Pendidikan Cinta



Oh Tuhanku, jika aku menyembah-Mu karena takut akan neraka bakarlah aku di neraka, dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga buanglah aku dari sana. Tetapi jika aku menyembah-Mu karena Engkau semata maka jangan tolak aku dari kecantikan abadi-Mu (Rabi’ah al Adawiyah).
Semenjak pertama kali menghirup udara dunia, oleh kedua orang tuanya, pendidikan agama mulai diajarkan kepada si jabang bayi. Dalam Islam, janin yang baru lahir dari rahim ibu dianjurkan segera dilantunkan adzan pada telinga kanannya dan iqomat pada telinga kirinya.
Kalimat adzan diawali dengan kalimat-kalimat pengagungan kepada Allah, kemudian dikuti dengan persaksian bahwa tiada Tuhan selain Dia dan Muhammad adalah utusan-Nya, dan seterusnya ajakan menuju penyembahan kepada-Nya demi meraih kebahagiaan abadi. Semuanya merupakan pendidikan agama paling dini.
Ajaran “tiada Tuhan selain Dia” merupakan peniscayaan bahwa tiada zat yang berhak dita’ati dan diagungkan kecuali Dia. Konsekuensinya, segala ragam bentuk dan cara ibadah adalah media penghambaan makhluk untuk meraih ridha Sang Khaliq, bukan sekadar menuntut pahala dan menghindari siksa-Nya. Tatkala dua sejoli saling mencintai sepenuh hati, maka apa pun tindakan (kebaikan) pasangannya adalah bagus dan benar. Begitupun “pandangan” Tuhan terhadap makhluq yang Ia ridhai tentunya.
Dengan logika seperti di atas, semestinya pendekatan yang dilakukan kepada anak didik demi mencapai tujuan tersebut adalah pendekatan “cinta” bukan paksaan. Namun yang terjadi, setelah anak beranjak dari balita, pendekatan “ketakutan”-lah yang menonjol dipakai untuk pengajaran, yakni ancaman hukuman dan iming-iming ganjaran. “Kalau kamu berbuat jahat akan disiksa di neraka, dan bila berbuat kebaikan maka kamu masuk surga.”
Itulah ucapan-ucapan yang kerap keluar dari para pengajar kita sewaktu kecil. Jarang sekali ada model pendekatan lain, semisal, pola yang lebih menekankan bahwa Tuhan ada di dekat kita, hadir dalam setiap detak hembusan nafas, dan selalu menemani hamba-Nya yang bertakwa.

Bertindak Karena Cinta
Dalam pandangan saya, tepat sekali lirik lagu yang diciptakan oleh Ahmad Dhani yang dinyanyikan bersama (Alm) Chrisye beberapa tahun silam. Dengan nada tanya, Dhani menulis “Jika surga neraka tak pernah ada masihkah kau menyebut nama-Nya. Apakah kita semua benar-benar tulus menyembah pada-Nya, ataukah kita semua takut pada neraka dan inginkan surga.“ Sebuah sindiran atas tindak ibadah keseharian.
Sebab, dengan model pendekatan “ketakutan”, orientasi dan tujuan ibadah hanyalah meraih surga dan menghindari neraka di akhirat belaka, tidak ada yang lain! Lalu, seperti pertanyaan Ahmad Dhani, bila surga itu hanyalah khayalan dan fantasi manusia belaka, masihkah manusia menyembah, mengabdi, dan mengingat Tuhan ?
Akibat selanjutnya dari orientasi “surgawi” ialah melekatnya pandangan bahwa ibadah paling benar hanyalah ibadah-ibadah mahdhah (murni hubungan antara manusia dengan Allah Swt.), sehingga ketakwaan sejati sering diukur dengan tekunnya seseorang menjalankan shalat, puasa, wirid, dan semacamnya. Meski tetangga kanan kirinya kelaparan karena kurang makan berhari-hari sementara dirinya berkelebihan ekonomi, dalam pandangan umum ia tetap dicap sebagai orang salih. Seolah, melalui kebajikan lain yang menyentuh masalah kemanusiaan dan sosial, ketakwaan sulit diperoleh.
Tidak bisa diingkari, pola pengajaran yang mengedepankan “ketakutan” sebagaimana tertulis di atas, salah satunya disebabkan oleh begitu kuatnya pengaruh ilmu fiqh dalam kehidupan masyarakat muslim. Corak fiqh lebih bersifat praktis, karena berupa hasil ijtihad ulama sebagai penyelesaian hukum atas permasalahan kehidupan harian. Ini membuat kita sulit lepas dari logika fiqh yang hitam-putih, halal-haram, haq-bathil, dan sebagainya.
Dalam hal ibadah mahdhah, misalnya, terdapat kategori wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Menjalankan kewajiban mendapat pahala, dan meninggalkannya disiksa. Sebaliknya, melakukan keharaman akan disiksa dan meninggalkannya diganjar pahala. Tak pelak, logika fiqh berperan besar memengaruhi kehidupan keagamaan kita yang kerap mengadili manusia dengan baik-buruk, salah-benar, dan sebagainya, tanpa mau mengerti hal-hal yang melatarbelakangi tindakannya.
Melalui pendekatan seperti ini, Tuhan yang hadir pada alam pemahaman dan keyakinan kita adalah Tuhan penghukum dan pengganjar pahala, terasa nan jauh dan tidak bersama kita. Padahal Allah berfirman, Dan jika hamba-hamba-Ku bertanya perihal Aku, maka (katakanlah) sesungguhnya Aku dekat (dengan mereka) (Qs. al-Baqarah:186).
Pada titik ini, dalam benak penulis terbayang, alangkah indahnya jika kita dididik oleh lingkungan atau lembaga dengan metode “cinta” yang mengedepankan kasih sayang dan keikhlasan bertindak, hukuman sekadar sebagai pilihan darurat. Betapa indah kehidupan sosial dan nikmat ibadah yang kita kerjakan. Ibadah yang terlaksana secara ikhlas, benar-benar disulut oleh daya emosi terdalam yang berada pada wilayah paling tajam dan halus.
Dalam kehidupan ini, sulit sekali kita mampu “menghadirkan” Tuhan dalam wujud yang indah dan menawan sehingga bisa memicu kita untuk terperanjat takjub dan cinta kepada-Nya. Dengan cinta inilah kaum sufi terdahulu mengabdi kepada Allah. Mereka tidak butuh akan pahala dan takut siksa-Nya, sebab terlalu rendah bila hanya bertujuan itu. Mereka yakin bahwa Tuhan adalah “teman dekat” yang sangat dekat melebihi dekatnya urat nadi. Seisi alam, termasuk diri sendiri, merupakan penjelmaan dari keindahan dan keagungan Allah.
Sejenak kita perlu merenung dan mempertanyakan ulang, sudahkah ibadah kita selama ini tidak sekadar menggugurkan kewajiban? Jika jawabannya ya, maka tepatkah pendidikan yang berpola “janji (pahala) dan ancaman (siksa)” yang ternyata membuat ibadah dan tindak laku keseharian menjadi kering dari unsur cinta? Perlukah kita gali metode pendidikan baru untuk generasi kecil kita? Wallahu a’lam.
Share:

No comments:

Post a Comment

Search This Blog