CITA HUKUM PRESPEKTIF KHAMIM MUHAMMAD M, S.H

Cita hukum (idee des recht) menyebutkan adanya tiga unsur cita hukum yang harus ada secara proporsional, yaitu kepastian hukum (rechtssicherkeit), keadilan (gerechtigkeit) dan kemanfaatan (zweckmasigkeit). Gustav Radbruch menagatakan sebuah peraturan harus memenuhi ketiga unsur tersebut.[1] Namun seperti yang diketahui antara kedilan dan kepastian tidak bisa berjalan secara bersamaan. Hukum yang di buat oleh penguasa yang mengedepankan kepastian seringkali meninggalkan unsur keadilan, begitu pula sebaliknya. Maka dari itu penulis akan sedikit memaparkan keseharusan hukum dari sudut pandang mengedepankan unsur keadilan atau kepastian.
Dalam konteks hukum di Indonesia untuk meraih cita dan mencapai tujuan hukum yang ideal dalam sistem hukum nasional yang harus dibangun adalah konsep hukum moralis (keadilan) dan konsep hukum positivistik (kepastian) ke dalam satu ikatan hukum prismatik dengan mengambil unsur-unsur baiknya. Sehingga hukum prismatik ini adalah antara keadilan dan kepastian sebagai conditio sine quanon. Keadilan muncul dari sebuah kepastian dan kepastian bersumber dari keadilan yang dinormakan. Pilihan dari penyaduran ini bagi penulis adalah sebagai pilihan terbaik dan merupakan midle range sebagai salah satu respon atas berbagai tuntutan terutama mengenai keadilan di akhir-akhir kini.
Hukum dan keadilan sebenarnya adalah dua elemen yang saling bertaut yang merupakan “conditio sine qua non” bagi yang lainnya. Supremasi hukum yang selama ini diidentikkan dengan kepastian hukum sehingga mengkultuskan undang-undang, menjadi sebab musabab timbulnya berbagai masalah penegakan hukum. Pemikiran ini sebenarnya tidak salah, namun bukan berarti absolut benar adanya. Undang-undang memang harus ditempatkan sebagai sesuatu yang harus di laksanakan karena merupakan manifestasi konsensus sosial artinya sebagai sebuah manipulasi hukum. Namun kita tidak boleh menutup mata dan telinga bahwa konsensus tersebut adalah sebuah momentum sesaat yang tidak mampu mengikuti arah gerak keadilan yang terus bergerak mengikuti perkembangan zaman. Konsensus tersebut sifatnya hanya sementara dan bukan permanen, sebab rasa keadilan akan bergerak cepat mengimbangi perkembangan dan perubahan masyarakat.
Teori-teori yang mengkaji masalah keadilan secara mendalam telah dilakukan sejak jaman Yunani kuno (aliran hukum alam). Konsep keadilan pada masa itu, berasal dari pemikiran tentang sikap atau perilaku manusia terhadap sesamanya dan terhadap alam lingkungannya, pemikiran tersebut dilakukan oleh kalangan filosof. Salah satu diantara teori keadilan yang dimaksud antara lain teori keadilan dari Plato yang menekankan pada harmoni atau keselarasan. Plato mendefinisikan keadilan sebagai “the supreme virtue of the good state”.[2] Sedangkan Plato melihat bahwa keadilan timbul karena penyesuaian yang memberi tempat yang selaras kepada bagian-bagian yang membentuk suatu masyarakat. Keadilan terwujud dalam suatu masyarakat bilamana setiap anggota melakukan secara baik menurut kemampuannya fungsi yang sesuai atau yang selaras baginya. Jadi fungsi dari penguasa ialah membagi bagikan fungsi-fungsi dalam negara kepada masing-masing orang sesuai dengan asas keserasian. Pembahasan yang lebih rinci mengenai konsep keadilan dikemukakan oleh Aristoteles. Jika Plato menekankan teorinya pada keharmonisan atau keselarasan, Aristoteles menekankan teorinya pada perimbangan atau proporsi. Menurutnya di dalam negara segala sesuatunya harus diarahkan pada cita-cita yang mulia yaitu kebaikan dan kebaikan itu harus terlihat lewat keadilan dan kebenaran. Penekanan perimbangan atau proporsi pada teori keadilan Aristoteles, dapat dilihat dari apa yang dilakukannya bahwa kesamaan hak itu haruslah sama diantara orang-orang yang sama.[3]
Memang tidak ada pemikiran yang seragam tentang aliran hukum alam diantara pengikut-pengikutnya, namun paling tidak, di antara pandangan-pandangan para tokoh, kita dapat menangkap pandangan umum yang khas pikiran hukum alam adalah sangat kental dengan keadilan yang bersumber dari moralitas. Friedman memaparkan sumbangan hukum alam diantaranya “in its name the validity of international law has been asserted” (atas nama hukum alamlah, maka kevalidan hukum internasional dapat ditegakkan).[4] Dalam berbagai literatur hukum banyak teori-teori yang berbicara mengenai keadilan. Salah satu diantara teori keadilan itu adalah teori etis, menurut teori ini hukum semata-mata bertujuan keadilan. Isi hukum ditentukan oleh keyakinan yang etis tentang yang adil dan tidak adil . Hukum menurut teori ini bertujuan untuk merealisir atau mewujudkan keadilan. Melalui pemikiran yang mendasar tentang apa yang menjadi hak yang telah menjadi buah pemikiran, dari beberapa ahli filsafat mulai dari Aristoteles sampai pada ahli filsafat masa kini, dapat disediakan referensi bagi pengambil keputusan untuk mengarahkan dan menjalankan fungsi pengaturan dalam praktek hukum. Bahwa keadilan memang harus di junjung tinggi pada saat membuat sebuat peraturan perundang-undangan. Dan keadilan menjadi unsur yang paling penting setelah kepastian hukum.
Sedangkan menurut aliran positivistik, John Austin[5]Law is a command set, either directly or circuitously, by a sovereign individual or body, to a member or members of some independent political society in which his authority is supreme.” Jadi, hukum adalah seperangkat perintah, baik langsung ataupun tidak langsung, dari pihak yang berkuasa kepada warga masyarakatnya yang merupakan masyarakat politik yang independen, di mana otoritasnya (pihak yang berkuasa) merupakan otoritas tertinggi. Hans Kelsen juga mengemukakan bahwa “Law is a coercive order of human behavior, it is the primary norm which stipulates the sanction.” Hukum adalah suatu perintah memaksa terhadap perilaku manusia. Hukum adalah kaidah primer yang menetapkan sanksi-sanksi. Singkatnya aliran positistik beranggapan hukum itu wujud dari perintah penguasa dan hukum tidak muncul dari unsur keadilan karna keadilan merupakan metayuridis sedangkan hukum itu yuridis.
Penulis Meminjam Fred W. Ringga yaitu konsep prismatik yang menyerap unsur-unsur terbaik dari konsep-konsep yang beberapa elemen pokoknya saling bertentangan. Sehingga unsur kepastian hukum akan dijunjung dengan menggunakan dasar keadilan dalam materi hukum atau perundang-undangan. karena kepastian dan keadilan merupakan Cita hukum (idee des recht) yang wajib ada pada setiap aturan hukum yang berlaku. Dan juga kedilan lah sebagai tolak ukur peraturan atau hukum itu diberlakukan.
Keadilan merupakan suatu kewajiban ketika berbicara tentang hukum, hal ini karena salah satu tujuan hukum adalah keadilan dan ini merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah perkembangan hukum. Rasa keadilan terkadang hidup di luar undang-undang, yang jelas undang-undang akan sangat sulit untuk mengimbanginya. Begitu pula sebaliknya undang-undang itu sendiri dirasakan tidak adil.[6] Ketika rasa keadilan ini benar-benar eksis dan dirasakan oleh mayoritas kolektif, maka kepastian hukum akan bergerak menuju rasa keadilan itu sendiri. Kepastian hukum adalah rasa keadilan itu sendiri sebab keadilan dan hukum bukanlah dua elemen yang terpisah.
Hukum adalah manifestasi eksternal keadilan dan keadilan adalah internal autentik dan esensi roh wujud hukum. Sehingga supremasi hukum (supremacy of law) adalah supremasi keadilan (supremacy of justice) begitu pula sebaliknya. keduanya adalah hal yang komutatif.[7] Hukum tidak berada dalam dimensi kemutlakan undang-undang, namun hukum berada dalam dimensi kemutlakan keadilan. Hukum tidak akan mampu bertahan hidup apabila roh keadilan telah hilang. Akibat distorsi pemikiran hukum dengan hilangnya integritas hukum menyebabkan hukum terasa belum mampu menjadi sarana produksi keadilan. Komponen aparat hukum seperti produsen peraturan perundang-undangan ataupun penegak hukum belum mampu menjadi produsen keadilan (justice producer), hal ini disebabkan produsen peraturan perundang-undangan tidak mampu menempatkan keadilan sebagai roh perundang-undangan, maupun penegak hukum sendiri tidak memiliki integritas moral yang tinggi.

Daftar Pustaka


Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2004.
Laica Marzuki, Kesadaran Hukum, Universitas Hasanuddin Press, Makassar 2000
Sukarno Aburera dan Muhadar, Filsafat Hukum Teori dan Praktik, Kencana Jakarta 2014.
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (legal theory) dan Teori Peradilan (judicialprudence), Pranadamedia Group, Jakarta 2015
J.H. Rapar, Filsafat Politik Plato, Jakarta, Rajawali Press, 2010
The Liang Gie, Teori-teori Keadilan, Sumber Sukses, Yogyakarta 2002.


[1]Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2004. hal 107
[2] The Liang Gie, Teori-teori Keadilan, Sumber Sukses, Yogyakarta 2002. hal 22
[3] J.H. Rapar, Filsafat Politik Plato, Jakarta, Rajawali Press, 2010. hal 82
[4]Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (legal theory) dan Teori Peradilan (judicialprudence) Pranadamedia Group, Jakarta 2015. hal 52
[5]Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (legal theory) dan Teori Peradilan (judicialprudence), Pranadamedia Group, Jakarta 2015. hal. 56
[6] Laica Marzuki, Kesadaran Hukum, Universitas Hasanuddin Press, Makassar 2000 hal. 95
[7] Sukarno Aburera dan Muhadar, Filsafat Hukum Teori dan Praktik Kencana Jakarta 2014. Hal 177
Share:

No comments:

Post a Comment

Recent Posts

Search This Blog