BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Di
Indonesia, pelaksanaan hukum Islam diwakili oleh beberapa institusi.
Majlis Ulama Indonesia (MUI) lebih dikenal oleh masyarakat sebagai
lembaga yang berusaha menyelesaikan banyak permasalahan agama dengan
mengeluarkan fatwa. Disamping itu, ormas-ormas Islam seperti
Nahdhatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), dan
yang lainnya memiliki institusi yang bertugas untuk mendalami dan
merekomendasikan pendapat (bahkan sikap) organisasi terhadap
persoalan (hukum) yang terjadi di masyarakat.
Nahdlatul
Ulama merupakan organisasi jami’iyyah diniyah yang didirikan pada
tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya oleh sekelompok ulama’ yang
merupakan kepentingan Islam tradisional, terutama sistem kehidupan
pesantren. Dimana wilayah ajaran dan praktik Islam tradisional telah
tergeser akibat pesatnya perkembangan modernisme Islam saat itu.
Rumusan Masalah
Dari
latar belakang di atas maka rumusan masalah yang akan menjadi
pembahasan adalah:
- Bagaimana Sejarah Nahdhatul Ulama?
- Bagaimana Faham keagamaan apa yang diikuti oleh Ormas NU?
- Bagaimana pendukung organisasi NU ?
- Bagaimanausaha organisasi NU ?
- Bagaimana struktur organisasi dalam NU ?
- Bagaimana teologi kaum nahdliyin ?
- Bagaimana metode istinbath hukum NU ?
- Bagaimana Lajnah bahtsul Masail (Forum Pembahasan Masalah) ?
- Bagaimana istinbath hukum Bahsul Masa’il NU ?
- Bagaimana contoh Bahsul Masa’il NU ?
Tujuan
Dari Rumusan masalah
di atas maka tujuan dari pembuatan makalah ini adalah?
- Untuk mengetahui Sejarah Nahdhatul Ulama
- Untuk mengetahui Faham keagamaan apa yang diikuti oleh Ormas NU
- Untuk mengetahui pendukung organisasi NU
- Untuk mengetahui usaha organisasi NU
- Untuk mengetahui struktur organisasi dalam NU
- Untuk mengetahui teologi kaum nahdliyin
- Untuk mengetahui metode istinbath hukum NU
- Untuk mengetahui Lajnah bahtsul Masail (Forum Pembahasan Masalah)
- Untuk mengetahui istinbath hukum Bahsul Masa’il NU
- Untuk mengetahui contoh Bahsul Masa’il NU
BAB II
PEMBAHASAN
Sejarah Nahdlatul Ulama’ (NU)
Perjalanan
Nahdlatul Ulama’ sepanjang 72 tahun lebih, berawal dari sebuah
kelompok kajian pencerahan Taswirul
Afkar
(1914), kemudian berkembang menjadi Nahdlatut
Tujjar
(1916), Syubbanul
Wathan
(1918), Nahdlatul
Wathan
(1924), dan akhirnya menjadi Nahdlatul
Ulama
(1926). Dalam usianya yang 80 tahun, jati diri Nahdhatul Ulama
hakekatnya tidak pernah berubah atau memudar, yakni mengembangkan
mainstream ke-Indonesiaan yang dijiwai semangat keislaman secara
inklusif dan kultural.
Suatu
waktu Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni madzab
Wahhabi di Makkah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan
sejarah Islam maupun pra Islam, yang selama ini banyak diziarahi
karena dianggap bid’ah. Gagasan kaum Wahhabi tersebut mendapat
sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan
Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan maupun PSII di bawah
pimpinan HOS Tjokroaminoto. Sebaliknya,
kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak
pembatasan bermadzab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.
Dengan
sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota
Kongres Al-Islam di Yogyakarta pada tahun 1925. Akibatnya kalangan
pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar
‘Alam Islami
(Kongres Islam Internasional) di Makkah yang akan mengesahkan
keputusan tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa KH. Hasyim Asy’ari,
KH. Wahhab Hasbullah dan sesepuh NU lainya melakukan walk
out.1
Didorong
oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermadzab serta
peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan
pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite
Hijaz, yang diketuai oleh KH. Wahhab Hasbullah.
Atas
desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hijaz, dan
tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu
Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di Makkah bebas
dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzab mereka masing-masing. Itulah
peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil
memperjuangkan kebebasan bermadzab dan berhasil menyelamatkan
peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat berharga.
Berangkat
dari Komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad
hoc, maka
setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih
mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan
zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya
muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul
Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (13 Januari 1926).
Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy’ari sebagai Rais
Akbar.
Untuk
menegaskan prinsip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy’ari
merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga
merumuskan kitab I’tiqad Ahlussunah Wal Jama’ah. Kedua kitab
tersebut kemudian diejawantahkan dalam
KhittahNU,
yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan
bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.2
Faham Keagamaan NU
NU
menganut faham Ahlussunah Wal Jamaah, sebuah pola pikir yang
mengambil jalan tengan antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum
ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU
tidak hanya Al-Qur’an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan
akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berfikir semacam itu
dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu
Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang Fiqih
mengikuti empat madzab: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.
Sementara dalam bidang Tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan
Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan
syari’at.3
Kesetiaan
pada tradisi ditegaskan oleh NU dengan menyatakan dirinya tergolong
pada Ahlussunah
Wal Jama’ahyang
berarti penganut tradisi (kebiasaan) Nabi Muhammad sebagaimana yang
dilakukan oleh mayoritas umat Islam. Bisa ditegaskan bahwa NU lebih
mengutamakan tradisi daripada pertimbangan rasional dalam
memberlakukan Islam di seluruh lapangan kehidupan. Ahmad Shiddiq
menjabarkan “Ajaran Islam yang murni sebagaimana diajarkan dan
diamalkan oleh Rasulullah SAW bersama para sahabatnya.” Dalam
pendidikan di madrasah NU, ahlussunah
wal jama’ah, dirumuskan:
Pengikut ajaran
Islam, yang berlandaskan pada: (1) Al-Qur’anul karim; (2) Sunnah
(perkataan, perbuatan dan taqrir) Nabi Muhammad SAW sebagaimana telah
dilakukan bersama para sahabatnya; (3) Sunnah Khulafaurrasyidin: Abu
Bakar, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Bagi
NU memberlakukan ajaran Islam menurut aliran
Ahlussunah Wal Jama’ahtidak
terlepas dari pengakuan terhadap ajaran keempat madzab Islam (Hanafi,
Maliki, Syafi’i dan Hambali) dan peranan bimbingan para ulama. Hal
ini ditegaskan oleh Hasyim Asy’ari perumus pengertian ahlussunah
wal jama’ah, seperti
yang dirumuskanya dalam Muktamar III (1928) yang kemudian menjadi
Muqaddimah Qanun Asasi Nahdlatul Ulama(Pembukaan
Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama) yang berbunyi:
Hai para ulama
dan pemimpin yang takut kepada Allah dari kalangan Ahlussunah Wal
Jamaah dan pengikut Madzab imam empat! Kalian sudah menuntut ilmu
agama dari orang-orang yang hidup sebelum kalian, begitu pula
generasi sebelumnya dengan bersambung sanadnya sampai pada kalian,
dan kalian harus melihat dari siapa kalian mencari dan menuntut ilmu
agama Islam.
Berhubung dengan
caranya menuntut ilmu pengetahuan sedemikian itu, maka kalian menjadi
pemegang kuncinya, bahkan menjadi pintu-pintu gerbangnya ilmu agama
Islam. Oleh karena itu janganlah memasuki suatu rumah kecuali melalui
pintunya. Siapa saja yang memasuki suatu rumah tidak melalui pintunya
maka pencueilah namanya.
Pengertian
Ahlussunah Wal Jama’ah menjadi
berkembang, ia merupakan penegasan kaum tradisional menanggapi
gerakan pembaharuan bahwa memahami Islam tidak cukup hanya
berlandaskan Qur’an dan Hadist tapi harus melalui jenjang tertentu,
yaitu ulama, madzab, Hadits (Sunnah) dan akhirnya pada sumber yang
utama Al-Qur’an itu sendiri. Itulah sebabnya pengertian Ahlussunah
Wal Jama’ah bagi NU adalah “para pengikut tradisi Nabi Muhammad
dan ijma’ ulama.”
NU
tidak menentang ijtihad (penalaran) tapi memikirkanya dalam konteks
sebagaimana suatu ijtihad dimengerti oleh umat. Dengan demikian NU
telah mengembangkan sebuah metodologi tersendiri dalam mengembangkan
ajaran Islam. Dalam pengakuannya terhadap keberadaan madzab dan
tradisi (kebiasaan-kebiasaan sebelumnya), NU tidak akan mudah jatuh
kepada sikap
Fundamentalis
karena ia mempunyai banyak rujukan untuk untuk memberikan fatwannya.
Dengan
menerima keempat madzab NU menjadi golongan yang berpengaruh luas, ia
mampu menghimpun berbagai tradisi dan sekaligus potensi.4
Basis Pendukung Organisasi Nahdlatul Ulama
Jumlah warga NU yang
merupakan basis pendukungnya diperkirakan mencapai lebih dari 80 juta
orang, yang mayoritas di pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatra
dengan beragam profesi, yang sebagian besar dari mereka adalah rakyat
jelata, baik di kota maupun di desa. Mereka memiliki kohesifitas yang
tinggi karena secara sosial ekonomi memiliki problem yang sama,
selain itu mereka juga sangat menjiwai ikatan cukup kuat dengan dunia
pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.
Basis
pendukung NU ini mengalami pergeseran, sejalan dengan pembangunan dan
perkembangan industrialisasi, maka penduduk NU di desa banyak yang
bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Maka kalau selama ini
basis NU lebih kuat di sektor petani di pedesaan, maka saat di sektor
buruh di perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan
terbukannya sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU juga
semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi
selama ini.
Usaha Organisasi Nahdhatul Ulama
Usaha-usaha
yang dilakukan organisasi masyarakat Nahdlatul Ulama adalah sebagai
berikut:
- Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
- Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.
- Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
- Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.
- Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
Adapun
tujuan dari pada ORMAS NU sendiri adalah “menegakkan ajaran Islam
menurut faham Ahlussunah
Wal Jama’ahdi
tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.5
Struktur Organisasi dalam NU
Adapun
struktur organisasi dalam NU adalah:
- Pengurus Besar (tingkat pusat)
- Pengurus Wilayah (tingkat Propinsi)
- Pengurus Cabang (tingkat Kabupaten/Kota) atau pengurus Cabang istimewa untuk kepengurusan di luar Negeri
- Pengurus Majelis Wakil Cabang / MWC (tingkat Kecamatan)
- Pengurus Ranting (tingkat Desa / Kelurahan)
Untuk Pusat,
Wilayah, Cabang, dan Majelis Wakil Cabang, setiap kepengurusan
terdiri dari:
- Mustasyar (Penasehat)
- Syuriyah (Pimpinan Tertinggi)
- Tanfidziyah (Pelaksana Harian)
Untuk Ranting
kepengurusan terdiri dari:
- Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
- Tanfidziyah (Pelaksana harian)
Jaringan organisasi
hingga akhir 2000, jaringan organisasi Nahdlatul Ulama meliputi 31
Wilayah, 339 Cabang, 12 Cabang Istimewa, 2.630 Majelis Wakil Cabang /
MWC 37.125 Ranting.6
Teologi Kaum Nahdliyin
Faham
teologi NU adalah terwakili oleh faham teologi yang dikembangkan oleh
Imam Al-Asy’ari dan karenanya termasuk faham teologi tradisional,
yang mengambil posisi antara ekstrim rasionalis yang menggunakan
metafor dan golongan ekstrim tekstualis yang leterlek. Ia
mengambil posisi di antara aliran Muktazilah dan Jabariyah, tetapi
“benang merah” sebagai jalan tengah yang diambilnya tidak begitu
jelas. Suatu kali ia memihak Muktazilah, lain kali cenderung ke
Jabariyah, dan suatu kali mengambil kedua pendapat dari kedua aliran
yang bertentangan itu lalu mengkompromikanya menjadi satu.
Kitab
teologi faham Asy’ari yang dijadikan pegangan Nahdlotul Ulama
antara lain:
- Maqalah Islamiyah Wakhtilafu al-Musholliyin oleh Imam Abu Hasan al-Asy’ari.
- Al-Farqu bainal Firaq oleh Abdul Qohir bin Thohir bin Muhammad al-Baghdadi.
- I’tiqod Ahlus Sunnah wal Jama’ah oleh KH.Sirojuddin Abbas.
- Jauharut Tauhid oleh Ibrahim al-Baqoni dan Ibrahim al-Bajuri.
- Matan Sanusi oleh Syeikh Ibrahim al-Bajuri.
- Sulamut Taufiq oleh Abdul Amir Hakim.
- Buku 40 Maslaah Agama oleh KH.Sirojuddin Abbas.
Nahdlotul Ulama
berteologi menganut faham
Ahlus Sunnah wal Jamaah
(ASWAJA) yang masih memerlukan penyempurnaan, sebab pengertian Aswaja
selama ini masih dibatasi pada madzab-madzab tertentu.
Pemikiran
NU dalam hal tauhid adalah bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat.
Untuk itu, NU membawakan argument rasio dan nash. Yang tidak dapat
dilihat, kata NU, hanyalah yang tak punya wujud. Setiap wujud mesti
dapat dilihat, Tuhan berwujud, dan oleh karena itu dapat dilihat.7
Metode Istinbath NU
Di
kalangan NU, istinbath hukum diartikan bukan mengambil hukum secara
langsung dari sumber hukum yang asli yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah,
tetapi dilakukan dengan mentabiqkan secara dinamis nas-nas yang telah
dielaborasi fuqoha’ kepada persoalan (waqi’iyyah) yang dicari
hukumnya.Istinbathhukum langsung dari sumber primer yang cenderung
kepada pengertian ijtihad mutlak, bagi ulama NU masih sangat sulit
dilakukan karena keterbatasan-keterbatasan yang memang disadari,
terutama dalam ilmu-ilmu penunjang dan perlengkapanyang harus
dikuasai oleh seorang mujtahid. 8
Sementara
ijtihad dalam batasan mazhab di samping lebih praktis juga dapat
dilakukan oleh semua ulama NU yang telah mampu memahami ibarat
kitab-kitab fikih yang sesuai dengan terminologinya yang baku.Secara
definitif, NU memberikan arti istinbathhukum dengan upaya
mengeluarkan hukum syara’ dengan al-qawaid al-fiqhiyyah dan
al-qawaid al-ushuliyyah baik berupa adillah ijmaliyyah (dalil-dalil
yang umum), adillah tafshiliyyah (dalil-dalil yang rinci) maupun
adillah ahkam. Dengan
demikian, produk hukum yang dihasilkan PBNU merupakan hasil ijtihad
ulama atas nas-nas Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sesuai dengan
prinsip-prinsip mujtahid tempo dulu.
Dalam
buku Ushul Fiqihkarangan Prof. Muhammad Abu Zahrah, disebutkan bahwa
paling tidak ada enam kriteria untuk bisa menjadi seorang mujtahid.
- Menguasai bahasa Arab
Imam Ghazali
mensyaratkan seorang mujtahid harus mampu memahami ucapan orang Arab
dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam pemakaian bahasa Arab di
kalangan mereka. Sehingga ia bisa membedakan antara ucapan yang
sharih, dhohir, dan mujmal, hakikatdan majaz, yang umum dan khusus,
muhkam dan mutasyabih, muthlaq dan muqayyad. Kriteria yang menjadi
persyaratan seperti itu tidakdapat dipenuhi kecuali oleh seseorang
yang tingkat kemampuan berbahasa Arabnya sudah sampai pada derajat
ijtihad.9
- Mengetahui nasakh dan mansukh dalam Al-Qur’an
Syarat ini telah
ditentukan oleh Imam Syafi’i dalam kitab Ar-Risalah. Para ulama
berpendapat bahwa seorang mujtahid harus mengerti secara mendalam
ayat-ayat yang membahas tentang hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an
yang jumlahnya kira-kira ada 500 ayat.Dalam ayat-ayat itu terdapat
ayat yang khash dan’am,terkandung asbabun nuzul,dan sebagainya
termasuk nasikhdan mansuk.
- Mengerti hadits
Mengerti dan
memahami hadits adalah hal yang wajib dipenuhi oleh seorang mujtahid,
terutama hadits-hadits yang berhubungan dengan hukum dan harus
memahami ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya, seperti mukhtalif hadits
(pertentangan hadits), sebab-sebab wurud (terjadinya) hadits dan
sebagainya.Ilmu-ilmu seperti ini harus bisa dipahami karena terkadang
ada beberapa hadits antara yang satu dengan yang lain terlihat saling
bertentangan, baik itu bisa dikompromikan maupun yang tidak bisa
dikompromikan.
- Mengerti letak ijma’ dan khilaf
Seorang mujtahid
harus mengerti masalah-masalah yang menjadi kesepakatan para ulama
(ijma’) dan yang menjadi perbedaan di kalangan ulama (khilaf).
- Mengetahui qiyas
Keharusan seorang
mujtahid untuk dapat memahami tentang qiyas dikarenakan
peristiwa-peristiwa hukum yang tidak disebutkan dalam nas (Al-Qur’an
dan Hadits) kadang terdapat persamaan illat dengan peristiwa yang
terdapat dalam nas itu. Qiyasmemiliki empat rukun yang harus
dipenuhi, diantaranya:
- Al-Ashl yaitu sesuatu yang hukumnya terdapat dalam nas.
- Al-Far’uyaitu sesuatu yang hukumnya tidak terdapat di dalam nas.
- Hukmul ashl yaitu hukum syara’ yang terdapat nasnya menurut ashl, dan dipakai sebagai hukum asal bagi cabang (far’u).
- Illatyaitu keadaan tertentu yang dipakai sebagai dasarbagi hukum ashl, kemudian far’uitu disamakan kepada ashl dalam hal hukumnya.Dalam pengertian lain diartikan sebagai sebab yangmenggabungkan pokok (ashl) dengan cabangnya (far’u).10
- Mengetahui maksud-maksud hukum
Maksud-maksud hukum
atau sering dikenal dengan istilah maqashidus syari’ah ini secara
garis besar terdiri atas tiga tingkatan,yakni dharuriyat(pasti),
hajjiyat (kebutuhan), dan tahsinat (pelengkap).
Alasan
lain mengapa NU terkesan sangat berhati-hatidan tidak mau memecahkan
persoalan keagamaan yang dihadapi dengan merujuk langsung kepada nas
Al-Qur’an maupun As-Sunnah adalah adanya pandangan bahwa mata
rantai perpindahan ilmu agama Islam tidak boleh terputus dari suatu
generasi ke generasi berikutnya. Sehingga, yang perlu dilakukan
adalah menelusuri mata rantai yang baik dan sah pada setiap
generasi.Pengambilan qaul (pendapat imam mazhab) ataupun wajah
(pendapat pengikut mazhab), yang kemudian disebut metode qauly,
merupakan metode utama yang digunakan dalam menyelesaikan masalah
keagamaan, terutama yang menyangkut hukum fikih, dengan merujuk
langsung pada teks kitab-kitab imam mazhabataupun kitab-kitab yang
disusun para pengikut mazhabempat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan
Hanbali), walaupun dalam prakteknya didominasi olehkitab-kitab
Syafi’iyyah.
Meski
demikian, bukan berarti bahwa NU tidak menghendaki ijtihad, tetapi
yang dikehendaki hanyalah ijtihad yang dilakukan oleh orang-orang
yang memenuhi persyaratan sebagai mujtahid. Sedangkan orang-orang
yang memiliki ilmu agama mendalam tetapi tidak memenuhi persyaratan
mujtahid, lebih baik taqlid (mengikuti) kepada ulama yang memiliki
kemampuan berijtihad karena telah memenuhipersyaratannya. Bagi NU,
taqlid tidak hanya berarti mengikuti pendapat orang lain tanpa
mengetahui dalilnya, melainkan juga mengikuti jalanpikiran imam
mazhab dalam menggali hukum.11
Pengertian Lajnah bahtsul Masail (Forum Pembahasan Masalah)
Bahtsul
Masail Diniyah adalah
satu forum diskusi keagamaan dalam organisasi NU untuk merespon dan
memberikan solusi atas problematika actual yang muncul dalam
kehidupan masyarakat.
Bagi
masyarakat nahdiyyin, Bahtsul
Masail
tidak saja dikenal sebagai forum yang sarat dengan muatan kitab-kitab
salaf klasik, tetapi juga merupakan sebuah lembaga di bawah NU yang
menjadi candra muka. Karena dengan Bahtsul
Masail,
fatwa-fatwa hokum yang dihasilkan akan tersosialisasikan ke berbagai
daerah di Indonesia. 12
Dari
segi histori maupun operasional, Bahtsul
Masail Diniyah NU
merupakan forum yang sangat Dinamis,
Demokratis, berwawasan Luas.
Maksudnya
Dinamis
adalah persoalannya yang digaarap selalu mengikuti perkembangan hokum
di masyarakat.Demokratis
adalah
karena dalam forum tersebut tidak ada perbedaan antara kyai, santri
baik yang tua maupun yang muda, karena pendapat siapapun yang paling
itulah yang diambil.Dikatan Berwawasan
Luas karena
dalam bahtsul masail tidak ada dominasi mazhaab dan selalu sepakat
dalam khilaf.Salah satu contoh untuk menunjukkan fenomena “sepakat
dalam khilaf” ini adalah mengenai status hokum dalam bunga bank
dalam memutuskan masalah ini tidak pernah ada kesepakatan ada yang
mengatakan halal, haram, subhat.Ini terjadi sampai Muktamar NU tahun
1971 di Surabaya.Muktamar tersebut tidak mengambil sikap.
Keputusannya masih tiga pendapat: halal, haram, Subhat.
Bahtsul
Masail atau
lembaga Bahtsul
Masail Diniyah
(Lembaga Masalah-Masalah Keagamaan ) di lingkungan NU adalah sebuah
lembaga yang memberikan fatwa-fatwa hokum keagamaan kepada umat
Islam. Hal ini menuntut Bahtsul
Masail untuk
mampu membumikan nilai-nilai Islam sekaligus mengakomodir berbagai
pemikiran yang relevan dengan kemajuan zaman dan lingkungan
sekitarnya.
Sebuah
lembaga fatwa, BahstulMasail
menyadari
bahwa tidak seluruh peraturan-peraturan syari’at Islam data
diketahui secara langsung dari Nash Al-Qur’an, melainkan banyak
aturan-aturan syari’at yang membutuhkan daya nalar yang kritis
melalui istimbath hokum.Tidak sedikit ayat-ayat yang memberikan
peluang untuk melakukan istimbath hokum baik dilihat dari kajian
kebahasaan maupun esensi makna yang dikandungnya.
Keterlibatan
ulama-ulama NU dalam lembaga ini sangatlah signifikan mengingat tugas
berat yangn harus diselesaikan. Dengan latar belakang ilmu-ilmu
social keagamaan yang diperoleh dipesantren, ulama NU membahas
persoalan-persoalan kontemporer dari persoalan Ibadah
Maghdoh
hingga persoalan politik, ekonomi, social dan budaya serta hal-hal
yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Para Ulama memberikan
Alternatif jawaban yang terbaik sebagai rasa tanggung jawab yang
terbaik sebagai rasa tanggung jawab social keberagamaan.
Praktek
Bahtsul
Masail telah
berlangsung sejak NU didirikan yakni 13 Rabi’ul tsani 1345 H/21
Oktober 1926 M .waktu itu dilakukan Bahtsul
Masail yang
pertama kali. Untuk itu untuk melihat setting
history Bahtsul Masail harus
mengetahui proses sejarah NU didirikan.13
Adapun
LBM secara secara institusional baru berdiri pada Muktamar XXVIII di
Yogyakarta1989 .ketika itu komisi I (Bahtsul
Masail)
merekomendasikan kepada pengurus besar NU untuk membentuk
Lajnah Bahsul Masail ad-Diniyah
(lembaga kajian masalah-masalah agama) sebagai lembaga permanent yang
khusus menangani persoalan-persoalan keagamaan. Rekomendasi itu
kemudian didukung oleh forum Halaqah
pada tanggal 26-28 januari 1990 bertempat di PP. Mamba’ul Ma’arif,
Jombang, Jawa Timur yang merekomendasikan lembaga tersebut dengan
harapan dapat menghimpun para ulama dan intelektual NU untuk
melakukan ikhtiyar Jam’I
Istimbath.kemudian
pada tahun 1990 M terbentuklah sebuah institusi yang bernama Lajnah
Bahtsul Masail Ad-Diniyah
tersebut berdasarkan Surat Keputusan PBNU Nomor 30/A.I. 05/5/1990 M.
institusi tersebut bertugas mengkoordinasikan kegiatan kajian-kajian
seputar masalah-masalah keagamaan yang bersifat fiqh.
Sedangkan
topic khusus yang dikaji dalam LBM NU adalah Masail Diniyah, Masail
Diniyah LBM NU mempunyai tiga komisi:
- Masail Diniyah Waqi’iyah: permasalahan kekinian yang menyangkut hokum suatu peristiwa. Misalnya, bagaimana hokum orang Islam mendirikan gereja?
- Masail Diniyah Maudhu’iyyah: permasalahan yang menyangkut pemikiran. Fikrah Nadhiyah Globalisasi.
- penyingkapan terhadap rencana undang-undang (RUU) pemerintah. Komisi ini bertugas sebagai bahan masukan dan koreksi dalam RUU.
Metode Istimbath Hukum Bahtsul Masail NU
Kata
istinbath berasal dari kata “istanbatha”
yang berarti “menemukan”, “menetapkan atau mengeluarkan dari
sumbernya.”Sedangkan secara istilah adalah “mengeluarkan
hukum-hukum fiqih dari al-Qur’an dan sunah melalui kerangka teori
yang dipakai oleh ulama ushul”.
Istinbath
identik dengan ijtihad yang oleh para ulama NU dirasa sangat sulit
karena keterbatasan-keterbatasan yang disadari oleh mereka. Terutama
di bidang ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh
namanya mujtahid. Sementara itu, istinbath
dalam
pengertian yang kedua, selain praktis, dapat dilakukan oleh semua
ulama NU yang telah memahami ibarat-ibarat kitab fiqih sesuai dengan
terminologinya yang baku. Oleh karena itu, kalimat istinbath
dikalangan
NU terutama dalam kerja baths
al-masa’ilnya
Syuriah tidak dilakukan karena keterbatasan pengetahuan. Sebagai
gantinya, dipakai kalimat bahtsul
masail yang
artinya membahas masalah-masalah waqi’ah
yang
terjadi melalui referensi yaitu kutub
al fuqaha (kitab-kitab
karya para ahli fiqh).14
Dalam
lembaga bathsul
masa’il NU,
istilah istinbath hukum tidak banyak dikenal. Bagi ulama NU hal ini
lebih dikonotasikan pada istikhraj
alhukmmin al-nushush
(mengeluarkan
hukum dari nash-nash primer, al-Qur’an dan sunah) yang dilakukan
oleh mujtahid mutlak, yang menurut ulama NU sangat berat untuk
dilakukan.untuk itu sebagai gantinya adalah istilah ittifaqhukum.
Istinbath
hukum
langsung dari sumber primer yang cenderung kepada pengertian ijtihad
mutlak, bagi ulama NU masih sangat sulit dilakukan karena
keterbatasan-keterbatasan yang memang disadari, terutama dalam
ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh seseorang
mujtahid. Sementara ijtihad dalam batas madhzab di samping ulama NU
yang telah memahami ibarat kitab-kitab fiqih yang sesuai dengan
terminologinya yang baku.
- Otoritas Bahsul Masail dalam Penetapan Hukum
- Antropologi Lajnah Bahsul Masāil
Menelisik
antropologi Lajnah
Bahsul
Masāil
(dalam penyebutan selanjutnya penulis menggunakan akronim LBM) sama
halnya menelursuri asal-usul sebuah pemikiran yang membutuhkan upaya
serius menghubungkan antara pemikiran tersebut dengan ruang dan waktu
serta masyarakat dan miliu yang melingkupinya. Sejarah telah
membuktikan bahwa tidak satupun sebuah pemikiran muncul dari ruang
kosong budaya yang terkonstruksi oleh sebuah komunitas sosial.
Demikian halnya LBM
sebagai
wahana untuk meretas pemikiran ulama NU sebagai respon terhadap
masalah-masalah yang terjadi di masyarakat baik yang bersifat
kasuistik (al-masāil
al-wāqi'yyah),
maupunyang bersifat pengembangan pemikiran (. Dalam rentang sejarah
perjalanannya, tentu LBM tidak terlepas dari pengaruh situasi dan
kondisi yang ada dan sekaligus mewarnai corak dan tampilannya serta
keragaman produk hukum yang dihasilkannya.
Di
depan telah dijelaskan bahwa LBM adalah sebuah forum pengkajian hukum
Islam milik NU yang berfungsi untuk melakukan kajian-kajian seputar
masalah-masalah keagamaan secara kasuistik maupun secara tematik.
Merunut asal-usul LBM NU memang bukan suatu hal yang mudah karena
masih minimnya dokumen-dokumen yang menginformasikan tentang
kelahiran dan perkembangan LBM baik latar belakang, metode, obyek
maupun pelaku sejarahnya. Hal ini karena budaya warga NU saat itu
cenderung pragmatis dalam artilebih mementingkan hasil keputusan LBM,
dari pada mencatat dan mendokumentasikan latar belakang, perdebatan
yang muncul dan tokoh yang berperan dalam forum tersebut, sehingga
sampai sekarang tidak diketemukan dokumen-dokumennya kecuali kumpulan
hasil keputusan LBM.
Satu-satunya
cara untuk mengkonstruksi latar belakang berdirinya LBM menurut hemat
penulis adalah dengan mengambil bahan baku berupa Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga NU. Di sana ditegaskan bahwa adanya kebutuhan
masyarakat terhadap hukum Islam praktis (fiqh) bagi kehidupan
sehari-hari mendorong para ulama dan intelektual NU untuk mencari
solusinya dengan melakukan kegiatan kajian-kajian terkait dengan
masalah yang muncul melalui kajian yang dilakukan dalam sebuah forum
diskusi yang disebut bahsul
masāil
(kajian berbagai masalah). Kegiatan seperti ini sesungguhnya telah
dimulai oleh para pendahulu NU sejak kongres kali pertama beberapa
bulan setelah berdirinya NU pada 1926. Pada waktu itu kegiatan kajian
tentang masalah-masalah yang diajukan ke forum dibahas secara seksama
oleh sebuah kelompok yang dimandatkan secara khusus untuk itu dan di
bawah kendali organisasi NU sebagai induknya, belum muncul institusi
LBM.
Adapun
LBM secara institusional baru berdiri pada Muktamar XXVIII di
Yogyakarta 1989. Ketika itu Komisi I (Bahsul
Masāil)
merekomendasikan kepada Pengurus Besar NU untuk membentuk Lajnah
Bahsul
Masāil
ad-Diniyyah
(lembaga kajian masalah-masalah keagamaan) sebagai lembaga permanent
yang khusus menangani persoalan-persoalan keagamaan. Rekomendasi
tersebut kemudian didukung oleh forum halaqah
(sarasehan) pada tanggal 26-28 Januari 1990 bertempat di Pondok
Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar, Jombang, Jawa Timur yang juga
merekomendasikan terbentuknya lembaga tersebut dengan harapan dapat
menghimpun para ulama dan intelektual NU untuk melakukan ikhtiyar
istinbat
jama'i
(penggalian dan penetapan hukum secara kolektif). Kemudian pada tahun
1990 M. terbentuklah sebuah institusi yang bernama
Lajnah Bahsul
Masāil
ad-Diniyyah
tersebut berdasarkan Surat Keputusan PBNU Nomor 30/A.I.05/5/1990.15
Institusi tersebut bertugas mengkoordinasikan kegiatan kajian-kajian
seputar masalah-masalah keagamaan yang bersifat fiqih. Kegiatannya
meliputi pengumpulan masalah dari warga sampai dengan
menyelenggarakan forum kajian untuk membahas masalah-masalah yang
telah diinventarisasi sebelumnya.
Bahsul
masāil
ad-dīniyyah
tingkat nasional diselenggarakan bersamaan dengan Kongres (istilah
sekarang lazim disebut Muktamar),16
Konfrensi Besar disingkat KONBES, Rapat Dewan Partai (ketika NU
menjadi partai politik) atau Musyawarah Nasional disingkat MUNAS
Alim-ulama. Pada kurun waktu 1926 sampai dengan 1940 kegiatan bahsul
masāil
ad-dīniyyah
dilaksanakan sekali dalam setiap tahun pada muktamar I sampai dengan
Muktamar XV. Pada saat meletus perang dunia II, pelaksanaan kegiatan
tersebut mengalami ketidakstabilan mengiringi tersendatnya Muktamar,
seperti Muktamar XVI dan XVII (1946-1947), Muktamar XVIII dan XIX
(1950-1951), Muktamar XX dan XXI (1954 dan 1956). Demikian juga
kegiatan bahsul
masāil
ad-dīniyyah
yang menyertai Konfrensi Besar, Rapat Dewan Partai maupun Musyawarah
Nasional Alim-ulama terselenggara kurang stabil selama kurun waktu
1957 sampai dengan 1979. Selama periode tersebut kegiatan bahsul
masāil
ad-dīniyyah
hanya terlaksana sebanyak delapan kali. Selanjutnya pada dekade
1980-an dan 1990-an kegiatan tersebut baru dapat berlangsung secara
periodik sekali dalam kurun 2-3 tahun secara bergantian antara
Muktamar, Munas dan Konfrensi Besar.
Sejak
tahun 1926 sampai dengan 200417
LBM telah memutus 436 masalah keagamaan kasuistik-praktis dan 20
masalah keagamaan tematik-teoritis. Muktamar I di Surabaya pada
tanggal 13 Rabius Tsani 1345 H / 21 Oktober 1926 M memutus 27
masalah, Muktamar II di Surabaya pada tanggal 12 Rabius Tsani 1346 H.
/ 9 Oktober 1927 M memutus 9 masalah, Muktamar III di Surabaya pada
tanggal 12 Rabius Tsani 1347 H. / 28 September 1928 M. memutus 22
masalah, Muktamar IV di Semarang pada tanggal 14 Rabius Tsani 1348 H.
/ 19 September 1929 M. memutus 26 masalah, Muktamar V di Pekalongan
pada tanggal 13 Rabius Tsani 1349 H. / 7 September 1930 M. memutus 23
masalah, Muktamar VI di Pekalongan tanggal 22 Rabius Tsani 1350 H. /
27 Agustus 1931 M. memutus 11 masalah, Muktamar VII di Bandung pada
tanggal 13 Rabius Tsani 1351 H. / 9 Agustus 1932 M. memutus 11
masalah, Muktamar VIII di Jakarta pada tanggal 12 Muharram 1352 H. /
7 Mei 1933 M. memutus 15 masalah, Muktamar IX di Banyuwangi pada
tanggal 8 Muharram 1353 H. / 23 April 1934 M. memutus 12 masalah,
Muktamar X di Surakarta pada tanggal 10 Muharram 1354 H. / 5
April 1935 M. memutus 25 masalah, Muktamar XI di Banjarmasin pada
tanggal 19 Rabiul Awal 1355 H. / 9 Juni 1936 M. memutus 15 masalah,
Muktamar XII di Malang pada tanggal 12 Rabius Tsani 1356 H. / 25
Maret 1937 M. memutus 18 masalah, Muktamar XIII di Menes Banten pada
tanggal 13 Rabius Tsani 1357 H. / 12 Juli 1938 M. memutus 22 masalah,
Muktamar XIV di Magelang pada tanggal 14 Jumadil Ula 1358 H. / 1 Juli
1939 M. memutus 21 masalah, Muktamar XV di Surabaya 10 Dzul
Hijjah 1359 H. / 9 Pebruari 1940 M. memutus 13 masalah.
Muktamar XVI di Purwokerto tanggal 26-29 Maret 1946 M. memutus 5
masalah, Muktamar XX di Surabaya tanggal 10-15 Muharram 1374 H. /
8-13 September 1954 M. memutus 5 masalah, Konfrensi Besar Pengurus
Besar Syuriah Nahdlatul Ulama di Surabaya tanggal 16-17 Sya’ban
1376 H. / 19 Maret 1957 M. memutus 2 masalah, Konfrensi Besar
Pengurus Besar Syuriah Nahdlatul Ulama di Jakarta 21-25 Syawal 1379
H. / 18-22 April 1960 M. memutus 19 masalah, Konfrensi Besar Pengurus
Besar Syuriah Nahdlatul Ulama di Jakarta 1-3 Jumadil Ula 1381 H. /
11-13 Oktober 1961 M. memutus 7 masalah, Rapat dewan partai NU di
Salatiga tanggal 25 Oktober 1961 M. memutus 1 masalah tentang
perempuan mencalonkan diri menjadi kepala desa, Muktamar Nahdlatul
Ulama XXIII di Solo tanggal 29 Rojab – 3 Sya’ban 1381 H. / 25-29
Desember 1962 M. memutus 6 masalah, Muktamar Nahdlatul Ulama XXV di
Surabaya tanggal 20-25 Desember 1971 M. memutus 8 Masalah, Muktamar
Nahdlatul Ulama XXVI di Semarang tanggal 10-16 Rojab 1399 H. / 5-11
Juni 1979 M. memutus 6 masalah, Munas Alim Ulama di Kaliurang
Yogyakarta tanggal 30 Syawal 1401 H. / 30 Agustus 1981 . memutus 11
masalah, Munas Alim Ulama di Sukorejo Situbondo tanggal 6 Rabiul Awal
1404 H. / 21 Desember 1983 M. memutus 6 masalah, Muktamar Nahdlatul
Ulama XXVII di Situbondo 8-12 Desember 1984 M. memutus 16 masalah,
Munas Alim Ulama di Kesugihan Cilacap 23-26 Rabiul Awal 1408 H. /
15-18 Nopember 1987 M. memutus 8 masalah, Muktamar Nahdlatul Ulama
XXVIII d Muktamar Nahdlatul Ulama di Pndok Pesantren Krapayak
Yogyakarta 26-29 Rabiul Akhir 1410 H. / 25-28 Nopember 1989 M.
memutus 23 masalah, Munas Alim Ulama di Bandar Lampung 16-20 Rajab
1412 H. / 21-25 Januari 1992 M. memutus 1 masalah penting yaitu
tentang sistem pengambilan keputusan hukum dalam Bahsul Masail di
lingkungan NU. Pada saat inilah dunia pemikiran di kalangan NU telah
mengalami kejuan yang signifikan karena melelui Munas ini dapat
disepakati tentang metode bermazhab secara manhaji
(metodologi). Metode ini sebagai metode alternatif dari dua metode
yang telah digunakan sebelumnya yakni metode qauli
(tekstual) dan metode ilhaqi
(analogi).
Selanjutnya
pada Muktamar Nahdlatul Ulama XXIX di Cipasung Tasikmalaya tanggal 1
Rojab 1415 H. / 4 Desember 1994 M. memutus 9 masalah waqi’iyyah
dan 3 masalah maudu’iyyah,
Munas Alim Ulama di Pondok Pesantren Qomaeul Huda Bagu, Pringgarata
Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat tanggal 16-20 Rojab 1418 H. / 17-20
Nopember 1997 M. memutus 13 masalah waqi’iyyah
dan 4 masalah maudu’iyyah,
Muktamar Nahdlatul Ulama XXX di Lirboyo Kediri Jawa Timur 21-27
Nopember 1999 M. memutus 10 masalah waqi’iyyah
dan 6 masalah maudu’iyyah,
Munas Alim Ulama di Pondok Gede Jakarta tanggal 14-17 Rabiul Akhir
1423 H. / 25-28 Juli 2002 M. memutus 5 masalah waqi’iyyah
(kasuistik) dan 4 masalah muduiyyah
siyasiyyah
(tematik-teoritis-politik) kontemporer seperti masalah zakat profesi,
Hutang Negara, hukuman bagi koruptor, dan money politik. Muktamar
Nahdlatul Ulama XXXI di Asrama Haji Donohudan Boyolali Jawa Tengah
16-18 Syawal 1425 H. / 29 Nopember-1 Desember 2004 M. memutus 4
masalah waqi’iyyah
(realistis-kasuistik) dan 3 masalah mauduiyyah
(tematik-teoritis). -………
Kegiatan
bahsul masail sesungguhnya tidak hanya dilakukan di tingkat Pengurus
Besar NU tetapi juga dibudayakan di tingkat Pengurus Wilayah,
Pengurus Cabang, dan Pengurus Majelis Wakil Cabang di tingkat
kecamatan. Pelaksanaannya bervariasi tergantung kebutuhan dan
kebijakan pengurus di tingkat masing-masing yang antara satu dengan
lainnya tidak ada keharusan keterikatan secara hirarkis vertikal baik
dalam menentukan frekuensi pelaksanaannya maupun teknik dan waktu
pelaksanaannya dan bahkan hasil keputusan yang diambil. Pola
kebijakan dalam forum ini mengarusutamakan tanggungjawab secara moral
dan agama secara vertical, artinya dalam bahsul masail diupayakan
memberikan jawaban hukum dengan sebenar-benarnya yang akan
dipertanggungjawabkan kepada Allah dan secara horisontal, artinya
masyarakat sebagai sasaran dakwah menjadi titik berat dalam forum
kajian ini.
- Dominasi Fiqh Empat Mażhab dalam Bahsul Masāil
Dalam
setiap kajian hukum Islam (fiqh) di NU, yang secara operasional
pelaksanaannya dilaksanakan oleh LBM menggunakan pola bermazhab,
yakni mengikuti salah satu dari empat mazhab; Hanafi, Maliki,
Syafi'i, Hanbali, baik secara qauliy
(tektual) maupun manhajiy
(metodologis). Menurut Kyai Hasyim Asy'ari, dengan mengikuti pola
bermazhab akan mendapatkan kebaikan dan mashlahah yang tak terhitung
bagi umat Islam. Sebab ajaran Islam tidak dapat difahami kecuali
melalui pemindahan dan pengambilan hukum dengan cara tertentu yang
disebut istinbāt
al-ahkām.
Pemindahan tidak akan benar dan murni kecuali dengan cara
mentransformasikan ajaran secara langsung dari suatu generasi ke
generasi selanjutnya.18
Dalam konteks
istinbāt
al-ahkām,
mazhab-mazhab sebelumnya harus dikenali agar tidak keluar dari
pendapat ulama sebelumnya yang dapat menyebabkan keluar dari ijma'.
Dalam Qanūn
Asāsi
(undang-undang dasar) NU juga disebutkan, barang siapa mengambil ilmu
dengan tidak menyebut
sanad
(dengan kata lain tidak bermazhab), maka orang itu seperti
pencuri.[6]
Oleh karenanya ilmu yang di dapat dengan cara seperti itu disebut
ilmu tanpa guru yang berkonsekuensi diragukan akan kebenaran dan
validitasnya.
Pola
bermazhab seperti ini di dasarkan pada beberapa alasan. Pertama,
empat mazhab tersebut memiliki cara istinbāt
al-ahkām
yang hampir sama, yang masing-masing mempunyai validitas tersendiri
serta tidak didapatkan dalam mazhab lainnya. Di luar mazhab empat
tersebut, misalnya Sufyan Sauri, Daud al-Zahiri, al-Auza'i dan
sebagainya, pendapat mereka dipandang kurang valide lantaran tidak
memiliki sanadang dapat menghindarkan terjadinya perubahan dan
pergantian. Kedua, mengikuti salah satu dari mazhab empat berarti
mengikuti golongan terbesar atau mayoritas, seperti yang dianjurkan
oleh nabi. Ketiga, empat mazhab tersebut dan empat imam ahli fikihnya
memiliki kualifikasi keilmuan sebagai mujtahid
mutlak atau
mujtahid
mustaqil.19
Ditilik
dari aspek operasionalnya Ahmad Arifi menjelaskan tiga alasan mengapa
penganut mazhab (termasuk NU) memegangi pemikiran mazhab mereka.
Ketiga alasan itu adalah sebagai berikut:20
- Pemikran madzhab (terutama fiqih madzhab empat: Hanafi, Maliki Syafi’i, dan Hanbali) telah terkodifikasi (terhimpun) secara sistematis sehingga mudah mempelajarinya.
- Kredibilitas imam madzhab dan keandalan pemikirannya telah teruji oleh sejarah. Hal ini terbukti diikutinya para imam madzhab oleh sebagian besar umat Islam di seluruh dunia.
- Mengikuti pemikiran imam madzhab mempunyai nilai praktis dan pragmatis. Dengan mengacu dan mengikuti pemikiran madzhab tidak perlu bersusah-susah untuk memulai dari awal dalam mencari solusi dan menjawab permasalahan hukum yang dihadapi, apalagi ketika masalah tersebut menghendaki segera untuk diperoleh jawabannya.
Bermazhab
bagi komunitas NU merupakan sebuah keniscayaan sebagai tradisi
keilmuagamaan yang selalu dipegangi baik dalam tataran orang-perorang
maupan dalam tataran organisasi NU. Tradisi keilmuagamaan yang dianut
komunitas NU dengan mengikuti pola bermazhab seperti ini sesungguhnya
telah dikemukakan secara terbuka oleh warga NU sendiri sejak
permulaan berdirinya; adalah bertumpu pada pengertian tersendiri
tentang apa yang oleh NU disebut aqidah
ahlussunnah wal jama’ah.21
Selanjutnya
aqidah tersebut diterjemahkan secara operasional dengan berpangkal
pada tiga panutan yaitu mengikuti paham Abu Hasan al-Asy’ari22
dan Abu Mansur al-Maturidi23
dalam bertauhid (mengesakan Allah dan mengakui kerasulan Muhammad),
mengikuti salah satu mazhab fiqih yang empat yang terkenal dengan
sebutan al-mazāhib
al-arba’ah
(Hanafi,24
Maliki,25
Syafi’i,26
dan Hanbali27),
dan mengikuti cara yang ditetapkan dan dirumuskan al-Junaid
al-Bagdadi28
dan Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali29
dalam bertasawuf.30
Pengertian seperti ini dipertegas oleh al-Hāsyiah
asy-Syanwani
sebagaimana diukutib Syekh Hasyim Asy’ari dalam Risalah
Ahlussunnah wal jamaah.31
Berbeda
dari pandangan kelompok seperti Muhammadiyah dan Persis (keduanya
hanya menerima skolastisisme al-Asy’ari sebagai landasan
“kesunnian” mereka), NU melalui doktrin Ahlussunnah
wal jamaah-nya
senagaja mengembangkan tradisi keilmuagamaan paripurna dan baku
karena telah membagi siklus kehidupan para warganya dalam sejumlah
lingkaran kegiatan atau bidang yang baku.32
Dalam
berfiqih, NU sesungguhnya tidak hanya terbatas pada mengikuti
pandangan empat imam mazhab besar tersebut tetapi juga pendapat
ulama-ulama turunannnya yang telah mengembangkan tidak hanya
literatur keputusan hukum agama dalam skala massif ( misalnya sebuah
corpusmagnum
berjudul al-Majmu’,
komentar atas kitab al-Muhazzab,
terdiri dari empat belas jilid dengan rata-rata 400 halaman
perjilidnya), melainkan juga cara-cara untuk menyusun pemikiran hukum
(legal
maxim,
qawaidul
fiqh),
menentukan bentuk akhir keputusan hukum yang akan diambil jika
kondisinya dan persyaratan yang melatarbelakangi sesuatu masalah yang
tadinya sudah diputuskan ternyata telah mengalami perubahan. Di
sinilah terletak dinamika perkembangan hukum Islam melalui fiqh dapat
dilakukan, walaupun dalam batasan-batasan yang tetap masih ketat
karena harus tidak boleh keluar dari lingkup bermazhab.33
Inti
dari tradisi keilmuagamaan yang dianut NU adalah perpautan organis
antara tauhid, fiqh, dan tasawuf secara integral, yang dalam jangka
panjang dapat menumbuhkan pandangan terpautnya sendiri antara dimensi
duniawi dan ukhrawi dari kehidupan. Yang paling disukai di lingkungan
NU adalah ungkapan “Hidup dunia sangatlah penting kalau dijadikan
persiapan untuk kebahagiaan di akhirat, dan akan kehilangan artinya
jika tidak diperlakukan seperti itu”. Perpautan antara dimensi
duniawi yang profane dan dimensi ukhrawi yang sakral dari kehidupan
ini merupakan mekanisme kejiwaan yang lazim dan berkembang di
kalangan warga NU untuk menghadapi tantangan sekularisme
terang-terangan yang timbul dari proses modernisasi dan
westernisasi.34
Pada praktiknya NU
mempunyai kecenderungan mengikuti mazhab Syafi'i secara lebih dominan
dibanding tiga mazhab yang lain bahkan sering “tidak konsisten”
karena menggunakan pegangan pendapat para ahli fikih "turunan"
imam mazhab, tidak langsung dari sumberutamanya (pendapat imam
mazhab). Hal itu terjadi karena keterbatasan refrensi di luar mazhab
Syafi’i dan kebiasaan para pengkajinya yang mayoritas di lingkungan
pesantren yang diasuh oleh para Kyai yang mengajarkan kitab-kitab
syafi’iyyah seperti Fath
al-Qarīb al-Mujīb, Fath al-Mu’īn, Fath al-Wahhāb, Qulyubi ibn
‘Amīrah, Tuhfah, dan
sebagainya. Dalam mazhab Syafi'i misalnya, NU lebih sering
menggunakan pendapat Imam Nawawi atau Imam Rafi'i dan para ulama
syafi’iyyah lainnya seperti al-Muzani, ar-Ramli, ibn Hajar
al-Haitami, Zakariya al-Anshari dan sebagainya dari pada pendapat
Imam Syafi'i sendiri. Dengan kata lain, NU sebetulnya mengikuti
pendapat "syafi'iyyah"
ketimbang "Syafi'i". Hal itu tampak jelas terutama dalam
kajian-kajian wāqi’iyyah,
qānūniyyah,
dan maudū’iyyah
di forum-forum
bahsul
masāil
yang merupakan forum ilmiah di lingkungan NU untuk membahas
persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hukum.35
- Sistem Pengambilan Keputusan Hukum
1.
Prosedur Pemecahan Masalah
Keputusan
Bahsul Masāil di lingkungan Nahdlatul Ulama dibuat dalam kerangka
bermazhab kepada salah satu mazhab empat yang disepakati dan
mengutamakan bermazhab secara qauliy dari pada bermazhab secara
manhaji. Oleh karena itu, prosedur pemecahan masalah yang dibahas
dalam forum tersebut sederhana dan praktis dengan langkah sebagai
berikut:36
Pertama,
dalam kasus ketika jawaban masalah bisa dicukupi oleh 'ibārah
al-kitāb (ungkapan teks kitab rujukan) dan di sana terdapat hanya
satu qaul/wajah (pendapat), maka dipakailah qaul/wajah sebagaimana
diterangkan dalam teks tersebut. Secara operasional prosedur pertama
ini dilakukan dengan mencocokkan kasus yang hendak dicari jawaban
hukumnya dengan arti teks fiqh secara tektual tanpa ada pertimbangan
konteks situasi dan kondisi dimana teks itu muncul.
Kedua,
dalam kasus ketika jawaban masalah bisa dicukupi oleh 'ibārah
al-kitāb (ungkapan teks kitab rujukan) dan di sana terdapat lebih
dari satu qaul/wajah, maka dilakukan taqrīr jama'i (penetapan secara
kolektif) untuk memilih satu qaul/wajah yang dianggap lebih valide.
Perbedaan pendapat diselesaikan dengan memilih secara hirarkis
sebagai berikut; 1)pendapat yang disepakati asy-Syaikhani (al-Nawawi
dan Rofi’i), 2)pendapat yang dipegang oleh al-Nawawi saja, 3)
pendapat yang dipegang oleh Rafi’I saja, 4)pendapat yang didukung
oleh mayoritas ulama, 5)pendapat ulama yang terpandai, 6)pendapat
ulama yang paling wara’.
Ketiga,
dalam kasus tidak ada qaul/wajah sama sekali yang dapat memberikan
penyelesaian, maka dilakukan prosedur ilhāqul masāil bi
naza'iriha37(mempersamakan
masalah-masalah dengan masalah-masalah lain yang mempunyai kemiripan)
secara jama'i (kolektif) oleh para ahlinya. Prosedur yang ketiga ini
dilakukan dengan mengikuti logika analogi dalam metode al-qiyās.
Prosedur ini sering disebut sebagai metode “al-qiyās” khas
Nahdlatul Ulama. Betapapun dinamisnya, metode ini masih belum
beranjak dari kerikatan dengan teks fiqh tanpa mempertimbangkan
konteks masing-masing masalah yang hendak dipersamakan hukumnya.
Keempat,
dalam kasus tidak ada satu qaul/wajah sama sekali dan tidak mungkin
dilakukan ilhāqul masāil bi naza'iriha38
(mempersamakan masalah-masalah dengan masalah-masalah lain yang
mempunyai kemiripan) secara jama'i (kolektif), maka bisa dilakukan
istinbat jama'i39
(menggali hukum dari sumbernya secara kolektif) dengan prosedur
bermazhab secara manhaji (metodologis) oleh para ahlinya. Metode ini
secara operasional dilakukan dengan cara mengalisa masalah
menggunakan perangkat metodologis teori-teori dalam uşūl fiqh dan
qawāidul fiqhiyyah. Dari hirarki tersebut dapat dipahami bahwa arus
utama prosedur yang digunakan oleh Lembaga Bahtsul Masail NU masih
bersifat tekstual.
2.
Hirarki dan Sifat Keputusan
Ketetapan
hukum yang dihasilkan di lingkungan Nahdlatul Ulama hanya bersifat
sebagai fatwa yang diambil dalam rangka memberikan jawaban terhadap
kasus yang terjadi di tengah masyarakat. Dengan demikian tidak ada
keharusan bagi setiap warga Nahdlatul Ulama tunduk pada hasil
keputusan hukum tersebut. Begitu pula tidak ada tata urutan yang
secara hirarki dapat membedakan dari segi kekuatan hukum antara yang
satu dengan yang lain. Hal ini dilatarbelakangi bahwa apa pun hasil
keputusan hukum yang telah dihasilkan dalam bahsul masail (kajian
masalah) baik dalam tingkatan Muktamar, Munas, Konfrensi, maupun yang
lain adalah tidak ubahnya sebagai hasil ijtihad.40
Oleh
karenanya seluruh keputusan bahsul masail di lingkungan Nahdlatul
Ulama yang diambil dengan prosedur yang telah disepakati dalam Munas
1992, baik diselenggarakan dalam struktur organisasi maupun di
luarnya mempunyai kedudukan yang sederajad dan tidak saling
membatalkan.41
Suatu hasil keputusan bahsul masail dianggap mempunyai kekuatan daya
ikat (secara moral bagi warga NU) lebih tinggi setelah disahkan oleh
Pengurus Besar Syuriah NU tanpa harus menunggu Munas Alim Ulama
maupun Muktamar.42
Adapun sifat keputusan dalam bahsul masail tingkat Munas dan tingkat
Muktamar adalah untuk mengesahkan rancangan keputusan yang telah
dipersiapkan sebelumnya dan atau diperuntukkan bagi keputusan yang
dinilai akan mempunyai dampak yang luas dalam segala bidang.43
Macam-macam
bahsul masail dapat dipetakan dengan mengikuti ragam permusyawaratan
organisasi yang meliputi empat tingkatan yakni (1)tingkat
pusat/berskala nasional terdiri dari Muktamar, Musyawarah Nasional
Alim-ulama, Konfrensi Besar; (2)tingkat wilayah/setingkat propinsi,
permusyawaratan (termasuk bahsul masail) dilaksanakan dalam Konfrensi
Wilayah; (3)tingkat cabang/kabupaten dan kecamatan bahsul masail
dilakukan melalui forum Konfrensi Cabang (untuk
tingkatcabang/kabupaten dan kotamadya), dan Konfrensi Majelis Wakil
Cabang (untuk tingkat majelis wakil cabang/kecamatan); (4) tingkat
desa pembahasan tentang masalah-masalah keagamaan dilaksanakan dalam
forum Rapat Anggota.
Muktamar
diselenggarakan oleh Pengurus Besar setiap lima tahun sekali dan
dihadiri oleh Pengurus Besar, Pengurus Wilayah, Pengurus Cabang di
Seluruh Indonesia dan dihadiri juga oleh para alim-ulama serta
undangan dari tenaga ahli yang berkompeten. Muktamar NU membahas
persoalan-persoalan sosial dan keagamaan (wāqi’iyyah, maudūiyyah,
dan qānūniyyah), program pengembangan NU, laporan
pertanggungjawaban Pengurus Besar, menetapkan Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga, serta memilih pengurus baru.44
Musyawarah
Nasional (Munas) Alim-ulama adalah permusyawaratan yang dihadiri oleh
para alim-ulama diselenggarakan oleh Pengurus Besar Syuriah yang
dipimpin oleh seorang Ra’is Am sebagai pimpinan tertinggi dalam
organisasi NU, sebanyak-banyaknya satu kali dalam satu periode masa
khidmah (pengabdian/5 tahun) Pengurus Besar. Pertemuan nasional
tersebut diselenggarakan secara khusus untuk membahas masalah
keagamaan. Munas Alim-ulama tidak dapat mengubah Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga, keputusan-keputusan Muktamar, dan tidak dapat
memilih pengurus baru.45
Permusyawaratan
lain yang setingkat dengan Munas Alim-ulama adalah Konfrensi Besar.
Permusyawaratan ini diadakan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
(tingkat pusat) atau direkomendasikan oleh sekurang-kurangnya separoh
dari jumlah Pengurus Wilayah (tingkat propinsi) yang sah dan
merupakan instansi permusyawaratan tertinggi setelah Muktamar.
Konfrensi ini dihadiri oleh Pengurus Wilayah untuk membicarakan,
mengevaluasi dan monitoring pelaksanakan keputusan Muktamar, mengkaji
perkembangan organisasi dan peranannya di masyarakat, serta membahas
masalah-masalah sosial dan keagamaan baik yang bersifat wāqi’iyyah
(kasuistik), maudūiyyah (tematik), maupun qānūniyyah (peraturan
dan perundang-undangan).46
Adapun
permusyawaratan yang lain di tingkat wilayah/propinsi,
daerah/kabupaten dan kota madya, dan majelis wakil cabang/kecamatan
secara berurutan bernama Konferesi Wilayah, Konferensi Cabang, dan
Konferensi Majelis Wakil Cabang. Ketiga-tiganya digelar sekali dalam
lima tahun, dihadiri oleh pengurus pada tingkat masing-masing dan
pengurus satu tingkat di bawahnya, kecuali Konferensi Cabang yang
diikuti oleh Pengurus Cabang, pengurus Wakil Cabang, dan Pengurus
Ranting. Agenda utama yang dibahas dalam forum ini adalah disamping
membahas tentang laporan pertanggungjawaban kerja dari pengurus lama,
evaluasi keorganisasian, pemilihan pengurus baru termasuk program
kerja dan tugas-tugas terkait, juga membahas masalah-masalah sosial
dan keagamaan.47
Selain
bentuk permusyawaratan tersebut masih terdapat bentuk permusyawaratan
tingkat paling rendah. Permusyawaratan itu bernama Rapat Anggota;
diselenggarakan oleh pengurus ranting sekurang-kurangnya setiap lima
tahun sekali, untuk membahas laporan pertanggungjawaban pengurus
serta membahas masalah-masalah sosial keagamaan.48
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa forum bahsul masail
diselenggarakan pada setiap event permusyawaratan dari tingkat
Pengurus Besar sampai dengan tingkat Pengurus Ranting di desa-desa.
Di luar event tersebut sesungguhnya Lembaga Bahsul Masail Nahdlatul
Ulama (LBMNU) diberikan kelonggaran untuk menyelenggarakan
kajian-kajian sosial keagamaaan secara rutin yang waktu, durasi, dan
frekuensinya secara teknis dapat ditentukan oleh pengurus lembaga
tersebut di bawah koordinasi pengurus NU pada tingkat masing-masing
sesuai dengan kebutuhan.
Sebagaimana
disebutkan di atas pola kekuatan hasil putusan masalah keagamaan
dalam bahsul masail tidak mengikuti pola hirarki vertical tetapi
horizontal, sehingga keputusan bahsul masail di tingkat Pengurus
Besar sekalipun secara normatif tidak bisa mengikat apalagi
membatalkan pada keputusan bahsul masail di tingkat ranting.
Masing-masing mempunyai pengaruh secara horizontal di tingkat
masing-masing.
Pola
seperti inilah yang pada perkembangannya menjadi sebuah budaya yang
dapat memberikan ruang kebebasan bagi masyarakat NU untuk memberikan
pendapat hukum terkait dengan persoalan yang muncul. Budaya tersebut
di satu sisi memang positif karena dapat memunculkan egalitarianitas
pendapat hukum karena keputusan hukum tidak harus ditentukan oleh
institusi tertentu yang lebih tinggi dan bersifat absolute. Di sisi
yang sama juga memunculkan dampak negatif karena kepastian hukum
menjadi relatif artinya masyarakat dihadapkan pada
alternatif-alternatif pendapat hukum yang beragam, sehingga terkesan
sebuah keputusan hukum menjadi sebuah informasi biasa yang tidak
punya daya ikat sama sekali. Akibatnya keputusan hukum yang
dihasilkan dari forum tertinggi (tingkat muktamar) sekalipun
misalnya, menjadi tidak dapat tersisialisasi dan terimplementasi
dengan baik ketika ternyata bertentangan atau tidak disetujui oleh
keputusan ditingkat paling rendah yakni pengurus ranting (para kyai
“ndeso”) yang sesungguhnya merekalah yang berurusan langsung
dengan masyarakat NU di bawah.
Contoh Bahtsul Masail NU49
Sebagaimana
halnya yang terdapat dalam buku pokok penulis tentang hukum zakat
yang ditasharufkan pada masjid dalam bahtsul
masa’il NU
Wilayah Jawa Timur, disana diterangkan secara tegas bahwa sebuah
masjid tidak termasuk dari delapan golongan penerima (mustahik)
zakat, maka tidak diperbolehkan bagi amil zakat untuk
menasharufkannya atau mengalokasikan zakat kepada masjid dengan
alasan apapun.
Berikut
kutipan dari buku hasil keputusan bahtsul masa’il Nahdlatul Ulama
wilayah jawa timur jilid pertama: 1 dari 111 keputusan Bahtsul
Masail NU
wilayah Jawa Timur.
Masalah; Bagaimana
hukumnya zakat yang ditasyarufkan kepada masjid madrasah panti asuhan
yayasan-yayasan sosial, keagamaan dan lain-lain.Sebagaimana yang
telah berlaku di masyarakat umum?
Jawab
; Memberikan zakat kepada masjid, madrasah, panti asuhan,
yayasan-yayasan sosial, keagamaan dan lain-lain tidak boleh, akan
tetapi ada pendapat : Imam Qafal menukil dari sebagian ahli fiqh,
zakat boleh ditasyarufkan kepada sektor-sektor tersebut diatas, atas
nama sabilillah.
Dasar pengambilan ;
- Bughyatu Al mustarsyiddin. Hal. 106
- Tafsir Munir. Jilid I hal. 344.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Perjalanan Nahdlatul
Ulama’ sepanjang 72 tahun lebih, berawal dari sebuah kelompok
kajian pencerahan Taswirul
Afkar
(1914), kemudian berkembang menjadi Nahdlatut
Tujjar
(1916), Syubbanul
Wathan
(1918), Nahdlatul
Wathan
(1924), dan akhirnya menjadi Nahdlatul
Ulama
(1926).
NU menganut faham
Ahlussunah Wal Jamaah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengan
antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli
(skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya
Al-Qur’an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah
dengan realitas empirik.
Bahtsul Masail
Diniyah adalah
satu forum diskusi keagamaan dalam organisasi NU untuk merespon dan
memberikan solusi atas problematika actual yang muncul dalam
kehidupan masyarakat.
Dalam lembaga
bathsul
masa’il NU,
istilah istinbath hukum tidak banyak dikenal. Bagi ulama NU hal ini
lebih dikonotasikan pada istikhraj
alhukmmin al-nushush
(mengeluarkan
hukum dari nash-nash primer, al-Qur’an dan sunah) yang dilakukan
oleh mujtahid mutlak, yang menurut ulama NU sangat berat untuk
dilakukan.untuk itu sebagai gantinya adalah istilah ittifaqhukum
.
DAFTAR PUSTAKA
Khalimi dan Nur
Cahyani. 2008. Ormas-Ormas
Islam (Sejarah, Akar Teologi dan Politik).
Gaung persada press: Jakarta
Sitompul, Einar
Martahan. 2010. NU dan Pancasila. Pustaka Sinar Harapan: Jakarta
Yahya, Imam. 2009.
Dinamika Ijtihad NU. Semarang: Walisongo Press
Zahrah, Muhammad
Abu. 1994 Ushul al-Fiqh. Jakarta: PT Pustaka Firdaus
Hanafie, A. 1993.
Usul Fiqh. Jakarta: Widjaya
Mahfudh, Sahal.
1994. Nuansa Fiqih Sosial. Yokyakarta: LKIS
Nasuha, A. Chozin.
2002. ‘Bahtsul Masa’il Fiqhiyah NU antara Idea dan Fakta’ dalam
Imdadun Rahmat (eds.), Kritik Nalar Fiqih NU: Transformasi Paradigma
Bathsul Masa’il. Jakarta: Lakpesdam
Nahdlatul Ulama
Wilayah Jawa Timur Dalam Jilid I mulai tahun 1979 – 1986 Masehi.
Surabaya: Pengurus Wilaya
1
Khalimi dan Nur Cahyani. Ormas-ormas Islam (sejarah, akar teologi
dan politik). (Gaung persada press: Jakarta 2008), hal :330-331
2
Khalimi dan Nur Cahyani.
Ormas-ormas Islam
(sejarah, akar teologi dan politik).
(Gaung persada press: Jakarta). Hal:330-331
9Muhammad
Abu Zahrah. Ushul
al-Fiqh Penerj. Saefullah Ma’shum, “Ushul Fiqh”
(Jakarta: PT Pustaka Firdaus) cet. II, 1994. hal. 56
12
Imam Yahya, Dinamika Ijtihad NU,( Semarang:Walisongo Press,
2009). Hal 39
13
Imam Yahya, Ijtihad NU,hal 40
15
Imam AZ dan Nasikh, "Liputan: Dari halaqah Denanyar",
Santri, No. 3, Th. I
16
Penggunaan istilah "Kongres" (saat itu ditulis "Congres")
adalah mulai tahun 1926 (yang ke-1) hingga tahun 1940 (yang ke-15),
sedang istilah "Muktamar" (saat itu ditulis "Moe'tamar)
mulai digunakan pada tahun 1946 (yang ke-16, atau yang ke-1 sejak
Indonesia merdeka, setelah mengalami kevakuman selama lima tahun).
Sekarang istilah "Muktamar" yang lazim dipakai dikalangan
NU untuk menggantikan istilah Kongres. Lihat hasil penelitian Ahmad
Zahro, Tradisi Intelektual NU…, hlm. 69.
17
Pelacakan kami hanya sampai dengan tahun 2004 karena data yang telah
dapat diakses dan terbukukan baru sampai dengan tahun tersebut.
18
Mata rantai dalam transfer ajaran tersebut dikenal dengan sebutan
sanad; sebuah istilah yang diadopsi dari istilah mata rantai dalam
periwayatan hadis yang dikaji dalam ilmu dirāyah al-hadis. Lihat
Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Usūl al-Hadīś ‘Ulūmuh wa
Mustalahuh, Cet. Baru (Beirut: Dar al-Fikr, 2006), hlm.
200.
19
Ibid., hlm. 364. mujtahid mutlak atau mujtahid
mustaqil adalah mujtahid peringkat pertama yang mempunyai
kompetensi untuk menggali hukum secara langsung dari al-Qur’an dan
assunnah, melakukan qiyās, istihsān, al-maslahah,
dan metode penggalian hukum yang lain yang dianggap tepat. Lihat
Muhammad Abu Zahrah, Usūl
al-Fiqh (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1985), hlm. 309.
20
Ahmad Arifi, "Pergulatan Pemikiran Fiqih dalam Nahdlatul Ulama
(Analisis Paradigma atas Nalar Fiqh Tradisi", Disertasi,
(Yagyakarta: PPs UIN Yogyakarta, 2007), hlm. 156.
21
Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur (Yogyakarta:
LKiS, 2000), hlm. 153.
22
Nama lengkapnya Abu al-Hasan Ibn Isma’il al-Asy’ari lahir di
Basrah 873 M, wafat di Bagdad 935 M. Pada mulanya ia adalah murid
al-Juba’i dan salah seorang tokoh terkemuka dalam golongan
Mu’tazilah sehingga. Menurut al-Husain Ibn Muhammad al-Asykari,
al-Juba’i berani mempercayakan perdebatan dengan lawan kepadanya.
Lihat Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah
Analisa dan Perbandingan (Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 1986), hlm. 65.
23
Nama lengkapnya adalah Abu Mansur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud
al-Maturidi, lahir di Samarkand pada pertengahan ke-2 dari abad
ke-9 M. dan meninggal pada tahun 944 M. Ia adalah pengikut Abu
Hanifah dan paham teologinya banyak persamaannya dengan paham yang
dimajukan oleh Abu Hanifah. Sistem pemikiran teologi yang
ditimbulkan Abu Mansur termasuk dalam golongan teologi ahlis
sunnah dan dikenal dengan nama al-Matūridiah. Lihat
Harun Nasution, Teologi Islam, hlm. 72.
24
Nama aslinya adalah Annu’man ibn Sabit ibn Zauti,
lahir di Kufah tahun 80 H.
25
Nama aslinya adalah Malik ibn Anas ibn Abi ‘Amir, lahir di
Madinah tahun 93 H.
26
Nama aslinya adalah Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Idris ibn al-‘Abbas
ibn ‘Usman ibn Syafi’ al-Syafi’I al-Mutallibi (keturunan dari
al-Mutallib ibn Abdi Manaf, lahir di Guzah pada tahun 150 H.
27
Nama aslinya adalah Amad ibn Hanbal ibn Hilal al-zihli al-Syaibani
al-Maruzi al-Bagdadi, lahir tahun 163 H. dan wafat tahun 241 H.
28
Nama aslinya adalah Junaid ibn Muhammad Abu al-Qasim al-Khazzaz
al-Baghdadi (830-910 AD).
29
Nama aslinya adalah Abu Hamid
al-Ghazāli Muhammad ibn Muhammad al-Ghazāli al-Thūsi, dia
berkebangsaan Persia asli, lahir pada tahun 450H./1058M. di Thus
(dekat Meshed) sebuah kota. kecil di Khurisan (sekarang Iran), di
sini pula A1-Ghazali wafat di Nazran tahun 505H./1111 M. Tentang
biografinya, dapat dilihat antara lain: Sulaiman Dunya, Al-Haqiqah
Fi Nazhr al-Ghazâli,
cet. III (Mesir Dar al-Ma’arif, 1971). Juga Abd. Kadri Utsrnan,
Sirah Al-Ghazâli (
Demaskus: Dar al-Fikr, t.t.)
30
Abdurrahman Wahid, Prisma…, hlm. 154.
31
KH. M. Hasyim Asy’ari, Risalah Ahl Assunnah wa al-Jamā’ah:
fi Hadīs
al-Mauta wa Asyrāt
as-Sā’ah wa Bayān Mafhū as-Sunnah wa al-Bid’ah (Jombang:
Maktabah at-Turas al-Islami bi Ma’had Terbuireng, 1418 H), hlm.
23.
32
Abdurrahman Wahid, Prisma …,hlm. 153
33
bid, hlm. 154.
34
Ibid, hlm. 155
35
Abdurrahman Wahid, Prisma …, hlm. 365.
36
im PW LTN NU Jatim (penyunting), Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika
Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul
Ulama (1926 – 2004 M.), Cet. III (Surabaya: LTN NU Jawa Timur –
Khalista, 2007), hlm. 446-449.
37
Ibid.
38
Ibid.
39
Ibid.
40
Keputusan Muktamar 31 Nahdlatul Ulama tahun 2004 di Asrama Haji
Donohudan, Boyolali, Jawa Tengah. (Disalin kembali oleh Wago).
Kamis, 24 Agustus 2006 20:46, diakses dari
www.gp-ansor.org/.../sistem-pengambilan-hukum-islam-dalam-bahtsul-masail.html.
41
Keputusan Muktamar 31 Nahdlatul Ulama tahun 2004 di Asrama Haji
Donohudan, Boyolali, Jawa Tengah. (Disalin kembali oleh Wago).
Kamis, 24 Agustus 2006 20:46, diakses dari
www.gp-ansor.org/.../sistem-pengambilan-hukum-islam-dalam-bahtsul-masail.html.
42
Ibid.
43
Ibid.
44
Aceng Abdul Azis Dy. dkk., Islam Ahlussunnah Waljama’ah di
Indonesia: Sejarah, Pemikiran, dan Dinamika Nahdlatul Ulama,
Cet. II (Jakarta: Pustaka Ma’arif NU, 2007), hlm. 134.
45
Aceng Abdul Azis Dy. dkk., Islam Ahlussunnah Waljama’ah di
Indonesia: Sejarah, Pemikiran, dan Dinamika Nahdlatul Ulama,
Cet. II (Jakarta: Pustaka Ma’arif NU, 2007), hlm. 134.
46
Konfrensi Besar dikatakan setingkat dengan Munas Alim-ulama karena
Konfrensi Besar jugs tidak memiliki kompetensi untuk mengubah AD/ART
dan tidak dapat mengadakan pemilihan pengurus baru. Lihat Ibid,
hlm 135.
47
Ibid, hlm 136
48
Ibid
Nahdlatul
Ulama Wilayah Jawa Timur,(
Surabaya: Pengurus Wilayah NU Jatim, 2002), hal: 42-43.
No comments:
Post a Comment