Oleh:
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.[2]
A. BERBAGAI PENGERTIAN
TENTANG KEKUASAAN TERTINGGI
1. Konsep
Kedaulatan Negara
Konsep kedaulatan negara mencakup
dua konteks pengertian, yaitu pengertian internal dan eksternal. Dalam arti
internal, kedaulatan sebagai konsep kekuasaan tertinggi yang dikenal selama ini dalam dunia filsafat
hukum dan politik mencakup ajaran tentang Kedaulatan Tuhan (Theocracy), Kedaulatan
Rakyat (Democracy), Kedaulatan Hukum
(Nomocracy), dan Kedaulatan Raja (Monarchy). Dalam perspektif kekuasaan negara
secara internal ini bahkan nanti akan dijelaskan pula mengenai adanya
ajaran Kedaulatan Lingkungan yang
dapat kita perkenalkan dengan istilah ‘Ecocracy’. Sedangkan dalam perspektif yang bersifat eksternal, konsep kedaulatan
itu biasa dipahami
dalam konteks hubungan antar negara. Dalam hubungan Internasional, orang biasa berbicara
mengenai status suatu negara merdeka yang berdaulat keluar dan ke dalam. Karena, dalam praktik hubungan antar
negara mutlak diperlukan adanya pengakuan Internasional terhadap status suatu
negara yang dianggap merdeka dan berdaulat itu. Tanpa adanya pengakuan, negara
yang mengklaim dirinya sendiri secara sepihak sebagai negara akan sulit ikut serta dalam
pergaulan internasional.
Menyadari hal itu, para perancang
dan perumus undang-undang dasar negara kita pada tahun 1945 juga
mendeklarasikan dengan tegas adanya prinsip kedaulatan negara Indonesia itu,
baik dalam Pembukaan maupun dalam pasal-pasal UUD 1945. Alinea I Pembukaan
menyatakan, “Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan
oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak
sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan”.
Alinea
II Pembukaan UUD 1945 tersebut menyatakan pula, “Dan perjuangan pergerakan
kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan
selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang
kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan
makmur.” Untuk menjaga keutuhan dan kedaulatan negara, diatur pula tugas
konstitusional yang dibebankan kepada Tentara Nasionjal Indonesia (TNI) dalam
Pasal 30 ayat (3) UUD 1945. Pasal 30 ayat (3) tersebut menentukan, “Tentara
Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan
Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara
keutuhan dan kedaulatan negara”. Dari kutipan-kutipan di atas jelas tergambar
bahwa UUD 1945 juga menganut ajaran kedaulatan negara itu dalam konteks
hubungan antar negara yang bersifat eksternal.
Di samping ide kedaulatan
dalam konteks pengertian yang bersifat eksternal dalam hubungan antar negara, UUD 1945 juga dapat dikatakan menganut beberapa
ajaran tentang kedaulatan dalam pengertian internal, terutama dalam hubungan
antara negara dan warga negara dan antara sesama warga negara. Dari keempat konsep kekuasaan tertinggi atau
kedaulatan, yaitu Kedaulatan Tuhan (Theocracy), Kedaulatan Raja/Ratu (Monarchy), Kedaulatan Rakyat (Democracy),
dan ide Kedaulatan Hukum (Nomocracy), setidaknya UUD 1945 menganut 2 ajaran secara
eksplisit, yaitu kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum yang berkaitan dengan
ide demokrasi dan negara hukum. Bahkan, dalam pengertian yang berbeda dari konsepsi
klasik tentang teokrasi, UUD 1945 juga mengakui adanya prinsip kekuasaan
tertinggi yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Kuasa, di samping adanya praktik
sistem kerajaan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang statusnya diakui dan
dihormati menurut Pasal 18B ayat (1) UUD 1945[3].
Sementara itu, dalam
Pembukaan UUD 1945 pada Alinea III, dinyatakan, “Atas berkat rakhmat Allah Yang
Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan
kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya.” Ide Kemahakuasaan Tuhan dalam Pembukaan UUD 1945 ini jelas
merupakan pengakuan bahwa Yang Maha Berkuasa dalam Kehidupan bernegara pun pertama-tama
adalah Tuhan, yaitu Allah Yang Maha Kuasa. Selanjutnya, Pasal 1 ayat (2) UUD
1945 menyatakan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
undang-undang dasar”. Sedangkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Negara
Indonesia adalah negara hukum”[4],
yang tidak lain menegaskan dianutnya prinsip kedaulatan hukum. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengandung dan
menganut hampir semua ajaran kedaulatan, yaitu mulai dari prinsip Kedaulatan
Negara secara eksternal dan semua ajaran kedaulatan secara internal, yaitu prinsip
Kedaulatan Tuhan, Kedaulatan Rakyat, Kedaulatan Hukum[5],
Kedaulatan Raja[6], dan bahkan Kedaulatan Lingkungan yang telah saya uraikan dalam buku
“Green Constitution: Nuansa Hijau UUD 1945” dan juga akan diuraikan lebih
lanjut dalam tulisan ini.
2. Kedaulatan Tuhan
Dalam ide Kedaulatan Tuhan, kekuasaan tertinggi dianggap ada di tangan Tuhan. Tuhanlah yang dipandang sebagai sumber dari segala sumber kekuasaan
manusia di dunia. Manusia hanya lah pelaksana belaka dari kehendak Tuhan. Dapat dikatakan bahwa pengertian
demikian ini dikenal
ada dalam datau oleh semua agama besar dunia dalam sejarah. Agama Hindu, agama Yahudi, Kristen, maupun
Islam mempunyai pengalaman yang sama dalam berhubungan dengan ide-ide tentang
kekuasaan bernegara. Tuhan lah yang pertama-tama dipandang sebagai sumber dari
segala kekuasaan manusia, termasuk dalam urusan bernegara.
Namun
demikian, dalam perwujudan konkritnya, dimanakah kekuasaan Tuhan itu tampil
atau menampilkan diri dalam praktik kegiatan bernegara? Dalam kenyataan
praktiknya, sejak dari zaman pra-sejarah, kekuasaan tuhan itu selalu dipahami
melekat dalam diri para pemimpin yang bersifat turun-temurun. Karena itu, di
antara berbagai agama, muncul konsep Raja-Dewa dalam sejarah umat Hindu,
Raja-Pendeta dalam sejarah Kristen, dan Raja-Khalifah dalam sejarah umat Islam.
Di zaman Plato dan Aristoteles[7]
di Yunani kuno ketika masyarakatnya yang sedang bergairah dengan pemikiran
filsafat, berkembang pula konsep “The
Philosopher’s King” atau Raja-Filosof, yang kurang lebih sama saja dengan
Raja-Dewa tersebut di atas. Para raja tersebut diharapkan mempunyai kepribadian
yang ideal dan dapat dijadikan panutan sesuai dengan idealitas yang diajarkan
oleh agama yang mereka anut.
Demikian pula pandangan Plato tentang “The
Philosopher’s King”. Pemimpin negara di zaman Plato tidak lain adalah Raja,
tetapi Raja yang diidealkan oleh Plato itu hendaklah memahami masalah-masalah
kenegaraan secara mendalam seperti para filosof.
Jikalau Plato memadukan
idealitas kepemimpinan negara antara Filosof dan Raja, maka dalam paham-paham
keagamaan klasik, yang diintegrasikan adalah ide tentang kepemimpinan agama
dengan Raja. Dari pengertian demikian inilah kemudian
muncul doktrin ‘theocracy’ dalam sejarah,
yaitu bahwa kekuasaan bernegara pada prinsipnya berasal dari Tuhan yang
diwujudkan dalam pribadi raja atau ratu secara turun temurun. Di beberapa
negara, hanya laki-laki yang diperbolehkan menjadi pemimpin negara, tetapi di
beberapa negara lainnya, tidak mempersoalkan jenis kelamin, sehingga dapat
menerima raja atau ratu sebagai kepala negara. Dalam paham teokrasi itu, siapa
saja yang diangkat menjadi raja atau ratu, dialah yang juga menjadi pemimpin
agama yang dianut warga atau rakyatnya.
Dalam perkembangannya, praktik teokrasi ini tentu banyak sekali menghadapi persoalan. Agama dan Tuhan seringkali dengan sangat mudah dijadikan
alat legitimisasi kekuasaan. Bahkan
agama dan Tuhan dengan mudah diperalat dalam rangka keserakahan nafsu manusia
akan kekuasaan, akan kekayaan, dan pelampiasan nafsu seks secara tanpa kendali.
Jika sang Raja atau Ratu bertindak sewenang-wenang, maka
kesewenang-wenangannya itu tidak dapat diganggu-gugat oleh siapapun juga,
karena titah Raja atau Ratu dianggap identik dengan titah Tuhan yang Maha Kuasa.
Itu sebabnya di zaman sekarang,
doktrin kedaulatan tuhan dan konsep Negara Teokrasi itu dianggap sudah
ketinggalan zaman dan tidak relevan lagi dan bahkan sangat berbahaya untuk
diterapkan. Ide teokrasi juga selalu dilihat dari segi negatifnya karena sifatnya yang
sewenang-wenang. Setiap kali orang membicarakan negara agama, sering timbul
salah paham seolah hal itu pasti terkait dengan pengertian yang negatif itu.
Bahkan, lebih ekstrim lagi, membicarakan agama dalam konteks kehidupan
bernegara seringkali dikaitkan dengan pengertian teokrasi yang negatif itu.
Menurut pendapat saya, ide teokrasi (theocracy)
menjadi negatif karena perwujudannya terkait dengan kerajaan atau monarki,
sehingga pemahaman mengenai Tuhan Yang Maha Kuasa diwujudkan dalam Kekuasaan
Raja yang dapat bertindak apa saja atas nama Tuhan.
Para Raja atau Ratu itu sekaligus
bertindak sebagai Kepala Agama, sehingga kekuasaannya sangat luas dan termasuk
urusan-urusan pribadi warganya. Karena itu, bangsa-bangsa Eropah yang pada
umumnya beragama Kristen, dalam waktu yang cukup lama, dipimpin oleh para Raja
atau Ratu yang juga sekaligus merupakan Kepala Gereja. Dalam status ganda itu,
kekuasaan Raja-Pendeta terus berkembang ke tingkat yang sangat ekstrim,
sehingga pada akhirnya mendorong munculnya gerakan perlawanan dari rakyat yang
kemudian dikenal sebagai gerakan sekularisme. Gerakan sekularisme ini pada
pokoknuya berusaha memisahkan negara dari agama dalam wilayah kekuasaannya
masing-masing.
Kecuali
di Inggeris yang sampai sekarang -- meskipun hanya secara simbolis – masih
memertahankan kedudukan Raja atau Ratu sebagai Kepala Gereja Anglikan,
kebanyakan negara-negara Eropah memang telah berhasil memisahkan negara dari
agama. Bahkan, banyak juga negara yang atas desakan rakyatnya berhasil diubah
dari bentuk kerajaan menjadi republik, seperti Perancis, Jerman, Austria,
Italia, Portugal, Russia, Hongaria, Polandia, dan lain-lain sebagainya.
Sesudah itu ajaran kedaulatan tuhan
ini dapat dikatakan mulai ditinggalkan orang, karena kelemahan-kelemahan
inheren yang terdapat di dalamnya. Namun demikian, sekali lagi, patut
diperhatikan oleh para ahli bahwa doktrin mengenai kedaulatan tuhan atau ‘theocracy’ itu, sebenarnya, ditolak
dalam sejarah karena kelemahannya yang mewujudkan diri dalam gagasan kedaulatan
raja. Kedaulatan Tuhan atau teokrasi itu, apabila diwujudkan dalam sistem
kerajaan, terbukti telah menyebabkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan
kewenang-wenangan. Oleh karena itu, sistem yang demikian ini dapat dipandang
tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan, meskipun masih tetap banyak juga
negara yang menerapkannya sampai sekarang.
Namun demikian, apabila konsep
teokrasi atau prinsip Kedaulatan Tuhan itu tidak diwujudkan dalam sistem
kerajaan, tentu tetap dapat dipertimbangkan relevansinya di zaman modern
sekarang ini. Misalnya, paham Kedaulatan Tuhan itu dapat diwujudkan dalam paham
Kedaulatan Rakyat, atau dapat pula diimplementasikan melalui paham Kedaulatan
Hukum. Kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa tetap diakui, tetapi perwujudannya dalam
praktik dipandang menjelma dalam keyakinan setiap rakyat yang berdaulat.
Keyakinan akan ke-Maha-Kuasaan Tuhan itu, menurut saya, justru menimbulkan
sikap kesetaraan di antara sesama manusia yang sama-sama berdaulat. Setiap
manusia hanya tunduk kepada Tuhan, dan bukan kepada manusia. Jikalau seorang manusia
harus tunduk kepada manusia lain yang menduduki status sebagai pemimpin, maka
ketundukan itu hanya dapat diterima sepanjang sang pemimpin dapat dijadikan
teladan dalam sikap taat kepada aturan hukum yang berlaku, termasuk ketentuan Tuhan
Yang Maha Kuasa.
Dalam pengertian yang terakhir ini,
saya berpendapat bahwa paham teokrasi itu masih relevan asalkan perwujudannya
dikaitkan dengan gagasan kedaulatan rakyat dan/atau kedaulatan hukum, bukan
dengan gagasan kedaulatan raja seperti dalam sistem monarki. UUD 1945, menurut
saya, juga dapat dikatakan menganut paham Kedaulatan Tuhan atau Teokrasi itu, yaitu
Kedaulatan Tuhan Yang Maha Esa yang perwujudannya dikaitkan dengan gagasan
Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Hukum. Kedaulatan Tuhan Yang Maha Esa dalam rumusan
Pancasila dan UUD 1945, mempunyai ciri yang berbeda dari konsep Teokrasi (Theocracy) yang dianggap negatif seperti
dalam pengertiannya di Eropah di zaman dahulu dimana Kedaulatan Tuhan atau
Teokrasi itu diwujudkan dalam Sistem Kerajaan (Monarchy).
3 Kedaulatan Raja
Konsep Kedaulatan Raja sama tuanya
dengan gagasan Kedaulatan Tuhan. Bahkan sampai abad ke-6, semua negara yang
tercatat dalam sejarah selalu dipimpin oleh penguasa yang bersifat tuturn
temurun, yang biasa disebut sebagai Raja atau Ratu. Negara pertama yang
tercatat melakukan suksesi kepemimpinan tidak melalui hubungan darah hanya di
zaman sepeninggal nabi Muhammad saw yang kemudian digantikan oleh Khalifah
Abubakar Shiddiq, dilanjutkan oleh Umar ibn Khattab, Usman ibn ‘Affan, dan
terakhir Ali ibn Abi Thalib sebelum akhirnya kembali lagi ke sistem kerajaan.
Karena itu, dapat dikatakan bahwa negara Madinah selam periode keempat khalifah
inilah yang disebut sebagai negara yang berbentuk republik yang murni
sebagaimana yang diidealkan oleh Plato di zamannya[8].
Sesudah itu, negara Madinah dipimpin
oleh Raja-Khalifah dari Dinasti Ummayah, dan seterusnya. Karena itu, hampir
dapat dikatakan bahwa sejarah kekuasaan di antara umat manusia adalah sejarah
tentang kerajaan. Orang baru mengenal bentuk republik seperti yang dipraktikkan
dewasa ini paling-paling baru 3 abad terakhir, terutama setelah Amerika Serikat
memerdekakan diri dan menjadi negara republik konstitusional yang pertama.
Dalam konsep kedaulatan raja ini,
Raja lah yang dipandang mempunyai kekuasaan tertinggi atas apa saja. Karena
besarnya kekuasaan para raja itu, berkembang pula pengertian mengenai imperium yang dibedakan dari dominion. Seperti dikatakan oleh
Montesquieu, ‘imperium’ merupakan
konsep ‘rule over individuals by the
prince’, sedangkan dominium atau ‘dominion’
merupakan ‘rule over things by the
individuals’. Namun, jika kedua pengertian itu berhimpun jadi satu, maka
sang Raja sudah dipastikan menjadi tiran yang tidak dapat dikendali oleh apapun
dan siapapun.
Semua sumber-sumber ekonomi dalam
wilayah kerajaan dianggap sebagai hak milik raja, demikian pula semua warganya
dipandang tidak lebih daripada budak-budak dan hamba sahaya bagi para raja dan
keluarganya. Raja menguasai semua orang dan semua benda di tangan genggamannya
sendiri. Karena itu, setiap warga di sepanjang hidupnya diwajibkan membayar
upeti dan pajak wajib kepada Raja agar dapat terus diperlakukan sebagai rakyat
dan hamba sahaya. Jika tidak memenuhi kewajibannya, tidak ada yang dapat
menghalangi jika sang Raja menurunkan titah agar yang bersangkutan dipenjarakan
atau dihukum mati.
Tentu, di zaman sekarang, pengertian
yang demikian ekstrim sudah banyak ditinggalkan orang. Meskipun demikian,
negara-negara yang berbentuk kerajaan masih cukup banyak di dunia sekarang ini.
Akan tetapi, semua kerajaan-kerajaan yang masih ada itu, pada umumnya, sudah
mengalami perubahan mendasar dalam cara bekerjanya sehari-hari. Di zaman
sekarang, konsep kedaulatan rakyat tidak lagi dikaitkan dengan kedaulatan
Tuhan, melainkan diintegrasikan dengan konsep kedaulatan rakyat, sehingga
negara-negara kerajaan dewasa ini berhasil membedakan dan memisahkan antara
fungsi kepala negara dengan kepala pemerintahan.
Dalam praktik sehari-hari,
Kedaulatan Raja diwujudkan dalam kedudukan Kepala Negara, sedangkan sistem
pemerintahan dikaitkan dengan konsep Kedaulatan Rakyat yang tercermin dalam
kedudukan Kepala Pemerintahan. Karena itu, kerajaan-kerajaan seperti Inggeris,
Belanda, Belgia, Jepang, Malaysia biasa disebut sebagai negara demokrasi,
dimana pemerintahannya dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Dari segi
yang lain, prinsip kedaulatan raja itu juga diwujudkan dalam gagasan kedaulatan
hukum, dimana hukum juga dianggap sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam
kerajaan. Karena itu, muncullah konsep monarki konstitusional (constitutional monarchy) dalam praktik.
Negaranya adalah kerajaan, tetapi hukum tertinggi yang berlaku adalah
konstitusi.
Dengan demikian, dewasa ini, tidak
ada masalah dengan pengertian umum mengenai kerajaan yang menganut paham
kedaulatan raja, karena pada saat yang sama kerajaan-kerajaan itu dapat
mengadopsi gagasan-gasan kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum sekaligus.
Karena itu, seperti kemukakan di atas, konsep teokrasi juga dapat dipandang
positif apabila tidak dikaitkan atau diwujudkan dalam paham kedaulatan raja
atau kerajaan. Seperti halnya sistem kerajaan dapat diintegrasikan dengan
kedaulatan rakyat atau sistem demokrasi dan paham kedaulatan hukum atau
nomokrasi (the rule of law atau pun rechtsstaat), maka teokrasi atau paham
Kedaulatan Tuhan juga dapat diwujudkan dalam paham Kedaulatan Rakyat dan paham
Kedaulatan Hukum. Dengan demikian, jika sistem kerajaan masih dapat dipandang
relevan, sistem teokrasi juga dapat diterima asalkan bukan dalam pengertian
yang berkembang pada abad pertengahan.
4. Kedaulatan
Rakyat
Yang paling menarik di atas
ajaran-ajaran kedaulatan tersebut di atas adalah ajaran kedaulatan rakyat dan
ajaran kedaulatan hukum. Meskipun belum dipraktikkan sebagaimana mestinya,
keduanya telah digagaskan sejak dari zaman Yunani kuno dan Rumawi kuno.
Mengenai yang pertama, yaitu ajaran kedaulatan rakyat, pada pokoknya terkait
dengan konsep yang dikenal sebagai demokrasi. Demokrasi berasal dari perkataan
‘demos’ yang berarti rakyat dan ‘kratien’ atau ‘cratie’ yang berasti kekuasaan[9]. Dengan demikian demokrasi berarti
kekuasaan rakyat, yaitu sebagai suatu konsep tentang pemerintahan oleh rakyat
atau ‘rule by the people’.
Cakupan pengertian yang sering
dipopulerkan sehubungan dengan konsep demokrasi itu mencakup prinsip dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Bahkan saya sering menambahkan satu
prinsip lagi yaitu prinsip bersama rakyat. Jadi, demokrasi itu tidak lain
adalah prinsip dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, dan bersama rakyat.
Itulah demokrasi atau kedaulatan rakyat, yaitu satu ajaran yang memandang kekuasaan
tertinggi ada di tangan rakyat, berasal dari rakyat, untuk kepentingan rakyat, dan
diselenggarakan bersama-sama dengan rakyat pula.
Istilah demokrasi (demos + cratos) dalam
sejarah Yunani kuno sebetulnya tidaklah dipandang ideal. Di zaman Plato, yang
dianggap ideal adalah republik impian (ideal
state) yang dipimpin oleh Raja-Filosof atau “the Philosopher’s King”[10].
Baru setelah Plato wafat, dengan mengambil inspirasi dari buku Plato sendiri
yang dihimpun oleh murid-muridnya dari tulisan-tulisan yang berserak menjadi
sebuah buku tebal yang diberi judul oleh Plato sendiri dengan judul “Nomoi”. Kata ‘nomoi’ yang secara harfiah berarti norma itu lah yang kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris menjadi “The Laws”[11].
Oleh karena itu, yang diidealkan kemudian adalah prinsip nomokrasi sebagai
konsep awal negara hukum modern, bukan konsep demokrasi yang justru dipandang
negatif di zaman Plato.
Karena itu, tradisi demokrasi atau
kedaulatan rakyat ini oleh para ahli lebih dinisbatkan sebagai kelanjutan
tradisi Romawi dari pada dengan tradisi Yunani. Ide demokrasi lebih pesat
tumbuhnya di Romawi daripada di Yunani yang lebih akrab dengan ide negara hukum sejak zaman Plato dan
Aristoteles[12]. Konsep demokrasi atau kedaulatan rakyat dinilai oleh orang Yunani
dengan kacamata negatif karena mengandaikan bahwa suatu pemerintahan
dikendalikan oleh massa rakyat dan bahkan mobokrasi yang tidak menjamin
ketertiban[13].
Perkataan demokrasi baru mendapatkan
pamaknaan yang positif di abad-abad modern, terutama setelah muncul
praktik-praktik yang dipandang baik di abad pertengahan, yaitu di dunia Arab
pada abad ke-7. Praktik-praktik penulisan formal kontrak-kontrak sosial seperti
Piagam Madinah, sistem pemilihan kepala negara tanpa melalui prinsip hubungan
darah, mekanisme permusyawaratan dan perwakilan untuk pengambilan keputusan
atas masalah-masalah bersama, yang diterapkan di masa nabi Muhammad saw dan
empat khalifah pertama sesudah nabi Muhammad wafat atau biasa disebut periode
Khulafau al-Rasyidin, -- di kemudian hari – ternyata memberikan inspirasi yang
penting bagi penamaan sistem yang baik itu sebagai demokrasi. Sesudah periode
ini, konsep ‘kekhalifahan’ terjebak
perwujudannya dalam sistem kerajaan (monarki)[14].
Kemudian, sesudah periode itu,
praktik-praktik yang dianggap baik dalam penyelenggaraan kekuasaan negara
dinisbatkan dengan istilah yang pernah dianggap negatif di masa Yunani kuno,
yaitu demokrasi. Sampai pertengahan abad ke-20, menurut Amos J. Peslee, lebih
dari 90% negara di dunia mengaku menganut paham demokrasi atau kedaulatan
rakyat ini. Artinya, wacana tentang demokrasi itu sudah demikian luas diterima
di seluruh penjuru dunia, terlepas dari apa yang dipraktekkan di lapangan.
Sebab nyatanya, spektrum praktik demokrasi yang diterapkan oleh semua negara
yang mengaku demokrasi itu sangat beraneka-ragam mulai dari Amerika Serikat
sampai ke Uni Soviet yang sekarang sudah tiada, Kuba, dan negara-negara komunis
lainnya yang mempunyai penafsiran berbeda satu sama lain.
Dewasa ini, memang ada usaha untuk
membatasi pengertian demokrasi itu hanya untuk negara-negara tertentu saja.
Misalnya, Indonesia – di masa Orde Lama dan Orde – dipandang tidak demokratis dan
baru sesudah masa reformasi Indonesia dianggap sebagai negara demokrasi. Dari
segi jumlah penduduknya, Indonesia bahkan sering disebut sebagai ‘the third largest democracy in the world’
sesudah India dan Amerika Serikat. Republik Federasi Russia yang sekarang dibandingkan
dengan Uni Soviet yang ada sebelumnya, juga dinilai merupakan hasil perubahan dari
komunisme ke demokrasi. Russia sekarang, dari segi jumlah penduduknya,
merupakan ‘the fourth largest democracy
in the world’. Semua negara bekas komunis di Eropah Timur biasa disebut
sebagai ‘new democracies’ atau
negara-negara demokrasi baru.
Negara-negara
komunis Eropah Timur, seperti Uni Soviet, Hongaria, Polandia, Cekoslovakia, dan
lain-lain, setelah berubah meninggalkan paham komunisme, semuanya disebut
sebagai negara demokrasi. Tentu, konsep demokrasi yang dimaksudkan disini identik
dengan pengertian kedaulatan rakyat atau ‘the
rule by the people’ (the people’s
sovereignty). Artinya, selama era komunisme Uni Soviet masih berjaya,
Russia dan negara-negara Eropah Timur lainnya tersebut tidak dianggap sebagai
negara demokrasi. Padahal, konstitusi negara-negara komunis itu masing-masing mengaku
atau mengklaim menganut prinsip kedaulatan rakyat. Artinya, demokrasi itu dalam
arti normatif dan formalistik, memang harus dibedakan dari pengertiannya yang aktual
dalam kenyataan.
Dalam rangka pelaksanaan prinsip
kedaulatan rakyat itu di lapangan, diperlukan mekanisme yang secara substansial
menjamin penyaluran aspirasi, pendapat, kehendak rakyat yang berdaulat itu.
Karena itu, orang menciptakan lembaga perwakilan rakyat dan lembaga partai
politik sebagai penyalurnya. Bahkan, kepala pemerintahan eksekutif juga dipilih
langsung ataupun tidak langsung oleh rakyat, sehingga – baik pejabat yang
menjalankan fungsi legislatif maupun eksekutif – merupakan wujud dari rakyat
yang berdaulat. Malah, di negara demokrasi, para hakim agung juga dipilih
melalui mekanisme di parlemen, sehingga dapat dikatakan bahwa para pejabat di
lingkungan cabang kekuasaan judikatif juga mencerminkan prinsip kedaulatan
rakyat itu, meskipun hanya secara tidak langsung.
5. Kedaulatan Hukum
Konsep terakhir ialah kedaulatan
hukum yang mengandaikan bahwa pemimpin tertinggi di suatu negara bukanlah figur
atau tokoh, tetapi sistem aturan. Manusia hanyalah
wayang dari skenario yang telah disusun dan disepakati bersama dengan
menampilkan para wayang itu sebagai pemeran. Karena itu, teori kedaulatan hukum[15]
itu menurut tradisi Anglo-Amerika diistilahkan dengan ‘the rule nof law, not of man’, pemerintahan oleh hukum, bukan oleh
orang; kepemimpinan oleh sistem, bukan oleh tokoh atau oleh orang per orang.
Istilah-istilah terkait dengan itu
yang tidak boleh dikacaukan penggunaannya satu sama lain adalah ‘the rule by law’, ‘the rule of man by using law’, ‘the
rule of dictatorship’. Istilah yang benar untuk menunjuk kepada pengertian
kedaulatan hukum atau negara hukum dalam bahasa Inggeris adalah rule of law, bukan rule by law yang menggunakan hukum sebagai sebagai alat kekuasaan.
Pengertian ‘rule by law’ identik
dengan pengertian ‘rule of dictatorship’,
bukan negara hukum yang disebut ‘rechtsstaat’
menurut tradisi Jerman dan Belanda. Meskipun unsur-unsur pengertian ‘rule of law’[16]
menurut tradisi Inggeris sangat berbeda dari unsur-unsur pengertian ‘rechtsstaat’ menurut tradisi Eropah
Kontinental, kedua konsep ini dapat kita terjemahkan dalam bahasa Indonesia
dengan kata ‘negara hukum’.
Dengan cara berpikir yang demikian
itulah kita menyebut adanya prinsip negara hukum. Dalam negara hukum, hukumlah
yang dijadikan panglima, bukan ekonomi dan apalagi kekuasaan politik semata (machtsstaat). Menurut tradisi Anglo
Amerika, unsur-unsur pengertian negara hukum yang disebut dengan istilah ‘the rule of law’ tersebut mengandung
tiga prinsip, yaitu[17]:
(i) supremasi
hukum (supremacy of law);
(ii) persamaan
dalam hukum (equality before the law);
dan
(iii) proses
pemerintahan atau penyelenggaraan kekuasaan berdasarkan undang-undang (due process of law).
Ketiga
prinsip inilah yang membentuk pengertian tentang negara hukum menurut versi
Anglo-Amerika. Sedangkan menurut tradisi Eropah Kontinental, khususnya Jerman
dan Belanda, pengertian klassik tentang ‘rechtsstaat’
itu mencakup empat prinsip, yaitu:
(i) pengakuan dan
perlindungan hak asasi manusia;
(ii) pembatasan kekuasaan;
(iii) pemerintahan
berdasarkan undang-undang; dan
(iv) adanya peradilan administrasi negara.
Dalam
pengertian modern sekarang, menurut pendapat saya, formula unsur-unsur ‘rechtsstaat’ tersebut dapat pula dikemas
dengan cara baru, yaitu (i) adanya perlindungan hak-hak asasi manusia, baik
sebagai hak konstitusional maupun dalam tindakan-tindakan nyata dalam praktik
kenegaraan, (ii) adanya pembatasan kekuasaan negara menurut sistem ‘checks and balances’ antar fungsi
kekuasaan, (iii) pelaksanaan pemerintahan didasarkan atas undang-undang yang
telah ditetapkan lebih dulu, dan (iv) tersedianya mekanisme atau upaya hukum
melalui proses peradilan yang dapat dipakai untuk maksud melawan, menggugat atau
menguji keputusan-keputusan negara (beschikking),
peraturan-peraturan resmi negara (regelingen),
ataupun putusan-putusan pengadilan negara (vonnis). Jika keempat hal ini ada,
maka negara yang bersangkutan dapat disebut sebagai ‘rechtsstaat’ atau negara hukum[18].
Pendek
kata, dalam aneka kegiatan bernegara, hukum lah yang menjadi penentu segalanya.
Hukum merupakan panglima. Hukum merupakan sistem aturan. Yang memimpin kita
adalah sistem aturan itu, bukan orang per orang yang kebetulan menduduki
jabatan. Orang yang memegang jabatan-jabatan publik datang dan pergi secara
dinamis, tetapi sistem aturan bersifat ajeg dan relatif tetap. Karena itu,
pergantian orang tidak boleh secara serta merta berakibat pada pergantian
sistem aturan. Semua orang yang menduduki jabatan dan secara hukum diberi
kewenangan untuk bertindak atas nama negara, wajib ditaati oleh semua subjek
hukum yang bersangkutan atau yang terkait sepanjang pejabat tersebut
menjalankan peraturan perundang-undangan sebagaimana mestinya dan dapat
dijadikan teladan (role model) dalam
sikapnya yang taat kepada aturan-aturan hukum itu.
B. GAGASAN KEDAULATAN
LINGKUNGAN HIDUP
1. Pembebasan dan
Kebebasan Manusia
Sesudah membahas konsep Kedaulatan
Tuhan (Sovereignty of God), Kedaulatan
Raja (Sovereign Monach), Kedaulatan
Rakyat (Sovereignty of the People),
dan Kedaulatan Hukum (Sovereignty of Law),
sekarang tiba gilirannya kita membahas persoalan Kedaulatan Lingkungan (Sovereignty of the Environment) yang
menjadi salah satu gagasan pokok yang hendak ditawarkan dalam tulisan ini.
Namun demikian, sebelum membahas hal itu, kita perlu menguraikan lebih dulu
akibat-akibat dari paham demokrasi yang dipraktikkan selama ini, terutama
akibat dari kebebasan yang dipraktikkan dalam dan atas nama sistem demokrasi
modern. Hampir semua orang, semua masyarakat, dan negara yang ada sekarang mengidealkan
konsep kekuasaan negara yang disebut demokrasi. Semua sistem politik yang ada
sekarang mengklaim dirinya sebagai penganut paham demokrasi. Bahkan jika kita
pelajari konstitusi negara-negara anggota PBB satu per satu, maka – seperti
dikatakan oleh Amos J. Peaslee[19],
akan kita dapati bahwa lebih dari 90% konstitusi itu mengaku menganut demokrasi
atau ajaran kedaulatan rakyat.
Artinya,
kata demokrasi itu sudah berkembang menjadi simbol mengenai sistem pemerintahan
atau sistem kekuasaan negara yang baik dan ideal. Bahkan, seperti dikatakan
oleh Ian Shapiro, “The democratic idea is
close to nonnegotiable in today’s world”[20].
Padahal, di zaman Artistoteles dan Plato, istilah demokrasi itu sendiri
dianggap mempunyai citra dan konotasi yang negatif atau buruk. Sekarang kita
harus menerima kenyataan bahwa semua orang mengidealkan demokrasi sebagai
bahasa pergaulan dalam pemikiran dan praktik penyelenggaraan negara di dunia,
meskipun setiap negara mempunyai pengertiannya sendiri dan menerapkan ukurannya
sendiri mengenai apa yang demokratis dan apa yang tidak.
Meskipun semua negara mengaku
demokratis, tetapi setiap negara juga mempunyai definisinya sendiri tentang
demokrasi dan menerapkan ukuran-ukuran sendiri tentang apa yang diidealkan
dalam demokrasi itu. Karena itu, tidaklah aneh jika di masa lalu kita
menyaksikan bagaimana Uni Soviet yang komunis dalam konstitusinya mengaku
menganut paham kedaulatan rakyat atau demokrasi, sama seperti Amerika Serikat
yang sangat anti-komunis menganut sebagai model bagi demokrasi yang ideal di
dunia. Demikian pula negara-negara seperti Ekuador, Cuba, Vietnam, Korea Utara,
Pakistan, Nigeria, Sudan, Libya, dan Iran semua mengakt sebagai demokrasi, sama
dengan Jepang, Filipina, Korea Selatan, Afrika Selatan, Perancis, Jerman,
Belanda, Spanyol, dan lain-lain sebagainya. Padahal dalam praktiknya, setiap
negara itu mempunyai ciri khas dan kinerja demokrasi yang berbeda-beda satu
dengan yang lain.
Terlepas dari perbedaan-perbedaan
itu, yang pasti ialah bahwa semua negara dan semua orang mengaku demokratis.
Sekarang tidak ada orang yang mau dipandang tidak demokratis dalam setiap
pengambilan keputusan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa gagasan demokrasi
sudah benar-benar tertanam dalam hati sanubari dan dalam paradigma berpikir
umat manusia modern dimana-mana dewasa ini. Lalu apa yang terpenting dalam cara
berpikir demokrasi itu? Apa dampaknya bagi keseimbangan-keseimbangan yang
diperlukan dalam kehidupan umat manusia dewasa ini? Dapatkah kita mengaitkan
gejala kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup yang terjadi dimana-mana
dewasa ini dengan kebebasan manusia yang diciptakan oleh sistem demokrasi?
Untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, marilah kita memulai
pembahasan dengan melihat hakikat manusia dalam sistem demokrasi. Dalam
demokrasi, yang dianggap pokok adalah manusia. Manusia bahkan dianggap sebagai
pusat kehidupan. Memang terdapat perbedaan antara sistem individualisme-liberal
dengan sistem kolektivisme-sosialis. Yang satu melibat setiap pribadi manusia
sebagai pribadi yang otonom, sedangkan yang kedua lebih mengutamakan otonomi
dari kolektivitas manusia yang hidup bersama. Namun demikian, baik paham
pertama yaitu paham individualisme-liberal maupun paham kedua
kolektivisme-sosialis dan komunis sesungguhnya sama-sama memandang bahwa
manusia adalah titik pusat dari semua aspek kehidupan.
Kedua paham kedaulatan rakyat atau
demokrasi tersebut sama-sama bersifat anthroposentris dengan menempatkan
manusia sebagai pusat kehidupan. Dalam hubungan dengan itu, kita perlu juga
mendiskusikan lebih dulu mengenai perubahan pola hubungan antara manusia dan
kebudayaan dalam sejarah umat manusia. Menurut van Peursen[21],
pola hubungan manusia dengan kebudayaan berkembang melalui tiga tahapan, yaitu
tahap mistis, tahap ontologis, dan tahap fungsional.
a.
Tahap Mitis
Pada tahap pertama, manusia
memandang dirinya sebagai bagian saja dari alam semesta, sehingga hidup dan
kehidupan manusia sangat bergantung dan menggantungkan diri pada alam sekitar.
Untuk mendapatkan makanan, minuman, pakaian, tempat tidur atau menetap,
sepenuhnya tergantung kepada pemberian alam. Apa yang dapat dijangkau oleh
masing-masing, mereka ambil untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok sehari-hari.
Sandang, pangan, papan, obat-obatan dan apa saja yang diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan hidup, semuanya disandarkan hanya kepada anugerah alam yang tersedia
di sekitar kehidupan masing-masing. Pada tahap perkembangan yang masih sedemikian
primitif seperti itu, manusia belum mengenal ilmu pengetahuan dan teknologi
yang memungkinkannya memenuhi kebutuhan hidupnya dengan alat-alat yang canggih.
Cara berpikir manusia primitif juga
sangat tergantung kepada alam. Setiap kejadian-kejadian alam, seperti bencana,
ataupun peristiwa-peristiwa alam lainnya selalu dikaitkan dengan
kekuatan-kekuatan super-natural yang mereka yakini adanya, meskipun tanpa
verifikasi. Jika muncul banjir atau air bah dari lautan ke daratan atau
munculnya gelombang laut di pantai selatan pulau Jawa yang besar dan
membahayakan nelayan, dengan mudah kejadian seperti akan dikaitkan dengan
kemarahan Nyi Roro Kidul atau hal-hal gaib lainnya yang tidak masuk akal bagi
manusia modern. Namun bagi masyarakat primitif, kekuatan-kekuatan super-natural
seperti sangat dipercaya dan karenanya disembah-sembah, meskipun harus dengan
mengorbankan kekayaan dan kadang-kadang mengorbankan manusia sebagai tumbal.
Pada malam hari yang gelap, jika dengan
tiba-tiba ada warna putih terbang ditiup angin ke arah pohon tertentu, maka
pohon itu dengan mudah akan dianggap ada ‘penunggu’nya, yaitu roh halus. Kadang-kadang
pohon seperti itu lama-lama dipercaya mengandung kekuatan tertentu sehingga
disembah oleh orang-orang yang percaya kepada roh halus sebagai dewa atau
setidaknya tempat dewa berada. Jika petir yang sangat keras terjadi di satu
waktu, maka kekuatan petir itu dapat dianggap sebagai cermin kemarahan Tuhan
kepada manusia yang tidak tunduk kepadanya. Pendek kata, kehidupan manusia
diisi penuh oleh mitos-mitos, mistik-mistik, dan hal-hal yang bersifat magis.
Pada tahap perkembangan demikian ini, dapat dikatakan bahwa manusia tunduk dan
bahkan terkungkung dalam alam. Kehidupan manusia tergantung kepada alam,
termasuk dalam menyediakan makanan untuk hidup bagi manusia. Manusua primitif
makan apa saja yang secara langsung disediakan oleh alam. Pendek kata, alamlah
yang dianggap menjadi penentu segala kehidupan umat manusia dan penentu
segala-galanya.
Dengan cara berpikir semacam itu
manusia menciptakan tuhan-tuhannya sendiri-sendiri, sehingga semua masyarakat
manusia selalu mengenal tuhan dan menciptakan agama untuk kebahagiaan hidup
mereka masing-masing atau bersama-sama. Pendek kata, semua masyarakat berusaha
mencari tuhannya sendiri dengan menggunakan akal masing-masing, yang tanpa
wahyu dari Tuhan, menafsirkan apa saja kekuatan supernatural yang berada di
luar jangkauan kekuasaannya sebagai tuhan. Oleh karena itu, dalam satu studi
antropologi oleh Kluckhon, dikatakan bahwa agama atau religi merupakan salah
satu dari “the seven cultural universals”[22].
Adalah merupakan gejala universal bahwa dimana ada masyarakat, disana pasti ada
sistem kepercayaan atau religi. Pendek kata, manusia hidup dalam dan tergantung
kepada alam serta menganggapnya lebih tinggi dan lebih berkuasa daripada
dirinya.
Pandangan van Peursen tentang tahap
mitis ini mirip dengan titik berangkat teori positivsme Auguste Comte mengenai
tahap-tahap perkembangan masyarakat. Menurut Comte[23],
masyarakat berkembang dari tahap mitis-religius ke tahap Metafisis, lalu ke
tahap ketiga yaitu tahap positif. Meskipun banyak kritik kepada pemikiran
Auguste Comte ini yang berpandangan bahwa makin modern kehidupan umat manusia,
makin jauh manusia itu dari kepercayaan kepada Tuhan. Namun, titik berangkat
pandangan Comte dan van Peursen ini sama, yaitu pada tahap pertama, kehidupan
diisi oleh ketergantungan kepada kekuatan-kekuatan yang bersifat supernatural
sebagai tanda bahwa manusia tunduk dan bersikap inferior terhadap alam.
b.
Tahap Ontologis
Pada tahap kedua atau tahap
ontologis, pola hubungan manusia dengan alam itu berubah total. Setelah umat
manusia berhasil mengembangkan filsafat dan ilmu pengetahuan dan teknologi,
manusia dapat merasa dan menjadi lebih bebas dan merdeka dari ketergantungannya
kepada alam. Makin tinggi tingkat peradaban umat manusia karena keberhasilannya
mengembangkan filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi, makin besar
kekuasaannya atas alam dan kehidupan mereka sendiri.
Filsafat berkembang dengan
membebaskan manusia untuk berpikir, berpikir, dan berpikir, baik mengenai
kehidupan manusia sendiri maupun mengenai alam semesta di luar diri manusia. Kedua
subjek pemikiran inilah yang melahirkan ilmu-ilmu sosial dan humaniora serta
ilmu-ilmu kealaman yang bersifat eksakta (natural
sciences). Filsafat dan ilmu pengetahuan berhasil membebaskan umat manusia
dari kungkungan dan ketergantungan kepada alam, dan teknologi menyediakan
peralatan bagi manusia bahkan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi alam
untuk kepentingannya sendiri.
Jika pada tahap mitis, manusia
berada dan terkungkung di dalam alam, maka pada tahap ontologis manusia berada
di luar alam dan menjadikannya objek eksplorasi dan eksploitasi. Sikap-sikap
superioritas semacam itulah sebenarnya yang mendorong dan menyebabkan
terjadinya eksploitasi alam secara besar-besaran oleh umat manusia di era
industrialisasi sampai sekarang. Apa saja yang ada di atas langit, di bawah
perut bumi, di bawah laut dalam, semua dapat diteliti, diketahui, dan dikuasai
oleh umat manusia berkat bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi super-modern. Bahkan,
misalnya, dalam ilmu psikologi dan kedokteran, manusia berhasil mempelajari
dirinya sendiri, baik dari segi fisik maupun dari kejiwaan. Demikian pula dalam
bidang sosial politik, manusia juga berhasil mempelajari watak-watak kekuasaan
dan motif-motif manusia untuk berkuasa.
Di bidang kedoketeran, misalnya,
jasad manusia sudah biasa disayat-sayat, baik untuk kepentingan kesehatan
maupun untuk kepentingan penelitian ilmiah. Demikian pula operasi plastik untuk
maksud mengubah penampilan manusia, untuk mempercantik wajah dan sebagainya
sudah lazim dikerjakan oleh umat manusia dewasa ini. Apalagi, eskplorasi dan
eksploitasi energi dan sumber daya mineral, tambang emas, timah, nikel,
penambangan hutan untuk perkebunan besar, dan sebagainya, semuanya dikerjakan dengan
mudah dengan bantuan teknologi modern, semuanya untuk kepentingan manusia
sendiri yang seringkali dilakukan dengan mengabaikan kelestarian daya dukung
lingkungan itu untuk masa-masa yang akan datang.
Pendek kata, pada tahap ontologis
ini, manusia menempatkan dirinya berada di luar dan bahkan di atas alam. Jika
pada tahap perkembangan kebudayaan mitis, manusia hidup tergantung dan berada
dalam kungkungan alam, maka dalam kebudayaan ontologis dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih, posisi manusia berubah, alam
menjadi terkungkung dalam diri manusia. Umat manusia dengan otonomi dan
kebebasan yang dimilikinya, memanfaatkan dan menikmati kebebasannya itu dengan
cara mengekspoitasi alam secara besar-besaran yang mengakibatkan terjadinya
kerusakan besar-besaran pula keseimbangan alam sampai dewasa ini.
c.
Tahap
Fungsional
Sesudah orang menyadari dampak buruk
yang bersifat ikutan atau efek samping dari perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, baru berkembang gagasan baru untuk menyeimbangkan pola hubungan
antara manusia dengan alam. Kesadaran semacam inilah yang mendorong dan
menyertai muncul dan berkembangnya gerakan lingkungan hidup di dunia. Kesadaran
akan lingkungan hidup yang baik dan sehat sangat diperlukan untuk memelihara
dan memperbaiki kembali keseimbangan ekosistem yang telah mengalami kerusakan
dimana-mana.
Tahap inilah yang disebut oleh van
Peursen dengan tahap fungsional, dimana hubungan antar manusia dan alam
berlangsung secara seimbang. Manusia dan alam dilihat sebagai dua enitas yang
setara yang saling membutuhkan dan saling ketergantungan satu sama lain secara
fungsional. Dengan cara pandang demikian, diharapkan bahwa kebijakan
pemerintahan di seluruh dunia akan berubah menjadi ramah lingkungan, berpihak
kepada lingkungan untuk menjamin kelangsungan hidup bersama melalui prinsip
pembangunan berkelanjutan (sustainable
development).
2. Demokrasi, Kebebasan dan Kerusakan Lingkungan
Bersamaan dengan munculnya upaya liberasi dan liberalisasi atau
pembebasan manusia dari kungkungan alam sebagaimana telah diuraikan di atas,
juga berkembang aliran pemikiran filsafat individualisme dan liberalisme dalam
sejarah. Paham ini berkembang di seluruh dunia dengan maksud membebaskan manusia
untuk berpikir dan berpendapat. Manusia menemukan kenyataan bahwa sistem
kekuasaan dalam kehidupan bersama – seperti juga alam – dapat mengungkung
kebebasan manusia dalam menggunakan akal pikirannya untuk memenuhi kebutuhan
hidup mereka sendiri. Struktur kehidupan bersama yang mengungkung itu juga
terwujud dalam struktur organisasi kekuasaan yang disebut sebagai negara.
Dimana-mana sejak zaman pra-sejarah
sampai dengan sekarang, orang selalu mengorganisasikan diri dalam organisasi
bersama yang bernama negara. Dengan organisasi negara itu, orang bersepakat
untuk mengatur kehidupan bersama,
juga untuk
kepentingan bersama. Jika perlu, negara dapat memutuskan segala sesuatu dengan
daya paksa (coersive power). Namun, lama kelamaan, karena
tiadanya kebebasan berpikir, semua bentuk organisasi negara itu menjadi sangat
dominan dan menguasai setiap individu warganya secara sewenang-wenang. Makin absolut kekuasaan terlembagakan makin
sewenang-wenang pula kekuasaan itu mengungkung kebebasan manusia. Dalam keadaan semacam itu, mirip dengan pola hubungan antara manusia
dengan alam, warga pun terkungkung hidupnya dalam negara. Kebebasan hidupnya
hilang dan harus tunduk sepenuhnya kepada penguasa negara.
Untuk mengatasi keadaan itu, maka --
bersamaan dengan berkembangnya paham individualisme dan liberalisme sebagai
akibat tumbuh-suburnya filsafat dan ilmu pengetahuan – manusia berusaha
membebaskan diri. Upaya pembebasan itulah yang tercermin dalam istilah
demokratisasi. Meskipun di zaman Yunani kuno, istilah demokrasi mempunyai
konotasi yang buruk, tetapi di zaman modern sekarang, demokrasi dan
demokratisasi dipakai sebagai istilah untuk menggambarkan upaya pembebasan dari
keterkungkungan dalam organisasi kekuasaan negara. Pembebasan dilakukan ke arah
otonomi dan kemerdekaan setiap orang dengan diakui dan dilindunginya hak-hak
asasi manusia dalam sistem kekuasaan negara.
Dengan demikian gerakan
demokratisasi tidak lebih daripada gerakan liberasi (liberation) atau gerakan pembebasan umat manusia dari kungkungan
kehidupan sosial politik antar manusia sendiri. Gerakan liberasi ini tentu
semakin bertambah subur setelah munculnya paham individualisme dan liberalisme
dalam sejarah yang mengagungkan otonomi dan kebebasan setiap manusia dalam
kehidupan bersama. Pada dasarnya, gelombang pembebasan (liberation) dari kungkungan kekuasaan yang timbul dalam pola keorganisasian umat
manusia inilah yang merupakan substansi dari gerakan demokratisasi di zaman
modern sekarang.
Dapat
dikatakan bahwa gerakan pembebasan sosial-politik ini berlangsung bersamaan
dengan gerakan pembebasan dari keterkungkunganan manusia dalam alam dan ketergantungan manusia kepada alam.
Gerakan ini dimulai dengan berkembang dan dikembangkannya filsafat dan ilmu
pengetahuan dan teknologi, sejak dari era Yunani kuno sampai dengan sekarang.
Pendek kata, keterkukungan dan ketergantungan manusia kepada alam itu pada
pokoknya dapat dilihat dari tiga segi, yaitu (i) ketergantungan kepada struktur
alam di luar manusia, (ii) struktur kehidupan umat manusia itu sendiri, dan
(iii) struktur organisasi kekuasaan politik yang dibentuk oleh masyarakat
manusia dalam kehidupan bersama. Upaya pembebasan manusia dari kungkungan
ketiga struktur kehidupan itu tumbuh dan berkembang sebagai akibat
berkembangnya filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kehidupan yang
menyebabkan manusia merasa berada dan harus berada di luar alam dan bahkan
dapat menguasai alam semesta pada semua aspeknya untuk kepentingan manusia
sendiri.
Akibatnya,
terjadilah kerusakan alam dimana-mana. Seperti tergambar dalam perkembangan
pola hubungan yang eksploitatif antara manusia dan alam selama abad ke-20, kita
menyaksikan kerusakan yang sangat dahsyat dalam keseimbangan ekosistem dunia.
Semua ini disebabkan oleh tindakan massif yang dilakukan berupa kegiatan
eksplorasi dan eksploitasi alam yang dilakukan dalam proses industrialisasi
besar-besaran di seluruh dunia, demi mengejar keuntungan ekonomis. Lingkungan
alam dimana-mana mengalami kerusakan dan kemunduran fungsi serta daya dukung
bagi kehidupan bersama. Padahal, alam raya dan alam sekitar kita memiliki
ekosistemnya sendiri yang satu sama lain saling ketergantungan. Kerusakan di
satu bidang menimbulkan dampak kerusakan pula pada bidang yang lain, kemusnahan
satu spesies menyebabkan perubahan pula dalam pola kehidupan yang semula
tergantung kepada eksistensi spesies tersebut.
Menurut Al Gore dalam bukunya “Earth in the Balance”, ketidakharmonisan
hubungan kita dengan alam (bumi) yang sebagian menyangga ketergantungan kita
terhadap pola konsumsi yang terus menerus meningkat jumlahnya atas
sumber-sumber alam/bumi, sekarang terungkap dalam bentuk krisis-krisis yang
berkelanjutan. Kehilangan kawasan hutan tadah hujan yang terjadi setiap detik,
akselerasi dalam tingkatan kerusakan alam, lubang ozon yang makin menganga,
kemungkinan atau potensi pengrusakan pada keseimbangan alam yang menyebabkan
bumi dapat dijadikan ruang untuk kita hidup, semuanya menunjukkan terus
meningkatnya derajat konflik antara peradaban manusia dengan alam sekitar dan
bahkan alam raya[24].
Menurut Al Gore[25],
“The waste crisis is integrally related
to the crisis of industrial civilization as a whole”. Krisis penangan
sampah tidak dapat dipisahkan dari krisis peradaban industri sebagai
keseluruhan. Jumlah sampah kimia terus meningkat dan mencemari tanah, danau,
sungai, dan bahkan laut. Di Amerika Serikat saja, diperkirakan tidak kurang
dari 650.000 sampah industri dan perdagangan yang diproduksi, dua pertiga di
antaranya berasal dari industri kimia, dan hampir seperempatnya dari industri
logam dan permesinan[26].
Meski
banyak kemajuan yang telah dicapai di negara industri maju, tetapi jauh lebih
banyak masih yang memerlukan penyelesaian. Masalah-masalah yang harus diatasi,
mulai dari tingginya konsentrasi zat berbahaya dalam air minum sampai ke
persoalan praktik yang umum terjadi di kota-kota lama dimana air limbah
mengalir ke got-got dan drainase bercampur dengan air hujan, terutama jika
terjadi hujan lebat, sehingga mengharuskan dilakukan perbaikan besar-besaran
dalam fasilitas pengelolaan air limbah, agar tidak mencemari sungai dan bahkan
laut[27].
Pendek kata, apa yang digambarkan di
atas hanyalah contoh yang terjadi di Amerika Serikat, tempat dimana peradaban
umat manusia dewasa ini berpusat. Artinya, kondisi lingkungan di negara-negara
yang masih sangat terbelakangan tentu jauh lebih buruk. Apalagi di
negara-negara yang sedang membangun dan memasuki tahap industrialisasi seperti
Indonesia dan kebanyakan negara-negara Asia dan Afrika, dapat dipastikan bahwa
keadaannya jauh lebih parah. Bahkan sebagai negara dengan luas hutan tropis
terbesar di dunia bersama dengan Brazil, Indonesia sedang menghadapi persoalan
besar dengan kasus-kasus penggundulan dan/atau kebakaran hutan.
Dalam laporan
penelitian lembaga Australian Geo-Science yang setara dengan Pusat Penelitian
Geoteknologi LIPI yang dilaporkan oleh Sudney Morning Herald beberapa waktu
yang lalu (2008) juga menggambarkan hal itu[28].
Menurut laporan itu, pertumbuhan penduduk yang tinggi disertai kemiskinan,
ditambah adanya perubahan iklim, berpotensi menimbulkan dampak bencana alam di
Asia Pasifik menjadi berlipat-lipat ganda akibatnya. Satu juta jiwa manusia
dapat melayang hanya dalam sekali kejadian tunggal. Dalam laporan itu, tiga
titik yang dianggap terpanas di kawasan Asia Pasifik ini adalah Indonesia,
Philipna, dan Sabuk Himalaya di Cina. Bahkan, untuk Indonesia dan Philipina,
ancaman juga datang dari letusan gunung berapi, sehingga potensi bencananya
jauh lebih dahsyat. Karena itu, tidak ada jalan lain bagi para ilmuwan
Indonesia, khususnya para sarjana hukum, untuk turut berpartisipasi
mempersiapkan segala perangkat hukum yang diperlukan untuk mengembangkan
kebijakan pemerintahan dan pembangunan yang pro-lingkungan.
Seperti ajakan Presiden Perancis,
Jacques Chirac, ketika menjadi pembicara pada forum Earth Summit 2002 di
Johannesburg, Russia, mengenai pentingnya lingkungan hidup untuk kepada generasi
mendatang. Dikatakan oleh Jacques Chirac[29],
“Our
house is burning and we look away. Nature is mutilated, over exploited and cannot
manage to reconstitute herself any more, and we refuse to admit it. Humanity is
suffering (.....). The earth and humanity are imperilled and we are all
responsible for this (...). We cannot say that we did not know! Let us beware
lest the XXIst century becomes, for future generations, that of a crime against
life” (Rumah kita terbakar and kita hanya menyaksikan. Alam dimutilasi,
dieksploitasi secara berlebihan tanpa dapat lagi dipulihkan lagi, dan kita pun
tidak mau mengakuinya. Kemanusiaan tengah menderita. Bumi dan kemanusiaan dan
kita bertanggungjawab untuk ini. Kita tidak dapat berkata bahwa kita tidak
tahu! Marilah kita waspada, demi generasi mendatang, jangan sampai abad ke-21
menjadi abad kejahatan terhadap kehidupan).
Semua fenomena pengrusakan dan kerusakan
ekosistem disebabkan oleh adanya kebebasan manusia tanpa kendali. Kebebasan
dihasilkan oleh sistem demokrasi yang dikembangkan oleh umat manusia
dimana-mana tanpa menyadari bahwa kebebasan itu telah menimbulkan efek samping
berupa kerusakan ekosistem. Oleh karena itu, saya berpendapat, terdapat
hubungan yang erat antara kerusakan lingkungan dan ekosistem dengan demokrasi.
Makin kuat arus demokratisasi dan kebebasan manusia, makin terbuka lebar pula
potensi pengrusakan ekosistem yang terjadi. Apalagi, penerapan sistem demokrasi
kontemporer selalu diimbangi dan disertai oleh liberalisasi pasar dan
pengurangan tanggungjawab negara dalam urusan bisnis dengan memberi kesempatan yang
seluas-luasnya kepada setiap individu yang merdeka untuk menguasai dan
menggunakan modal dalam mengeksploitasi alam secara besar-besaran.
Artinya, demokrasi harus dipandang
juga turut bertanggung jawab atas terjadinya gelombang kerusakan lingkungan
hidup dan ekosistem dunia dewasa ini. Meskipun demokrasi itu sendiri tentu
tidak perlu dimusuhi, akan tetapi perkembangannya di masa depan harus lebih
dikendalikan oleh hukum dengan diimbangi oleh konsep baru yang dinamakan
ekokrasi. Dalam konsep ekokrasi itu, lingkungan alam – seperti halnya manusia –
juga dianggap mempunyai otonomi dan keadulatannya sendiri. Jika dalam demokrasi
setiap manusia yang disebut rakyat dianggap merupakan pemegang kedaulatan atau
kekuasaan tertinggi, maka lingkungan alam juga dipandang mempunyai hak asasinya
sendiri dan memegang kedaulatannya sendiri seperti manusia. Perkembangan baru
inilah yang saya uraikan dalam buku saya, Green Constitution: Nuansa Hijau
Undang-Undang Dasar 1945 (2008)[30].
Dalam buku ini saya terangkan bagaimana perkembangan upaya untuk melakukan
konstitusionalisasi kebijakan yang bersifat pro-lingkungan hidup dalam sejarah
yang berpuncak pada diadopsikannya dokumen ‘Charter
for Environment’ (2004) menjadi tambahan materi Preambule Konstitusi
Perancis pada tahun 2006, dan dimuatnya ide tentang kedaulatan lingkungan hidup
dalam Konstitusi Ekuador pada tahun 2008.
3. Wacana Ekokrasi dan Kedaulatan Lingkungan
Seperti dikemukakan di atas, yang dikenal
sebagai pemegang kedaulatan dalam sistem kekuasaan bernegara ada Tuhan (theos), Raja (monarch), Hukum (nomos), atau
Rakyat (demos). Konsep yang
menganggap Tuhan sebagai pemegang kedaulatan atau kekuasaan tertinggi disebut teokrasi.
Konsep kedaulatan atau kekuasaan tertinggi oleh hukum disebut nomokrasi,
sedangkan konsep kedaulatan di tangan rakyat disebut demokrasi. Buku ini
menawarkan pengertian baru bahwa lingkungan hidup juga mempunyai otonomi dan
kedaulatannya sendiri. Dalam hubungan itu,
lingkungan atau ekosistem dapat dilihat sebagai subjek kedaulatan yang
tersendiri. Jika selama ini kita sudah mengenal doktrin-doktrin teokrasi, monarki,
demokrasi, nomokrasi, maka konsep Kedaulatan Lingkungan dapat kita kaitkan
dengan istilah Ekokrasi (ecocracy)
atau kedaulatan ekologi.
Seperti yang telah diadopsikan dalam
Konstitusi Ekuador 2008, lingkungan alam sekitar dapat diberikan hak
konstitusional sebagai subjek hukum dalam lalu lintas hukum. Gunung, sungai,
hutan, lautan, hewan liar, dan tumbuh-tumbuhan dianggap memiliki hak-hak
asasinya sendiri, di samping konsepsi tentang hak asasi manusia yang sudah kita
kenal selama ini[31]. Dalam
artikel 10 Konstitusi Ekuador 2008 itu ditentukan[32],
“Rights Entitlement. Persons
and people have the fundamental rights guaranteed in this Constitution and in
the international human rights instruments. Nature is subject to those rights
given by this Constitution and Law”.
Selanjutnya, dalam Artikel 71 ditentukan,
“Nature or Pachamama, where life
is reproduced and exists, has the right to exist, persist, maintain and
regenerate its vital cycles, structure, functions and its processes in
evolution. Every person, people, community or nationality, will be able to
demand the recognitions of rights for nature before the public organisms. The
application and interpretation of these rights will follow the related
principles established in the Constitution. The State will motivate natural and
juridical persons as well as collectives to protect nature; it will promote
respect towards all the elements that form an ecosystem.
Sementara itu, Artikel 72 menyatakan
pula,
“Nature has the right to restoration. This
integral restoration is independent of the obligation on natural and juridical
persons or the State to indemnify the people and the collectives that depend on
the natural systems. In the cases of severe or permanent environmental impact,
including the ones caused by the exploitation on non renewable natural
resources, the State will establish the most efficient mechanisms for the
restoration, and will adopt the adequate measures to eliminate or mitigate the
harmful environmental consequences”.
Dari
kutipan-kutipan tersebut jelas tergambar bahwa menurut Konstitusi Ekuador[33],
di samping manusia yang berstatus sebagai rakyat, lingkungan hidup juga dapat
menjadi pemegang hak dan kekuasaannya sendiri. Hak dan kekuasaan lingkungan itu
bersifat sama tingginya dengan hak dan kekuasaan manusia rakyat. Dengan
perkataan lain, dapat menjadi subjek kedaulatan yang tersendiri. Karena jika
kekuasaan tertinggi yang berada di tangan rakyat disebut sebagai demokrasi atau
kedaulatan rakyat, maka kekuasaan tertinggi yang ada pada lingkungan dapat kita
sebut sebagai ekokrasi atau kedaulatan lingkungan.
Gagasan
Ekokrasi dan Kedaulatan Lingkungan ini dapat dikembangkan sebagai pengimbang
sistem demokrasi yang dikembangkan oleh umat manusia dimana-mana dewasa ini.
Konsep ekokrasi ini dapat dipahami dalam konteks keseimbangan hubungan antara
Tuhan, Alam, dan Manusia. Selama ini, relasi-relasi kekuasaan hanya dipandang
sebagai persoalan manusia. Dalam demokrasi, hanya manusia yang disebut rakyat
saja lah yang dijadikan titik tolak dan pusat perhatian satu-satunya. Pandangan
ini dikenal dengan istilah anthropocentrisme
yang menempatkan kehidupan terpusat hanya pada diri manusia. Dibandingkan masa
sebelumnya, terutama di zaman pra-modern, pandangan yang bersifat ‘anthropocentris’ ini tentu dapat
dianggap lebih maju dan lebih baik. Akan tetapi dewasa ini, orang harus
menyadari bahwa demokrasi bukanlah segala-galanya jika sistem ini ternyata
justru menyebabkan umat manusia merusak ekosistem dan sumber kehidupannya
sendiri.
Dengan
demokrasi, umat manusia telah berhasil menikmati kebebasan dalam kehidupan
bersama, tetapi kebebasan itu ternyata telah menyebabkan manusia menjadi
sewenang-wenang. Sama dengan maxim ‘power
tends to corrupt’ yang dipopulerkan oleh Lord Acton, kekuasaan rakyat yang
berdaulat dalam sistem demokrasi modern juga berpotensi untuk disalahgunakan
oleh rakyat itu sendiri. Manusia yang bebas dapat berbuat tanpa kendali yang
mengorbankan alam sekitar dan lingkungan hidup pada umumnya. Manusia
mengeksploitasi alam dengan segala daya upaya, dengan segala kekerasan yang
dapat dilakukan, semata-mata untuk mengejar keuntungan bagi dirinya sendiri
dengan tanpa memikirkan kemungkinan terjadinya kerusakan lingkungan yang dapat
terganggu karenanya. Dengan perkataan lain, kita dapat mengatakan bahwa
demokrasi secara langsung atau pun tidak langsung telah turut menjadi penyebab
timbulnya kerusakan lingkungan di seluruh dunia.
Karena
itu, doktrin demokrasi yang bersifat anthroposentris harus diseimbangkan dengan
ekokrasi yang bersifat ekosentris. Paham antroposentisme harus berada dalam
posisi hubungan yang saling imbangi-mengimbangi (checks and balances) dengan paham ekosentrisme. Semua cabang ilmu
pengetahuan perlu mempertimbangkan keperluan mengembangkan
perspektif-perspektif yang bersifat ekosentris, dan demikian pula semua
kebijakan kenegaraan dan pemerintahan perlu melengkapi diri dengan perspektif
yang bersifat ekosentris ini, di samping melanjutkan paradigma antroposentrisme
yang sudah dipraktikkan selama ini. Dengan meningkatnya kesadaran akan
paradigma ekosentrisme ini, baik di dunia pemikiran akademis maupun di dunia
praktik penyelenggaraan kekuasaan negara, kita dapat berharap bahwa pada
saatnya, paham antroposentrisme dan ekosentrisme, serta konsep demokrasi dan
ekokrasi dapat benar-benar saling imbang mengimbangi satu sama lain. Alam
semesta ini merupakan suatu kesatuan sistim yang saling berhubungan dan saling
bergantung sama sama lain. Alam kehidupan merupakan suatu kesatuan ekosistem.
Karena itu, paradigma berpikir manusia harus berubah dari ‘anthropocentris’ ke ‘theocentrisme’
sampai ke titik keseimbangan (equilibrium).
Untuk
itulah kita memerlukan pihak ketiga. Guna menjamin keseimbangan di antara kedua
perspektif atau cara pandang antroposentrisme versus ekosentrisme, kita
memelukan wasit pengimbang. Untuk itu, dalam pandangan saya, peri kehidupan
modern yang serba sekuler dan positivistik perlu mempertimbangkan kembali
kehadiran Tuhan dalam cara pandang umat manusia tentang alam dan lingkungan
hidup. Dalam pola hubungan antara manusia dengan alam sekitar dan bahkan dengan
alam seluruhnya yang seimbang dan saling mengimbangi itu, diperlukan cara
pandang theosentrisme yang memandang Tuhan-lah yang menjadi pusat dari segala
kehidupan manusia dan alam. Hubungan segi tiga antara Tuhan, Alam, dan Manusia
itulah yang dapat menjamin pola hubungan yang seimbang antara manusia versus
alam, antara antroposentrisme versus ekosentrisme, dan antara demokrasi versus
ekokrasi.
.Pentingnya
kehadiran Tuhan dalam pandang manusia modern dewasa ini perlu disadari, karena
– seperti dikatakan oleh Wendell Berry dalam bukunya[34],
“our ecological crisis is a crisis of
character, nota political or social crisis”. Oleh karena itu, menurut
Preston Bristow[35],
masalahnya menyangkut persoalan spiritualitas. Menurut Bristow, “The religion of cunsumerism is a spiritual
problem, and we must fight fire with fire. Spiritual problems require spiritual
solutions”. Itulah sebabnya, paham Kedaulatan Tuhan juga harus ikut
disertakan dalam pengkajian paradigmatik untuk menyelesaikan kerusakan
lingkungan hidup yang disebabkan oleh pola hubungan yang tidak seimbang antara
manusia dan alam. Karena terus menerus melupakan kehadiran Tuhan, manusia
merasa dirinya yang menjadi pusat dari segala-galanya.
Dengan mengakui kehadiran Tuhan Yang
Maha Kuasa, manusia dipaksa untuk bertindak adil terhadap sesama makhluk Tuhan,
yaitu alam sekitar dan alam semesta yang berada di luar diri manusia. Sudah
saatnya, lingkungan juga dianggap sebagai subjek hukum. Yang harus dianggap
sebagai subjek kekuasaan dan hak-hak asasi, bukan hanya manusia, tetapi juga
alam semesta. Alam mempunyai hak-hak dasar atau hak-hak asasinya sendiri untuk
tidak dirusak dan diganggu keseimbangannya. Daya dukung alam untuk kehidupan
manusia dari generasi ke generasi harus dijaga keberlangsungannya sepanjang
masa. Inilah yang menjadi substansi pokok doktrin sustainable development yang telah diterima luas sebagai prinsip
pembangunan di zaman sekarang.
Dalam hubungannya dengan sistim
kekuasaan negara, dapat dikatakan bahwa dewasa ini, alam semesta juga harus
dipandang merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan. Jika
dikaitkan dengan konsep kedaulatan sebagai ide tentang kekuasaan tertinggi (concept of sovereignty), kita dapat
memperkenalkan istilah Kedaulatan Lingkungan untuk melengkapi khazanah teori
kedaulatan yang sudah dikenal selama ini, yaitu Kedaulatan Tuhan, yang
dikaitkan dengan Teokrasi, gagasan Kedaulatan Rakyat yang dikaitkan dengan
demokrasi dan Kedaulatan Hukum yang terkait dengan Nomokrasi. Sekarang, kita
perlu memperkenalkan konsep Ekokrasi yang dikaitkan dengan Kedaulatan
Lingkungan.
Dengan demikian, para ilmuwan hukum
dan politik dapat membantu upaya membangkitkan kesadaran mengenai pentingnya
lingkungan hidup prinsip pembangunan berkelanjutan. Keyakinan umat manusia akan
penting lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan ini juga telah tercermin
dalam Konstitusi Perancis yang terakhir diubah pada tahun 2005[36].
Dalam perubahan tahun 2005 itu, Charter for Environment of 2004[37]
dimuat dalam Preambule Konstitusi sejajar dengan Declaration of the Rights of
Man and of Citizen tahun 1789[38].
Dengan begitu ide lingkungan hidup dan prinsip pembangunan berkelanjutan telah
mendapatkan statusnya yang sangat tinggi dalam pemahaman bangsa Perancis
tentang sistem kekuasaan kenegaraan. Hanya saja, dalam perspektif Perancis ini,
hak-hak atas lingkungan hidup itu masih dilhat sebagai bagian dari perkembangan
mutakhir mengenai hak asasi hak manusia, yaitu hak-hak dasar manusia atas
lingkungan yang sehat dan hak asasi generasi mendatang atas lingkungan hidup
yang sehat itu.
Karena itu, yang dapat dikatakan lebih
baru lagi adalah dalam perubahan Konstitusi Equador Tahun 2008. Dalam
konstitusi ini, lingkungan hidup itu sendiri dikukuhkan sebagai subjek hak
konstitusional tersendiri dalam sistem kenegaraan. Dengan demikian, di samping
manusia dan badan-badan hukum, lingkungan alam juga dipandang mempunyai status
sebagai pemegang kekuasaan yang tersendiri dalam sistem kenegaraan. Dengan kata
lain, lingkungan alam juga merupakan pemegang kedaulatan di samping rakyat dan
hukum dalam perspektif demokrasi dan rule
of law di zaman modern.
Apa
yang sudah diadopsikan ke dalam Konstitusi Equador seperti yang telah diuraikan
terdahulu, tidak lain merupakan perwujudan dari ide kedaulatan lingkungan hidup
atau ekokrasi ini. Lihatlah bagaimana Konstitusi Equador menentukan bahwa alam
juga merupakan subjek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban dalam lalu lintas
hukum seperti halnya subjek hukum manusia dan badan hukum. Subjek yang
dimaksudkan disini tidak lagi sekedar hak-hak hukum (legal rights) yang biasa dan sudah dikenal umum. Subjek hak yang
dimaksud disini adalah subjek hak konstitusional yang sepadan dengan pengertian
hak asasi manusia yang juga menjadi ciri materiel dari konstitusi modern di
dunia.
Karena itu, seperti diceritakan di
atas, menjelang referendum 28 September 2008, Clare Kendall dari The Guardian Inggeris
menulis laporan khusus dengan judul sangat panjang dan antusias[39],
“A New Law of Nature: Equador Next
Week Votes on Giving Legal Rights to
Rivers, Forests and Air. Is this the end of damaging development? The World Is
Waching”. Untuk pertama kalinya undang-undang dasar suatu negara menentukan
bahwa bagi sungai-sungai, hutan-hutan, dan udara ada hak konstitusional yang
harus dilindungi dalam lalu lintas hukum dan pemerintahan.
Dalam Konstitusi Equador seperti
sudah dikutipkan di atas ditegaskan, “Persons
and people have the fundamental rights guaranteed in this Constitution and in
the International human rights instruments. Nature is subject to those rights
given by this Constitution and Law”. Setiap orang mempunyai hak-hak dasar
yang dijamin dalam konstitusi dan berbagai instrumen hukum Internasional. Alam dapat
dijadikan objek hak oleh setiap orang yang dijamin dalam undang-undang dasar.
Mengenai kedudukan alam sebagai objek hak dalam rumusan tersebut tentu dapat
dikatakan masih sama dengan konstitusi negara-negara yang melihat persoalan
lingkungan hidup itu dalam konteks hak asasi manusia. Namun, pada penggalan
kedua, dinyatakan bahwa “Nature is
subject to those rights given by this Constitution and Law”. Alam
diharuskan tunduk kepada hak asasi manusia atas lingkungan hidup. Artinya, alam
dapat dibebani dengan kewajiban untuk tunduk kepada hak orang. Tentu dengan
penafsiran a contrario, berarti alam juga dapat menyandang hak hukum dalam
hubungannya dengan manusia. Dengan demikian, alam dan manusia sama-sama dapat
dibebani dengan hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum.
Bahkan
secara lebih tegas lagi, dalam Chapter of
Rights of Nature, Article 1 Konstitusi Ekuador 2008 itu menentukan pula
bahwa pachamama atau alam, tempat
kehidupan bersama tumbuh dan mengalami reproduksi, juga mempunyai hak asasinya
sendiri, di samping hak asasi manusia.
Setiap orang, masyarakat atau bangsa membutuhkan pengakuan akan
hak-haknya atas alam di hadapan hukum dan pemerintahan. Setiap pelaksanaan atau
penafsiran yang dilakukan sehubungan dengan hak-hak yang dimaksudkan tersebut
haruslah sesuai dengan dan tunduk kepada prinsip-prinsip yang telah ditentukan
dalam undang-undang dasar.
Selain
itu, ditentukan pula dalam Article 2-nya bahwa alam juga berhak atas pemulihan
atau restorasi yang bersifat integral yang terpisah dari kewajiban orang atau
badan hukum atau negara to menjamin kerugian orang atau kelompok orang yang
menggantungkan hidupnya dari ekosistem. Dalam hal timbul dampak kerusakan alam
yang permanen, termasuk yang disebabkan oleh eksploitasi atas sumber-sumber
yang tidak dapat diperbarui (non-renewable
resources), negara harus menentukan mekanisme yang paling efisien untuk
restorasi. Untuk itu, negara harus menerapkan langkah-langkah yang tepat guna
mengeliminasi atau melakukan mitigasi akibat-akibat buruk terhadap lingkungan
hidup.
Dengan adanya ketentuan-ketentuan
konstitusional tentang hak-hak lingkungan seperti yang diadopsikan ke dalam
norma Konstitusi Equador 2008 tersebut, kita telah memasuki era baru dalam peri
kehidupan umat manusia dalam hubungannya dengan alam sekitar dan bahkan alam
semesta. Manusia yang mengklaim dirinya berdaulat tidak lagi menjadi penentu
segala-galanya. Baik manusia maupun alam kehidupan sama-sama mempunyai hak dan
kewajiban secara timbal balik dalam hubungan antar keduanya. Karena itu, selain
manusia, alam juga mempunyai kedaulatannya sendiri yang harus diakui,
dihormati, dan diikuti ‘kehendak’nya.
Sebelum fenomena konstitutionalisasi
kebijakan lingkungan hidup dikembangkan di Equador, sebenarnya, pengertian
mengenai kekuasaan lingkungan yang dikaitkan dengan ide kedaulatan, juga sudah
diperbincangkan sejak tahun-tahun terakhir abad ke-20. Misalnya, Carl Pietsch[40],
dalam artikelnya “Regimes of Nature – the
Human Challenges of Ecological Restoration”, mengaitkan gagasan kemerdekaan
lingkungan dengan perkembangan mutakhir mengenai gagasan “popular sovereignty” atau kedaulatan rakyat. Menurutnya, “Since the World War I, virtually all
government have acknowledged a responsibility to maintain the political, social
and economic welfare of the people they represent. Popular sovereignty has thus
come to cover almost every aspect of human culture. But so far the theory of
popular sovereignty-which might also be called human sovereignty – has not been
applied to our relationship with nature, at least not explicitly.” Hanya
saja, tulisan Carl Pietsch ini sama sekali belum mengaitkannya dengan ide “the sovereignty of nature” atau
kedaulatan lingkungan.
Ada juga beberapa artikel atau
tulisan lain yang mengaitkan isu lingkungan ini dengan ide kedaulatan, tetapi
konsep kedaulatan yang dimaksud adalah dalam konteks hubungan internasional,
tidak terkait dengan gagasan kekuasaan yang bersifat domestik. Misalnya,
tulisan Paul Wapner, “The Sovereignty of
Nature? Environmental Protection in a Postmodern Age”[41];
Carl Pietsch, “Regimes of Nature – the
Human Challenges of Ecological Restoration”[42];
Focseneanu, Veronice, “Walls, Sovereignty
and Nature”[43];
juga Nisha Shah, “Beyond Sovereignty and
the State of Nature”[44],
semuanya melihat menjadi semakin relatifnya pengertian kedaulatan teritorial
suatu negara di era globalisasi yang semakin pro-lingkungan hidup dewasa ini.
Namun, ide lingkungan itu belum dipandang setara dengan ide demokrasi atau
bahkan sebagai kelanjutan historis dari perkembangan kedaulatan rakyat yang
perlu diimbangi oleh gagasan kedaulatan lingkungan yang perlu diadopsikan dalam
konstitusi modern.
Sebelum
diterima resmi menjadi muatan materi konstitusi, seperti di Portugal, Perancis
dan Equador, ide untuk menjadikan lingkungan sebagai subjek hukum tentu saja
sudah lebih dulu berkembang dalam wacana di antara para aktifis dan para
ilmuwan lingkungan. Bahkan, pada tahun 1972 Christopher D. Stone, misalnya, sudah menulis
artikel dengan judul “Should Trees Have
Standing? Towards Legal Rights for Natural Objects”[45].
Dalam tulisan ini, Stone
mendiskusikan akankah pohon-pohon akan memiliki kedudukan hukumnya sendiri di
pengadilan? Dalam pendapat berbeda (dissenting opinion) atas putusan Mahkamah Agung dalam kasus Sierra Club versus Morton,
Hakim Douglas menyatakan, “.... Contemporary public concern for protecting nature’s ecological
equilibrium should lead to the conferral of standing upon environmental objects
to sue for their own preservation”[46].
Pendapat yang diajukan oleh Hakim
Douglas tersebut kemudian mendapat sambutan hangat di kalangan masyarakat luas, sehingga seorang pengacara
terkenal menulis
puisi dalam Journal of the American Bar Association (ABA) sebagai berikut:
“If justice Douglas has his way –
O come not that dreadful day –
We’ll be sued by lakes and hills –
Seeking a redress of ills –
Great mountain peaks of name prestigious –
Will suddenly become litigious –
Our brooks will babble in the courts, Seeking damages for
torts.
How can I rest beneath a tree –
If it may soon be suing me?” dan
seterusnya[47].
Dalam
puisi itu jelas digambarkan bagaimana jalan pikiran yang dianut oleh Hakim
Douglas “Great mountain peaks of name
prestigious, will suddenly become litigious”. Puncak-puncak gunung tiba-tiba
menjadi pihak dalam perkara di pengadilan. Kita bisa digugat oleh danau-danau
dan bukit-bukit, yang menuntut ganti rugi. Bahkan, bagaimana mungkin kita dapat
berisitirahat dengan tenang di bawah pohon yang rindang, jika kelak pohon itu
ternyata dapat menuntut kita ke pengadilan. “How
can I rest beneath a tree, if it may soon be suing me?” Artinya, dalam
wacana akademik dan dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat barat, setidaknya
di Amerika Serikat, sudah biasa membayangkan adanya hak-hak hukum dari alam
sekeliling kita dalam hubungan dengan masyarakat manusia.
Dengan
perkataan lain, sejak lama memang sudah ramai dibicarakan mengenai pemberian
status sebagai subjek hukum tersendiri kepada benda-benda alam di lingkungan
hidup kita. Karena itu, tidak berlebihan jika kita memperkenalkan gagasan
ekokrasi dalam studi tentang kekuasaan negara. Sistim demokrasi yang bersifat ‘anthropocentris’ dan mengandaikan
kedudukan sentral rakyat manusia dalam paradigma berpikirnya harus diimbangi
oleh sistim ekokrasi (ecocracy) yang
memandang alam semesta berada dalam hubungan kekuasaan yang seimbang dengan
manusia. Alam dan manusia dipandang sama-sama mempunyai hak dan kekuasaannya
sendiri. Alam dan manusia sama-sama merupakan subjek hak-hak yang bersifat
asasi. Karena itu, seperti halnya rakyat manusia, alam juga memegang kekuasaan
yang di bidang atau dalam hal-hal tertentu juga bersifat tertinggi, sehingga
hal itu dapat disebut sebagai Kedaulatan Lingkungan.
4. Catatan Akhir:
Ekokrasi dan Demokrasi
Karena itu, dalam tulisan ini, saya
ingin mempromosikan gagasan penting di masa depan, yaitu “ecocracy” sebagai pengimbang gagasan “democracy” yang sekarang sudah dianggap sebagai gagasan paling
ideal di zaman sekarang, sebagai jaminan kemuliaan hidup di atas segala-galanya
oleh hampir semua bangsa di dunia. Dewasa ini, istilah demokrasi pun sudah
menjadi semacam bahasa pergaulan yang lazim di seluruh dunia, yang seakan tanpa
sistem demokrasi suatu kehidupan negara ideal yang diimpikan tidak akan dapat
diwujudkan. Padahal, dalam kenyataannya, dengan demokrasi, kerusakan lingkungan
hidup di mana-mana menjadi semakin meluas bersamaan dengan penerapan demokrasi
yang membebaskan manusia untuk berbuat sesuka-hatinya atas nama kemuliaan
hak-hak asasi manusia. Dalam sistem demokrasi sangat diagagungkan adanya kebebasan
manusia, yang dengan bantuan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serba
modern menyebabkan manusia dengan mudah dapat menguasai alam, termasuk untuk
mengekploitasinya dalam rangka memenuhi hasrat kemanusiaan yang cenderung
serakah dan tanpa batas.
Dalam alam pikiran sistem demokrasi, manusia dianggap berada di atas
segala-gala. Manusia adalah tuan bagi dirinya sendiri. Semua gagasan
pembangunan bertumpu pada perspektif yang sama, yaitu paradigma ‘anthropocentrisme’ yang memusatkan
kehidupan pada diri manusia. Sebagai akibat dari cara berpikir demikian, maka
jadilah manusia menganggap dirinya sendiri berada di atas segala-galanya yang
dapat mengeksploitasi alam dengan sesukanya sendiri. Karena itulah, dengan cara
yang ekstrim dan provokatif, dengan maksud untuk menggugah, kita dapat mengatakan
bahwa kerusakan alam yang terjadi dimana-mana dewasa ini pada pokoknya
disebabkan oleh penerapan sistem demokrasi yang luas di seluruh dunia.
Kerusakan lingkungan hidup yang terjadi dimana-mana dewasa ini, disebabkan oleh
demokrasi yang tidak diiringi dan diimbangi secara memadai oleh kesadaran
mengenai pentingnya keseimbangan ekologis dalam hubungan antara manusia dengan
alam sekitar dan bahkan dengan alam semesta.
Oleh karena itu, saya menganjurkan agar di masa depan, ada
kesadaran baru dalam kehidupan umat manusia bahwa demokrasi harus dikembangkan
seiring, sejalan dan berkeseimbangan dengan ide ekokrasi. Demokrasi yang
bersifat ‘anthropocentris’ harus
diimbangi dengan gagasan ekokrasi yang lebih bercorak ‘ecocentris’. Keseimbangan itu, bahkan boleh jadi harus dikontrol
dengan mengedepankan orientasi baru yang lebih bercorak ‘theocentrisme’ dengan gaya baru, yang menyeimbangkan secara
fungsional hubungan antara Tuhan, Alam, dan Manusia dalam satu kesatuan sistem
yang fungsional. Dengan demikian ide demokrasi pasca modern harus dikembangkan
secara seimbang dan saling isi mengisi secara fungsional dengan gagasan
ekokrasi dan bahkan teokrasi dalam pengertiannya yang baru. Yaitu teokrasi yang
tidak tercermin dan terwujud dalam praktek Kedaulatan Raja dan Maha-Raja
seperti di zaman kuno, tetapi paham teokrasi yang tercermin dan terwujud dalam
gagasan dan praktik demokrasi yang berjalan seiring dengan ekokrasi.
[1] Tulisan ini disarikan sebagian dari materi buku Jimly Asshiddiqie, “Green
Constitution: Nuansa Hijau UUD 1945”, Rajagrafindo/Rajawali Pers, Jakarta, 2009.
[2] Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, mantan Anggota Wantimpres Bidang Hukum dan
Ketatanegaraan, sekarang Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Republik
Indonesia, dan Penasihat Komnas Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
[3] Perubahan Kedua UUD 1945
Tahun 2000, Pasal 18B ayat (1), “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur
dengan undang-undang”.
[4] Perubahan Ketiga UUD 1945
tahun 2001. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”; dan Pasal 1 ayat (3) UUD
1945 berbunyi, “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
[5] Bandingkan dengan Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan
Pelaksanaannya di Indonesia, Ichtiar Baru-van Hoeve, 1994.
[6] Lihat sistem pemerintahan kesultanan Yogyakarta yang oleh Pasal 18B
ayat (1) UUD 1945 diakui dan dihormati sebagai satuan pemerintahan daerah yang
bersifat istimewa yang khusus diatur dengan UU No. 13 Tahun 2012 tentang
Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. LNRI Tahun 2012 No. 170.
[7] Carnes Lord (translator & editor), Aristotle The Politics,
University of Chicago Press, 1985.
Bandingkan dengan Ernest Barker, The Politics of Aristotle, Oxford University
Press, 1958.
[8] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Pers,
Jakarta, 2011, hal.87-88.
[9] Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan
Pelaksanaannya di Indonesia, Ichtiar Baru-van Hoeve, 1994.
[10] Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, BIP-Gramedia,
Jakarta, 2009, hal. 395.
[11] Thomas L. Pangle (translator & editor), The Laws of Plato,
University of Chicago Press, 1988.
[12] Martin Ostwald, From
Popular Sovereignty to the Sovereignty of Law: Law, Society and Politics in
Fifth Century Athens, University of California Press, Berkeley, 1986, hal.
79-83.
[15] Dapat dikatakan,
Aristoteles lah yang pertama kali memperkenalkan ide tentang kedaulatan hukum (sovereignty of law) ini meneruskan
pemikiran gurunya, yaitu Plato, yang dalam bukunya The Laws (Nomoi) memberikan tempat yang penting kepada hukum dalam
kegiatan bernegara. Dikatakan oleh Ernest Barker (editor and translator), “Aristotle rendered less service to law; on
the other hand he was, in general and in principle, a steady and consistent
advocate of its sovereignty, ‘The rule of law is preferable to that of a single
citizen: even if it be the better course to have individuals ruling, they
should be made law-guardians or ministers of the law’”. Lihat The Politics of Aristotle, Oxford
University Press, London-Oxford-New York, 1958, hal. LV.
[16]Meskipun ide nomokrasi
sudah dikembangkan sejak Plato, tetapi yang mempopulerkan istilah ‘rule of law’
di zaman modern adalah sarjana Inggeris, Albert Venn "A. V." Dicey (4 February 1835 – 7 April 1922) melalui bukunya” An
Introduction to the Study of the Law of the Constitution” (1885). Dicey
memperkenalkan istilah "rule of law" ini,
meskipun ide negara hukum itu sendiri sudah dikembangkan sejak abad ke-17, dan
bahkan sejak Yunani kuno.
[17] Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis,
BIP-Gramedia, Jakarta, 2009, hal. 396-397.
[18]Para sarjana biasanya mengaitkan ide awal ‘rechtsstaat’ ini dengan
teori-teori Immanuel Kant. Rechtsstaat tidak lain adalah ide ‘constitutional state’ yang diperkenalkan oleh Kant (1724–1804) sesudah Konstitusi Amerika Serikat dan Perancis terbentuk
pada akhir abad ke-18. Negara dalam pandangan Immanuel Kant merupakan
“the union of men under law”. Negara terbentuk karena hukum yang sudah ada
lebih dulu. Suatu pemerintahan hanya dapat diangkat, dinilai, diberi tugas dan
tanggungjawab dan bahkan diberhentikan hanya atas dasar perintah hukum yang
sah. Penggunaan istilah Rechtsstaat ini paling awal dapat ditemukan
tahun 1798, tetapi dipopulerkan pertama kali dalam buku Robert von Mohl, Die deutsche Polizeiwissenschaft nach den Grundsätzen des
Rechtsstaates ("German Policy Science according to the Principles of
the Constitutional State") (1832–1833).
[19] Amos J. Peaslee, Contitutions of Nations, Martinus Nijhoff, The Hague,
Volume 1 (1950) dan Volume2 dan 3 (1968).
[20] Ian Shapiro, The State of Democratic Theory, Princeton University
Press, Princeton and Oxford, 2003. hal.1.
[21] C.A. van Peursen, Strategi Kebudayaan (terjemahan Dick Hartoko),
Kanisius, Yogyakarta, 2000.
[22] Lihat Koentjaraningrat (1985) yang menyebutnya sebagai tujuh
unsur-unsur pokok kebudayaan, yaitu: (1) Sistem Religi, (2) Sistem Organisasi
Masyarakat, (3) Sitem Pengetahuan, (4) Sistem Mata Pencaharian dan Sistem
Ekonomi, (5) Sistem Teknologi dan Peralatan, (6) Sistem Bahasa, dan (7) Sistem
Kesenian.
[23] Auguste Francois Xavier Comte lahir 19 Januari, 1798 di Montpeller,
Perancis Selatan. Lihat Kees Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Kanisius,
Yogyakarta, 1998.
[24] “The disharmony in our relationship to the
earth, which stems in part from our addiction to a pattern of consuming
ever-larger quantities of the resources of the earth, is now manifest in
successive crises.The lost of 1 acres of
rain forest every second; the acceleration of the natural extinction rate; the
ozone hole; the possible destruction of the climate balance that makes our
earth livable - all these suggest the increasingly violent collision between
human civilization and the natural world”. Lihat Al Gore, Earth in the Balance:
Ecology and the Human Spirit, , Houghton Mifflin, Boston, MA, 1992, hal. 223.
[25] Al Gore, Earth in the Balance: Ecology and the Human Spirit, Houghton
Mifflin, Boston, MA, 1992, hal. 147.
[26] Ibid., hal.148.
[27] Ibid., hal. 109.
[29] President Jacques Chirac’s Speech at the Earth Summit, Johannesburg,
2002.
[30] Jimly Asshiddiqie, Green Constitution: Nuansa Hijau UUD 1945, Rajawali
Pers, Jakarta, 2009.
[31] Lihat Stone CD, Should Trees Have Standing? Toward Legal Rights for
Natural Objects. Southern California Law Review 1972;45:450; W Kaufmann, Los
Altos, 1974) p 8.
[33] Lihat juga Becker, Marc. 2011 Correa, Indigenous Movements, and the
Writing of a New Constitution in Ecuador. Latin American Perspectives
38(1):47-62.
[34] Wendell Berry, The Unsetting of America: Culture and Agriculture,
Sierra Club Books, San Fransisco, 1996.
[35] The Root of Our Ecological Crisis, 2001.
[36] Perubahan Konstitusi Kelima (the French Fifth Constitution) disahkan
pada tanggal 1 Maret 2005, David Marrani, Human Rights and Environmental
Protection: The Pressure of the Charter for the Environment on the French
Administrative Court, lihat
digitalcommons.wcl.american.edu/cgi/viewcontent.cgi.
[37] Charter for the Environment 2004 disahkan pada tanggal 1 Maret 2005,
dan selanjutnya ditambahkan menjadi materi Preambule Konstitusi pada tahun
2006. Lihat www.cidce.org/pdf/Charte_ANGLAIS.pdf.
[38] Sejak tahun 2006, rumusan Peambule Konstitusi Perancis berubah menjadi
sebagai berikut: “The French
people solemnly proclaim their attachment to the Rights of Man and the
principles of national sovereignty as defined by the Declaration of 1789,
confirmed and complemented by the Preamble to the Constitution of 1946, and to
the rights and duties as defined in the Charter for the Environment of 2004”. “By
virtue of these principles and that of the self-determination of peoples, the
Republic offers to the overseas territories which have expressed the will to
adhere to them new institutions founded on the common ideal of liberty,
equality and fraternity and conceived for the purpose of their democratic
development”. Dengan demikian, Preambule Konstitusi Perancis sekarang memuat
substansi tiga dokumen, yaitu (i) Declaration of human and civic rights of 26 august 1789, (ii) naskah Preamble to the Constitution of 27 october 1946,
dan (iii) Charter for the environnement of
2004. Lihat www.conseil-constitutionnel.fr.
[39] Clare Kendall, A new law of
nature: Ecuador next week votes on giving legal rights to rivers,
forests and air. Is this the end of damaging development? The world is watching, The
Guardian, Wednesday 24 September 2008.
[40] Carl Pietsch, “Regimes of Nature – the Human Challenges of Ecological
Restoration”, Humanist, Nov-Dec, 1993, hal.4.
http://findarticles.com/p/articles/m1374/is_n6_v53/ai_14289333.
[41] Paul Wapner, “The Sovereignty of Nature? Environmental Protection in a
Postmodern Age”, International Studies Assocation, vol.46, no.2, pages 167-187,
International Studies Association. Blackwell Publishing, 2002
[43] Focseneanu, Veronica,
“Walls, Sovereignty and Nature”, Ecological Security in an Interdependence
World”.
[44] Nisha Shah, “Beyond Sovereignty and the State of Nature”, Annual
Meeting of the International Studies Association, San Diego, 2006.
http://www.academic.com/meta/p99286_index.html.
[45] Christhopher D. Stone, “Should Trees Have Standing? Towards Legal
Rights for Natural Objects, William Kaufmann, Los Altos, 1974, lihat dalam
Earth and Other Ethics, Harper & Row, New York, 1987, hal.1.