WAWANCARA
IMAJINER DENGAN SYEIKH IBRAHIM BIN ADHAM
(Kenapa
Do’a Saya Tidak Dikabulkan)
Oleh
: M. A’an Syahriyyar Masyhuri
Kalau
dulu Gus Dur pernah melakukan wawancara imajiner nya dengan DR. Nur Kholis
Madjid dimajalah Editor, Almarhum memulainya dengan guyonan cerdasnya : “ kalau
dulu Christianto Wibisono mewawancarai Bung Karno secara imajiner, tidak
berarti hak melakukan wawancara jenis itu menjadi monopolinya.
Seandainya
ia bisa menunjukkan hak paten tertulis sekalipun, baik dari lembaga domistik
maupun Internasional, saya tetap saja dapat melakukan wawancara imajiner
tentang DR. Nur Kholis Madjid, sebabnya ? karena Christianto menjadikan tokoh
yang diwawancarainya sebagai sumber berita, sedang saya justru mencari sumber
itu diluar si tokoh”. Demikian halnya dengan Gus Mus, yang mengawali wawancara
imajinernya dengan Hadratus Syeikh Hasyim As’ari di Risalah NU tahun 80-an
pasca Muktamar Situbondo, “seandainya Christianto maupun Gus Dur bisa
menunujukkan hak paten tertulis sekalipun, baik dari lembaga domistik maupun
Internasional, saya tetap saja dapat melakukan wawancara imajiner dengan
Hadratus Syeikh. Sebabnya ? karena Christianto menjadikan tokoh yang
diwawancarai itu sumber berita dan Gus Dur mencari sumber itu diluar si tokoh,
sedang saya hanya sekedar ingin “berkangen-kangenan” secara imajiner dengan
tokoh saya”.
Ungkapan
yang sama juga bisa saya kemukakan sekarang ini untuk mengawali keikut sertaan
saya dalam berlatah-latahan melakukan wawancara imajiner. Seandainya
Christianto, Gus Dur, maupun Gus Mus bisa menunujukkan hak paten tertulis
sekalipun, baik dari lembaga domestic maupun Internasional, saya tetap saja
dapat melakukan wawancara imajiner dengan Syeikh Ibrahim bin Adham sekaligus
didampingi Romo Kyai Djamaluddin Ahmad. Sebabnya ? karena Christianto
menjadikan tokoh yang diwawancarai itu sumber berita, Gus Dur mencari sumber
itu diluar si tokoh, dan Gus Mus hanya sekedar ingin “berkangen-kangenan”dengan
Mbah Hasyim, sedang saya hanya sekedar ingin menimba Ilmu “ngaji” dan meminta
wejangan secara imajiner kepada “guru” saya.
Menyebut
“guru” kepada Syeikh Ibrahim bin Adham mungkin sama sekali tidak layak bagi
saya, karena dengan demikian saya terkesan tidak punya malu kok tiba-tiba
mengaku dan mengangkat diri sendiri sebagai murid beliau (ora duwe toto kromo
lan gak duwe isin), meskipun hanya sekedar imajiner. Lebih tepatnya saya adalah
pengagum sosok yang bernama lengkap Abu Ishak Ibrahim bin Adham, seorang shufi
yang dilahirkan di Balkhah (wilayah Khurasan) oleh pasangan yang berasal dari
keluarga bangsawan Arab tersebut (wa nafa’ana bihi wa bi “ulumihi).
Kekaguman
saya terhadap beliau dimulai saat saya mengikuti pengajian rutin Al Hikam tiap
hari Senin malam Selasa yang diasuh oleh Romo Yai Djamal, ketika saya masih
mondok dan ngaji pada beliau di Bumi Damai Al Muhibbin Tambakberas Jombang.
Saat itu Abah Djamal sedang menceritakan tokoh besar dalam dunia tasawwuf
tersebut untuk kita tauladani, semakin lama kekaguman saya semakin menjadi-jadi,
hingga entah apa yang terjadi tiba-tiba saya telah berada ditengah-tengah
keramaian sebuah pasar tradisional bersama Abah Djamal, pasar tersebut penuh
sesak oleh orang yang postur tubuhnya relative lebih besar dan lebih tinggi,
khas perawakan orang-orang Arab. Setelah saya sadari, ternyata kami memang
sedang berada disebuah pasar tradisional disalah satu daerah di Arab, dalam
keadaan terdiam antara percaya dan tidak percaya tiba-tiba saya dikejutkan
tepukan tangan Abah Djamal dipundak saya sambil berkata “ An, aku sengaja
mengajakmu ke tempat ini, aku ingin kamu belajar “ngaji” kepada seseorang yang
sebentar lagi akan aku perkenalkan kamu kepadanya”, aku masih tetap terdiam
dalam tanda tanya besar, bagaimana caranya saya tiba-tiba bisa berada disini,
dengan apa, kapan, bagaimana, saya tidak mengetahui prosesnya.
Selang
beberapa saat, ada seorang pengembara sedang memanggul kayu bakar untuk
kemudian menjualnya ke salah satu pedagang, namun anehnya “hingga membuat
perhatian saya tertuju kepadanya” kenapa setelah capek-capek membawa kayu bakar
untuk dijual namun kemudian uang hasil penjualan kayu bakar tersebut malah
langsung dibagi-bagikan semuanya kepada orang-orang miskin disekitar situ,
hingga tak ada sisa sedikitpun untuk dirinya sendiri. Belum hilang keheranan
saya tiba-tiba tangan saya ditarik oleh Abah Djamal dengan langkah agak cepat
untuk menghampiri orang itu, kemudian Abah mengucapkan salam kepadanya
“Assalamu’alaikum Syeikh” orang itu dengan ramah menjawab “Wa’alaikum salam,
sedang apa disini?” Abah menjawab “ saya ingin mengenalkan Syeikh pada santri
saya ini” orang itu bertanya lagi “untuk apa?” Abah menjawab lagi “agar ngaji
sama Syeikh”, setelah itu Abah bilang kepada saya “ An, beliau adalah Syeikh
Ibrahim bin Adham yang sering tak ceritakan” setelah mengetahui bahwa orang
yang ada didepan saya adalah sosok yang saya kagumi selama ini, entah karena
dorongan apa saya langsung saja tanpa malu menghampiri dan mencium tangannya,
tapi entah kenapa beliau langsung menarik tangannya dengan raut wajah yang
Nampak tidak senang memandangi saya, sambil berkata “Kamu gak punya hak marah
sama Alloh karena do’a-do’amu tidak terkabul, dan menyangsikan kebenaran
Firmanya Ud’uni Astajib lakum, berkacalah pada dirimu sendiri”, saat itu bukan
main kekagetan saya pada baru kali ini ketemu, kenapa beliau bisa tahu kalau
akhir-akhir ini saya memang agak menyangsikan ayat itu, dikarenakan do’a-do’a
saya belum ada yang terkabul, padahal saya sedang menghadapi masalah besar
dalam kondisi jiwa yang labil, dalam hati saya protes dan bertanya “kenapa?”,
belum hilang kekagetan saya, Syeikh Ibrahim sudah berkata lagi “kamu gak usah
kaget dan heran” Subkhanalloh saya semakin tercengang, perasaan saya tidak
menentu dalam hati semua bercampur aduk antara takut malu, sungkan, kagum,
hingga membuncah dan seakan mau meledak, kemudian saya dengan diliputi rasa
segan dan sungkan tanpa berani menatap wajahnya memberanikan diri bertanya
“lantas apa yang harus saya lakukan Syeikh?” dengan nada bicara yang mulai agak
lunak beliau menjawab “An, kenapa do’a kamu tidak dikabulkan, padahal Alloh
berfirman Berdoalah kamu sekalian kepadaku, niscaya akan Aku kabulkan do’a kamu
sekalian?, hal itu dikarenakan hatimu mati” kemudian saya sambil agak gugup
kembali bertanya “Syeikh, apakah yang menyebabkan hati saya mati?” Syeikh
Ibrahim menjawab “An, ada delapan hal yang menyebabkan hatimu mati yaitu, kamu
mengetahui Alloh tapi kamu tidak tunaikan perintahnya, kamu baca Al Quran tapi
tidak kamu amalkan ajaran-ajarannya, kamu menyatakan cinta kepada Rosululloh
tapi kamu tidak mengamalkan Sunnahnya, kamu mengatakan takut mati tapi kamu
tidak bersiap-siap untuknya, Allah berfirman “Sesungguhnya syetan itu musuh
kamu sekalian, maka perlakukanlah ia sebagai musuh” tapi kamu malah berkelompok
dengannya untuk berbuat dosa, kamu mengatakan takut neraka tapi kamu malah
menganiaya dirimu sendiri dalam neraka dengan perbuatan dosa, kamu mengatakan
cinta kepada surga tapi kamu tidak beramal untuk mendapatkannya, apabila kamu
bangun dari tempat tidur kamu melemparkan aibmu sendiri kebelakang punggungmu
dan membentangkan aib orang lain dihadapanmu lalu kamu membuat Alloh murka,
kalau begini bagaimana mungkin Alloh akan mengabulkan do’amu An”.
Setelah
itu beliau langsung berpamitan dengan mengucapkan salam, saat saya masih
mencerna wejangan beliau “Assalamu ‘alaikum wa rohmatullohi wa barokatuh”.
No comments:
Post a Comment