KATA
PENGANTAR
الرَّحِيمِ الرَّحْمنِ اللهِ بِسْمِ
Alhamdulillah puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang masih
memberikan nafas kehidupan, sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan
makalah tentang 10 kaidah fiqhiyyah dengan
tepat waktu. Tidak lupa shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang merupakan inspirator terbesar dalam segala keteladanannya.
Tidak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada
dosen pengampu mata kuliah Qowaidul
Fiqhiyyah yang telah memberikan arahan dan
bimbingan dalam pembuatan makalah ini, orang tua yang selalu mendukung
kelancaran tugas kami.
Akhirnya penulis sampaikan terima kasih atas perhatiannya terhadap makalah ini,
dan penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi tim penulis khususnya
dan pembaca yang budiman pada umumnya. Tak ada gading yang tak retak, begitulah
adanya tugas ini. Dengan segala kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang
konstruktif sangat penulis harapkan dari para pembaca guna peningkatan
pembuatan makalah pada tugas yang lain dan pada waktu mendatang.
Malang, 13 September
2014
Khamim Muhammad M
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR....................................................................................... 1
DAFTAR ISI....................................................................................................... 1
PEMBAHASAN ................................................................................................. 1
2.1 Kaidah sebelas.................................................................................... 1
2.2 Kaidah Dua belas............................................................................... 4
2.3 Kaidah Tiga belas............................................................................... 5
2.4 Kaidah Empat belas........................................................................... 5
2.5 Kaidah Lima belas.............................................................................. 6
2.6 Kaidah Enam belas............................................................................. 7
2.7 Kaidah Tujuh belas............................................................................. 8
2.8 Kaidah Delapan belas......................................................................... 9
2.9 Kaidah Sembilan belas....................................................................... 11
2.10 Kaidah Dua puluh............................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 15
PEMBAHASAN
2.1 Kaidah kesebelas
لا حجة مع الاحتمال
الناشئ عن دليل[1]
Tidak dianggap Suatu hujjah
atau pengakuan yang terkandung kemungkinan-kemungkinan dari bukti.
Makna:
Hujjah maksudnya adalah petunjuk, dan dalil
maksudnya adalah petunjuk.
Penjelasan:
Sesungguhnya tidak diterima
atau bermanfa’at hujjah ( pengakuan ) yang didalamnya terkandung kemungkinan
yang dibangun dari dalil dzanniy ataupun qhot’iy yang mengandung kemungkinana –
kemunginan.
Contoh:
Apabila seseorang didalam
sakitnya yang hampir mencapai kematian mengaku memiliki hutang kepada anaknya
yang pertama,maka pengakuannya ini tidak diterima jika belum dibenarkan oleh
ahli waris yang lain. Karena bisa saja si sakit meninginkan bagian yang lebih
untuk anak yang pertamanya dalam perkara warisan dan juga dikarenakan
keadaannya yang sekarat memungkinkan apa yang diucapkannya tidak lagi sesuai
dengan kenyataannya.[2]
Pendapat ini menurut mazhab abu
hanifah dan imam ahmad, sedangkan imam malik
berpendapat diterima pengakuannya jika tidak berubah dan jika berubah
tidak diterima, dan imam syafi’I berpendapat pengakuannya diterima.
2.2 Kaidah
kedua belas
لا عبرة بالظن
البينِّ خطؤه[3]
“Prasangka yang jelas kesalahannya tidak bisa dijadikan
sebagai hukum.”
Penjelasan:
Sesungguhnya apabila terjadi sebuah perbuatan dari hukum
atau keputusan atas prasangka kemudian dijelaskan kesalahan dari prasangka itu
maka wajib untuk tidak mengambil I’tibar (pertimbangan) dari perbuatan itu dan
meninggalkannya.
Contoh:
Dalam ibadah, jika disangka bahwa air itu najis dan
berwudhu dengannya kemudian dijelaskan bahwa air ini suci, maka boleh wudhunya
– kalau belum sholat – dan jika sudah sholat maka sholatnya harus diulang.
Pengecualian:
- Jika seseorang sholat dengan baju yang terkena najis
yang kelaihatannya bersih ( dari najis) maka sholatnya harus diulangi.
- Jika sseorang sholat sementara dia berhadats yang
kelihatannya dia sudah berwudhu, maka sholatnya harus diulangi[4]
2.3 Kaidah
ketiga belas
من شك هل فعل شيئًا
أولا فالأصل أنه لم يفعله[5]
“Barang siapa yang ragu apakah
ia telah mengerjakan sesuatu atau tidak, maka yang asli adalah sesungguhnya ia
belum mengerjakannya.”
Kaedah ini merupakan cabang dari kaedah اليقين لا يزول بالشك. Karena sesuatu yang diyakini
adalah tetap, sedangkan keraguan tidak bisa menghilangkannya dan tidak
berpengaruh bagi keyakinan tersebut.
Contoh:
- Barang siapa yang ragu apakah ia telah mentalak
istrinya atau tidak, maka talaknya terjadi. Karena pada asalnya ia tidak
mentalaknya.
- Barang siapa yang ragu
dalam meninggalkan apa yang diperintahkan dalam sholat, seperti Qunut,
sujud sahwi, atau ragu melakukan hal yang dilarang dalam sholat seperti
menambah ruku’, maka ia tidak perlu sholat sujud sahwi, karena pada
asalnya ia tidak mengerjakannya.[6]
2.4 Kaidah
keempat belas
من تيقن الفعل، وشك
في القليل أو الكثير، عمل على[7]
“Barang siapa yang meyakini
sebuah pekerjaan, dan ragu dalam sedikit atau banyaknya , maka yang berlaku
adalah yang sedikit”
Kaedah ini merupakan penjelasan dari kaedah ما ثبت بيقين لا يرتفع إلا بيقين
Sesuatu yang diyakini maka tidak bisa hilang kecuali
dengan keyakinan. Seperti:
- Orang yang berwudlu’ ragu
apakah ia telah membasuh dua kali atau tiga kali, maka yang diambil adalah
yang paling sedikit
- Orang yang sholat ragu
apakah ia sholat telah mendapat tiga atau empat rokaat maka yang dianggap
adalah ia dapat tiga rokaat.
- Orang yang mentalak
istrinya ragu-ragu apakah ia mentalak satu atau lebih dari satu, maka yang
diambil adalah yang paling sedikit.[8]
2.5 Kaidah
kelima belas
الأصل العدم[9]
“Asal segala sesuatu adalah tidak ada”
Kaedah
ini semakna dengan kaedah الأصل براءة الذمة
seperti:
- Seorang pekerja berkata pada pemilik modal (akad
mudlarabah) “ saya tidak mendapat keuntungan”, maka ucapan ia dibenarkan,
karena pada asalnya tidak ada keuntungan atau laba. Atau ia berkata “ saya
hanya mendapatkan laba ini saja” maka ucapannya juga dibenarkan, karena
pada asalnya tidak ada tambahan.
- Apabila seseorang menetapkan orang lain memiliki
hutang, baik dengan disertai pengakuan atau bukti, kemudian orang tersebut
mengaku bahwa ia telah melunasinya, maka yang dibenarkan adalah ucapan
orang yang menghutangi. Karena pada asalnya hal tersebut belum terjadi.[10]
2.6 Kaidah
keenam belas
الأصل في الأشياء
الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم[11]
“Hukum asal segala sesuatu
adalah boleh sampai adanya dalil yang mengharamkan”
Menurut
jumhur dan Abu Hanifah (kaidah tersebut diatas adalah)
الأصل فيها التحريم
حتى يدل الدليل على الإباحة
- sesuatu yang halal menurut
imam safii, imam malik dan imam ahmad selagi tdak ada dalil yang
mengharamkannya. Adapun menurut abu haifah halal adalah sesuatu yang
menunjukkan dalil atas kehalalannya. Dan menurut mayoritas ulama “Pada
asalnya setiap sesuatu adalah halal.
- setiap sesuatu itu pada
dasarnya mubah atau haram atau makruh
- setiap sesuatu itu pada
dasarnya adalah boleh
Penjelasan :
sesungguhnya Allah SWT memblehkan setiap sesuatu, dan mengharamkan sebagiannya, dan ini disepakati oleh, dan Allah mendiamkan setiap sesuatu yang tidak ada dalil yang memperbolehkan atau yang mengharamkannya. Dan tampak jelas dalam perbedaan dalam diamnya assyari’, adapun komentar pendapat jumhur “sifat assukut itu menunjukkan kehalalan” adapun komentar abu hanifah “sifat assukut adalah haram”
sesungguhnya Allah SWT memblehkan setiap sesuatu, dan mengharamkan sebagiannya, dan ini disepakati oleh, dan Allah mendiamkan setiap sesuatu yang tidak ada dalil yang memperbolehkan atau yang mengharamkannya. Dan tampak jelas dalam perbedaan dalam diamnya assyari’, adapun komentar pendapat jumhur “sifat assukut itu menunjukkan kehalalan” adapun komentar abu hanifah “sifat assukut adalah haram”
Adapun sebagian jumhur ulama
menguatkan dengan hadis nabi Muhammad SAW
" ما أحل الله فهو حلال، وما حرم فهو حرام، وما سكت
عنه فهو عفو، فاقبلوا من الله عافيته، فإن الله لم يكن لينسى شيئاً "
“sesuatu yang dihalalkan Allah maka itu halal dan apa
sesuatu yang diharamkan oleh Allah maka haram, dan sesuatu yang didiamkan oleh
Allah maka itu dimaafkan, maka carilah pengampunan kepada Allah , sesungguhnya
Allah tidak lupa atas sesuatu”
Contoh :
Makanan
dan minuman dan pakaian dari sesuatu tidak ada dalil yang menghalalkannya atau
dalil yang mengharamkannya, dan barang siapa yang mengatakan pada asalnya itu
adlah mubah maka cukup untuk bahawa itu halal dan barang siapa yang berkata
haram maka itu haram,dan barangsiapa yang menunjukkan sikap diam maka lebih
baik diam.[12]
2.7 Kaidah
ketujuh belas
الأصل في الأبضاع
التحريم[13]
“Hukum Asal Abdla’ (farji)
adalah Haram”
Abdla’ adalah bentuk jama’ dari kata budl’ yang maknanya sinonim dengan kata farj atau vagina. Budl’ juga
dapat berarti menikahi (tazwij), seperti halnya kata al-nikah yang mempunyai
dua arti, dapat diartikan bersetubuh (wath’i) dan akad pernikahan (aqd
al-nikah). Dalam redaksi lain, kaidah ini diungkapkan dengan kata-kata al-ashlu
fi al-nikah al-hadzru; Hukum asal pada hal-hal yang berhubungan dengan masalah
nikah adalah dilarang. Perbedaan redaksional dua kaidah ini lebih dipicu oleh
faktor penggunaan kata yang berbeda, yakni a-budl’ dan al-nikah, yang
sebenarnya memiliki kemiripan makna. Karena itu, dua kaidah ini sebenarnya
hanya berbeda ungkapan namun memiliki hakikat yang sama.[14]
Kaidah ini menegaskan bahwa hukum asal dari
suatu pernikahan yang selalu terkait erat dengan persoalan hubungan seksual
antara suami istri adalah haram. Oleh sebab itu, status diperbolehkannya
hubungan seksual diantara keduanya, hanya berlaku setelah melalui proses
pernikahan, sedang faktor yang melatarbelakanginya adalah hanya satu kebutuhan
mendasar dan mendesak yaitu menjaga kelestarian keturunan dan mempertahankan
populasi manusia. Hal tersebuat terdapat pada Q.S An-Nisa ayat 23
Surat An-Nisa ayat 23
حُرّ مَتْ عَلَيْكُمْ أُمّهَتُكُمْ وَ بَنَا
تُكُمْ وَ أَ خَوَ تُكُمْ وَ عَمَّتُكُمْ وَ خَلَتُكُمْ وَ بَنَا تُ ا لأ خِ وَ
بَنَا تُ ا لأ خْتِ وَ أُ مَّهَتُكُمْ ا لّتِى أَ رْ ظَعْنَكُمْ وَ أَ خَوَ تُكُمْ
مّنَ ا لرَّ ظَعَةِ وَ أُ مَّهَتُ نِسَا عِكُمْ وَ رَ بَعِبُكُمُ ا لّتى فى حُجُو
رِ كُمْ مّن نِّسَا عِكُمُ ا لّتِى دَ خَلْتُمْ بِهنَّ فَإ ن لّم تَكُو نُو اْ
دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَا حَ عَلَيكُمْ وَ حَلَعِلُ أَ بْنآ عِكُمُ ا لّذِ
ينَ مِنْ أَ صْلَبِكُمْ وَ أَ ن تَجْمَعُو اْ بَيْنَ ا لأُ خْتَيْنِ إ لاَّ مَا قَدْ
سَلَفَ إِ نَّ ا لله كَا نَ غَفُو رً ا رَّ حِيمًا
Artinya : “Diharamkan atas kamu ( memgawini) ibu-ibumu, anak-anakmu
yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang
perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan,
ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dan istri
yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan
sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan
bagimu) istri-isrti anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa
lampau, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Contoh : Ada berita bahwa dalam satu kampung, ditemukan beberapa
perempuan yang haram dinikahi oleh seorang laki-laki, tetapi perempuan mana
yang dimaksud itu tidak diketahui secara pasti, maka hukum yang diambil adalah
keharaman menikahi perempuan kampung tersebut sebelum ada kejelasan yang pasti
mana perempuan yang dilarang. [15]
2.8 Kaidah
kedelapan belas
الذمة إذا عمرت
بيقين فلا تبرأ إلا بيقين[16]
“ Tanggungan itu tidak dapat dihapuskan atau dibebaskan
dengan keyakinan itu sendiri.”
Penjelasan :
Kaidah ini adalah cabang
dari kaidah اليقين لا يزول بالشك Karena keyakinan itu tidak
dapat menghilangkan kecuali dengan keyakinan. Karena yakin itu bersifat tetap maka tidak
dapat dihilangkan kecuali dengan keyakinan itu sendiri. Dan daripada itu jika
tanggunan itu menempati kedudukan yakin dalam membutuhkan hukum syara atau
kebenaran dari beberapa kebenaran, maka tidak terlepas dari keraguan kecuali
dengan keyakinan. Maka tidak bisa terlepas dari tanggungan. Maka keyakinan itu
tetap berada pada dalil-dalil yang mengacu pada keyakinan dalam kaidah
asal. Dan kaidah-kaidah cabang yang berhubungan dengannya, dan kaidah tersebut
diserupakan dengan kaidah Syafiiyah kontemporer[17] :
من تيقن الفعل، وشك في القليل أو الكثير، عمل على القليل، لأنه المتيقن
Barangsiapa yang yakin dalam melakukan melakukan sesuatu
dan kemudian ragu dalam bilangan sedikit atau banyak maka yng dimenangkan
adalah yang sedikit karena pada dasarnya yang sedikit itu yang diyakini[18]
Penerepan :
Kaidah ini dikembalikan atau dihubungkan dengan kaidah
cabang pengikut Maliki :
1. من شك في عدد ركعات ما صلى،
أو في عدد الأشواط في الطواف، أو السعي، بنى على الأقل، طرحاً للشك
“Barangsiapa yang ragu-ragu dalam bilangan rokaat sholat
atau dalam jumlah putaran tawaf atau putaran sai maka yang diambi adalah yang
sedikit, karena membuang yang ragu.” Dan dengan keyakinan maka masih tetap mempunyai
tanggungan karena dalam menyempurnakan ibadah itu adalah keyakinan, atau
prasangka yang dominan yang menempati kedudukan yakin dan prasangka tersebut
itu lebih memantapkan hati. Maka tenggungan tidak akan bisa terlepas kecuali
dengan keyakinan.
2. من شك في إخراج ما عليه من الزكاة،
أو الكفارات، أو قضاء رمضان، أو الهدي، أو أداء ما عليه من الصلاة، أو الدَّين، فالواجب
عليه الأداء
“Barangsiapa yang ragu dalam mengeluarkan sebagian harta
untuk menunaikan zakat, atau kafarat atau mengganti puasa ramadhan atau had
atau menunaikan sholat atau membayar hutang maka wajib baginya untuk menunaikan
dan membuang keraguan, karena sesungguhnya tanggungan itu pada dasarnya
diperintahkan untuk yakin (yakin yang benar-benar bahwa dia telah
menunaikannya) maka tanggungan tersebut tidak akan terlepas kecuali dengan
keyakinan dan keyakinan itu akan membatalkan keraguan dalam suatu keadaan.[19]
2.9 Kaidah
kesembilan belas
لا ضرر ولا ضرار[20]
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak
membahayakan orang lain”
Penjelasan :
Bahaya
: adalah melepaskan atau menghilangkan kerusakan dengan sebab yang lain, adapun
bahaya yang bertemu dengan bahaya yang lain maka salah satu tidak boleh
dilepaskan atau berpindah pada bahaya yang lain.
Adapun
kaidah ini bersumber pada hadist yang diriwayatkan oleh ibnu majah dan imam
daruqudni dan imam ahmad bin hambal dan diriwayatkan oleh imam malik yang
berupa hadis mursal dengan lafads sebagai berikut
"لا
ضرر ولا إضرار"
‘tidak ada bahaya dan tidak membahayakan”
Dan kaidah tersebut saya sempurnakan
menjadi :
"من
ضار ضاره الله، ومن شاق شاق الله عليه "
“Barangsiapa yang berbuat bahaya maka Allah akan memberi
bahaya, dan baramgsiapa yang berbuat susah maka Allah akan memberi kesusahan”[21]
Diantara
penerapan kaedah ini, ada yang terambil dari atsar para sahabat ataupun yang
ditegaskan oleh para ulama’. Diantaranya adalah :
- Barang siapa yang barangnya dirusak oleh orang lain,
maka dia tidak boleh merusak barang milik orang lain tersebut, karena itu
akan memperluas kemadhorotan tanpa ada faedah yang berarti, namun cukup
dengan meminta ganti rugi.
- Seandainya ada seseorang yang menyewa tanah orang
lain untuk ditanami padi atau tanaman lainnya, lalu habis masa sewa padahal
padi masih belum waktunya panen, maka tanah itu masih berada dalam
genggaman yang menyewa sampai masa panen dengan membayar sewa tanah
tambahan sesuai adat yang berlaku di masyarakat, itu demi menghilangkan
kemadhorotan kalau tanaman harus di panen sebelum waktunya.
- Haram merokok, karena itu akan membahayakan diri
pelaku dan orang yang ada disekitarnya.
- Boleh bagi pemerintah untuk melarang para pedagang
dari mengimport barang dari luar negeri kalau hal itu akan membahayakan
perkonomian dalam negeri, begitu pula sebaliknya boleh bagi pemerintah
untuk melarang eksport barang keluar negri kalau barang tersebut sangat
terbatas dan tidak mencukupi kebutuhan penduduk negeri tersebut.
- Dilarang menimbun makanan atau benda lain yang
sangat dibutuhkan oleh masyarakat karena itu akan membahayakan mereka.
- Kalau ada seseorang yang pesan kepada tukang kayu
untuk dibuatkan lemari, maka dia wajib untuk menerimanya kalau si tukang
telah membuatkan sesuai dengan kriteria yang disepakati, karena kalau
tidak maka akan memadhorotkan tukang kayu tersebut.
2.10 Kaidah kedua
puluh
الضرر يدفع بقدر الإمكان[22]
“Bahaya harus ditolak semampu
mungkin”
Bahaya yang tidak ditetapkan
oleh syar’i maka harus dihilangkan dan wajib menolaknya sebelum terjadi atau
sebelum datang dengan semampunya. Karena sesungguhnya memelihara lebih baik
dari pada mengobati, seperti mencegah bahaya dengan semampunya jika itu
memungkinkan, dan jika tidak bisa maka
dengan sebisanya. Dan apabila dipaksakan dengan memberi ganti maka dipaksakan
pula untuk memberi ganti semampunya.
Apabila sudah tidak memungkinkan untuk membayarnya secara keseluruhan,
maka tidak boleh dipaksakan untuk membayar keseluruhannya, maka dia boleh
meninggalkan (keadaan atau bahaya yang mana pada dasarnya ia memang tidak mampu
untuk menyelesaikan) –nya.
Kaidah ini berlaku dalam segala
persoalan dimana sisi drarar-nya belum atau akan terjadi. Titik tekan yang
terakhir ini berdasarkan konsep maslahah mursalah dan siyasah syar’iyyah, yakni
upaya preventif (pencegahan) yang dinilai lebih baik dalam pandangan syariat
daripada upaya kuratif (penghilangan),
atau dalam dunia kedokteran dikenal dengan jargon: mencegah lebih baik daripada
mengobati. Inilah dasar terbangunnya kaidah al-dlarar yudfa’u bi qadr al-imkan.
Secara substansi, kaidah ini
menegaskan bahwa segala macam bahaya, jika memungkinkan, harus segera ditangkal
secara total. Tapi bila tidak bisa, maka cukup ditolak semampunya saja, sesuai
kadar kemampuan yang dimiliki (bi qadr al-imkan).[23]
Contoh:
Pertama, apabila seorang wali
anak yatim khawatir terhadap harta anak yatim akan diambil oleh orang yang
dholim dan untuk mencegah kedhalimannya itu dengan menggunakan sebagian harta
anak yatim, maka wali diperbolehkan untuk memberikan sebagian harta anak yatim
tersebut untuk mencegah terjadinya kemudaratan.
Kedua, Jika seseorang menggasab
barang orang lain dan memakainya sampai rusak dia harus bertanggungjawab dengan
memberi ganti rugi. Begitu juga, jika barang yang dighasab itu hilang atau
dipakai orang lain, maka bagi penggasab wajib secara mutlak untuk
bertanggungjawab, baik rusaknya atau hilangnya barang itu sebab ia lalai atau
tidak. Sehingga ia harus mengganti barang itu dengan nilai atau harganya, jika
barang itu bisa ditaksir. Atau dengan mengganti barang yang sama persis, jika ada
barang yang sama.
Ketiga, pada akhir-akhir ini,
bangsa indonesia sering kali ditimpa bencana alam, mulai dari tsunami, gunung
meletus, banjir bandang, gempa bumi dan longsor. Sebenarnya banyak faktor yang
menyebabkan terjadinya hal tersebut. Di antaranya karena manusianya yang sudah
tidak menjaga kelestarian alam bahkan telah merusaknya sebagaimana diingatkan
oleh Allah dalam al-Qur’an surat al-Rum ayat 41:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ
وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي
عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Juga mungkin di karenakan kurangnya
ketakwaan kita kepada Allah serta semakin terkikisnya moral-moral islam. Maka
penulis dengan berdasarkan kaidah ini mengajak para pembaca untuk senantiasa
mencegah terjadinya bencana-bencana alam dengan menjaga kelestarian alam
semampu kita serta menambah dan memupuk rasa ketakwaan kita terhadap Allah juga
senantiasa memohon ampunan kepada-Nya atas kesalahan-kesalahan yang kita
lakukan selama ini, karena Allah berfirman dalam surat al-Anfal ayat 33:
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنْتَ فِيهِمْ وَمَا كَانَ اللَّهُ
مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُون
Dalam ayat tersebut Allah
menegaskan bahwa Allah tidak akan mendatangkan siksaan bagi orang-orang yang
senantiasa memohon ampunan atas segala kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya.
Wa Allah a’lamu bi al-shawab.
DAFTAR PUSTAKA
Dari Kitab
Muhammad Mustofa Azuchaili, Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqaatuha Fi
Al-Madzahib Al-Arba’ah (Dar al-Fik ) hal.186
Dari Buku
Ahmad Saebani,
Beni. Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: CV. Pusta Setia,2008
Arfan, Abbas. 99
Kaidah Fiqh Muamalah Kulliyyah; Tipologi dan Penerapannya dalam Ekonomi Islam
dan Perbankan Syariah. Malang: Uin-Maliki Presss, 2013
Haq, Abdul. Formulasi
Nalar Fiqh: Telaah Kaidah Fiqh Konseptual, Kediri: Kaki Lima Lirboyo, 2009
DR. H.
Dahlan Tamrin. M.AG. Kaidah-Kaidah Hukum Islam.
Dari Internet
Kumpulan Artikel Islam
http://2lisan2.blogspot.com/2010/11/tidak-boleh-berbuat-sesuatu-yang.html
diakses pada tanggal 15 Sepember
Rumah hati 2014
http://alindragiria.blogspot.com/2012/03/normal-0-false-false-false-en-us-x-none_10.html
diakses pada tanggal 15 Sepember
[1]
Muhammad Mustofa Azuchaili, Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqaatuha Fi
Al-Madzahib Al-Arba’ah (Dar al-Fik ) hal.175
[2]
Rumah hati diakses pada tanggal 15 Sepember 2014 http://alindragiria.blogspot.com/2012/03/normal-0-false-false-false-en-us-x-none_10.html
[3]
Muhammad Mustofa Azuchaili, Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqaatuha Fi
Al-Madzahib Al-Arba’ah (Dar al-Fik ) hal.178
[4]
Rumah Hati diakses pada tanggal 15 September 2014 http://alindragiria.blogspot.com/2012/03/normal-0-false-false-false-en-us-x-none_10.html
[5]
Muhammad Mustofa Azuchaili, Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqaatuha Fi
Al-Madzahib Al-Arba’ah (Dar al-Fik ) hal.186
[6]
Muhammad Mustofa Azuchaili, Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqaatuha Fi
Al-Madzahib Al-Arba’ah (Dar al-Fik ) hal.186
[7]
Muhammad Mustofa Azuchaili, Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqaatuha Fi
Al-Madzahib Al-Arba’ah (Dar al-Fik ) hal.187
[8]
Muhammad Mustofa Azuchaili, Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqaatuha Fi
Al-Madzahib Al-Arba’ah (Dar al-Fik ) hal.188
[9]
Muhammad Mustofa Azuchaili, Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqaatuha Fi
Al-Madzahib Al-Arba’ah (Dar al-Fik ) hal.189
[10]
Muhammad Mustofa Azuchaili, Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqaatuha Fi
Al-Madzahib Al-Arba’ah (Dar al-Fik ) hal.189
[11]
Muhammad Mustofa Azuchaili, Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqaatuha Fi
Al-Madzahib Al-Arba’ah (Dar al-Fik ) hal.190
[12]
Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh (CV.Pustaka Seta: Bandung) hal. 251
[13]
Muhammad Mustofa Azuchaili, Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqaatuha Fi
Al-Madzahib Al-Arba’ah (Dar al-Fik ) hal.193
[14]
Abdul Haq, Buku Satu Formulasi Nalar Fiqh (Telaah Kaidah Fiqh Konseptual), (Kediri:
Kaki Lima Lirboyo) hal 151
[16]
Muhammad Mustofa Azuchaili, Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqaatuha Fi
Al-Madzahib Al-Arba’ah (Dar al-Fik ) hal.195
[17]
Muhammad Mustofa Azuchaili, Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqaatuha Fi
Al-Madzahib Al-Arba’ah (Dar al-Fik ) hal.195
[18]
Muhammad Mustofa Azuchaili, Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqaatuha Fi
Al-Madzahib Al-Arba’ah (Dar al-Fik ) hal.195
[19]
Muhammad Mustofa Azuchaili, Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqaatuha Fi
Al-Madzahib Al-Arba’ah (Dar al-Fik ) hal.196
[20]
Muhammad Mustofa Azuchaili, Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqaatuha Fi
Al-Madzahib Al-Arba’ah (Dar al-Fik ) hal.199
[21]
Muhammad Mustofa Azuchaili, Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqaatuha Fi
Al-Madzahib Al-Arba’ah (Dar al-Fik ) hal.199
[22]
Muhammad Mustofa Azuchaili, Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqaatuha Fi
Al-Madzahib Al-Arba’ah (Dar al-Fik ) hal.208
[23]
Abdul Haq, Buku Satu, Formulasi Nalar Fiqh: Telaah Kaidah Fiqh Konsepstual (Kediri:
Kaki Lima Lirboyo) hal 179