Cita hukum (idee des recht) menyebutkan adanya tiga unsur cita hukum yang harus
ada secara proporsional, yaitu kepastian hukum (rechtssicherkeit), keadilan (gerechtigkeit)
dan kemanfaatan (zweckmasigkeit).
Gustav Radbruch menagatakan sebuah peraturan harus memenuhi ketiga unsur
tersebut.[1] Namun seperti yang
diketahui antara kedilan dan kepastian tidak bisa berjalan secara bersamaan.
Hukum yang di buat oleh penguasa yang mengedepankan kepastian seringkali
meninggalkan unsur keadilan, begitu pula sebaliknya. Maka dari itu penulis akan
sedikit memaparkan keseharusan hukum dari sudut pandang mengedepankan unsur
keadilan atau kepastian.
Dalam konteks hukum di Indonesia untuk
meraih cita dan mencapai tujuan hukum yang ideal dalam sistem hukum nasional
yang harus dibangun adalah konsep hukum moralis (keadilan) dan konsep hukum
positivistik (kepastian) ke dalam satu ikatan hukum prismatik dengan mengambil
unsur-unsur baiknya. Sehingga hukum prismatik ini adalah antara keadilan dan
kepastian sebagai conditio sine quanon.
Keadilan muncul dari sebuah kepastian dan kepastian bersumber dari keadilan
yang dinormakan. Pilihan dari penyaduran ini bagi penulis adalah sebagai
pilihan terbaik dan merupakan midle range
sebagai salah satu respon atas berbagai tuntutan terutama mengenai keadilan di
akhir-akhir kini.
Hukum dan keadilan sebenarnya adalah dua elemen yang
saling bertaut yang merupakan “conditio
sine qua non” bagi yang lainnya. Supremasi hukum yang selama ini
diidentikkan dengan kepastian hukum sehingga mengkultuskan undang-undang, menjadi
sebab musabab timbulnya berbagai masalah penegakan hukum. Pemikiran ini
sebenarnya tidak salah, namun bukan berarti absolut benar adanya. Undang-undang
memang harus ditempatkan sebagai sesuatu yang harus di laksanakan karena merupakan
manifestasi konsensus sosial artinya sebagai sebuah manipulasi hukum. Namun
kita tidak boleh menutup mata dan telinga bahwa konsensus tersebut adalah
sebuah momentum sesaat yang tidak mampu mengikuti arah gerak keadilan yang
terus bergerak mengikuti perkembangan zaman. Konsensus tersebut sifatnya hanya
sementara dan bukan permanen, sebab rasa keadilan akan bergerak cepat
mengimbangi perkembangan dan perubahan masyarakat.
Teori-teori yang mengkaji masalah keadilan secara mendalam telah
dilakukan sejak jaman Yunani kuno (aliran hukum alam). Konsep keadilan pada
masa itu, berasal dari pemikiran tentang sikap atau perilaku manusia terhadap
sesamanya dan terhadap alam lingkungannya, pemikiran tersebut dilakukan oleh
kalangan filosof. Salah
satu diantara teori keadilan yang dimaksud antara lain teori keadilan dari
Plato yang menekankan pada harmoni atau keselarasan. Plato mendefinisikan
keadilan sebagai “the supreme virtue of the good state”.[2]
Sedangkan Plato melihat bahwa
keadilan timbul karena penyesuaian yang memberi tempat yang selaras kepada
bagian-bagian yang membentuk suatu masyarakat. Keadilan terwujud dalam suatu
masyarakat bilamana setiap anggota melakukan secara baik menurut kemampuannya
fungsi yang sesuai atau yang selaras baginya. Jadi fungsi dari penguasa ialah membagi
bagikan fungsi-fungsi dalam negara kepada masing-masing orang sesuai dengan asas keserasian.
Pembahasan yang lebih rinci mengenai konsep keadilan dikemukakan oleh
Aristoteles. Jika Plato menekankan teorinya pada keharmonisan atau keselarasan,
Aristoteles menekankan teorinya pada perimbangan atau proporsi. Menurutnya di
dalam negara segala sesuatunya harus diarahkan pada cita-cita yang mulia yaitu
kebaikan dan kebaikan itu harus terlihat lewat keadilan dan kebenaran.
Penekanan perimbangan atau proporsi pada teori keadilan Aristoteles, dapat
dilihat dari apa yang dilakukannya bahwa kesamaan hak itu haruslah sama diantara
orang-orang yang sama.[3]
Memang
tidak ada pemikiran yang seragam tentang aliran hukum alam diantara pengikut-pengikutnya,
namun paling tidak, di antara pandangan-pandangan para tokoh, kita dapat
menangkap pandangan umum yang khas pikiran hukum alam adalah sangat kental
dengan keadilan yang bersumber dari moralitas. Friedman memaparkan sumbangan
hukum alam diantaranya “in its name the
validity of international law has been asserted” (atas nama hukum alamlah,
maka kevalidan hukum internasional dapat ditegakkan).[4] Dalam
berbagai literatur hukum banyak teori-teori yang berbicara mengenai keadilan.
Salah satu diantara teori keadilan itu adalah teori etis, menurut teori ini
hukum semata-mata bertujuan keadilan. Isi hukum ditentukan oleh keyakinan yang
etis tentang yang adil dan tidak adil . Hukum menurut teori ini bertujuan untuk
merealisir atau mewujudkan keadilan. Melalui pemikiran yang mendasar tentang
apa yang menjadi hak yang telah menjadi buah pemikiran, dari beberapa ahli
filsafat mulai dari Aristoteles sampai pada ahli filsafat masa kini, dapat
disediakan referensi bagi pengambil keputusan untuk mengarahkan dan menjalankan
fungsi pengaturan dalam praktek hukum. Bahwa keadilan memang harus di junjung
tinggi pada saat membuat sebuat peraturan perundang-undangan. Dan keadilan
menjadi unsur yang paling penting setelah kepastian hukum.
Sedangkan
menurut aliran positivistik, John Austin[5] “Law is a command set, either directly or
circuitously, by a sovereign individual or body, to a member or members of some
independent political society in which his authority is supreme.” Jadi,
hukum adalah seperangkat perintah, baik langsung ataupun tidak langsung, dari
pihak yang berkuasa kepada warga masyarakatnya yang merupakan masyarakat
politik yang independen, di mana otoritasnya (pihak yang berkuasa) merupakan
otoritas tertinggi. Hans Kelsen juga mengemukakan bahwa “Law is a coercive order of human behavior, it is the primary norm which
stipulates the sanction.” Hukum adalah suatu perintah memaksa terhadap
perilaku manusia. Hukum adalah kaidah primer yang menetapkan sanksi-sanksi.
Singkatnya aliran positistik beranggapan hukum itu wujud dari perintah penguasa
dan hukum tidak muncul dari unsur keadilan karna keadilan merupakan metayuridis
sedangkan hukum itu yuridis.
Penulis
Meminjam Fred W. Ringga yaitu konsep prismatik yang menyerap unsur-unsur
terbaik dari konsep-konsep yang beberapa elemen pokoknya saling bertentangan.
Sehingga unsur kepastian hukum akan dijunjung dengan menggunakan dasar keadilan
dalam materi hukum atau perundang-undangan. karena kepastian dan keadilan
merupakan Cita hukum (idee des recht)
yang wajib ada pada setiap aturan hukum yang berlaku. Dan juga kedilan lah
sebagai tolak ukur peraturan atau hukum itu diberlakukan.
Keadilan merupakan suatu kewajiban ketika
berbicara tentang hukum, hal ini karena salah satu tujuan hukum adalah keadilan
dan ini merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan
sepanjang perjalanan sejarah perkembangan hukum. Rasa keadilan terkadang hidup
di luar undang-undang, yang jelas undang-undang akan sangat sulit untuk
mengimbanginya. Begitu pula sebaliknya undang-undang itu sendiri dirasakan
tidak adil.[6]
Ketika rasa keadilan ini benar-benar eksis dan dirasakan oleh mayoritas
kolektif, maka kepastian hukum akan bergerak menuju rasa keadilan itu sendiri.
Kepastian hukum adalah rasa keadilan itu sendiri sebab keadilan dan hukum
bukanlah dua elemen yang terpisah.
Hukum adalah manifestasi eksternal keadilan dan keadilan
adalah internal autentik dan esensi roh wujud hukum. Sehingga supremasi hukum (supremacy of law) adalah supremasi
keadilan (supremacy of justice)
begitu pula sebaliknya. keduanya adalah hal yang komutatif.[7] Hukum tidak
berada dalam dimensi kemutlakan undang-undang, namun hukum berada dalam
dimensi kemutlakan keadilan. Hukum tidak akan mampu bertahan hidup apabila roh
keadilan telah hilang. Akibat distorsi pemikiran hukum dengan hilangnya
integritas hukum menyebabkan hukum terasa belum mampu menjadi sarana produksi
keadilan. Komponen aparat hukum seperti produsen peraturan perundang-undangan
ataupun penegak hukum belum mampu menjadi produsen keadilan (justice producer), hal ini disebabkan
produsen peraturan perundang-undangan tidak mampu menempatkan keadilan sebagai
roh perundang-undangan, maupun penegak hukum sendiri tidak memiliki integritas
moral yang tinggi.
Daftar Pustaka
Darji
Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok
Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta 2004.
Laica
Marzuki, Kesadaran Hukum,
Universitas Hasanuddin Press, Makassar 2000
Sukarno
Aburera dan Muhadar, Filsafat Hukum
Teori dan Praktik, Kencana Jakarta 2014.
Achmad
Ali, Menguak Teori Hukum (legal theory) dan Teori Peradilan (judicialprudence), Pranadamedia
Group, Jakarta 2015
J.H.
Rapar, Filsafat Politik Plato,
Jakarta, Rajawali Press, 2010
The
Liang Gie, Teori-teori Keadilan, Sumber
Sukses, Yogyakarta 2002.
[1]Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2004. hal 107
[4]Achmad Ali, Menguak
Teori Hukum (legal theory) dan Teori
Peradilan (judicialprudence) Pranadamedia
Group, Jakarta 2015. hal 52
[5]Achmad Ali, Menguak
Teori Hukum (legal theory) dan Teori
Peradilan (judicialprudence), Pranadamedia
Group, Jakarta 2015. hal. 56
[6] Laica Marzuki, Kesadaran
Hukum, Universitas Hasanuddin Press, Makassar 2000 hal. 95
[7] Sukarno Aburera dan Muhadar, Filsafat Hukum Teori dan Praktik Kencana Jakarta 2014. Hal 177
No comments:
Post a Comment