Dosen
Pengajar
Dr.
Muchamad Ali Safa’at, S.H, M.H
Penulis
Khamim Muhammad M, S.H dkk
KASUS
POSISI
Peraturan Presiden
Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja
Asing (TKA) menuai tanggapan negatif dari berbagai pihak. Perpres yang diteken
oleh Presiden Joko Widodo pada
26 Maret 2018 itu disebut terindikasi bertentangan dengan Undang-undang yang
lebih tinggi yang menjadi dasar
pembentukanya. Selain itu mempermudah jalan bagi tenaga kerja asing untuk masuk
ke Indonesia. Perpres ini diterbitkan untuk mendukung perekonomian nasional dan
perluasan kesempatan kerja perizinan penggunaan tenaga kerja asing. Perpres No.
20 Tahun 2018 itu banyak memuat ketentuan baru yang berbeda dari peraturan
sebelumnya yakni Perpres No.72 Tahun 2014 tentang Penggunaan TKA. Salah satu
poin yang menjadi polemik di dalam Perpres tersebut adalah tidak memberi
kewajiban bagi seluruh tenaga kerja asing di Indonesia memiliki Rencana
Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA).
ISU
HUKUM
Isu
hukum dalam kasus ini adalah apakah Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018
Tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing bertentangan dengan Undang-Undang yang
lebih tinggi yang menjadi dasar
pembentukanya dan mempermudah masuknya tenaga kerja asing di Indonesia?
SUMBER
HUKUM
Berikut
sumber hukum yang diperlukan untuk menganalisis isu hukum Perpres No 20 Tahun
2018 tentang tenaga kerja asing:
1. UUD
NRI 1945
2. UU
No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
3. UU
No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi
4. UU No. 6 Tahun 2017 tentang Arsitek
5. UU
No. 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran
6. Perpres
No. 72 Tahun 2014 tentang TKA
ANALISIS
Berdasarkan dengan kasus posisi dan isu hukum diatas,
peneliti hendak membuktikan apakah Perpes No 20 Tahun 2018 tantang tenaga kerja
asing tresebut bertentangan dengan beberapa Undang-undang yang lebih tinggi
yang menjadi dasar pembentukannya. Berikut inventarisasi Perpres No 20 Tahun
2018 mengenai tenaga kerja asing yang terindikasi melanggar peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar pembentukannya:
1. UUD NRI 1945
Pembukaan
“Kemudian daripada itu untuk membentuk
suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum....”
Tujuan Negera ialah
melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, artinya secara filosofis
siapapun yang menjadi penyelenggara negara harus mempunyai komitmen pemihakan
kepada bangsa dan pemihakan kepada negaranya. Bukan membangun negara dan
menjadi penyelenggara negara melayani kepentingan asing dan mengabaikan
kepentingan bangsa sendiri. Dengan dipermudahnya akses TKA melalui Perpres N0
20 Tahun 2018 secara filosifis bertentangan dengan Pembukaan UUD NRI 1945.
Pasal
27 ayat (3) menegaskan bahwa, tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan.
Pasal
28 D ayat (2) menegaskan bahwa, setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Tugas negara ialah menyediakan
lapangan kerja rakyatnya. Permasalahannya bukan pada boleh dan tidaknya TKA
masuk ke Indonesia. Dari zaman presiden soekarno sudah ada TKA, tetapi masuknya
TKA unskill yang merampas jatah
lapangan kerja tenaga kerja lokal. Ditambah lagi TKA diupah lebih besar
ketimbang tenaga kerja lokal. Hal ini melanggar pasal 28 D ayat 2 yang
mengamanatkan keadilan imbalan dan perlakuan yang layak dalam hubungan kerja.
2. UU No 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan
Dalam UU tersebut pengaturan mengenai
Tenaga Kerja Asing terdapat pada Bab 8 pasal 42 – 49, berikut penjabarannya:
Pasal
42 ayat
(1) Setiap pemberi kerja yang
mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau
pejabat yang ditunjuk. (2) Pemberi kerja orang perseorangan dilarang
mempekerjakan tenaga kerja asing. (3) Kewajiban memiliki izin sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), tidak berlaku bagi perwakilan negara asing yang
mempergunakan tenaga kerja asing sebagai pegawai diplomatik dan konsuler.
Pasal
43 (1) Pemberi
kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki rencana penggunaan
tenaga kerja asing yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. (2)
Rencana penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sekurang-kurangnya me muat keterangan. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) tidak berlaku bagi instansi pemerintah, badan-badan internasional dan
perwakilan negara asing. (4) Ketentuan mengenai tata cara pengesahan rencana
penggunaan tenaga kerja asing diatur dengan Keputu san Menteri.
Pasal
44 (1) Pemberi
kerja tenaga kerja asing wajib menaati ketentuan mengenai jabatan dan standar
kompetensi yang berlaku. (2) Ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal
45 ayat (1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib : a. menunjuk tenaga kerja
warga negara Indonesia sebagai tenaga pendamping tenaga kerja asing yang
dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian dari tenaga kerja asing;
dan. b. melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia
sebagaimana dimaksud pada huruf a yang sesuai dengan kualifikasi jabatan yang
diduduki oleh tenaga kerja asing. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) tidak berlaku bagi tenaga kerja asing yang menduduki ja batan direksi
dan/atau komisaris.
Pasal
49
Ketentuan mengenai penggunaan tenaga
kerja asing serta pelaksanaan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja pendamping
diatur dengan Keputusan Presiden.
Ø Pada pasal 43
ayat (1) Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing
harus memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) yang disahkan oleh
Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Amanat UU Ketenagakerjaan mewajibkan
memliki RPTKA sedangkan dalam Perpres 20
Tahun 2018 pasal 10 ayat (1) Pemberi
Kerja TKA tidak wajib memiliki RPTKA untuk mempekerjakan TKA yang
merupakan: a. pemegang saham yang
menjabat sebagai anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris pada Pemberi
Kerja TKA; b. pegawai diplomatik dan konsuler pada kantor perwakilan negara
asing; atau c. TKA pada jenis pekerjaan yang dibutuhkan oleh pemerintah. Perpres
No 20 Tahun 2018 ada celah bagi pemberi kerja untuk menghindari kewajiban itu
walau terbatas untuk jenis pekerjaan direksi dan komisaris serta TKA yang
dibutuhkan pemerintah. Harusnya Perpres tersebut mematuhi UU Ketenagakerjaan
pasal 42-49. Peraturan ini memastikan TKA dengan jabatan tersebut tidak perlu
lagi mengantongi izin, dampaknya akan menurunkan pemasukan untuk negara yakni
kompensasi TKA dalam bentuk PNBP.
Ø Pasal
22 Perpres No. 20 Tahun 2018 menyebutkan, “Dalam
melaksanakan pekerjaan yang bersifat darurat dan mendesak, TKA dapat
menggunakan jenis visa dan izin tinggal yang diperuntukkan bagi kegiatan
dimaksud sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan”. “darurat dan
mendesak”, tidak menutup kemungkinan bisa dipermainkan sejumlah oknum TKA.
Menurutnya, Visa Tinggal Terbatas (Vitas) sejatinya menjadi syarat mutlak
terhadap TKA dalam rangka untuk mendapat Izin Tinggal Sementara (Itas).
Sementara izinnya pun diterbitkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
(Kemenkumham), bukan Kemenaker. Sementara, bila menilik UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hanya
Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) yang dapat memberi izin bekerja di
Indonesia.
Ø Adanya
Vitas dan izin tinggal terbatas sebagaimana diatur Pasal 17 Perpres No.20 Tahun
2018 membuka ruang TKA untuk bekerja tanpa pemberi kerja yang berbadan hukum.
ketentuan ini digunakan oleh pemberi kerja perseorangan untuk merekrut TKA.
Padahal Pasal 42 (1) Setiap pemberi kerja
yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri
atau pejabat yang ditunjuk. (2) Pemberi kerja orang perseorangan dilarang
mempekerjakan tenaga kerja asing. Amanat UU Ketenagakerjaan melarang perseorangan
mempekerjakan TKA.
3. UU No. 2 Tahun
2017 tentang Jasa Konstruksi
Pasal
33 ayat (1) huruf d mempekerjakan
lebih banyak tenaga kerja Indonesia daripada tenaga kerja asing;
Pasal
74 ayat (1) Pemberi kerja tenaga kerja konstruksi asing wajib memiliki rencana
penggunaan tenaga kerja asing dan izin mempekerjakan tenaga kerja asing. (2)
Tenaga kerja konstruksi asing dapat melakukan pekerjaan konstruksi di Indonesia
hanya pada jabatan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. (3) Tenaga kerja konstruksi asing pada jabatan ahli yang
akan dipekerjakan oleh pemberi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memiliki surat tanda registrasi dari Menteri.
Ø Jelas
dalam pasal 33 ayat (1) huruf d dan pasal 74 ayat (1) membatasi jumlah TKA yang
masuk dan pemberi kerja wajib memiliki RPTKA sesuai yang di amanatkan UU
Ketenagakerjaan pasal 43. Dalam hal ini Perpres No 20 Tahun 2018 pasal 10 jelas
melanggar peraturan yang lebih tinggi dan justru mempermudah masuknya TKA,
sementara tenaga kerja lokal masih kesulitan mendapatkan pekerjaan.
4. UU No. 6 Tahun
2017 tentang Arsitek
Pasal
18 ayat (1) Arsitek
Asing harus memenuhi persyaratan kompetensi dan persyaratan perizinan. (2)
Persyaratan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dibuktikan dengan sertifikat
kompetensi menurut hukum negaranya dan diregistrasi di Indonesia.
Pemenuhan persyaratan perizinan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dalam bidang ketenagakerjaan.
Ø Berdasarkan UU Kearsitekan menegaskan TKA
arsitek wajib memiliki izin sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan bidang ketenagakerjaan yang dalam hal ini merujuk pada pasal
43 UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-undang tersebut juga
telah mengatur pengetatan terhadap TKA masuk ke Indonesia baik dari segi
perizinan maupun dalam ketentuan lainnya.
Berdasarkan
identifikasi dan inventarisasi diatas Perpres No 20 Tahun 2018 tentang tenaga
kerja asing menurut peneliti bertentangan dengan Undang-undang yang menjadi
dasar pembentukannya. Dalam hal ilmu Perundang-Perundangan, Teori hirarki norma
hukum (Stufentheorie - Hans Kelsen)
Hans Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan
berlapis-lapis dalam suatu hirarki (tata susunan), dalam arti, suatu norma yang
lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi,
norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih
tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat
ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu Norma Dasar (Grundnorm)[1].
Dalam
hal ini sistem hukum suatu negara merupakan suatu proses yang terus menerus,
dimulai dari yang abstrak, menuju ke hukum yang positif, dan seterusnya sampai
menjadi nyata. Semua norma merupakan satu kesatuan dengan struktur piramida.
Dasar keabsahan suatu norma ditentukan oleh norma yang paling tinggi
tingkatannya. Jadi menurut Hans Kelsen urutan norma itu dimulai dari Grundnorm atau Ursprungsnorm ke Generallenorm,
kemudian diposilifkan. Sesudah itu akan menjadi norma nyata (Concretenorm). Norma nyata lebih
bersifat individual. Oleh karena norma positif merupakan "perantara"
dari norma dasar dengan norma individual, maka disebut juga norma antara (Tussennorm).
Teori
Hans Kelsen tersebut kemudian dikembangkan oleh Hans Nawiasky. Nawiasky dalam
teorinya mengenal Die Stufenaufbau der Rechtsordnung atau Die Stufenordnung der
Rechtsnormen, mengemukakan tiga lapis norma-norma hukum, yakni Grundnorm (Norma dasar). Grundgesetze (Aturan-aturan Dasar), dan formelle Gesetze (Peraturan
Perundang-undangan) berikut Verordnungen
serta autonome Satzungen yang dapat
digolongkan ke dalam peraturan-peraturan pelaksanaan.[2]
Menurut Nawiasky, norma-norma hukum tersebut selain berlapis-lapis juga Stufenformig (berbentuk kerucut atau
seperti stupa). Diantara lapis-Iapis tersebut dapat saja ada lapis-lapis lain
yang merupakan bagian-bagiannya, yang disebutnya Zwischenstufe (stupa antara). Sudah tentu tiap lapisan stupa
tersebut berisi norma-norma hukum yang bersifat umum (genereile Normen), mengingat suatu norma hukum pada dasamya berlaku
umum, elgemeen. Norma fundamental negara yang merupakan norma tertinggi dalam
suatu negara ini adalah norma yang tidak dibentuk oleh suatunorma yang lebih
tinggi tetapi presupposed atau ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat dalam
suatu negara dan merupakan suatu norma yang menjadi tempat bergantungnya
norma-norma hukum di bawahnya. Dikatakan bahwa norma yang tertinggi ini tidak
dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi karena jika norma yang tertinggi itu
dibentuk oleh norma yang iebih tinggi lagi, ia bukan merupakan norma yang
tertinggi.[3]
Menurut
Maria Farida di Negara Republik Indonesia
Staatsfundamentalnorm (Norma
Fumdamental Negara) Yaitu Pancasila, Staatsgrungesetz, (Aturan Dasar Negara/
Aturan Pokok Negara) Yaitu Batang Tubuh UUD 1945 dan Ketetapan MPR, Formal Gesetz (Undang – Undang ‘Formal’)
Yaitu Undang-Undang, Verodnung &
Autonome satsung (Aturan Pelaksana & Aturan Otonom) Yaitu
Peraturan-Peraturan di bawah Undang-Undang. Berkaiatan dengan hal tersebut
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan dalam pasal 7 jenis
dan hirarki peraturan perundang-undangan
yang dimaksud ialah:
1. UUD NRI
TAHUN 1945
2. Tap MPR
3. Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan
Pemerintah;
5. Peraturan
Presiden;
6. Peraturan
Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota.
Dengan
demikian dikeluarkannya Perpres nomor 20 Tahun 2018 tentang tenaga kerja secara
substansial bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
dan tidak tertib pada hierarki norma, secara teori hierarki norma maupun secara
hukum positif yang tertuang dalam pasal 7 UU No. 1 Tahun 2011 tentang
Pembentukan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya dalam Perpres No 20 Tahun 2018 terindikasi
mempermudah masuknya tenaga kerja asing yaitu dengan dihapusnya Ijin
Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA). Pasal 9 Perpres 20 Tahun 2018 menegaskan
pemberi kerja yang akan mempekerjakan TKA cukup mengajukan Rencana Penggunaan
Tenaga Kerja Asing (RPTKA) tanpa harus mengajukan Ijin Menggunakan Tenaga Kerja
Asing (IMTA). Padahal Di aturan sebelumnya, RPTKA digunakan sebagai dasar untuk
memperoleh atau menerbitkan IMTA. Berikut identifikasi peneliti mengenai RPTKA
dan IMTA:
1. Memperkerjakan
tenaga kerja asing (“TKA”) wajib mengurus Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing
(“IMTA”). Hal ini sebagaimana diatur di dalam Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan: Setiap pemberi kerja yang memperkerjakan tenaga kerja asing
("TKA") wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang
ditunjuk.
Pengaturan
lebih terperinci mengenai tata cara penggunaan TKA diatur di dalam Peraturan
Menteri Ketenagakerjaan Nomor 16 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga
Kerja Asing (“Permenaker 16/2015”) sebagaimana yang telah diubah oleh Peraturan
Menteri Ketenagakerjaan Nomor 35 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Ketenagakerjaan Nomor 16 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga
Kerja Asing (“Permenaker 35/2015”).
Untuk bisa mendapatkan IMTA,
perusahaan harus terlebih dahulu membuat Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing
(“RPTKA”).[4]
RPTKA digunakan sebagai dasar untuk
mendapatkan IMTA.[5]
2.
Visa bekerja
tidak akan dikeluarkan tanpa dilampiri izin mempekerjakan tenaga kerja asing
(IMTA) atau rekomendasi mempekerjakan tenaga kerja asing yang diterbitkan
Kementerian Ketenagakerjaan. IMTA
digunakan sebagai dasar untuk: (a) Penerbitan persetujuan visa; (b) Pemberian
dan perpanjangan Izin Tinggal Terbatas (“ITAS”); (c) Alih status izin tinggal
kunjungan menjadi ITAS; (d) Alih status ITAS menjadi Izin Tinggal Tetap (ITAP);
dan (e) Perpanjangan ITAP.
KESIMPULAN
Berdasarkan
analisis isu hukum yang telah dipaparkan peneliti diatas disimpulkan bahwa
dikeluarkannya Peraturan Presiden nomor 20 tahun 2018 tentang tenaga kerja
asing bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang
menjadi dasar pembentukannya. Salah satu identifikasinya yakni tidak memberi
kewajiban bagi seluruh tenaga kerja asing di Indonesia memiliki Rencana
Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA). Selain itu penghapusan Ijin Menggunakan
Tenaga Kerja Asing (IMTA) yang berlandaskan Pasal 9 Perpres 20 Tahun 2018 jelas
mempermudah akses masuknya tenaga kerja asing ke Indonesia. Dengan demikian
Perpres No 20 Tahun 2018 selain mengecualikan tenaga kerja asing memiliki RPTKA,
juga menghapuskan IMTA sedangkan RPTKA digunakan sebagai dasar untuk memperoleh
atau menerbitkan IMTA. Sehingga tenaga kerja asing yang dikecualikan Perpes 20
tahun 2018 untuk tidak memiliki RPTKA praktis tidak mengantongi izin untuk
bekerja di Indonesia.
[1]Maria
Farida Indrati S, Ilmu
Perundang-undanagan, ( Yogyakarta: Kanisius, 2007 ) hlm. 41
[2]
Ibid….. Hlm. 44-45
[3]
A.Hamid S.Attamimi, Peranan Keputusan
Presiden Rl dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu Studi Analisis
Mengenal Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kumn Waktu Pelita
I- Pelita VI), Disertasi Doktor, (Pascasarjana Unlversitas Indonesia,
Jakarta, 1990), him. 359 dst.
[4]
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
[5]
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 16 Tahun 2015 tentang Tata Cara
Penggunaan Tenaga Kerja Asing sebagaimana yang telah diubah oleh Peraturan
Menteri Ketenagakerjaan Nomor 35 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Ketenagakerjaan Nomor 16 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga
Kerja Asing.
No comments:
Post a Comment