PENGERTIAN
TINDAK PIDANA
Hingga
saat ini belum ada kesepakatan para sarjana tentang pengertian Tindak pidana (strafbaar feit). Menurut
Prof. Moeljatno S.H., Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu, bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut.
Terdapat
3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan :
·
Perbuatan
pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana.
·
Larangan
ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan
oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang
menimbulkan kejadian itu.
·
Antara
larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian
dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan erat pula. “ Kejadian
tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat
diancam pidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya”.
Selanjutnya
Moeljatno membedakan dengan tegas dapat dipidananya perbuatan (die strafbaarheid van het feit) dan
dapat dipidananya orang (strafbaarheid
van den person). Sejalan dengan itu memisahkan pengertian perbuatan pidana (criminal act) dan pertanggungjawaban
pidana (criminal responsibility).
Pandangan ini disebut pandangan dualistis yang sering dihadapkan dengan
pandangan monistis yang tidak membedakan keduanya.
UNSUR-UNSUR
TINDAK PIDANA
Dalam
suatu peraturan perundang-undangan pidana selalu mengatur tentang tindak
pidana. Sedangkan menurut Moeljatno “Tindak
pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana
disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang
melanggar larangan tersebut”. Untuk mengetahui adanya tindak pidana, maka
pada umumnya dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan pidana tentang perbuatan-perbuatan
yang dilarang dan disertai dengan sanksi. Dalam rumusan tersebut ditentukan
beberapa unsur atau syarat yang menjadi ciri atau sifat khas dari larangan tadi
sehingga dengan jelas dapat dibedakan dari perbuatan lain yang tidak dilarang.
Perbuatan pidana menunjuk kepada sifat perbuatannya saja, yaitu dapat dilarang
dengan ancaman pidana kalau dilanggar.
Menurut
Simons, unsur-unsur tindak pidana (strafbaar
feit) adalah :
·
Perbuatan
manusia (positif atau negative, berbuat
atau tidak berbuat atau membiarkan).
·
Diancam
dengan pidana (statbaar gesteld)
·
Melawan
hukum (onrechtmatig)
·
Dilakukan
dengan kesalahan (met schuld in verband
staand)
·
Oleh
orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatoaar
person).
Simons
juga menyebutkan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari tindak pidana (strafbaar feit).
Unsur
Obyektif :
Ø Perbuatan orang
Ø Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu.
Ø Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai
perbuatan itu seperti dalam pasal 281 KUHP sifat “openbaar” atau “dimuka umum”.
Unsur
Subyektif :
Ø Orang yang mampu bertanggung jawab
Ø Adanya kesalahan (dollus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan.
Kesalahan
ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan mana
perbuatan itu dilakukan.
Sementara
menurut Moeljatno unsur-unsur perbuatan pidana :
Ø Perbuatan (manusia)
Ø Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang
(syarat formil)
Ø Bersifat melawan hukum (syarat materiil)
Unsur-unsur
tindak pidana menurut Moeljatno terdiri dari :
1) Kelakuan dan akibat
2) Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang
menyertai perbuatan, yang dibagi menjadi :
a. Unsur subyektif atau pribadi
Yaitu mengenai diri orang yang melakukan perbuatan,
misalnya unsur pegawai negeri yang diperlukan dalam delik jabatan seperti dalam
perkara tindak pidana korupsi. Pasal 418 KUHP jo. Pasal 1 ayat (1) sub c UU No.
3 Tahun 1971 atau pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001
tentang pegawai negeri yang menerima hadiah. Kalau yang menerima hadiah bukan
pegawai negeri maka tidak mungkin diterapka pasal tersebut
b. Unsur obyektif atau non pribadi
Yaitu mengenai keadaan di luar si pembuat, misalnya pasal
160 KUHP tentang penghasutan di muka umum (supaya melakukan perbuatan pidana
atau melakukan kekerasan terhadap penguasa umum). Apabila penghasutan tidak dilakukan
di muka umum maka tidak mungkin diterapkan pasal ini
Unsur keadaan ini dapat berupa keadaan yang
menentukan, memperingan atau memperberat pidana yang dijatuhkan.
(1) Unsur
keadaan yang menentukan misalnya dalam pasal 164, 165, 531 KUHP
Pasal 164 KUHP
: barang siapa mengetahui permufakatan
jahat untuk melakukan kejahatan tersebut pasal 104, 106, 107, 108, 113, 115,
124, 187 dan 187 bis, dan pada saat kejahatan masih bisa dicegah dengan sengaja
tidak memberitahukannya kepada pejabat kehakiman atau kepolisian atau kepada
yang terancam, diancam, apabila kejahatan jadi dilakukan, dengan pidana penjara
paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
Kewajiban
untuk melapor kepada yang berwenang, apabila mengetahui akan terjadinya suatu
kejahatan. Orang yang tidak melapor baru dapat dikatakan melakukan perbuatan
pidana, jika kejahatan tadi kemudian betul-betul terjadi. Tentang hal kemudian
terjadi kejahatan itu adalah merupakan unsur tambahan.
Pasal 531 KUHP
: barang siapa ketika menyaksikan bahwa
ada orang yang sedang menghadapi maut, tidak memberi pertolongan yang dapat
diberikan kepadanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya atau orang
lain, diancam, jika kemudian orang itu meninggal, dengan pidana kurungan paling
lama tiga bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
Keharusan memberi pertolongan pada orang yang
sedang menghadapi bahaya maut jika tidak
memberi pertolongan, orang tadi baru melakukan perbuatan pidana, kalau orang
yang dalam keadaan bahaya tadi kemudian lalu meninggal dunia. Syarat tambahan
tersebut tidak dipandang sebagai unsur delik (perbuatan pidana) tetapi sebagai
syarat penuntutan.
(2) Keadaan tambahan yang memberatkan pidana
Misalnya
penganiayaan biasa pasal 351 ayat (1) KUHP diancam dengan pidana penjara paling
lama 2 tahun 8 bulan. Apabila penganiayaan tersebut menimbulkan luka berat;
ancaman pidana diperberat menjadi 5 tahun (pasal 351 ayat 2 KUHP), dan jika
mengakibatkan mati ancaman pidana menjad 7 tahun (pasal 351 ayat 3 KUHP). Luka
berat dan mati adalah merupakan keadaan tambahan yang memberatkan pidana
(3)
Unsur
melawan hukum
Dalam
perumusan delik unsur ini tidak selalu dinyatakan sebagai unsur tertulis.
Adakalanya unsur ini tidak dirumuskan secara tertulis rumusan pasal, sebab
sifat melawan hukum atau sifat pantang dilakukan perbuatan sudah jelas dari
istilah atau rumusan kata yang disebut. Misalnya pasal 285 KUHP : “dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh di luar
perkawinan”. Tanpa ditambahkan kata melawan hukum setiap orang mengerti bahwa
memaksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan adalah pantang dilakukan atau
sudah mengandung sifat melawan hukum. Apabila dicantumkan maka jaksa harus
mencantumkan dalam dakwaannya dan oleh karenanya harus dibuktikan. Apabila
tidak dicantumkan maka apabila perbuatan yang didakwakan dapat dibuktikan maka
secara diam-diam unsure itu dianggap ada.
Unsur
melawan hukum yang dinyatakan sebagai unsur tertulis misalnya pasal 362 KUHP
dirumuskan sebagai pencurian yaitu pengambilan barang orang lain dengan maksud
untuk memilikinya secara melawan hukum.
Pentingnya
pemahaman terhadap pengertian unsur-unsur tindak pidana. Sekalipun permasalahan
tentang “pengertian” unsur-unsur tindak pidana bersifat teoritis, tetapi dalam
praktek hal ini sangat penting dan menentukan bagi keberhasilan pembuktian
perkara pidana. Pengertian unsur-unsur tindak pidana dapat diketahui dari
doktrin (pendapat ahli) ataupun dari yurisprudensi yan memberikan penafsiran
terhadap rumusan undang-undang yang semula tidak jelas atau terjadi perubahan
makna karena perkembangan jaman, akan diberikan pengertian dan penjelasan
sehingga memudahkan aparat penegak hukum menerapkan peraturan hukum.
Bagi
Jaksa pentingnya memahami pengertian unsur-unsur tindak pidana adalah :
1) Untuk menyusun surat dakwaan, agar dengan
jelas;
2) Dapat menguraikan perbuatan terdakwa yang
menggambarkan uraian unsur tindak pidana yang didakwakan sesuai dengan
pengertian / penafsiran yang dianut oleh doktrin maupun yurisprudensi;
3)
Mengarahkan
pertanyaan-pertanyaan kepada saksi atau ahli atau terdakwa untuk menjawab
sesuai fakta-fakta yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan;
4) Menentukan nilai suatu alat bukti untuk
membuktikan unsur tindak pidana. Biasa terjadi bahwa suatu alat bukti hanya
berguna untuk menentukan pembuktian satu unsur tindak pidana, tidak seluruh
unsur tindak pidana;
5) Mengarahkan jalannya penyidikan atau pemeriksaan
di sidang pengadilan berjalan secara obyektif. Dalil-dalil yang digunakan dalam
pembuktian akan dapat dipertanggungjawabkan secara obyektif karena berlandaskan
teori dan bersifat ilmiah;
6) Menyusun requisitoir yaitu pada saat uraian
penerapan fakta perbuatan kepada unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan,
atau biasa diulas dalam analisa hukum, maka pengertian-pengertian unsur tindak
pidana yang dianut dalam doktrin atau yurisprudensi atau dengan cara penafsiran
hukum, harus diuraikan sejelas-jelasnya karena ini menjadi dasar atau dalil
untuk berargumentasi.
No comments:
Post a Comment