersamakan masalah-masalah dengan masalah-masalah lain yang mempunyai kemiripan) secara jama'i (kolektif) oleh para ahlinya. Prosedur yang ketiga ini dilakukan dengan mengikuti logika analogi dalam metode al-qiyās. Prosedur ini sering disebut sebagai metode “al-qiyās” khas Nahdlatul Ulama. Betapapun dinamisnya, metode ini masih belum beranjak dari kerikatan dengan teks fiqh tanpa mempertimbangkan konteks masing-masing masalah yang hendak dipersamakan hukumnya.
Keempat, dalam kasus tidak ada satu qaul/wajah sama sekali dan tidak mungkin dilakukan ilhāqul masāil bi naza'iriha38 (mempersamakan masalah-masalah dengan masalah-masalah lain yang mempunyai kemiripan) secara jama'i (kolektif), maka bisa dilakukan istinbat jama'i39 (menggali hukum dari sumbernya secara kolektif) dengan prosedur bermazhab secara manhaji (metodologis) oleh para ahlinya. Metode ini secara operasional dilakukan dengan cara mengalisa masalah menggunakan perangkat metodologis teori-teori dalam uşūl fiqh dan qawāidul fiqhiyyah. Dari hirarki tersebut dapat dipahami bahwa arus utama prosedur yang digunakan oleh Lembaga Bahtsul Masail NU masih bersifat tekstual.
2. Hirarki dan Sifat Keputusan
Ketetapan hukum yang dihasilkan di lingkungan Nahdlatul Ulama hanya bersifat sebagai fatwa yang diambil dalam rangka memberikan jawaban terhadap kasus yang terjadi di tengah masyarakat. Dengan demikian tidak ada keharusan bagi setiap warga Nahdlatul Ulama tunduk pada hasil keputusan hukum tersebut. Begitu pula tidak ada tata urutan yang secara hirarki dapat membedakan dari segi kekuatan hukum antara yang satu dengan yang lain. Hal ini dilatarbelakangi bahwa apa pun hasil keputusan hukum yang telah dihasilkan dalam bahsul masail (kajian masalah) baik dalam tingkatan Muktamar, Munas, Konfrensi, maupun yang lain adalah tidak ubahnya sebagai hasil ijtihad.40
Oleh karenanya seluruh keputusan bahsul masail di lingkungan Nahdlatul Ulama yang diambil dengan prosedur yang telah disepakati dalam Munas 1992, baik diselenggarakan dalam struktur organisasi maupun di luarnya mempunyai kedudukan yang sederajad dan tidak saling membatalkan.41 Suatu hasil keputusan bahsul masail dianggap mempunyai kekuatan daya ikat (secara moral bagi warga NU) lebih tinggi setelah disahkan oleh Pengurus Besar Syuriah NU tanpa harus menunggu Munas Alim Ulama maupun Muktamar.42 Adapun sifat keputusan dalam bahsul masail tingkat Munas dan tingkat Muktamar adalah untuk mengesahkan rancangan keputusan yang telah dipersiapkan sebelumnya dan atau diperuntukkan bagi keputusan yang dinilai akan mempunyai dampak yang luas dalam segala bidang.43
Macam-macam bahsul masail dapat dipetakan dengan mengikuti ragam permusyawaratan organisasi yang meliputi empat tingkatan yakni (1)tingkat pusat/berskala nasional terdiri dari Muktamar, Musyawarah Nasional Alim-ulama, Konfrensi Besar; (2)tingkat wilayah/setingkat propinsi, permusyawaratan (termasuk bahsul masail) dilaksanakan dalam Konfrensi Wilayah; (3)tingkat cabang/kabupaten dan kecamatan bahsul masail dilakukan melalui forum Konfrensi Cabang (untuk tingkatcabang/kabupaten dan kotamadya), dan Konfrensi Majelis Wakil Cabang (untuk tingkat majelis wakil cabang/kecamatan); (4) tingkat desa pembahasan tentang masalah-masalah keagamaan dilaksanakan dalam forum Rapat Anggota.
Muktamar diselenggarakan oleh Pengurus Besar setiap lima tahun sekali dan dihadiri oleh Pengurus Besar, Pengurus Wilayah, Pengurus Cabang di Seluruh Indonesia dan dihadiri juga oleh para alim-ulama serta undangan dari tenaga ahli yang berkompeten. Muktamar NU membahas persoalan-persoalan sosial dan keagamaan (wāqi’iyyah, maudūiyyah, dan qānūniyyah), program pengembangan NU, laporan pertanggungjawaban Pengurus Besar, menetapkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, serta memilih pengurus baru.44
Musyawarah Nasional (Munas) Alim-ulama adalah permusyawaratan yang dihadiri oleh para alim-ulama diselenggarakan oleh Pengurus Besar Syuriah yang dipimpin oleh seorang Ra’is Am sebagai pimpinan tertinggi dalam organisasi NU, sebanyak-banyaknya satu kali dalam satu periode masa khidmah (pengabdian/5 tahun) Pengurus Besar. Pertemuan nasional tersebut diselenggarakan secara khusus untuk membahas masalah keagamaan. Munas Alim-ulama tidak dapat mengubah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, keputusan-keputusan Muktamar, dan tidak dapat memilih pengurus baru.45
Permusyawaratan lain yang setingkat dengan Munas Alim-ulama adalah Konfrensi Besar. Permusyawaratan ini diadakan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (tingkat pusat) atau direkomendasikan oleh sekurang-kurangnya separoh dari jumlah Pengurus Wilayah (tingkat propinsi) yang sah dan merupakan instansi permusyawaratan tertinggi setelah Muktamar. Konfrensi ini dihadiri oleh Pengurus Wilayah untuk membicarakan, mengevaluasi dan monitoring pelaksanakan keputusan Muktamar, mengkaji perkembangan organisasi dan peranannya di masyarakat, serta membahas masalah-masalah sosial dan keagamaan baik yang bersifat wāqi’iyyah (kasuistik), maudūiyyah (tematik), maupun qānūniyyah (peraturan dan perundang-undangan).46
Adapun permusyawaratan yang lain di tingkat wilayah/propinsi, daerah/kabupaten dan kota madya, dan majelis wakil cabang/kecamatan secara berurutan bernama Konferesi Wilayah, Konferensi Cabang, dan Konferensi Majelis Wakil Cabang. Ketiga-tiganya digelar sekali dalam lima tahun, dihadiri oleh pengurus pada tingkat masing-masing dan pengurus satu tingkat di bawahnya, kecuali Konferensi Cabang yang diikuti oleh Pengurus Cabang, pengurus Wakil Cabang, dan Pengurus Ranting. Agenda utama yang dibahas dalam forum ini adalah disamping membahas tentang laporan pertanggungjawaban kerja dari pengurus lama, evaluasi keorganisasian, pemilihan pengurus baru termasuk program kerja dan tugas-tugas terkait, juga membahas masalah-masalah sosial dan keagamaan.47
Selain bentuk permusyawaratan tersebut masih terdapat bentuk permusyawaratan tingkat paling rendah. Permusyawaratan itu bernama Rapat Anggota; diselenggarakan oleh pengurus ranting sekurang-kurangnya setiap lima tahun sekali, untuk membahas laporan pertanggungjawaban pengurus serta membahas masalah-masalah sosial keagamaan.48
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa forum bahsul masail diselenggarakan pada setiap event permusyawaratan dari tingkat Pengurus Besar sampai dengan tingkat Pengurus Ranting di desa-desa. Di luar event tersebut sesungguhnya Lembaga Bahsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) diberikan kelonggaran untuk menyelenggarakan kajian-kajian sosial keagamaaan secara rutin yang waktu, durasi, dan frekuensinya secara teknis dapat ditentukan oleh pengurus lembaga tersebut di bawah koordinasi pengurus NU pada tingkat masing-masing sesuai dengan kebutuhan.
Sebagaimana disebutkan di atas pola kekuatan hasil putusan masalah keagamaan dalam bahsul masail tidak mengikuti pola hirarki vertical tetapi horizontal, sehingga keputusan bahsul masail di tingkat Pengurus Besar sekalipun secara normatif tidak bisa mengikat apalagi membatalkan pada keputusan bahsul masail di tingkat ranting. Masing-masing mempunyai pengaruh secara horizontal di tingkat masing-masing.
Pola seperti inilah yang pada perkembangannya menjadi sebuah budaya yang dapat memberikan ruang kebebasan bagi masyarakat NU untuk memberikan pendapat hukum terkait dengan persoalan yang muncul. Budaya tersebut di satu sisi memang positif karena dapat memunculkan egalitarianitas pendapat hukum karena keputusan hukum tidak harus ditentukan oleh institusi tertentu yang lebih tinggi dan bersifat absolute. Di sisi yang sama juga memunculkan dampak negatif karena kepastian hukum menjadi relatif artinya masyarakat dihadapkan pada alternatif-alternatif pendapat hukum yang beragam, sehingga terkesan sebuah keputusan hukum menjadi sebuah informasi biasa yang tidak punya daya ikat sama sekali. Akibatnya keputusan hukum yang dihasilkan dari forum tertinggi (tingkat muktamar) sekalipun misalnya, menjadi tidak dapat tersisialisasi dan terimplementasi dengan baik ketika ternyata bertentangan atau tidak disetujui oleh keputusan ditingkat paling rendah yakni pengurus ranting (para kyai “ndeso”) yang sesungguhnya merekalah yang berurusan langsung dengan masyarakat NU di bawah.
  1. Contoh Bahtsul Masail NU49

Sebagaimana halnya yang terdapat dalam buku pokok penulis tentang hukum zakat yang ditasharufkan pada masjid dalam bahtsul masa’il NU Wilayah Jawa Timur, disana diterangkan secara tegas bahwa sebuah masjid tidak termasuk dari delapan golongan penerima (mustahik) zakat, maka tidak diperbolehkan bagi amil zakat untuk menasharufkannya atau mengalokasikan zakat kepada masjid dengan alasan apapun.
Berikut kutipan dari buku hasil keputusan bahtsul masa’il Nahdlatul Ulama wilayah jawa timur jilid pertama: 1 dari 111 keputusan Bahtsul Masail NU wilayah Jawa Timur.
Masalah; Bagaimana hukumnya zakat yang ditasyarufkan kepada masjid madrasah panti asuhan yayasan-yayasan sosial, keagamaan dan lain-lain.Sebagaimana yang telah berlaku di masyarakat umum?
Jawab ; Memberikan zakat kepada masjid, madrasah, panti asuhan, yayasan-yayasan sosial, keagamaan dan lain-lain tidak boleh, akan tetapi ada pendapat : Imam Qafal menukil dari sebagian ahli fiqh, zakat boleh ditasyarufkan kepada sektor-sektor tersebut diatas, atas nama sabilillah.
Dasar pengambilan ;
  • Bughyatu Al mustarsyiddin. Hal. 106
  • Tafsir Munir. Jilid I hal. 344.

BAB III

PENUTUP

  1. Kesimpulan
Perjalanan Nahdlatul Ulama’ sepanjang 72 tahun lebih, berawal dari sebuah kelompok kajian pencerahan Taswirul Afkar (1914), kemudian berkembang menjadi Nahdlatut Tujjar (1916), Syubbanul Wathan (1918), Nahdlatul Wathan (1924), dan akhirnya menjadi Nahdlatul Ulama (1926).
NU menganut faham Ahlussunah Wal Jamaah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengan antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Al-Qur’an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik.
Bahtsul Masail Diniyah adalah satu forum diskusi keagamaan dalam organisasi NU untuk merespon dan memberikan solusi atas problematika actual yang muncul dalam kehidupan masyarakat.
Dalam lembaga bathsul masa’il NU, istilah istinbath hukum tidak banyak dikenal. Bagi ulama NU hal ini lebih dikonotasikan pada istikhraj alhukmmin al-nushush (mengeluarkan hukum dari nash-nash primer, al-Qur’an dan sunah) yang dilakukan oleh mujtahid mutlak, yang menurut ulama NU sangat berat untuk dilakukan.untuk itu sebagai gantinya adalah istilah ittifaqhukum .








DAFTAR PUSTAKA

Khalimi dan Nur Cahyani. 2008. Ormas-Ormas Islam (Sejarah, Akar Teologi dan Politik). Gaung persada press: Jakarta
Sitompul, Einar Martahan. 2010. NU dan Pancasila. Pustaka Sinar Harapan: Jakarta
Yahya, Imam. 2009. Dinamika Ijtihad NU. Semarang: Walisongo Press
Zahrah, Muhammad Abu. 1994 Ushul al-Fiqh. Jakarta: PT Pustaka Firdaus
Hanafie, A. 1993. Usul Fiqh. Jakarta: Widjaya
Mahfudh, Sahal. 1994. Nuansa Fiqih Sosial. Yokyakarta: LKIS
Nasuha, A. Chozin. 2002. ‘Bahtsul Masa’il Fiqhiyah NU antara Idea dan Fakta’ dalam Imdadun Rahmat (eds.), Kritik Nalar Fiqih NU: Transformasi Paradigma Bathsul Masa’il. Jakarta: Lakpesdam
Nahdlatul Ulama Wilayah Jawa Timur Dalam Jilid I mulai tahun 1979 – 1986 Masehi. Surabaya: Pengurus Wilaya


1 Khalimi dan Nur Cahyani. Ormas-ormas Islam (sejarah, akar teologi dan politik). (Gaung persada press: Jakarta 2008), hal :330-331
2 Khalimi dan Nur Cahyani. Ormas-ormas Islam (sejarah, akar teologi dan politik). (Gaung persada press: Jakarta). Hal:330-331
3Khalimi dan Nur Cahyani. Ormas-ormas Islam,hal: 331-332
4 Einar Martahan Sitompul. NU dan Pancasila. (Pustaka sinar harapan: Jakarta,2010) Hlm: 68-70
5Einar Martahan. NU dan Pancasila. hal: 71
6Einar Martahan. NU dan Pancasila. hal: 71-72
7Einar Martahan. NU dan Pancasila.hal: 73
8Imam Yahya.Dinamika Ijtihad NU (Semarang: Walisongo Press cet. I, 2009), hal. 47

9Muhammad Abu Zahrah. Ushul al-Fiqh Penerj. Saefullah Ma’shum, “Ushul Fiqh” (Jakarta: PT Pustaka Firdaus) cet. II, 1994. hal. 56
10A. Hanafie. Usul Fiqh(Jakarta: Widjaya cet. XII, 1993), hal. 129.

11A. Hanafie. Usul Fiqh.hal. 130
12 Imam Yahya, Dinamika Ijtihad NU,( Semarang:Walisongo Press, 2009). Hal 39
13 Imam Yahya, Ijtihad NU,hal 40
14Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial ( Yokyakarta: LKIS, 1994), hal 56
15 Imam AZ dan Nasikh, "Liputan: Dari halaqah Denanyar", Santri, No. 3, Th. I
16 Penggunaan istilah "Kongres" (saat itu ditulis "Congres") adalah mulai tahun 1926 (yang ke-1) hingga tahun 1940 (yang ke-15), sedang istilah "Muktamar" (saat itu ditulis "Moe'tamar) mulai digunakan pada tahun 1946 (yang ke-16, atau yang ke-1 sejak Indonesia merdeka, setelah mengalami kevakuman selama lima tahun). Sekarang istilah "Muktamar" yang lazim dipakai dikalangan NU untuk menggantikan istilah Kongres. Lihat hasil penelitian Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU…, hlm. 69.
17 Pelacakan kami hanya sampai dengan tahun 2004 karena data yang telah dapat diakses dan terbukukan baru sampai dengan tahun tersebut.
18 Mata rantai dalam transfer ajaran tersebut dikenal dengan sebutan sanad; sebuah istilah yang diadopsi dari istilah mata rantai dalam periwayatan hadis yang dikaji dalam ilmu dirāyah al-hadis. Lihat Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Usūl al-Hadīś ‘Ulūmuh wa Mustalahuh, Cet. Baru (Beirut: Dar al-Fikr, 2006), hlm. 200.
19 Ibid., hlm. 364. mujtahid mutlak atau mujtahid mustaqil adalah mujtahid peringkat pertama yang mempunyai kompetensi untuk menggali hukum secara langsung dari al-Qur’an dan assunnah, melakukan qiyās, istihsān, al-maslahah, dan metode penggalian hukum yang lain yang dianggap tepat. Lihat Muhammad Abu Zahrah, Usūl al-Fiqh (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1985), hlm. 309.
20 Ahmad Arifi, "Pergulatan Pemikiran Fiqih dalam Nahdlatul Ulama (Analisis Paradigma atas Nalar Fiqh Tradisi", Disertasi, (Yagyakarta: PPs UIN Yogyakarta, 2007), hlm. 156.
21 Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur (Yogyakarta: LKiS, 2000), hlm. 153.
22 Nama lengkapnya Abu al-Hasan Ibn Isma’il al-Asy’ari lahir di Basrah 873 M, wafat di Bagdad 935 M. Pada mulanya ia adalah murid al-Juba’i dan salah seorang tokoh  terkemuka dalam golongan Mu’tazilah sehingga. Menurut al-Husain Ibn Muhammad al-Asykari, al-Juba’i berani mempercayakan perdebatan dengan lawan kepadanya. Lihat Harun Nasution,  Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa dan Perbandingan  (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), hlm. 65.
23 Nama lengkapnya adalah Abu Mansur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-Maturidi, lahir di Samarkand pada pertengahan ke-2 dari abad  ke-9 M. dan meninggal pada tahun 944 M. Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan paham teologinya banyak persamaannya dengan paham yang dimajukan oleh Abu Hanifah. Sistem pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Mansur termasuk dalam golongan teologi ahlis sunnah dan dikenal dengan nama al-Matūridiah. Lihat Harun Nasution,  Teologi Islam, hlm. 72.
24 Nama aslinya adalah  Annu’man  ibn Sabit ibn Zauti, lahir di Kufah tahun 80 H.
25 Nama aslinya adalah  Malik ibn Anas ibn Abi ‘Amir, lahir di Madinah tahun 93 H.
26 Nama aslinya adalah Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Idris ibn al-‘Abbas ibn ‘Usman ibn Syafi’ al-Syafi’I al-Mutallibi (keturunan dari al-Mutallib ibn Abdi Manaf, lahir di Guzah pada tahun 150 H.
27 Nama aslinya adalah Amad ibn Hanbal ibn Hilal al-zihli al-Syaibani al-Maruzi al-Bagdadi, lahir tahun 163 H. dan wafat tahun 241 H.
28 Nama aslinya adalah Junaid ibn Muhammad Abu al-Qasim al-Khazzaz al-Baghdadi (830-910 AD).
29 Nama aslinya adalah Abu Hamid al-Ghazāli Muhammad ibn Muhammad al-Ghazāli al-Thūsi, dia berkebangsaan Persia asli, lahir pada tahun 450H./1058M. di Thus (dekat Meshed) sebuah kota. kecil di Khurisan (sekarang Iran), di sini pula A1-Ghazali wafat di Nazran tahun 505H./1111 M. Tentang biografinya, dapat dilihat antara lain: Sulaiman Dunya, Al-Haqiqah Fi Nazhr al-Ghazâli, cet. III (Mesir Dar al-Ma’arif, 1971). Juga Abd. Kadri Utsrnan, Sirah Al-Ghazâli ( Demaskus: Dar al-Fikr, t.t.)
30 Abdurrahman Wahid, Prisma…, hlm. 154.
31 KH. M. Hasyim Asy’ari, Risalah Ahl Assunnah wa al-Jamā’ah: fi Hadīs al-Mauta wa Asyrāt as-Sā’ah wa Bayān Mafhū as-Sunnah wa al-Bid’ah (Jombang: Maktabah at-Turas al-Islami bi Ma’had Terbuireng, 1418 H), hlm. 23.
32 Abdurrahman Wahid, Prisma …,hlm. 153
33 bid,  hlm. 154.
34 Ibid, hlm. 155
35 Abdurrahman Wahid, Prisma …, hlm. 365.
36 im PW LTN NU Jatim (penyunting), Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926 – 2004 M.), Cet. III (Surabaya: LTN NU Jawa Timur – Khalista, 2007), hlm. 446-449.
37 Ibid.
38 Ibid.
39 Ibid.
40 Keputusan Muktamar 31 Nahdlatul Ulama tahun 2004 di Asrama Haji Donohudan, Boyolali, Jawa Tengah. (Disalin kembali oleh Wago). Kamis, 24 Agustus 2006 20:46, diakses dari www.gp-ansor.org/.../sistem-pengambilan-hukum-islam-dalam-bahtsul-masail.html.
41 Keputusan Muktamar 31 Nahdlatul Ulama tahun 2004 di Asrama Haji Donohudan, Boyolali, Jawa Tengah. (Disalin kembali oleh Wago). Kamis, 24 Agustus 2006 20:46, diakses dari www.gp-ansor.org/.../sistem-pengambilan-hukum-islam-dalam-bahtsul-masail.html.
42 Ibid.
43 Ibid.
44 Aceng Abdul Azis Dy. dkk., Islam Ahlussunnah Waljama’ah di Indonesia: Sejarah, Pemikiran, dan Dinamika Nahdlatul Ulama, Cet. II (Jakarta: Pustaka Ma’arif  NU, 2007), hlm. 134.
45 Aceng Abdul Azis Dy. dkk., Islam Ahlussunnah Waljama’ah di Indonesia: Sejarah, Pemikiran, dan Dinamika Nahdlatul Ulama, Cet. II (Jakarta: Pustaka Ma’arif  NU, 2007), hlm. 134.
46 Konfrensi Besar dikatakan setingkat dengan Munas Alim-ulama karena Konfrensi Besar jugs tidak memiliki kompetensi untuk mengubah AD/ART dan tidak dapat mengadakan pemilihan pengurus baru. Lihat Ibid, hlm 135.
47 Ibid, hlm 136
48 Ibid
49Dalam Jilid I mulai tahun 1979 – 1986 Masehi, lihat Hasil Keputusan Bahtsul Masa’il
Nahdlatul Ulama Wilayah Jawa Timur,( Surabaya: Pengurus Wilayah NU Jatim, 2002), hal: 42-43.
Share:

No comments:

Post a Comment

Search This Blog