Ilustrasi
Tadi malam, saya melihat sebuah acara di televisi swasta yang sangat menginspirasi. Sebuah talkshow yang menceritakan perjuangan beberapa ibu demi anak-anaknya. Kesamaan kondisi dari ketiga ibu ini adalah mereka sama-sama ditinggal mati oleh suami saat usia mereka masih sangat muda. Hanya sedikit harta dan simpanan yang bisa dijadikan peninggalan suami-suami mereka, ditambah lagi sejumlah anak yang masih belum dewasa dalam jumlah yang tidak sedikit, 7, 12 dan 15 orang.
Mereka itu bukan ibu-ibu yang terbiasa bekerja, bukan ibu bertitel panjang, bukan wanita karir. Mereka hanyalah ibu rumah tangga biasa yang pada awalnya sama sekali tidak tahu cara mencari nafkah, sehingga mereka belajar demi anak-anaknya.
Ibu pertama ditinggal pada usia 39 tahun dengan 7 orang anak. Uang pesangon suami yang diterima sangat sedikit. Jangankan berdagang, mencari nafkah pun ia sama sekali tak tahu bagaimana caranya. Berjuang tanpa rasa takut, yakin akan rezeki dari Allah ia jalani hidup. Ia ajarkan pula budi pekerti pada anak-anak mereka.
Ada satu komitmen yang dia buat bersama anak-anaknya, “Jika mau terus bersekolah hingga sarjana, harus sekolah di sekolah negeri, jika tidak, maka tidak sekolah...”
Tahun demi tahun dia jalani bersama ketujuh anaknya, hingga sekarang ibu asal Medan itu memetik buah manis perjuangannya. Ketujuh anaknya menjadi sarjana, sukses dan bahagia.
Ibu kedua adalah seorang ibu dengan 12 orang anak. Ditinggal suami ketika anak bungsunya masih berusia 5 tahun. Dia ajarkan untuk saling menolong antara anaknya, saling mendukung, saling perhatian. Dia terapkan sifat-sifat luhur yang selalu diajarkan ayah mereka.
Kejujuran menjadi modal utama. Kasih sayang dalam mendidik anak, tanpa amarah, tanpa pukulan, tanpa bentakan ia curahkan kepada ke-12 anaknya. Belajar menjadi orang yang kuat, yang sabar dan pantang menyerah. Ajaran agama dan selalu memohon perlindungan pada Allah ia ajarkan pula kepada anak-anaknya.
Subhanallah, kini 10 dari 12 anaknya berhasil menjadi dokter, yang dua orang pun tak kalah hebatnya. Kisah keberhasilan ibu ini mengantarkannya menerima penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI).
Ibu terakhir berasal dari Pare-pare, Sulawesi Selatan. Menikah saat tidak tamat SMP, di usia 14 tahun. Ditinggal suaminya ketika berusia 42 tahun dengan 15 orang anak. Jujur, sabar, dan tak takut akan apapun dia jalani hidup. “Karena ada Tuhan” demikian jawabnya ketika ditanya kenapa alasannya tidak takut dan khawatir dalam menjalani hidup. Subhanallah, sekaranf tiga anaknya menjadi dokter, tujuh menjadi insinyur, bahkan yang satu menjadi profesor.
Fisik ayah memang tak akan hadir lagi di antara mereka, tapi nilai-nilai, ajaran, dan figur itu tak akan tergantikan. Budi pekerti luhur, ajaran agama, norma masyarakat selalu diajarkan ibu-ibu itu. Mereka berjalan dengan mengikuti kata hati, kata hati yang tak pernah berdusta, karena kata hati itulah perwujudan cahaya Ilahi. Ikhlas, sabar…
Kisah di atas, sempat meneteskan airmata ini. Betapa berat pasti mereka menjalani hidup, tapi mereka bahagia dan tidak takut. “Karena ada Tuhan..." Ya... tak ada sesuatu pun yang mustahil bagi Sang Maha.
Setiap dari kita memang tak selalu menjadi ibu, tapi setiap diri kita pastilah seorang anak. Terima kasih kepada semua ibu di seluruh dunia. Kutengadahkan kedua lenganku, mengharap kehadirat Ilahi Robbi. Kumohonkan perlindungan bagi mereka, semoga Allah mencatat semua tindakan mereka sebagai jihad di jalan-Nya. Untuk para ayah kuucapkan terima kasih atas semua pengorbanan yang tak kalah hebatnya dari peran ibu.
Sachi... Yuki... doa Bunda selalu tertuju padamu, Nak! Walau Bunda saat ini tak kuasa di sisimu, Bunda yakin Bapak dan orang-orang di sekeliling kalian sangat menyayangi, melindungi, dan mengasihi kalian. Ada Sang Maha yang selalu menjaga dan memberikan yang terbaik bagimu.
Untuk suamiku tercinta, terima kasih atas semua kesempatan ini. Kuyakin Allah akan selalu membimbing dan menjaga kita. Insya Allah...
No comments:
Post a Comment