PENGERTIAN
Di dalam bab IX buku I KUHP (tentang arti beberapa istilah yang dipakai dalam kitab undang-undang), tidak dijumpai rumusan arti atau definisi mengenai apa yang dimaksud dengan istilah “percobaan”. KUHP hanya merumuskan batasan mengenai kapan dikatakan adanya percobaan untuk melakukan kejahatan yang dapat dipidana, yaitu pasal 53 (1) yang menyatakan :
“Mencoba melakukan kejahatan
dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan,
dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena
kehendaknya sendiri”.
Redaksi
pasal ini jelas tidak merupakan suatu definisi, tetapi hanya merumuskan
syarat-syarat atau unsur-unsur yang menjadi batas antara percobaan yang dapat
dipidana dan yang tidak dapat dipidana.
Percobaan yang dapat dipidana menurut
system KUHP bukanlah percobaan terhadap semua jenis tindak pidana. Yang dapat
dipidana hanyalah percobaan terhadap tindak pidana yang berupa “kejahatan” saja, sedangkan percobaan
terhadap pelanggaran tidak dipidana sebagimana ditentukan dalam pasal 54 KUHP.
Pada pasal 54 KUHP memperlihatkan adanya pemikiran dari para perumusnya bahwa
delik pelanggaran bersifat lebih ringan dari pada kejahatan. Oleh karena itu
percobaan pun terlalu rendah dari KUHP. Disamping itu perlu dicatat bahwa
ketentuan umum dalam pasal 53 (1) diatas tidak berarti bahwa percobaan terhadap
semua kejahatan dapat dipidana. Pengecualian tersebut misalnya :
·
Percobaan
duel / perkelahian tanding (pasal 184 ayat 5);
·
Percobaan
penganiayaan ringan terhadap hewan (pasal 302 ayat 4);
·
Percobaan
penganiayaan biasa (pasal 351 ayat 5);
·
Percobaan
penganiayaan ringan (pasal 352 ayat 2);
II.
SIFAT LEMBAGA PERCOBAAN
Apakah
percobaan itu merupakan suatu bentuk delik khusus yang berdiri sendiri ataukah
hanya merupakan suatu delik yang tidak sempurna?
Mengenai
sifat dari percobaan ini terdapat dua pandangan :
(1). Percobaan dipandang sebagai Strafausdehnungsgrund (dasar/alasan
perluasan pertanggungjawaban pidana).
Menurut
pandangan ini, seseorang yang melakukan percobaan untuk melakukan suatu tindak
pidana meskipin tidak memenuhi semua unsur delik, tetap dapat dipidana apabila
telah memenuhi rumusan pasal 53 KUHP. Jadi
sifat percobaan adalah untuk memperluas dapat dipidananya orang, bukan memperluas
rumusan-rumusan delik. Dengan demikian menurut pandangan ini, percobaan tidak
dipandang sebagai jenis atau bentuk delik yang tersendiri (delictum sui generis) tetapi dipandang sebagai bentuk delik yang
tidak sempurna (onvolkomen dekictsvorm).
Termasuk dalam pandangan pertama ini ialah : Prof. Ny. Hazewinkel-Suringa dan
Porf. Oemar Seno Adji.
(2). Percobaan dipandang sebagai Tatbestandausdehnungsgrund (perluasan
delik).
Menurut
pandangan ini, percobaan melakukan sesuatu tindak pidana merupakan satu kesatuan
yang bulat dan lengkap. Percobaan bukanlah bentuk delik yang tidak sempurna,
tetapi merupakan delik yang sempurna hanya dalam bentuk yang khusus/istimewa.
Jadi merupakan delik tersendiri (delictum
sui generis). Termasuk dalam pandangan kedua ini ialah Prof. Pompe dan
Prof. Moelyatno.
Alasan
Prof. Moelyatno memasukkan percobaan sebagai delik tersendiri, ialah :
a. Pada dasarnya seseorang itu dipidana karena
melakukan suatu delik;
b. Dalam konsep “perbuatan pidana” (pandangan dualistis) ukuran suatu delik
didasarkan pada pokok pikiran adanya sifat berbahayanya perbuatan itu sendiri
bagi keselamatan masyarakat;
c. Dalam hukum adat tidak dikenal percobaan
sebagai bentuk delik yang tidak sempurna (onvolkomen
delictsvorm), yang ada hanya delik selesai.
d. Dalam KUHP ada beberapa perbuatan yang
dipandang sebagai delik yang berdiri sendiri dan merupakan delik selesai,
walaupun pelaksanaan dari perbuatan itu sebenarnya belum selesai, jadi baru
merupakan percobaan. Misalnya delik-delik maker (aanslagdelicten) dalam pasal 104, 106, dan 107 KUHP.
Mengenai
contoh yang dikemukakan Prof Moelyatno terakhir ini, dapat pula misalnya
dikemukakan contoh adanya pasal 163 bis. Menurut pasal ini percobaan untuk
melakukan penganjuran (poging tot
uitloking) atau yang biasa juga disebut penganjuran yang gagal (mislukte uit-lokking) tetap dapat
dipidana, jadi pandangan sebagai delik yang berdiri sendiri.
Mengenai
adanya dua pandangan tersebut diatas. Prof. Mulyatno berpendapat bahwa
pandangan pertama sesuai dengan alam atau masyarakat individual karena yang
diutamakan adalah strafbaarheid van de
person (sifat dipidananya orang); sedangkan pandangan yang kedua sesuai
dengan alam atau masyarakat kita sekarang karena yang diutamakan adalah
perbuatan yang tak boleh dilakukan.
III.
DASAR PATUT DIPIDANANYA PERCOBAAN
Mengenai dasar
pemidanaan terhadap percobaan ini, terdapat beberapa teori sbb:
1. Teori Subyektif
Menurut
teori ini, dasar patut dipidananya percobaan terletak pada sikap batin atau
watak yang berbahaya dari si pembuat. Termasuk penganut teori ini ialah Van
Hamel.
2. Teori Obyektif
Menurut
teori ini, dasar patut dipidananya percobaan terletak pada sifat berbahayanya
perbuatan yang dilakukan oleh si pembuat. Teori ini terbagi dua, yaitu :
2.a.
Teori obyektif-formil. Yang menitik beratkan sifat berbahayanya
perbuatan itu terhadap tata hukum.
2.b.
Teori obyektif-materiil. Yang menitik beratkan sifat berbahayanya
perbuatan itu terhadap kepentingan / benda hukum. Penganut teori ini
antara lain Simons.
3. Teori Campuran.
Teori ini melihat dasar patut dipidananya
percobaan dari dua segi, yaitu : sikap batin pembuat yang berbahaya (segi
subyektif) dan juga sifat berbahayanya perbuatan (segi obyektif). Termasuk
dalam teori ini ialah pendapat Langemeyer dan Jonkers.
Namun
karena dalam kenyataanya, pelaksanaan dari teori ini tidak mudah, mereka
nampaknya lebih cendrung pada teori subyektif.
Prof.
Moelyatno dapat dikategorikan sebagai penganut teori campuran. Menurut
beliau rumusan delik percobaan dalam pasal 53 KUHP mengandung dua inti yaitu :
yang subyektif (niat untuk melakukan
kejahatan tertentu) dan yang obyektif (kejahatan
tersebut telah mulai dilaksanakan tetapi tidak selesai). Dengan demikian
menurut beliau, dalam percobaan tidak mungkin dipilih salah satu diantara teori
obyektif dan teori subyektif karena jika demikian berarti menyalahi dua inti
dari delik percobaan itu; ukurannya harus mencakup dua criteria tersebut
(subyektif dan obyektif). Di samping itu beliau mengatakan bahwa baik teori
subyektif maupun obyektif, apabila dipakai secara murni akan membawa kepada
ketidak adilan.
IV.
UNSUR-UNSUR PERCOBAAN
Dari rumusan pasal 53
(1) KUHP diatas jelas terlihat bahwa unsur-unsur percobaan ialah :
IV.1. Niat.
Kebanyakan
para sarjana berpendapat bahwa unsur niat sama dengan sengaja dalam segala
tingkatan/coraknya. Catatan Prof. Moelyatno terhadap unsur niat :
a. Niat jangan disamakan dengan kesenjangan,
tetapi niat secara potensiil dapat berubah menjadi kesenjangan apabila sudah
ditunaikan menjadi perbuatan yang dituju; dalam
hal semua perbuatan yang diperlukan untuk kejahatan telah dilakukan, tetapi
akibat yang dilarang tidak timbul
(percobaan selesai/voltooidc poging), disitu niat 100% menjadi
kesengajaan, sama kalau mengahadapi delik selesai.
b. Tetapi kalau belum semua ditunaikan menjadi
perbuatan maka niat masih ada dan merupakan sikap batin yang membari arah
kepada perbuatan, yaitu subjectieve
onrechtselement.
c. Oleh
karena itu niat tidak sama dan tidak bisa disamakan dengan kesengajaan, maka
isinya niat jangan diambilkan dari isinya kesengajaan apabila kejahatan timbul;
untuk ini diperlukan pembuktian tersendiri bahwa isi yang tertentu tadi sudah
ada sejak niat belum ditunakan jadi perbuatan.
Dari
delik percobaan dapat mempunyai dua arti :
1. Dalam hal percobaan selesai (percobaan lengkap/voltoo-ide poging/completed
attempt), niat sama dengan kesengajaan;
2. Dalam hal percobaan tertunda (percobaan terhenti atau tidak
lengkap/geschorste poging/incompleted attempt), niat hanya merupakan unsur
sifat melawan hukum yang subyektif (subyektif
onrechtselement).
Dikatakan
ada “percobaan selesai” apabila terdakwa telah melakukan semua perbuatan yang
diperlukan untuk terjadinya kejahatan, tetapi akibat yang terlarang tidak
terjadi;
Misal
: A bermaksud membunuh B dengan pistol, Picu (trekker) pistol telah ditarik,
tetapi ternyata pistol tersebut tidak meletus atau tembakan tidak mengenai
sasaran. Dalam hal ini, menurut Moelyatno, niat sudah berubah menjadi
kesengajaan karena telah diwujudkan dalam bentuk perbuatan.
Tetapi
apabila dalam contoh diatas, perbuatan yang diperlukan untuk terjadinya
kejahatan belum dilakukan (misal : picu belum ditarik) sehingga akibat yang
terlarang juga belum ada maka dalam hal demikian dikatakan ada “percobaan tidak selesai/tertunda”.
Menurut Moelyatno, dalam hal ini maka niat yang belum diwujudkan sebagai
perbuatan (belum ditunaikan keluar) masih tetap menjadi niat yaitu baru
merupakan sikap batin yang mengarah kepada suatu perbuatan yang melawan hukum.
Dalam
hal niat telah berubah menjadi kesengajaan, Prof. Moelyatno setuju dengan
pendapat yang luas bahwa hal itu meliputi juga kesenjangan sebagai keinsyafan
kemungkinan.
IV.2. Ada permulaan pelaksanaan.
Unsur
kedua ini, merupakan persoalan pokok dalam percobaan yang cukup sulit karena
baik secara teori maupun praktek selalu dipersoalkan batas antara perbuatan
persiapan (voorbereidingshandeling)
dan perbuatan pelaksanaan (uitvoeringshandeling).
Dalam memecahkan masalah ini para sarjana menghubungkannya dengan teori atau
dasar-dasar patut dipidananya percobaan. Bertolak dari pandangan atau teori
percobaan yang subyektif, VAN HAMEL berpendapat bahwa dikatakan ada perbuatan
pelaksanaan apabila dilihat dari perbuatan yang telah dilakukan telah ternyata
adanya kepastian niat untuk melakukan kejahatan. Jadi yang dipentingkan atau
yang dijadikan ukuran oleh VAN HAMEL ialah ternyata adanya sikap batin yang
jahat dan berbahaya dari si pembuat. Ukuran demikian menurut VAN HAMEL sesuai
dengan ajaran hukum pidana yang lebih baru yang bertujuan memberantas kejahatan
sampai ke akar-akarnya.
Bertolak
dari pandangan atau teori percobaan yang obyektif materiil, SIMIONS berpendapat
sbb :
a. Pada delik formil, perbuatan pelaksanaan ada
apabila telah dimulai perbuatan yang disebut dalam rumusan delik;
b. Pada delik materiil, perbuatan pelaksanaan
ada pabila telah dimulai/dilakukan perbuatan yang menurut sifatnya langsung
dapat menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang tanpa mensyaratkan
adanya perbuatan lain.
Contoh untuk delik formil :
A
bermaksud melakukan pencurian dirumah B untuk melaksanakan aksinya, A telah
mempersipkan segala sesuatu peralatan untuk mencuri, kemudian pada malam hari
ia mendatangi rumah B. Sesampainya di rumah B, ia mematikan lampu teras,
melepas kaca jendela dan baru saja A masuk rumah lewat jendela itu ia
tertangkap.
Apabila
digunakan ukuran Van Hamel, maka dalam hal ini dikatakan sudah ada perbuatan
pelaksanaan, tetapi menurut ukuran Simons baru merupakan perbuatan persiapan,
karena belum mulai melakukan perbuatan seperti yang disebut dalam rumusan delik
(pencurian : pasal 362 KUHP) yaitu “ mengambil barang “. Apabila A sudah
mengambil barang dan pada saat itu ketahuan dan tertangkap, barulah dikatakan
pada saat itu A telah melakukan perbuatan pelaksanaan yang oleh karenanya dapat
dituntut telah melakukan percobaan pencurian.
Contoh untuk delik materiil
:
A
bermaksud membunuh B dengan meledakkan mobil yang dikendarainya dengan dinamit
di suatu tempat yang dilalui B. A telah mempersiapkan dinamit dengan segala
peralatan yang diperlukan dengan rapid an menunggu di samping saklar sampai B
lewat ditempat itu. Apabila pada saat menunggu itu, gerak gerik A dicurigai dan
akhirnya ditangkap, maka menurut ukuran Simons perbuatan A belum merupakan
perbuatan pelaksanaan tetapi baru perbuatan persiapan, karena untuk meledakkan
dinamit itu masih diperlukan perbuatan lain yaitu mengotakkan/menekan
saklarnya.
Dalam menentukan adanya
permulaan/perbuatan pelaksanaan dalam delik percobaan Prof Moelyatno
berpendapat bahwa ada dua factor yang harus diperhatikan, yaitu :
1. Sifat atau inti dari delik percobaan, dan
2. Sifat atau inti dari delik pada umumnya
Mengingat kedua
factor tersebut, maka menurut beliau perbuatan pelaksanaan harus memenuhi 3
syarat yaitu :
i.
Secara
Obyektif, apa yang telah dilakukan terdakwa harus mendekatkan kepada
delik/kejahatn yang dituju atau dengan kata lain, harus mengandung potensi
untuk mewujudkan delik tersebut;
ii.
Secara
Subyektif, dipandang dari sudut niat, harus tidak ada keraguan lagi bahwa yang
telah dilakukan oleh terdakwa itu ditujukan atau diarahkan pada delik/kejahatan
yang tertentu tadi;
iii.
Bahwa
apa yang telah dilakukan oleh terdakwa itu merupakan perbuatan yang bersifat
melawan hukum.
V.
PERCOBAAN DALAM BEBERAPA YURISPRUDENSI
Yurispridensi
yang terkenal ialah Arrest HR tahun 1934 tentang Eindhoven.
Kasus
Posisi : H dituduh hendak membakar rumah R (dengan persetujuan R).
Pada
malam yang telah ditentukan H masuk kerumah R, menaruh pakaian dan
barang-barang yang mudah terbakar di tiap kamar, yang semuanya dihubungkan satu
sama lain dengan sumbu yang akhirnya dihubungkan pada kompor gas yang
mengeluarkan api jika ditembakkan. Trekker (penarik pintol gas) diikatkan
dengan tali dan melalui jendela, ujungnya digantungkan di luar rumah yang
terletak di pinggir jalan kecil. Pakaian-pakaian itu disiram bensin dan jika
orang berjalan di tepi jalan menarik talinya maka pistol gas mengeluarkan api
dan menyalakan kompor gas dan selanjutnya akan merata keseluruh rumah. Setelah
pemasangan pistol dan tali itu selesai, H menyingkirkan benda-benda ke tempat
lain. Sementara itu, karena tertarik bau bensin banyak orang berpendapat di
dekat tali itu, sehingga H tak mugkin menyelesaikan maksudnya.
Terhadap
kasus tersebut peradilan (gerechtshop) di Her-togenbosch menyatakan bahwa
perbuatan H adalah perbuatan permulaan pelaksanaan dan dijatuhi pidana 4 tahun
penjara karena melanggar pasal 53 jo 187 KUHP.
H
mengajukan kasasi dengan alasan bahwa Hof telah salah menafsirkan pasal 53 KUHP
dan mengatakan bahwa apa yang dilakukannya baru merupakan perbuatan persiapan.
Jaksa Agung Muda BEISER menyimpulkan bahwa perbuatan H baru merupakan perbuatan
persiapan karena belum nyata-nyata merupakan pelaksanaan untuk melakukan
pembakaran.
Senada
dengan konklusi Beiser, HOGE RAAD berpendapat bahwa perbuatan H baru merupakan
perbuatan persiapan, karena belum merupakan perbuatan yang sangat diperlukan
untuk pembakaran yang telah diniatkan, ialah yang tidak dapat tidak menuju
kearah dan langsung berhubungan dengan kejahatan yang dituju dan juga menurut
pengalaman nyata-nyata menuju pembakaran, tanpa sesuatu perbuatan lain dari si
pembuat. Atas dasar alasan ini HR membatalkan putusan Hof dan H dilepaskan dari
segala tuntutan.
Apabila
kasus dan putusan pengadilan di atas dihubungkan pendapat para Sarjana yang
telah dikemukakan di atas, maka terlihat bahwa :
- Konklusi Beiser dan terutama pendapat HR,
lebih cocok dengan teori atau pendapat Simons (Teori Obyektif Materiil);
- Putusan Hof, lebih sesuai dengan teori atau
pendapat Duynstee (Teori Obyetif Formil)
Terhadap
putusan HR tersebut, DUYNSTEE sendiri menulis bahwa menurut pendapatnya
terdakwa H telah mulai dengan perbuatan pelaksanaan pembakaran. Alasan yang
dikemukakannya ialah :
a. Semua perbuatan terdakwa (H) saling
berhubungan dan memenuhi rumusan delik;
b. Jika HR menganggap perbuatan pelaksanaan
yaitu perbuatan yang menimbulkan kejahatan (akibat) tanpa adanya perbuatan
lain, berarti jika tiap perbuatan pelaksanaan akan menimbulkan akibat
terlarang, maka perbuatan pelaksanaan hanya ada percobaan lengkap saja, ini
tidak tepat karena di dalam teori dikenal juga adanya percobaan yang tidak
lengkap.
Mengenai kasus
diatas, Prof. Moelyatno mengemukakan pendapatnya sbb :
“Kalau perkara
pembakaran di Eindhoven ditinjau dengan ukuran yang saya sarankan, maka
mengenai syarat pertama tidak perlu diragukan adanya. Secara potensiil apa yang
telah dilakukan terdakwa mendekatkan kepada kejahatan yang dituju. Juga
mengenai syarat yang kedua yaitu bahwa yang dituju itu menimbulkan kebakaran,
telah wajar. Tinggal syarat yang ketiga, yaitu apakah yang telah dilakukan itu
sudah bersifat melawan hukum ? Kalau diingat bahwa rumah itu di diami orang
lain di waktu orangnya tidak ada, hemat saya adalah perbuatan yang melanggar
hukum. Jadi karena tiga-tiganya syarat sudah dipenuhi, hemat saya putusan yang
yang diberikan oleh Hof’s Hertogenbosch adalah tepat. Terdakwa telah melakukan
delik percobaan pembakaran seperti yang ditentukan dalam pasal 53 juncto pasal
187 KUHP”.
IV.3. Pelaksanaan tidak
selesai bukan semata-mata karena kehendak pelaku sendiri.
Tidak
selesainya pelaksanaan kejahatan yang dituju bukankarena kehendak sendiri,
dapat terjadi dalam hal-hal sbb :
a. Adanya penghalang fisik;
Misal
: tidak matinya orang yang ditembak, karena tangannya disentakkan orang
sehingga tembakan menyimpang atau pistol terlepas. Termasuk dalam pengertian
penghalang fisik ini ialah apabila adanya kerusakan pada alat yang digunakan
(misal : pelurunya macet / tidak meletus, bom waktu yang jamnya rusak).
b. Walaupun tidak ada penghalang fisik, tetapi
tidak selesainya itu disebabkan karena akan adanya penghalang fisik.
Misal
: takut segera ditangkap karena gerak geriknya untuk mencuri telah diketahui
oleh orang lain.
c. Adanya penghalang yang disebabkan oleh
factor-faktor / keadaan-keadaan khusus pada obyek yang menjadi sasaran.
Misal
: daya tahan orang yang ditembak cukup kuat sehingga tidak mati atau yang
tertembak bagian yang tidak membahayakan, barang yang kan dicuri terlalu berat
walaupun si pencuri telah berusaha mengangkatnya sekuat tenaga.
Dalam
hal tidak selesainya perbuatan itu karena kehendak sendiri, maka dalam hal ini
dikatakan ada pengunduran diri sukarela, sering dirumuskan bahwa ada pengnduran
diri sukarela, apabila menurut pandangan terdakwa, ia masih dapat
meneruskannya, tetapi ia tidak mau meneruskannya.
Tidak
selesainya perbuatan karena kehendak sendiri, secara teori dapat dibedakan
antara :
Ø Pengunduran diri secara sukarela (Rucktritt)
yaitu tidak menyelesaikan perbuatan pelaksanaan yang diperlukan untuk delik
yang bersangkutan;
Ø Tindakan penyesalan (Tatiger Reue) yaitu
meskipun perbuatan pelaksanaan sudah diselesaikan, tetapi dengan sukarela
menghalau timbulnya akibat mutlak delik tersebut.
Misal
: Orang member racun pada minuman si korban, tetapi setelah diminumnya, ia
segera memberikan obat penawar racun sehingga si korban tidak jadi meninggal.
Sehubungan
dengan masalah pengunduran diri sukarela ini, maka menurut M.v.T maksud
dicantumkannya unsur ke-3 ini dalam pasal 53 KUHP ialah :
§ Untuk menjamin supaya orang yang dengan
kehendaknya sendiri secara sukarela mengrungkan kejahatan yang telah dimulai
tetapi belum terlaksana, tidak dipidana;
§ Pertimbangan dari segi kemanfaatan
(utilitas), bahwa usaha yang paling tepat (efektif) untuk mencegah timbulnya
kejahatan ialah menjamin tidak dipidananya orang yang telah mulai melakukan
kejahatan tetapi kemudian dengan sukarela mengurungkan pelaksanaannya.
Dengan
adanya penjelasan MvT tersebut, maka ada pendapat bahwa unsur ketiga ini
merupakan :
v Alasan pengahpus pidana yang diformulir
sebagai unsur (Pompe).
v Alasan pemaaf (van Hattum, Seno Adji).
v Alasan pengahpusan penuntutan (Vos, Moelyatno).
Prof.
Moelyatno tidak setuju dengan pendapat yang menyatakan unsur ke-3 ini sebagai
alasan pemaaf (fait d’ex-cuse) maupun
sebagai alasan pengahpus pidana, sebab perbuatannya tetap tidak baik (yang baik
adalah tidak mencoba sama sekali) sehingga tidak ada alasan untuk memaafkan
ataupun membenarkan. Menurut beliau dengan tidak dituntutnya terdakwa, diberi
stimulans bagi orang-orang lain yang mempunyai niat melakukan kejahatan, untuk
ditengah-tengah mengundurkan diri secara sukarela. Jadi ada pertimbangan
utilitas. Dalam pengunduran sukarela (dan tindakan penyesalan/Tatiger Reue),
tidak ada fait d’excuxe karena sifat tak baik perbuatan maupun kesalahn tetap
ada, tetapi tidak dituntutnya itu karena dipandang lebuh berguna bagi
masyarakat, seprti halnya dirumuskan pada pasal 367 (1) KUHP (pencurian antara
suami-istri). Pertimbangan utilitas lain dikemukakan beliau ialah untuk
menghemat tenaga dan biaya. Walaupun Prof. Moelyatno memandang unsur ke-3 ini
sebagai alasan penghapusan penuntutan, namun beliau tidak berkeberatan untuk
menuntut orang yang secara sukarela telah mengurngkan niatnya itu apabila telah
menimbulkan kerugian, dan pidananya dikurangi menurut kebijaksanaan Hakim.
Mengenai konsekwensi
adanya unsur ke-3 dalam perumusan pasal 53 KUHP ini, ada dua pendapat :
a. Mempunyai konsekuensi materiil
Artinya
unsur ketiga ini merupakan unsur yang melekat pada percobaan, jadi bersifat
accessoir (tidak berdiri sendiri). Dengan perkataan lain, untuk adanya
percobaan unsur ke-3 ini (tidak selesainya pelaksanaan perbuatan bukan karena
kehendak sendiri) harus ada. Ini berarti apabila ada pengunduran diri secara
sukarela, maka tidak ada percobaan. Pendapat serupa ini terlihat dalam putusan
Hoge Raad tanggal 17 Juni 1889 tentang kasus sumpah palsu.
Dalam
kasus ini ada tanda-tanda bahwa saksi yang dihadapkan ke persidangan diatas
sumpah telah meberikan keterangan yang bertentangan dengan kenyataan (kesaksian
palsu). Setelah Jaksa dan Hakim memperingatkan bahwa ia akan dituntut sumpah
palsu, maka saksi tersebut mencabut kembali keterangan palsunya itu. Apakah
saksi dapat dipidana karena percobaan sumpah palsu?
HR
dalam putusannya berpendapat bahwa saksi itu tidak dapat dipidana melakukan
percobaan sumpah palsu karena dalam hal ini ada pengunduran diri secara sukarela.
Begitu pula si penganjur tidak dapat dipidana karena adanya pengunduran diri
itu perbuatannya (saksi) tidak merupakan perbuatan terlarang.
b. Mempunyai konsekwensi formil (dibidang
processuil)
Artinya
unsur ke-3 itu dicantumkan dalam pasal 153 maka unsur tersebut harus disebutkan
didalam surat tuduhan dan dibuktikan. Menurut pendapat ini, unsur ke-3 ini
tidak merupakan unsur yang melekat pada percobaan, jadi tidak bersifat
accessoir, ia merupakan unsur yang berdiri sendiri. Dengan perkataan lain,
walaupun unsur ini tidak ada (yaitu karena adanya pengunduran diri secara
sukarela) maka percobaan tetap dipandang ada. Jadi dalam kasus yang dikemukakan
diatas, meskipun ada pengunduran diri secara sukarela, perbuatannya tetap
dipandang sebagai perbuatan terlarang dan soal dipidana tidaknya si pembuat
maupun si penganjur adalah masalah pertanggunganjawab.
Dalam
kasus diatas si pembuat (saksi) tidak dipidana karena (menurut HR) disitu ada
pengunduran diri secara sukarela, sedangkan sipenganjur tetap dapat dipidana
karena telah menganjurkan suatu perbuatan yang terlarang. Jadi pendapat kedua
ini membedakan antara perbuatan yang dapat dipidana (criminal act) dan
pertanggung jawaban pidana (criminal responsibility).
VI.
PERCOBAAN MAMPU DAN TIDAK MAMPU
Masalah percobaan
mampu dan tidak mampu ini timbul sehubungan dengan telah dilakukannya perbuatan
pelaksanaan tetapi delik yang dituju tidak selesai atau akibat yang terlarang
menurut undang-undang tidak timbul. Tidak selesainya delik atau tidak timbulnya
akibat terlarang itu dapat disebabkan karena tidak mempunyai obyek (misal :
mencoba menggugurkan bayi yang ternyata tidak hamil, mencoba membunuh orang
yang sudah mati, mencuri uang dari sebuah peti uang yang ternyata kosong, dsb)
atau karena tidak mempunyai alat yang digunakan ( misal : mencoba membunuh
orang dengan gula yang dikiranya racun).
Pembeda antara
percobaan mampu dan tidak mampu ini sebenarnya hanya pada mereka yang menganut
teori percobaan yang obyektif, karena hanya menitik beratkan pada sifat
bahayanya perbuatan. Para penganut teori yang subyektif tidak mengenal
pembedaan tersebut, karena lebih menitik beratkan pada sifat berbahayanya sikap
batin atau watak si pembuat.
Mengenai percobaan
yang tidak mampu karena obyeknya, M.v.T mengemukakan :
“Syarat-syarat umum
percobaan menurut pasal 53 KUHP ialah syarat-syarat percobaan untuk melakukan
kejahatan yang tertentu didalam buku II KUHP. Jika untuk terwujudnya kejahatan
tertentu tersebut diperlukan adanya obyek, maka percobaan melakukan kejahatan
itupun harus ada obyeknya. Kalau tidak ada obyeknya, maka juga tidak ada
percobaan”.
Jadi menurut M.V.T
tidak mungkin ada percobaan pada obyek yang tidak mampu, yang ada hanya
percobaan yang tidak mampu pada alatnya saja.
Mengenai percobaan
yang tidak mampu karena alatnya, M.v.T membedakan antara :
v Tidak mampu mutlak, yaitu bila dengan alat
itu tidak pernah mungkin timbul delik selesai, dalam hal ini tidak mungkin ada
delik percobaan.
v Tidak mampu relative, yaitu bila dengan alat
itu tidak ditimbulkan delik selesai karena justru hal ikhwal yang tertentu
dalam mana si pembuat melakukan perbuatan atau justru karena keadaan tertentu
dalam mana orang yang dituju itu berada. Dalam hal ini mungkin ada delik
percobaan.
Dari apa yang
dikemukakan M.v.T diatas terlihat bahwa ketidakmampuan relative dapat dilihat
dari dua segi :
- Keadaan tertentu dari alat pada waktu si
pembuat melakukan perbuatan
- Keadaan tertentu dari orang yang dituju.
Ukuran
yang dikemukakan M.v.T itu ternyata tidak mudah :
a. Alat itu dapat dilihat sebagai jenis tersendiri
dan dapat dilihat dari keadaan konkritnya :
- Apabila dilihat sebagai jenis tersendiri,
maka gula adalah alat yang tidak mampu digunakan untuk membunuh, sedangkan
warangan (arsenicum) adalah mampu;
- Apabila dilihat dari keadaan konkritnya, maka
alat yang pada umumnya mampu untuk membunuh (misal warangan) dapat menjadi alat
yang tidak mampu apabila jumlahnya tidak memenuhi dosis yang cukup mematikan
(untuk arsenicum 5 mg).
b. Begitu pula orang yang dituju, dapat dilihat
secara abstrak untuk rata-rata orang dan dapat dilihat dari keadaan konkrit
tertentu.
- Gula adalah alat yang tidak mampu digunakan
untuk membunuh orang pada umunya, tetapi dapat menjadi alat yang mampu
mematikan untuk orang yang berpenyakit diabetes;
- Warangan yang memenuhi dosis 5 mg, merupakan
alat yang mampu untuk membunuh, tetapi untuk orang yang sudah biasa warangan
sejumlah itu tidak merupakan alat yang mematikan.
Berdasarkan hal-hal
diatas, maka banyak sarjana yang menyatakan bahwa batas antara absolute dan
relative itu tergantung dari kehendak orang yang menggunakan (willekeurig), tergantung dari cara
berpikir seseorang mengenai sesuatu hal.
Misal : percobaan
pembunuhan dengan pistol yang tidak berpeluru.
Orang dapat
mengatakan bahwa pistol yang demikian adalah alat yang absolut tidak mampu,
tetapi dapat juga dikatakan bahwa pistol adalah alat yang mampu untuk membunuh,
namun dalam hal tertentu bersifat relative karena tidak ada pelurunya.
Sehubungan dengan
tidak jelas dan tidak mudahnya ukuran yang diberikan oleh M.v.T itu, maka para
sarjana berusaha memberikan batas atau ukuran antara percobaan yang mampu dan
tidak mampu.
Karena pada
hakekatnya masalah percobaan mampu dan tidak mampu ini dalah masalah hubungan
kausal yang ada dalam lapangan obyeltif, maka banyak sarjana (misal Simons,
Pompe, Van Hattum) yang berusaha menentukan garis pembatas tersebut dengan
menggunakan ukuran-ukuran dalam hubungan kausal.
Ukuran-ukuran
kausalitas yang digunakan adalah teori
generalisasi (adekuat) yang melihat secara ante factum (sebelum peristiwa/akibat) karena memang dalam hal
percobaan, akibat yang merupakan delik yang dituju justru belum terjadi, jadi
tidak menggunakan teori individualisasi yang melihat sesudah terjadinya akibat (post factum).
Ukuran atau batas
percobaan mampu dan tidak mampu yang dikemukakan oleh para sarjana itu adalah
sbb :
1. SIMONS
Ada
percobaan yang mampu, apabila perbuatan yang menggunakan alat yang tertentu itu
dapat membahayakan benda hukum.
Tidak
perlu bahwa bahaya itu harus nyata-nyata ada dalam keadaan khusus dimana perbuatan
itu dilakukan. Jika menurut keadaan normal, dengan alat tersebut tidaklah akan
ditimbulkan delik maka dalam hal demikian tidak ada percobaan yang mampu.
Sebaliknya jika alat yang pada umumnya tidak berbahaya, tetapi dalam keadaan
tertentu dapat membahayakan dan dengan sengaja pula alat itu digunakan, maka
persangkaan bahwa alat itu tidak berbahaya akan lenyap dengan diajukan
bukti-bukti sebaliknya. Perbuatan demikian lalu dapat dipidana.
2. POMPE
Ada
percobaan mampu, jika perbuatan atau alat yang digunakan mempunyai kecendrungan
(strekking) atau menurut sifatnya mampu untuk menimbulkan delik selesai.
Misal
: - Mencoba membunuh orang dengan mendoakan terus menerus supaya mati, bukanlah
percobaan yang mampu sebaliknya pemberian warangan pada orang yang normal
adalah mampu jika jumlahnya memang dapat mematikan orang yang normal.
- Ada orang membeli warangan di apotik untuk
melakukan pembunuhan, tetapi karena kekeliruan apotik, bukan warangan yang
diberikan tetapi gula sehingga tidak menimbulkan kematian. Dalam hal demikian,
tetap dikatakan ada percobaan karena meskipun sifat gula adalah tidak mampu
secara absolute, tetapi penting dilihat dari keseluruhan perbuatan yaitu
mencampurkan gula (yang diberikan oleh apotik) yang dikiranya warangan, kedalam
makanan orang lain.
3. VAN
HATTUM
Dalam
menentukan percobaan mampu dan tidakmampu, van Hattum seperti halnya Simons dan
Pompe jelas-jelas menggunakan hubungan kausal yang adekuat. Dikatakan ada
percobaan yang mampu, apabila perbuatan terdakwa ada hubungan kausal yang adekuat
dengan akibat yang dilarang oleh undang-undang.
Dalam
menggunakan hubungankausal yang adekuat itu, menurut van Hattum yang penting
adalah bagaimana merumuskan (memformulir) perbuatan terdakwa yang bersangkutan.
Dalam memformulir perbuatan terdakwa secara adekuat kausal itu, van Hattum
memberikan ukuran/pedoman sbb :
a. Hal-hal yang terjadi secara kebetulan jangan
dimasukan, karena rasa keadilan tidak membenarkan hal demikian member
keuntungan kepada si pembuat;
b. Hal-hal yang merintangi selesainya kejahatan
yang dituju jangan dimasukkan, apabila pada hakekatnya perbuatan terdakwa
membahayakan benda/kepentingan hukum (rechtsgoed).
Misal
: Dengan maksud menembak musuhnya, seseorang telah mengisi senapanya dengan
peluru dan kemudian meletakkannya di suatu tempat untuk menunggu saat yang
baik. Sementara itu dengan tidak diketahuinya ada orang lain mengososngkan
senapanya itu, sehingga pada saat ditembakkan tidak menimbulkan akibat amtinya
orang lain (musuhnya itu).
Dalam
hal yang demikian, menurut van Hattum janganlah perbuatan terdakwa diformulir
sebagai percobaan yang tidak mampu karena kenyataannya ia membunuh dengan alat
yang relative tidak mampu yaitu senapan yang kosong. Tetapi harus diformulirkan
sbb : “mengarahkan senapan yang semula sudah diisi dengan peluru dan kemudian
menembakkannya”. Perbuatan demikian merupakan yang pada umumnya dapat
menimbulkan akibat matinya orang lain (jadi mempunyai hubungan kausal yang
adekuat untuk adanya pembunuhan). Dengan demikian perbuatan terdakwa merupakan
percobaan yang mampu. Tidak berbeda dengan menembakkan senapan yang pelurunya
macet. Dari pendapat van Hattum diatas jelas terlihat bahwa “kosongnya pistol”
merupakan hal yang kebetulan dan mengisi senapandengan peluru dan
menembakkannya” merupakan perbuatan yang membahayakan benda hukum orang lain
(berupa nyawa). Van Hattum menyatakan bahwa makin banyak hal-hal konkrit yang
dimasukkan dalam merumuskan perbuatan terdakwa, maka ketidakmampuan yang
relative akan menjadi ketidakmampuan yang absolut.
4. MOELYATNO
Dalam
memecahkan masalah percobaan mampu dan tidak mampu ini, Prof. Moelyatno tidak
mendasarkan pada teori adekuat kausal karena kenyataanya dalam percobaan tidak sampai menimbulkan kejahatan yang
dituju (tidak timbul akibat terlarang). Ukuran yang dugunakan beliau dikembalikan
pada ukuran patut dipidananya suatu delik, yaitu adanya perbuatan yang bersifat
melawan hukum. Jadi ukurannya tidak ditetapkan secara kausatif, tetapi secara
normatif.
Dikatakan
ada percobaan yang mampu apabila perbuatan terdakwa mendekatkan pada terjadinya
delik selesai sedemikian rupa sehingga merupakan perbuatan yang melawan hukum.
Perlu dicatat bahwa karena beliau menganut ajaran sifat melawan hukum yang
materiil, maka perbuatan itu harus menggelisahkan masyarakat atau tidak pantas
dilakukan.
Ukuran
yang digunakan Prof. Moelyatno itu didasarkan pada Eindrucks theorie (teori kesan) yang berasal dari Von Bar, yang
dikemukakan didalam bukunya Prof. Edmund Mezger (1952).
Menurut
teori ini, sudah cukup dikatakan ada percobaan, yang mampu apabila dalam
keadaan tertentu ada perbuatan yang menimbulkan kesan keluar bahwa ada
permulaan perbuatan yang dapat dipidana. Apabila suatu perbuatan dipandang dari
sudut masyarakat telah menimbulkan kesan mengganggu atau melukai tata-hukum,
dan oleh karena itu telah menggincangkan kesadaran umum mengenai kepastian
berlakunya tata hukum tadi, maka perbuatan demikian sudah mengandung bahaya.
Dengan demikian ternyata, menurut Mezger, bahwa di dalam teori kesan terdapat
azas general preventive. Misal : perbuatan orang yang hendak membunuh dengan
senjata yang ternyata kosong atau macet pelurunya, atau pencuri yang merogoh
kantong orang lain yang ternyata kosong.
Perbuatan-perbuatan
demikian dilihat dari teori kesan sudah merupakan percobaan yang mampu dan oleh
karenanya dapat dipidana, karena ada kesan dari luar yaitu dari sudut
masyarakat bahwa perbuatan-perbuatan itu telah mengganggu/ melukai tata hukum.
Menurut
Prof. Moelyatno, dengan memakai ukuran melawan hukumnya perbuatan dalam
menentukan mampu tidaknya suatu percobaan berdasar teori kesan, tidak berarti
bahwa sifat berbahaya tidaknya percobaan itu dilihat dari sudut hubungan kausal
tidak perlu diperhatikan. Pertimbangan segi kausalitas ini tetap penting,
tetapi bukan untuk menentukan mampu tidaknya suatu percobaan, melainkan untuk
menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan. Dalam hubungan ini
beliau membandingkan dengan pasal 23 KUHP Swiss yang menentukan. “Jika alat
yang dipakai untuk mencoba melakukan kejahatan, atau obyek/terhadap mana
dilakukan kejahatan, adalah sedemikian rupa hingga perbuatan memang tidak
mungkin dilaksanakan dengan alat atau terhadap obyek yang demikian itu, maka
hakim boleh mengurangi pidana menurut kebijaksanaanya sendiri. Jika si pembuat
berbuat karena kebodohan (unverstand)
hakim boleh tidak menjatuhkan pidana”.
5. MANGEL
AM TATBESTAND
Telah
dilemukakan diatas bahwa secara teoritis percobaan mampu dan tidak mampu dapat
dibedakan mengenai obyeknya maupun mengenal alatnya dan dapat pula dibedakan
antara tidak mampu yang absolute dan relative.
Karena
tidak jelasnya batas penetu antara tidak mampu absolute danrelatif, tergantung
dari kehendak/ cara berpikir seseorang (bersifat
Willekeurig), maka ada pendapat seperti M.v.T yang tidak memasukkan kedalam
lapangan percobaan tidak mampu apabila objek tidak mampu. Menurut pendapat
aliran ini, percobaan tidak mampu karena obyeknya bukanlah delik percobaan
karena tidak cukupnya atau tidak terpenuhinya unsur-unsur delik. Misal dalam
hal membunuh orang yang sudah mati atau menggugurkan kandungan orang yang tidak
hamil, disitu tidak terpenuhi unsur delik dalam pasal 333 KUHP yaitu harus
adanya nyawa orang (hidup) yang dihilangkan dan unsur delik dalam pasal 346
KUHP (menggugurkan/mematikan kandungan) yaitu harus adanya seorang wanita yang
benar-benar mengandung.
Dalam
ilmu hukum pidana Jerman, tidak adanya atau tidak lengkapnya/ tidak
terpenuhinya unsur-unsur delik itu, disebut Mangel
am Tatbestand (Mangel =kekurangan; Tatbestand = keadaan yang betul/sempurna
atau mencocoki rumusan delik). Istilah ini dikemukakan oleh Graf zu Dohna
(1910).
Yang
setuju dengan pendapat ini ialah Simons dan Pompe. Menurut Pompe, dalam kedua
contoh yang dikemukakan diatas tidak mungkin lagi dikatakan ada percobaan
karena maksud/tujuan terdakwa sudah tercapai. Sedangkan van Hamel, tidak setuju
dengan mereka yang memandang tidak ada percobaan apabila obyeknya tidak mampu.
Menurut beliau memang benar bahwa membunuh bayi yang sudah mati atau
menggugurkan kandungan orang yang tidak hamil adalah tidak mungkin, tetapi hal
yang demikian sebenarnya tidak berbeda dengan membunuh bayi yang lahir hidup
tetapi kemudian diganti dengan boneka atau mencuri uang dari sebuah kantong
yang ternyata kosong.
Demikian
pula Jonkers tidak setuju bahwa dalam contoh-contoh di atas dikatakan tidak ada
percobaan, karena sifat khusu dari percobaan ialah :
a. Delik tidak selesai karena hal ikhwal yang
tidak tergantung dari kehendak terdakwa;
b. Oleh karena dalam pikiran terdakwa (dalam
kasus-kasus diatas) adalah mungkin sekali akan melaksanakan delik yang dituju.
Dari
alasan yang kedua (b) ini jelas terlihat pandangan yang subyektif tentang
percobaan.
Sehubungan
dengan masalah ini KARNI membedakan antara Mangel am Tatbestand dengan
percobaan tidak mampu (istilah beliau “percobaan tak terkenan”). Dalam hal
menggugurkan kandungan orang yang tidak hamil, disini ada percobaan yang tidak
mampu karena tujuan si pembuat tidak tercapai (jadi berbeda dengan pendapat
Pompe), jadi ini bukan Mangel am Tatbestand. Sedangkan untuk mangel am
Tatbestand dicontohkan sbb:
- Orang yang melarikan perempuan yang ternyata
sudah cukup umur;
- Orang yang mencuri barang yang ternyata sudah
menjadi miliknya.
Dalam
kedua contoh ini menurut Karni tujuanya sudah tercapai, hanya saja unsur delik
yang bersangkutan (pasal 332 dan pasal 362 KUHP) tidak terpenuhi secara
sempurna. Ketidak sempurnaan dipenuhinya unsur delik inilah yang menurut Karni
merupakan hakekat atau watak hukum dari Mangel am Tatbestand. Dalam hal
demikian, terdakwa tidak dapat dipidana karena memang tidak ada pasal yang dilanggar
dan kepastian hukum terancam (jadi berlainan dengan van Hamel). Selanjutnya
ditegaskan oleh Karni bahwa Mangel am Tatbestand ini merupakan “kekhilafan
tentang anasir delik” yang harus dibedakan dengan salah sangka tentang adanya
undang-undang (putatief delict).
Perbedaan
ini terlihat pula dalam pendapat Utrecht, delik putatief merupakan
“rechtsdwaling” sedangkan Mangel am Tatbestand merupakan “feitelijke dwaling”.
VII.
PEMIDANAAN TERHADAP PERCOBAAN
Telah
dikemukakan di muka bahwa menurut system KUHP, yang dapat dipidana hanyalah
percobaan terhadap kejahatan, sedangkan terhadap pelanggaran tidak dipidana.
Dalam
hal percobaan terhadap kejahatan, maka menurut pasal 53 (2) KUHp maksimum
pidana yang dapat dijatuhkan ialah maksimum pidana untuk kejahatan (pasal) yang
bersangkutan dikurangi sepertiga. Jadi misalnya untuk percobaan pembunuhan
(pasal 53 jo pasal 338 KUHP), maksimumnya ialah 10 tahun penjara. Bagaimanakah
apabila kejahatan yangbersangkutan diancam pidana mati atau penajara seumur
hidup, seperti halnya dalam pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana)? Menurut
pasal 53 (3), maksimum pidana yang dapat dijatuhkan hanya 15 tahun penjara.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut KUHP, maksimum pidana pokok
untuk percobaan adalah lebih rendah daripada apabila kejahatan itu telah
selesai seluruhnya. Sedangkan untuk pidana tambahannya, menurut pasal 53 (4)
adalah sama dengan kejahatan selesai.