Persoalan kesalalahan pada tindak pidana berupa pelanggaran. Pada tidak pidana berupa kejahatan diperlukan adanya kesengajaan atau kealpaan. Dalam undang-undang unsur-unsur dinyatakan dengan tegas atau dapat diambil dari kata kerja dalam rumusan tindak pidana itu. Dalam rumusan tindak pidana berupa pelanggaran pada dasarnya tidak ada penyebutan tentang kesengajaan atau kealpaan, artinya tidak disebut apakah perbuatan dilakukan dengan sengaja atau alpa. Hal ini penting untuk hukum acara pidana, sebab kalau tidak tercantum dalam rumusan Undang-undang, maka tidak perlu dicantumkan dalam surat tuduhan dan juga tidak perlu dibuktikan.
Dalam hal ini berlakulah
ajaran “fait materiel” (de leer an het matericle feit ajaran perbuatan
materiil) dimana menurut M.v.T. :
Pada
pelanggaran hakim tidak perlu mengadakan pemeriksaan secara khusus tentang
adanya kesengajaan, bahkan adanya kealpaan juga tidak, lagi pula tidak perlu
memberi keputusan tentang hal tersebut. Soalnya apakah terdakwa berbuat/tidak
berbuat sesuatu yang bertentangan dengan Undang-undang atau tidak.
Contoh : arrest H.R tanggal
14 Pebruari 1916 (arrest air dan susu).
Duduk perkara;
A.B., pengusaha (veehouder)
menyuruh melever susu kepada para langganan. Yang mengedarkan susu itu D,
pelayan. Pada suatu ketika susu yang dilever oleh D itu ternyata tidak murni (dicampur air). D tidak
tahu menahu tentang hal itu. Pasal 303a dan 344 Peraturan Polisi Umum mengancam
dengan pidana Barang siapa melever susu dengan nama susu murni, padahal
dicampur dengan sesuatu (tidak murni). Ini merupakan tindak pidana berupa
pelanggaran.
A.B. dituntut dan dalam
tingkat banding dijatuhi pidana.
A.B. mengajukan kasasi,
dengan alasan yang lebih kurang demikian:
a.
Rechtbank Amsterdam salah menerapkan Pasal 47 W.v.S Belanda (Pasal 55 K.U.H.P),
sebab telah memutuskan secara tidak benar bahwa A.B. telah menyuruh lakukan
perbuatan yang dituduhkan, tanpa menyelidiki terlebih dahulu apakah pelaku
materiil (ialah D) tidak bertanggung-jawab atas perbuatan itu.
b.
tidak terjadi persoalan apakah pelaku materiil (D) dianggap tidak berhak untuk
menyelidiki murni dan tidaknya susu yang disuruh melevernya.
c. lebih-lebih pasal 303a dan 344 tersebut
mengancam dengan pidana barang siapa melever susu yang tidak murni tanpa
memandang ada kesalahan atau tidak.
Permohonan kasasi ini
ditolak oleh Hooge Raad, dan terhadap alasan yang dikemukakan oleh A.B. H.R.
memberi pertimbangan antara lain sebagai berikut:
a. Telah dinyatakan terbukti bahwa penuntut
kasasi (A B) telah menyuruh pelayannya (D) untuk melever susu dengan sebutan
“susu murni” padahal dicampur dengan air. Hal mana tidak diketahui oleh D.
b. memang dalam pasal 303 tidak disebut dengan
tegas bahwa orang yang melakukan perbuatan itu harus mempunyai kesalahan
(“enige schuld”), akan tetapi ini tidak dapat disimpulkan bahwa orang yang
tidak mempunyai kesalahan sama sekali (geheel gemis van schuld) peraturan ini
dapat diterapkan kepada.
c. tidak ada suatu alasanpun, terutama dalam
riwayat W.v.S. yang memaksa untuk menganggap dalam hal unsur kesalahan tidak
dicantumkan dalam rumusan delik, khususnya dalam pelanggaran, pembentuk
Undang-undang menyetujui sistem, orang
yang berbuat harus dipidana yang terdapat dalam Undang-undang, sekalipun
ternyata tidak ada kesalahan sama sekali (asas : afwezigheid van alle schuld).
d. Untuk menerima sistim tersebut (dalam c),
yang bertentangan dengan rasa keadilan dan asas ”tiada pidana tanpa kesalahan”
yang juga dianut dalam hukum pidana kita, hal ini harus tegas-tegas ternyata
dalam rumusan delik.
Arrest air dan susu penting
untuk perkembangan hukum pidana. Dengan arrest itu, maka:
a. ajaran “fait materiel” pada pelanggaran
ditinggalkan.
b. Diakui untuk pertama kalinya oleh badan
pengadilan yang tertinggi (Belanda) berlaku asas ”tiada pidana tanpa kesalahan”
(geen straf zonder schuld).
No comments:
Post a Comment