PENDAHULUAN
Berlakunya suatu
konstitusi sebagai hukum
dasar yang mengikat
didasarkan atas kekuasaan
tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut
dalam suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedaulatan rakyat, maka
sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. jika yang berlaku adalah paham
kedaulatan raja, maka raja yang menentukan
berlaku tidaknya suatu
konstitusi. Hal inilah
yang disebut oleh
para ahli sebagai “constituent
power” yang merupakan kewenangan
yang berada di luar
dan sakaligus diatas
sistem yang diaturnya.
Oleh karena itulah di
negara demokrasi rakyat yang
dianggap menentukan berlakunya suatu konstitusi.[1]
Menurut Hermann
Heller, undang-undang dasar yang tertulis dalam satu naskah yang bersifat
politis, sosiologis dan bahkan yuridis hanyalah merupakan salah satu bentuk
atau sebagian saja dari pengertian konstitusi yang lebih luas yaitu konstitusi
yang hidup ditengah-tengah masyarakat, artinya disamping konstitusi yang tertulis,
segala bentuk nilai-nilai normatif yang hidup dalam kesadaran masyarakat luas
juga termasuk ke dalam pengertian konstitusi yang luas itu. Oleh karena itu
dalam bukunya Verfassungslehre.[2]
Konstitusi Negara
Indonesia dalam hal ini adalah Undang-Undang Dasar menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) berarti undang-undang yang menjadi dasar semua undang dan
peraturan lain di suatu negara yang mengatur, bentuk, sistem pemerintahan,
pembagian kekuasaan, wewenang badan pemerintahan.[3]
Sehigga jelas konstitusi Indonesia termuat dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945. Sedangkan konstitusi malaysia termuat dalam Konstitusi Federal Malaysia,
Hukum Dasar Perserikatan Malaysia atau Undang-Undang Perserikatan Malaysia.
Melakukan analisis perbandingan konstitusi Indonesia dengan Malaysia merupakan
kajian yang menarik untuk menelaah kajian-kajian yang terkandung dalam
konstitusi masing-masing negara.
KONSTITUSI
INDONESIA DAN MALAYSIA
1.
Kedaulatan
Negara
Istilah kedulatan
negara sering digunakan untuk merujuk pada pengertian: “kekuasaan tertinggi
yang dimiliki oleh pemerintah negara”. Kedaulatan juga diberi makna sebagai
kewenangan politik paripurna (tertinggi) yang dimiliki suatu negara untuk
mengatur dan menentukan dirinya. Pendapat lain, menyatakan bahwa kedaulatan
merupakan suatu status hukum (legal status) yang melekat kepada aktor politik; dan
atau diberikan oleh aktor politik yang lain atau diklaim oleh aktor yang
bersangkutan. Sebagai suatu gejala hukum, kedaulatan bukanlah suatu realitas
fisika, kedaulatan merupakan konsep dan simbolisme, atau lebih tepatnya
merupakan isi dari pemikiran dan simbol-simbol.[4]
Secara yuridis
formal Indonesia menganut tipe kedaulatan rakyat. Hal ini mengacu pada
Pembukaan UUD NRI 1945 alenia keempat “.....yang terbentuk dalam suatu
susunan Negara Republik Indonesia
yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasarkan kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil
dan beradab, Persatuan
Indonesia dan....”. Pasal 1 ayat
(2) UUD NRI juga menegaskan bahwa “Kedaulatan
berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar”.
Kedaulatan rakyat pula tercantumkan pada Pancasila sila keempat yang berarti
adanya pengakuan bangsa Indonesia bahwa asas kerakyatan atau kedaulatan rakyat
merupakan asas dalam bernegara.[5]
Kedaulatan yang
dianut oleh Malaysia adalah tipe kedaulatan undang-undang atau hukum.[6]
ulatan hukum atau rechts-souvereinteit
kekuasaan tertinggi dalam suatu negara
adalah hukum. Raja
atau penguasa maupun
warga negara atau rakyat
semuanya tunduk terhadap
hukum. Semua tindakan
yang dilakukan oleh
raja atau rakyat harus sesuai dengan hukum.[7]
Konsep kedaulatan Undang-Undang di Malaysia bermaksud kesemua undang-undang
yang digubal oleh Parlimen menghadkan segala bentuk ancaman, perbuatan dan
tindakan yang boleh menjejaskan keselamatan negara. Kedaulatan undang-undang
juga bermakna kerajaan serta rakyat keseluruhannya terikat oleh undang-undang
dan wajib mematuhi undang-undang.[8]
Perlaksanaan serta pemakaian undang-undang melalui institusi kehakiman dan
penguatkuasa adalah satu tanggungjawab bagi mendaulatkan undang-undang.
2.
Bentuk
Negara
Indonesia,
adalah negara di Asia Tenggara yang dilintasi garis khatulistiwa dan berada di
antara daratan benua Asia dan Australia, serta antara Samudra Pasifik dan
Samudra Hindia. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang
terdiri dari 17.504 pulau.[9]
Bahasa resmi adalah bahasa indonesia dan mempunyai enam agama yang resmi yang
diakui negara.
Indonesia
merupakan negara yang menganut tipe negara kesatuan atau yang lebih sering
disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 pasal 1 secara tegas menyatakan ”Negara
Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk Republik”.[10]
Wujud negara kesatuan tersebut final dan tidak bisa dilakukan perubahan sesuai
amanat UUD NRI 1945 pasal 37 bagi bangsa Indonesia.
Sedangkan negara Malaysia adalah salah satu
negara di kawasan Asia Tenggara, dengan ibu kota Kuala Lumpur, terletak di
semenanjung Malaka serta sebagian Kalimantan Utara. Luas wilayahnya sekitar
333.647 km² dengan jumlah penduduk kurang lebih 18.239.000. Mayoritas
penduduknya dalah muslim (53 %), Cina 35 % dan India 10 %. Bahasa resmi adalah
bahasa Melayu dan agama Islam merupakan agama resmi di Malaysia.[11]
Malaysia
merupakan negara yang menganut tipe atau bentuk negara federal[12]
dengan sistem pemerintahan monarki demokrasi. The federatin Malaysia sendiri,
berdiri sejak tanggal 31 Agustus 1963 yang terdiri dari tiga belas Negara
bagian. Yang meliputi: Sebelas Negara bagian dan dua wilayah federal. Sebelas
negara bagian meliputi: Johor, Kedah, Kelantan, Melaka, Negeri Sembilan,
Pahang, Panang, Perak, Perlis, Selangor dan Terengganu, sedangkan dua wilayah
federal, yaitu Kuala Lumpur dan Putrajaya. yang berada di semenanjung melayu
(semenanjung atau barat Malaysia). Sabah, Sarawak, dan Wilayah Federal Labuan
berada di bagian utara-barat pulau Kalimantan (Timur malaysia). Timur dan barat
Malaysia dipisahkan oleh sekitar 650 kilometer dari laut-laut selatan Cina. [13]
3.
Struktur
Tata Negara
Di
Indonesia struktur ketata negaraan menerapkan pembagian kekuasaan yaitu
eksekutif, legislatif dan yudisial dikenal sebagai Trias Politika.[14] Ketiga
kekuasaan tersebut masing-masing berdiri sendiri, dimana kekuasaan eksekutif
dipegang oleh Presiden, kekuasaan legislatif oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan
kekuasaan kehakiman berada di tangan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Berikut penjelasan pembagian kekuasaan di Indonesia:
1. Kekuasaan Eksekutif
atau pelaksana (administratur, bestuurzorg)
Terdiri dari Presiden dan Wakil
Presiden yang merupakan satu kesatuan institusi kepresidenan.
2. Kekuasaan
legislatif dan fungsi pengawasan Dalam fungsi ini terdapat empat organ atau
lembaga, yaitu DPR, DPD, MPR, dan BPK.
Dalam kelompok cabang legislatif,
lembaga parlemen yang
utama adalah DPR, sedangkan DPD
bersifat penunjang. Namun dalam bidang pengawasan yang menyangkut kepentingan
daerah, DPD tetap mempunyai kedudukan yang penting, karena itu
DPD dapat disebut
sebagai lembagautama (main
state organ). MPR adalah sebagai
lembaga perpanjangan fungsi
(extension) parlemen atau
lembaga parlemen ketiga meskipun tugasnya tidak bersifat rutin, dan
kepemimpinanya dapat dirangkap oleh pimpinan DPR dan DPD, MPR tetap disebut
sebagai lembaga utama. Karena MPR yangberwenang mengubah dan menetapkan undang-undang
dasar dan kewenangan penting lainnya. 3.
3. Kekuasaan
kehakiman atau fungsi yudisial Meskipun
lembaga pelaksana atau
pelaku kekuasaan kehakiman
ada dua, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi
tetapi di samping keduanya ada pula Komisi
Yudisial sebagai lembaga
pengawas martabat, kehormatan,
dan perilaku hakim. Keberadaan
fungsi Komisi Yudisial
ini bersifat penunjang
(auxiliary) terhadap cabang kekuasaan kehakiman dan bukanlah sebagai
penegak hukum tetapi merupakan lembaga penegak etika kehakiman.[15]
Sednagkan
struktur tata negara Malaysia dimulai dari kepala negara disebut Yang
di-Pertuan Agong, ia merupakan Kepala Utama Negara bagi persekutuan.
Sebagaimana di tegaskan dalam undang-undang dasar Malaysia yaitu perkara 32
Pelembagaan Persekutuaan yang berbunyi: maka hendaklah ada seorang Kepala Utama
Negara bagi Persekutuan digelarkan Yang di-Pertuan Agong. Timbalan Yang
diPertuan Agong dipilih secara bergiliran oleh Majelis Raja-Raja yang terdiri
dari sembilan orang raja Melayu, dengan masa jabatan lima tahun. Pemilihan
dibuat oleh Raja-raja Melayu dalam satu majelis Raja-raja melalui pengundian.
Yang
diPertuang Agong sebagai Ketua Negara Malaysia mempunyai kuasa ketiga-tiga bidang
iaitu Eksekutif, Perundangan dan Kehakiman dan bertanggung jawab memelihara
agama Islam di Malaysia dan memelihara keamanan dalam negeri.[16]
Yang diPertuang Agung memegan tiga (3) kekuasaan sekaligus yakni kekuasaan
eksekutif, kekuasaan legislatif dan kekuasaan Yudikatif. Berikut ini penjelasan
sistem ketatanegaraan Malaysia:
1. Kekuasaan eksekutif di Negara Malaysia di
pegang oleh Yang diPertuang Agong. Dalam menjalankan kuasa eksekutif Yang
diPertuang Agong menjalankan pemerintahan negara atas nasihat ketua kerajaan,
yaitu Perdana Menteri dengan dibantu oleh Jamaah Menteri. Dimana Yang
diPertuang Agong berhak mendapatkan maklumat mengenai pemerintahan Persekutuan
daripada Kabinet. Badan eksekutif di Malaysia terdiri dari kabinet yang dibantu
badan pelayanan publik, polisi dan angkatan bersenjata. Perdana menterilah yang
memimpin kabinet. Perdana menteri ditunjuk oleh raja dan merupakan anggota
dewan terpilih, yang dianggap oleh raja diyakini memiliki kemampuan memimpin
dewan rakyat.[17]
2. Kekuasaan Legislatif di Negara Malaysia yang
mengamalkan sistem pemerintahan demokrasi, Parlimen adalah kuasa yang tertinggi
dan melambangkan demokrasi negara, Parlimen ialah badan perundangan Malaysia,
berfungsi sebagai badan menggubal undang-undang, Parlimen terdiri dari daripada
Yang diPertuang Agong dan dua dewan iaitu Dewan Rakyat dan Dewan Negara. Dalam
kuasa parlimen Yang diPertuang Agong berkuasa memanggil, menangguh dan
membubarkan Parlimen, melantisetiausaha Dewan Negara dan Dewan Rakyat, dan
memperkenankan rancangan undang-undangan yang telah diusulkan oleh Dewan Rakyat
dan Dewan Negara sebelum dijadikan undang-undang.[18]
Parlimen Malaysia
merupakan badan perundangan kebangsaan Malaysia, berdasarkan sistem Parlimen
Westminster. Parlimen Malaysia terdiri daripada Dewan Rakyat dan Dewan Negara
(atau Senat). Ahli Dewan Rakyat dikenali sebagai ahli Parlimen, manakala ahli
Dewan Negara diberi gelaran Senator. Satu pilihan raya diadakan setiap empat
atau lima tahun untuk memilih wakil-wakil ke Dewan Rakyat; manakala ahli-ahli Dewan
Negara, iaitu senator, sama seperti ahli-ahli Dewan Pertuanan di United
Kingdom, dilantik oleh Yang di-Pertuan Agong.
Dewan rakyat terdiri
dari 192 orang ahli yang dipilih oleh rakyat melalui pilihanraya (pemilu) dari
semua kawasan pilihanraya Parlimen di seluruh negara, memegang jaban selama
lima tahun, sedangkan Dewan negara adalah majelis tertinggi parlimen yang juga
dikenal sebagai senat yang memiliki anggota sebaganyak 69 ahli yang dikenal
sebagai senator, yang terdiri atas 40 orang dilantik oleh Yang Di-Pertuang
Agong yang mewakili belbagai bidang iktisas dan kaum minoritas, 26 orang ahli
dipilih oleh 13 buah Dewan Undangan Negara, 2 orang ahli Wilayah Persekutuan
Kuala Lumpur, seorang lagi ahli wilayah Labuan. Dewan Negara memiliki masa
jabatan 3 tahun dan dapat diangkat hanya 1 masa jabatan.
3. kekuasaan
kehakiman (yudikatif) di negara Malaysia Yang diPertuang
Agong melantik hakim-hakim Besar Persekutuan dan Mahkamah-mahkamah Tinggi serta
Peguam Negara atas nasihat Perdana Menteri, demikian pula Yang diPertuang Agong
mempunyai kuasa pengampunan segala kesalahan dalam Wilayah Persekutuan Kuala
Lumpur dan Labuan serta segala hukuman yang dijatuhkan dalam Mahkamah syariah
di Melaka, Pulau Pinang, Sabah, Serawak, dan Wilayah Persekutuan, dalam memberikan
pengampunan Yang diPertuang Agong dinasehati oleh sebuah Lembaga Pengampunan
mengenai pelaksanaan kuasa mengampun.
Selain kekuasaan di atas Yang
diPertuang Agong (baginda) juga memiliki kuasa lain seperti Yang diPertuang
Agong sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Tentara Persekutuan, dan Ketua Agama
Islam bagi Negei-negeri Malaka, Pulau Pinang, Wilayah Persekutuan, Sabah,
Sarawak dan negeri Yang diPertuang Agong sendiri, ia juga bertanggungjawab
memelihara kedudukan istimewa orang Melayu dan bumiputra Sabah dan Sarawak
serta kepnetingan sah kaum-kaum lain, baginda diberi kuasa oleh perlembagaan
untuk mengisytiharkan darurat atas nasihat Perdana Menteri.[19]
4.
Hak
Asasi Manusia
Hak asasi manusia sebagaimana yang telah
diatur dalam konstitusi UUD NRI 1945, hak asasi manusia ialah hak-hak yang
melekat pada manusia yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai
manusia.[20]
Amandemen kedua UUD 1945 telah memberikan perubahan terhadap pengaturan HAM di
Indonesia. Kalau sebelum amandemen kedua pengaturan HAM dalam UUD 1945 diatur
secara terpisah, namun pasca amandemen kedua, UUD 1945 telah mengatur HAM
secara lebih sistematis dalam satu bab, yaitu di dalam pasal 28A sampai dengan
Pasal 28J UUD 1945. Pasal tersebut telah menjadi landasan konstitusional bagi
perlindungan HAM di Indonesia.
Konstitusi UUD NRI 1945 telah memberikan
pengaturan tentang HAM sebagai berikut:
a. Personal
Right (pasal 28 dan pasal 29)
b. Property
Right (pasal 33)
c. Right
of Legal Equality (pasal 27 ayat 1)
d. Political
Right (pasal 27 ayat 1 dan pasal 28)
e. Sosial
and Culture Right (pasal 31, pasal 32, pasal 34)
f. Procedural
Right (pasal 27 ayat 1)
Sedangkan
di Malaysia berdasar pada Perlembagaan Persekutuan merupakan dokumen
perundangan utama Malaysia yang mana telah didrafkan pada 1955 oleh sesbuah
Jawatankuasa kerja yang dianggotai oleh perwakilan British, penasihat-penasihat
Majlis Raja-raja dan ketua-ketua ahli politik. Draf itu kemudiannya telah
dihalusi oleh Suruhajaya Reid yang membawa kepada kemerdekaan Persekutuan Tanah
Melayu. Hak asasi manusia telah disenaraikan di dalam Bahagian II Perlembagaan
Malaysia dan mempunyai sembilan fasal.[21]
Antaranya adalah:
Artikel
1 Hak untuk kebebasan dan sama rata dari segi maruah dan hak
Artikel
2 Bebas daripada diskriminasi
Artikel
3 Hak untuk hidup, kebebasan dan keselamatan diri terjamin
Artikel
4 Bebas daripada diperhambakan
Artikel
5 Bebas daripada seksaan atau layanan atau hukuman yang zalim
Artikel
6 Hak kepada pengiktirafan di mana jua sebagai seorang insan
Artikel
7 Hak untuk pertimbangan sama rata di sisi undang-undang
Artikel
8 Hak untuk menuntut keadilan di mahkamah
Artikel
9 Bebas daripada ditangkap atau dipenjarakan tanpa sebab
Artikel
10 Hak perbicaraan mahkamah yang adil dan terbuka
Artikel
11 Hak dianggap tidak bersalah sehingga dibukti salah
Artikel
12 Bebas daripada diganggu kediaman, keluarga dan surat-menyurat
Artikel
13 Hak bebas bergerak dan bermastautin di dalam negara sendiri
Artikel
14 Hak mendapat perlindungan untuk pelarian
Artikel
15 Hak menjadi rakyat dalam sesebuah negara
Artikel
16 Hak untuk berkahwin dan perlindungan untuk keluarga
Artikel
17 Hak memiliki harta
Artikel
18 Kebebasan kepercayaan dan agama
Artikel
19 Kebebasan pendapat dan informasi
Artikel
20 Hak berhimpun secara aman dan persatuan
Artikel
21 Hak mengambil bahagian dalam kerajaan
Artikel
22 Hak keselamatan sosial
Artikel
23 Hak untuk bekerja dan mendapat upah yang setimpal
Artikel
24 Hak berehat dan bercuti
Artikel
25 Hak untuk taraf hidup yang sempurna untuk kesihatan dan keselesaan
Artikel
26 Hak mendapat pendidikan
Artikel
27 Hak mengambil bahagian didalam kehidupan bermasyarakat
Artikel
28 Hak untuk order sosial yang menjamin hak asasi manusia
Artikel
29 Bertanggungjawab terhadap masyarakat dalam perkembangan individu
Artikel
30 Kebebasan daripada campurtangan
5.
Perubahan
Konstitusi
Di
Indonesia prosedur perubahan konstitusi di Indonesia menganut formal amandemen
yaitu perubahan konstitusi yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang
terdapat di dalam konstitusi yang bersangkutan. Di Indonesia, tentang tata cara
perubahan konstitusi tercantum dalam UUD NRI 1945 pasal 37 dimana ada badan
yang berwenang menetapkan dan merubah UUD yaitu MPR.
1) Usul perubahan
pasal-pasal Undang-Undang Dasar
dapat diagendakan dalam sidang
Majelis Permusyawaratan Rakyat
apabila diajukan oleh
sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat.
2) Setiap usul
perubahan pasal-pasal Undang-Undang
Dasar diajukan secara
tertulis dan ditunjukkan dengan
jelas bagian yang
diusulkan untuk diubah
beserta alasannya.
3) Untuk
mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat
dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3
dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
4) Putusan untuk
mengubah pasal-pasal Undang-Undang
Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima
puluh persen ditambah
satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat.
5) Khusus
mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.[22]
Sedangkan perubahan konstitusi di
Malaysia tidak tercantum dalam Undang-Undang Dasar Malaysia. Penulis meneukan
artikel yang menjelaskan perubahan tersebut yakni Undang-undang dasar federal
dapat diamendemen oleh undang-undang yang dikeluarkan parlemen jika didukung
tidak kurang dari 2/3 keseluruhan jumlah anggota parlemen. Beberapa amendemen
tertentu membutuhkan izin dari konferensi penguasa (Conference of Rulers).[23]
Daftar
Pustaka
Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945.
Federal Malaysia. Undang-Undang Dasar Perserikatan Malaysia 1963
Asshidiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta
: Raja Grafindo Persada, 2009
Asikin, Zainal. Pengantar Tata Hukum Indonesia, Jakarta:
Rajawali Pers, 2012
Asshiddiqie, Jimly Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara
Pasca Reformasi Cetakan Kedua, Jakarta : Sinar Grafika, 2012
Yasir, Armen dkk. Hukum Tata Negara, Bandar Lampung :
Justice Publisher, 2014
Soehino. Ilmu Negara, cet. III, Yogyakarta; Liberty, 2000
Shamrahayu A.
Aziz, Memahami Konsep Kedaulatan Undang-undang,
http://www.bharian.com.my/node/53148
Ali, Zainuddin. Sosiologi Hukum, Jakarta:
Sinar Grafika, 2006
Prasetya, Eko. Merdeka
https://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia#cite_note-merdeka-7
Umar,
Nasaruddin. Studi Hukum Perbandingan Sistem Ketatanegaraan Malaysia dan
Indonesia, Ambon: Tahkim, 2013
Budiardjo,
Miriam. Dasar-Dasar Ilmu
Politik. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2005
Sugiharto,
Gatot. Sistem Hukum Malaysia, Yogyakarta, DIY,
[1]
Jimly Asshidiqie, Pengantar ilmu Hukum Tata Negara. (Jakarta:
Grafindo Persada, 2009), hlm.117
[2]
Jimly Asshidiqie, pengantar Hukum Tata Negara jilid I. (Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan kepaniteraan Mahkamah konstitusi RI, 2006), hlm 123-124
[3] Armen
Yasir dkk, Hukum Tata Negara. (Bandar Lampung : Justice
Publisher, 2014), hlm. 19
[4] Peters
2009
[5]
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. pasal 1 Ayat (2)
[6]
Rukun Negara Malaysia
[7]
Soehino, Ilmu Negara, cet. III, (Yogyakarta; Liberty, 2000)
[8]
Shamrahayu A. Aziz, Memahami Konsep Kedaulatan Undang-undang, http://www.bharian.com.my/node/53148 (7 Oktober 2018)
[9]
Eko Prasetya - Merdeka https://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia#cite_note-merdeka-7
[10]
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Bab
I, pasal 1 Ayat (1)
[11]
https://id.wikipedia.org/wiki/Malaysia#cite_note-CIA_Fact_Book-8
[12]
Federal Malaysia, Undang-Undang Dasar Perserikatan Malaysia 1963, Bagian
II Pasal 74 dan 80
[13]
Nasaruddin Umar Studi Hukum Perbandingan Sistem Ketatanegaraan Malaysia
dan Indonesia, (Ambon: Tahkim, 2013), hlm 114
[14] Miriam
Budiardjo, Dasar-Dasar
Ilmu Politik. Gramedia Pustaka
Utama, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 152.
[15]
Jimly Asshidiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
(Jakarta: Sinar Grafika,2006), hlm. 113
[16]
Nasaruddin Umar Studi Hukum Perbandingan Sistem Ketatanegaraan Malaysia
dan Indonesia, (Ambon: Tahkim, 2013), hlm 116
[17]
Zainal Asikin, Pengantar Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2012), hlm. 30
[18]
Nasaruddin Umar Studi Hukum Perbandingan Sistem Ketatanegaraan Malaysia dan
Indonesia, (Ambon: Tahkim, 2013), hlm 118
[19]
Nasaruddin Umar Studi Hukum Perbandingan Sistem Ketatanegaraan Malaysia
dan Indonesia, (Ambon: Tahkim, 2013), hlm 125
[20]
Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006),
hlm9 1-92
[21]
Federal Malaysia, Undang-Undang Dasar Perserikatan Malaysia 1963, Bagian
II
[22]
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Bab
I, pasal 37
[23]
Gatot Sugiharto Sistem Hukum Malaysia Yogyakarta, DIY,
No comments:
Post a Comment