BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keberadaan sistem Hukum Islam di Indonesia sejak
lama telah dikukuhkan dengan berdirinya sistem peradilan agama yang diakui
dalam sistem peradilan nasional di Indonesia. Bahkan dengan diundangkannya UU
tentang Peradilan Agama tahun 1998, kedudukan Pengadilan Agama Islam itu makin
kokoh. Akan tetapi, sejak era reformasi, dengan ditetapkannya Ketetapan MPR
tentang Pokok-Pokok Reformasi yang mengamanatkan bahwa keseluruhan sistem
pembinaan peradilan diorganisasikan dalam satu atap di bawah Mahkamah Agung.
Sistem peradilan satu atap dibawah Mahkamah Agung
(MA) yang efektifnya akan dimulai 1 April 2004. Hasil revisi Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang telah ditetapkan DPR belum lama
ini menyebutkan sistem peradilan satu atap dibawah MA selambatnya harus sudah
dilaksanakan akhir Maret 2004. Dengan terbentuknya sistem peradilan satu atap
dibawah Mahkamah Agung menurut Bagir Manan maka struktur peradilan dibawah
Departemen Kehakiman dan HAM serta Departemen Agama akan berpindah ke struktur
Mahkamah Agung Republik Indonesia. Namun dengan belum selesainya penyusunan
struktur organisasinya, maka struktur peradilan dibawah Departemen Kehakiman
dan Departemen Agama belum akan segera dipindahkan ke lingkungan MA.
Undang-Undang tentang Mahkamah Agung memberi waktu kepada MA untuk menyiapkan
struktur organisasi peradilan satu atap tersebut selama satu tahun.
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka upaya dan
langkah pensatu-atapan lembaga Peradilan Agama ke dalam Mahkamah Agung RI,
terlepas ide dan gagasan kearah satu atap itu terinisiatif dari dalam
orang-orang Peradilan Agama sendiri atau sebuah reaksi dari kenyataan sejarah
dan hukum, sebagaimana telah dipaparkan diatas dan Abdul Gani Abdullah ungkap
bahwa Peradilan Agama satu atap dalam Mahkamah Agung RI sebenarnya telah
diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999, meski masalah penetapan
waktunya tidak ditentukan hal tersebut secara analisis teoritis karena
persoalan Peradilan Agama menjadi satu atap dengan Mahkamah Agung RI bukan
masalah berat bagi Departemen Agama RI, tetapi lebih dari karena eksistensi
perjalanan sejarah Peradilan Agama itu sendiri yang sejak dulu hingga kini
eksistensinya tidak dapat dipisahkan dengan perjuangan umat Islam dan ulama
dimana kecenderungan masyarakat atau umat Islam dan ulama, kiai (MUI) cenderung
kurang menyetujui keinginan dan gagasan tersebut.
Maka kehati-hatian untuk mencapai arah
pensatu-atapan lembaga Peradilan Agama dalam Mahkamah Agung RI secara total
harus ekstra diperhatikan, Jangan sampai tepatnya moment, adanya kesempatan dan
besarnya dukungan terutama dari orang-orang legislative yang nampaknya begitu
bersemangat untuk mendukung Peradilan Agama menyatu secara administratif dan
teknis yuridis ke Mahkamah Agung menjadi sebuah euforia, sehingga dalam
merealisasikan dan mengakhtuaisasikan harapan tersebut tidak memperhatikan
hal-hal kecil namun memiliki sensitifitas yang tinggi dan dapat menimbulkan
konflik kedepan
Peradilan Agama merupakan salah satu dari empat
lingkungan peradilan, yang di antaranya adalah Peradilan Umum, Peradilan Militer,
dan Peradlan Tata Usaha Negara. Selain itu Peradilan Agama juga merupakan
peradilan khusus, yang mana diartikan peradilan khusus karena PA mengadili
perkara-perkara tertentu yaitu hanya berwenang di bidang perdata Islam saja dan
juga hanya diperuntukkan bagi orang-orang Islam saja.
Peradilan satu atap adalah bahwa empat lingkungan
peradilan yakni Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Agama, dan
Peradilan Tata Usaha Negara berpuncak pada Mahkamah Agung, yang merupakan
peradilan tingkat terakhir serta melakukan pengawasan tertinggi bagi keempat
lingungan peradilan tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah
yang dikemukakan diatas dapat dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut :
- Apa pengertian Peradilan Agama ?
- Bagaimana perjuangan Peradilan Agama dan eksistensinya ?
- Bagaimana di bawah Mahkama peradilan agama Agung ?
- Bagaimana Pemisahaan Fungsi Kekuasaan Eksekutif dan Yudikatif ?
- Bagaimana peran Peradilan Agama dalam lingkungan Satu Atap ?
- Bagaimana Realisasi atau langkah pelaksanaan system peradilan satu atap ?
1.2 Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan penulisan tugas ini adalah sebagaimana berikut :
1. Untuk
mengetahui pengertian
Peradilan Agama.
2. Untuk
mengetahui perjuangan Peradilan Agama dan
eksistensinya.
3. Untuk mengetahui di bawah Mahkama
peradilan agama Agung.
4. Untuk mengetahui Pemisahan Fungsi
Kekuasaan Eksekutif dan Yudikatif.
5. Untuk
mengetahui peran Peradilan Agama dalam lingkungan
Satu Atap.
6. Untuk mengetahui Realisasi atau langkah
pelaksanaan system peradilan satu atap.
1.3 Manfaat Penulisan
1. Memberi pengetahuan baru tentang peradilan dengan system peradilan satu
atap.
2. Memberi cakrawala baru pada pembaca system satu atap..
3. Memberi pengetahuan baru kepada pembaca
perihal Realisasi atau langkah pelaksanaan system peradilan satu atap.
4. Bagi
peneliti, makalah ini sebagai penambah ilmu pengetahuan dan wawasan.
5. Bagi
pihak lain, makahlah ini sebagai bahan pertimbangan dan acuan untuk penelitian
lebih lanjut.
1.4
Metode
Penulisan
Dari
pembuatan dan penulisan tugas “Peradilan Agama dalam Prespektif Satu Atap” ini,
penulis menggunakan metode studi pustaka yaitu salah satu metode yang digunakan
dalam penulisan Karya Tulis (tugas) dengan cara mengumpulkan literatur baik
berasal dari berbagai buku dan mencari inti-inti pembahasan mahar. Sehingga
menjadi sebuah bahasan yang menarik pada tugas ini.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Apa pengertian Peradilan Agama
Dalam kamus Bahasa Indonesia, peradilan adalah
segala sesuatu mengenai perkara peradilan.[1]
Peradilan juga dapat diartikan suatu proses pemberian keadilan disuatu lembaga.[2]
Dalam kamus Bahasa Arab disebut dengan istilah qadha yang berarti menetapkan,
memutuskan, menyelesaikan, mendamaikan. Qadha menurut istilah adalah
penyelesaian sengketa antara dua orang yang bersengketa, yang mana
penyelesaiannya diselesaikan menurut ketetapan-ketetapan (hukum) dari Allah dan
Rasul. Sedangkan pengadilan adalah badan atau organisasi yang diadakan oleh
negara untuk mengurus atau mengadili perselisihan-perselisihan hukum.[3]
Peradilan Agama adalah proses pemberian keadilan
berdasarkan hukum agama Islam kepada orang-orang Islam yang dilakukan di
Pengadilan agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Sebagai lembaga peradilan,
peradilan agama dalam bentuknya yang sederhana berupa tahkim, yaitu lembaga penyelesaian sengketa antara
orang-orang Islam yang dilakukan oleh para ahli agama, dan telah lama ada dalam
masyarakat indonesia yakni sejak agama islam datang ke Indonesia
Peradilan disyari’atkan di dalam Al Quran dan hadits
Nabi. Sebagaimana dijelaskan di dalam Al Quran surah al-Maidah ayat 49 :
وَأَنِ
احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ
وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ
تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ
ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ (49)
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara
di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya
mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang Telah diturunkan Allah
kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang Telah diturunkan Allah), Maka
Ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada
mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan
manusia adalah orang-orang yang fasik”.[4]
Dan
hadits yang menunjukkan pensyari’atan peradilan adalah :
“Apabila seorang hakim berijtihad kemudian ia
benar, maka ia memperoleh dua pahala dan apabila ia berijtihad namun salah,
maka ia memperoleh satu pahala”.[5]
2.2 Perjuangan Peradilan Agama dan
Eksistensinya
Peradilan
Agama merupakan lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung sebagai pelaku
kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelanggarakan peradilan agama,
menegakan hukum dan keadilan. Eksistensi peradilan agama telah menjadikan umat
Islam Indonesia terlayani dalam penyelesaian masalah perkahwinan, kewarisan,
wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah. Peradilan agama hendak menegakkan substansi
nilai-nilai hukum yang mewarnai kehidupan umat Islam.
Perubahan
signifikan di bidang ketatanegaran dalam sistem peradilan adalah penyatu-atapan
semua lembaga peradilan (One Roof System) di bawah Mahkamah Agung RI. Reformasi
sistem peradilan tersebut diawali dengan kemasukan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945
dalam amendmen ketiga UUD 1945 dan dilanjutkan dengan disahkannya UU Nomor 4
tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam
lingkungan perdilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan perdilan
militer, lingkungan perdilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.[6]
Konsekuensi
dari penyatu-atapan lembaga peradilan adalah pengalihan organisasi,
administrasi dan finansial Peradilan Agama dari Departemen Agama ke Mahkamah
Agung. Pengalihan tersebut sebagai bagian dari perwujudan reformasi hukum untuk
menciptakan kelembagaan negara yang lebih kondusif bagi tercapainya tatanan yang lebih demokratis
dan transparen.
Meskipun
telah beralih ke Mahkamah Agung, hubungan antara Pengadilan Agama dan
Departemen Agama akan terus berlangsung melalui peran Pengadilan Agama sebagai
lembaga yang berwenang untuk memberikan penetapan (itsbat) kesaksian melihat
bulan (rukyat al-hilal) dalam penentuan awal bulan pada tahun hijriyah
(terutama awal bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah). Perlaksanaan rukyat
hilal dilakukan oleh Departemen Agama dan lembaga/ormas-ormas Islam, sedangkan
penetapan (itsbat) terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau menyaksikan
hilal (bulan baru) menjelang awal bulan hijriyah dilakukan oleh Pengadilan
Agama. Berkaitan dengan hisab rukyat Pengadilan Agama juga dapat memberi
keterangan atau nasehat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan
waktu solat. Di sisi lain, baik Pengadilan Agama maupun Departemen Agama juga
mempunyai kesamaan fungsi dalam pembinaan keluarga sakinah.
Untuk
menyahut cabaran dan merespon dinamika dan kebutuhan masyarakat, UU Nomor 3
tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
memberikan perluasan kewenangan sebagaimana terdapat dalam Pasal 49. Pengadilan
Agama bertugas dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang perkahwinan, waris , wasiat, hibah, wakaf, zakat,
infaq, shadaqah dan ekonomi syariah.
Dalam bidang
perkahwinan Pengadilan Agama mempunyai kewenangan absolut dalam mengadili dan
menyelesaikan masalah penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam.
Sebelum lahirnya UU Nomor 3 tahun 2006 kewenangan Pengadilan Agama dalam
pengangkatan anak yang merupakan bagian dari bidang perkahwinan sering
dipertanyakan banyak pihak meskipun telah lama dipraktekkan. Kini perkara
pengangkatan anak di Peradilan Agama telah mendapat landasan hukum yang kuat
dan jelas.
Pada awal
pembetukan UU Nomor 3 tahun 2006 wacana yang berkembang dalam antara lain
pemberian kewenangan sengketa bank syariah kepada Pengadilan Agama seiring
tumbuhnya bank-bank syariah di Indonesia. Dalam perkembangannya tidak hanya
mencakup bank syariah, namun meliputi ekonomi syariah yang kemudian diakomodir
dalam undang-undang ini. Jika diperinci kewenangan Pengadilan Agama dalam
ekonomi syariah mencakup: bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah,
asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan
surat berharga berjangka menegah syariah dan bisnis syariah.
Rumusan
Pasal 2 UU Nomor 3 tahun 2006 menyebutkan Pengadilan Agama adalah salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkara tertentu, berbeda dengan kewenangan sebelumnya yang terbatas
pada perkara perdata tertentu. Ketentuan ini menunjukkan bahwa Pengadilan Agama
berwenang menangani perkara pidana, terutama berkaitan dengan pelanggaran
terhadap Undang-Undang Perkahwinan dan peraturan di bawahnya. Ketentuan pidana
yang dimaksud seperti ancaman pidana terhadap pelaku penikahan yang tidak
dilakukan di hadapan pegawai pencatat nikah, namun perlaksanaanya tidak
berjalan efektif. Pelanggaran perkahwinan sangat jarang yang diproses, kalaupun
ada biasanya diproses dengan ketentuan Pasal 279 KUHP, sehingga diperlukan
payung hukum dan institusi yang diharapkan dapat menegakkan aturan mengenai
pelanggaran perkahwinan iaitu Pengadilan Agama.[7]
Perubahan
signifikan lainnya dari UU Nomor 3 tahun 2006 adalah mengenai subjek hukum yang
diperluas menjadi tidak hanya orang Islam dalam pengertian teologis, akan
tetapi termasuk orang atau badan hukum yang menundukkan diri secara sukarela
kepada hukum Islam. Pilihan hukum dalam perkara waris (alinea 2 Penjelasan umum
UU Nomor 7 tahun 1989) dihilangkan. Dengan demikian perkara kewarisan bagi
orang Islam mutlak menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama.
Kewenangan
Peradilan Agama yang semakin luas harus diimbangi dengan peningkatan sumber
daya manusia (SDM), aparatur pengadilan, sarana dan prasarana yang memadai,
serta ketentuan hukum yang aplikatif. Dengan demikian paradigma baru Peradilan
Agama benar-benar dapat menjawab tuntutan dan masalah hukum yang berkembang di
masyarakat.
2.3 Peradilan Satu Atap di Mahkamah Agung
Tahun 2004 ini Indonesia memasuki babak baru dalam
kehidupan ketatanegaraan yang berkaitan dengan masalah penyelenggaraan fungsi kekuasaan
kehakiman. Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai
ganti dari Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman menetapkan bahwa kewenangan di bidang organisasi,
administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung (Pasal 13 ayat (1)).[8]
Sesuai dengan masa transisi yang ditetapkan, untuk
lingkungan peradilan umum dan peradilan tata usaha negara kewenangan tersebut
beralih dari Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia kepada Ketua Mahkamah
Agung dan telah dilaksanakan tanggal 31 Maret 2004, disusul dengan pengalihan kewenangan
dalam lingkungan peradilan agama dari Menteri Agama ke Mahkamah Agung pada
tanggal 30 Juni 2004 (Keppres No. 21 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Pengalihan
Urusan Organisasi, Administrasi dan Finansial Lembaga Peradilan ke Makamah
Agung). Pengalihan fungsi pokok tersebut didasarkan kepada amanah Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang menghendaki adanya jaminan
kemerdekaan penyelenggaraan peradilan guna penegakan hukum dan keadilan. Pasal
24 ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 hasil amandemen
mengatur: “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.[9]
Dengan menelusuri kembali pemikiran yang pernah
berkembang sebelumnya, kita dapat mengatakan bahwa gagasan tentang pengalihan kekuasaan
kehakiman ke Mahkamah Agung, yang sering disebut “kebijakan kekuasaan kehakiman
di bawah satu atap” mempunyai kaitan historis dengan Memorandum Ikatan Hakim
Indonesia tentang Perbaikan terhadap Kedudukan Kekuasaan Kehakiman yang Sesuai
Dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Menurut Tafsiran
Orde Baru (TAP MPRS No. XX/MPRS/1966), yang dirumuskan berdasarkan hasil
Mukernas Ujung Pandang (23 Oktober 1996) yang disampaikan kepada pimpinan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia/Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia dan Panitia Penyusunan GBHN 1998.
Memorandum itu berpendapat bahwa “kekuasaan
kehakiman” menurut Editorial vii Jurnal Legislasi Indonesia -Volume 1 Nomor 1
Juli 2004 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 adalah kekuasaan yang
utuh dan mempunyai kualitasnya tersendiri yang berbeda dengan kekuasaan lain
dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yang harus terlepas
dari kekuasaan pemerintah. Undang-undang No. 14 Tahun 1970 dijiwai oleh aliran
“positivisme yang otoriter legistis”, yaitu aliran filsafat otoriter yang tidak
sesuai dengan filsafat Pancasila. Memorandum itu mendesak agar Undang-undang
No. 14 Tahun 1970 dan lain-lain undang-undang yang berkaitan dengan hukum dan
kekuasaan kehakiman segera dicabut atau setidak-tidaknya ditinjau kembali.
Kebijakan satu atap kekuasaan kehakiman tersebut
sebenarnya telah dipertegas sejak ditetapkannya TAP MPR Nomor IV/MPR/1999
tentang GBHN yang salah satunya menetapkan tentang perwujudan lembaga peradilan
yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak manapun. Hal tersebut
kemudian diatur kembali dalam Undang-undang No. 35 tahun 1999 tentang Perubahan
Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman yang pada intinya mengatur bahwa pengalihan fungsi organisasi,
administrasi, dan finansial kekuasaan kehakiman dilaksanakan secara bertahap,
paling lama lima tahun sejak Undang-undang tersebut mulai berlaku. Itu berarti
bahwa batas pengalihan fungsi kehakiman ke bawah Mahkamah Agung ini sudah harus
selesai dilaksanakan pada tahun 2004 ini.
Pelaksanaan ajaran “trias politica” Montesquieu di
Indonesia tidaklah dalam pengertian “pemisahan kekuasaan” (separation of
power)melainkan “pembagian kekuasaan” (division of power), sehingga kekuasaan
eksekutif, legislatif dan yudikatif sebagai organ negara menurut Undang Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 tidaklah terpisah secara tegas, melainkan terdapat
hubungan fungsional kelembagaan satu sama lainnya. Maksudnya adalah bahwa
sistem kekuasaan atau kedaulatan rakyat yang dianut bangsa Indonesia
pertama-tama diwujudkan secara penuh dalam Majelis Pemusyawaratan Rakyat
sebagai “lembaga tertinggi negara” yang merupakan penjelmaan seluruh rakyat
Indonesia. Dari majelis inilah kekuasaan rakyat itu dibagi-bagikan kedalam
fungsi-fungsi lembaga Presiden (pemerintah) yang merupakan pihak eksekutif dan
lembaga DPR sebagai pengendali atau pengawasnya, dan yudikatif sebagai
penyelenggara fungsi kehakiman.[10]
Paradigma tentang pembagian kekuasaan tersebut telah
mengalami berbagai pergeseran karena amandemen terhadap UUD 1945 sebanyak empat
kali. MPR tidak lagi memegang peran penting. GBHN dihapus, dan titik berat kekuasaan
tidak berada pada Presiden. Pemisahan kekuasaan antara fungsi eksekutif dengan
yudikatif tentang organsisasi, administrasi dan finansial sebagaimana
dikehendaki oleh viii Jurnal Legislasi Indonesia - Volume 1 Nomor 1 Juli 2004 Undang-undang
No. 4 tahun 2004 menuntut adanya mekanisme yang dapat mengatur hubungan antara
yudikatif dan eksekutif dan seharusnya dilaksanakan dengan tetap memperhatikan
mekanisme ‘check and balance’ antar lembaga negara, sehingga hubungan antara
eksekutif dan yudikatif tersebut dapat saling mengimbangi sesuai tugas dan
fungsinya sebagaimana diatur dalam undang-undang.[11]
Kebijakan satu atap kekuasaan kehakiman di bawah
Mahkamah Agung diharapkan dapat mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan
bebas dari campur tangan eksekutif (pemerintah) dan pihak lain serta memenuhi
rasa keadilan yang hidup di tengah masyarakat.[12]
2.4 Pemisahan
fungsi Kekuasaan Eksekutif dan Yudikatif
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan
tersebut maka salah satu prinsip negara hukum adalah adanya jaminan
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan
lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.[13]
Dalam usaha memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman
yang merdeka, sesuai dengan tuntutan reformasi di bidang hukum dalam Sidang Istimewa
MPR-RI yang berlangsung tanggal 10 sampai dengan tanggal 13 Nopember 1999 telah
menghasilkan berbagai ketetapan, antara lain Tap. MPR-RI Nomor X/MPR/1998
tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan
Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.[14]
Pemerintah menyadari sepenuhnya kehendak rakyat yang
tercermin dalam Tap. MPR-RI Nomor X/MPR/1998 tersebut, yang menginginkan terwujudnya
kekuasaan kehakiman yang merdeka dan supremasi hukum dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Di dalam Tap. MPR-RI Nomor X/MPR/1998
khususnya BAB C Hukum menegaskan perlunya reformasi di bidang hukum untuk
mendukung penanggulangan krisis di bidang hukum. Salah satu amanat dalam Tap.
MPR-RI tersebut yang harus dijalankan adalah “pemisahan yang tegas antara
fungsi kekuasaan eksekutif dan fungsi kekuasaan yudikatif.” Pemisahan ini dilaksanakan
dengan mengalihkan organisasi, administratif, dan finansial badan-badan peradilan
yang semula di bawah departemen-departemen yang bersangkutan menjadi di bawah
kekuasaan Mahkamah Agung. Hal tersebut disebabkan dalam perjalanan waktu lebih
dari tiga dasawarsa terbukti pelaksanaan “kekuasaan kehakiman yang merdeka” itu
ternyata tidak sepenuhnya dilaksanakan dengan baik terdapat indikasi berbagai
penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang peradilan.[15]
Bentuk penyimpangan tersebut antara lain terdapat
campur tangan atau intervensi baik yang bersifat horizontal maupun vertikal
dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka khususnya terhadap kemandirian
hakim dalam memutus perkara dan tumbuh suburnya praktekpraktek kolusi, korupsi,
dan nepotisme dalam proses peradilan. Namun demikian berbagai ekses
penyimpangan tersebut sangat sulit diatasi karena sistem kekuasaan yang sangat
dominan dari pihak eksekutif selama lebih dari tiga dasawarsa telah memandulkan
kekuasaan kehakiman yang 2 Jurnal Legislasi Indonesia - Volume 1 Nomor 1 Juli
2004 merdeka sebagai pengawal utama supremasi hukum dan tidak mampu berperan
dengan baik sebagai pengaman terhadap semua tindakan inkonstitusional maupun
sebagai benteng terakhir penegakan hukum, keadilan, dan demokrasi (the
Independence of Judiciary is core element of supremacy of law and democracy). Berdasarkan
hal tersebut, agar lingkup penulisan ini dengan topic “pemisahan fungsi
kekuasaan eksekutif dan fungsi kekuasaan yudikatif” menjadi jelas cakupannya
dibatasi mengenai pembahasan perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan Pokokpokok Kekuasaan Kehakiman di DPR. Hal ini dengan
pertimbangan bahwa Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan
Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman sebagai landasan hukum yang mengatur mengenai fungsi
kekuasaan eksekutif dan fungsi kekuasaan yudikatif dalam penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman.
Untuk mewujudkan amanat Tap. MPR-RI Nomor
X/MPR/1998, Presiden kepada Ketua DPR dengan Amanat Presiden Nomor
R.29/PU/VI/1999 pada tanggal 9 Juni 1999 menyampaikan Rancangan Undang-Undang
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok-pokok
Kekuasaan Kehakiman untuk dibahas bersama dengan DPR dan mendapat persetujuan.
Hasil pembahasan.
Rancangan Undang-Undang tersebut pada tanggal 31
Agustus 1999 oleh Presiden telah disahkan dan diundangkan oleh Menteri Negara
Sekretaris Negara menjadi UndangUndang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 144;[16]
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3879). Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan
Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman untuk pemisahan fungsi kekuasaan eksekutif dan
fungsi kekuasaan yudikatif meliputi Pasal 11 dan Pasal 22 dengan menambah Pasal
11A dan Pasal 40A.
1. Perubahan Pasal 11, karena pasal
tersebut mengandung substansi yang sangat penting yakni menyangkut masalah
pengaturan mengenai aspek organisatoris, administratif, dan finansial dari
badan-badan peradilan.
Dengan
perubahan Pasal 11 tersebut maka berarti telah terjadiperpindahan kekuasaan
organisatoris, administratif, dan finansial badanbadan peradilan dalam
lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan
tata usaha negara dari departemendepartemen yang bersangkutan menjadi di bawah
kekuasaan Mahkamah Agung.
2. Penambahan Pasal 11A mengatur mengenai
jangka waktu perpindahan yang menyangkut urusan organisatoris, administratif,
dan financial badan-badan peradilan berada satu atap di bawah kekuasaan
Mahkamah Agung. Pelaksanaan kebijaksanaan ini harus dilaksanakan paling lambat
3 Jurnal Legislasi Indonesia -Volume 1 Nomor 1 Juli 2004 lima tahun sejak
diundangkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok-pokok Kekuasaan
Kehakiman, tetapi peradilan agama tidak ditentukan jangka waktunya.
3. Perubahan terhadap Pasal 22, menyangkut
pengaturan mengenai tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang
termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa
dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Hal ini perlu
diubah dengan pertimbangan Mahkamah Agung tidak terlibat dalam penentuan
kewenangan peradilan terhadap perkara koneksitas dan penunjukan hakim yang akan
mengadili. Kewenangan tersebut ditetapkan oleh Menteri Pertahanan Keamanan atas
persetujuan Menteri Kehakiman. Dengan perubahan ini kewenangannya ditetapkan
menurut Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
4. Penambahan Pasal 40A mengatur mengenai
semua peraturan perudangundangan sebagai pelaksanaan Pasal 11 atau yang
berkaitan dengan Pasal 22 masih tetap berlaku sepanjang belum diganti dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang baru. Sehubungan dengan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok-pokok Kekuasaan
Kehakiman yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999, Dewan
Perwakilan Rakyat berdasarkan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai pemegang kekuasaan pembentuk
undangundang, melalui Ketua DPR kepada Presiden dengan Surat Nomor RU.02/
5757/DPR-RI/2002 tanggal 25 Oktober 2002 menyampaikan 4 (empat) Rancangan
Undang-Undang di bidang hukum sebagai inisiatif DPR untuk dibahas bersama
antara Pemerintah dengan DPR. Rancangan UndangUndang tersebut, yakni :[17]
a) Rancangan Undang-Undang tentang
Perubahan atas Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok-pokok Kekuasaan
Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan
Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman;
b) Rancangan Undang-Undang tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
c) Rancangan Undang-Undang tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum; dan
d) Rancangan Undang-Undang tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara. Untuk pembahasan empat Rancangan Undang-Undang tersebut, Presiden
kepada Ketua DPR dengan Amanat Presiden Nomor R.08/PU/V/ 2003 tanggal 29 Mei
2003 menunjuk Menteri Kehakiman dan Hak Asasi 4 Jurnal Legislasi Indonesia -
Volume 1 Nomor 1 Juli 2004 Manusia guna mewakili Pemerintah bersama DPR dalam
pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut di DPR. Selanjutnya Presiden
melalui surat Sekretaris Negara kepada Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia
Nomor B.149 tanggal 5 Juni 2003 memberi petunjuk dalam pembahasan Rancangan
Undang-Undang berpegang teguh pada Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998
tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang dan berkoordinasi
dengan instansi terkait. Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia dalam pembahasan
Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 membentuk Tim Inti dan Tim Asistensi
Pembahasan Rancangan Undang-Undang di DPR dengan Keputusan Menteri Kehakiman
dan Hak Asasi Manusia Nomor I.19.PR.09.03 Tahun 2003. Tim Inti dan Tim
Asistensi tersebut bertugas membantu Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia
menyiapkan jawaban dan bahan-bahan yang berkaitan dengan kegiatan pembahasan
Rancangan Undang-Undang. Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan Keputusan Badan
Musyawarah dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang diwakili oleh Panitia
Khusus Badan Legislasi.
e) Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, Menkeh
dan HAM (kanan) dan Prof. Dr. Abdul Gani Abdullah, SH., Dirjen Peraturan
Perundang-undangan (kiri), saat pembahasan RUU di DPR RI. Dalam pembahasan
Rancangan Undang-Undang di Dewan Perwakilan Rakyat dilakukan sesuai Keputusan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor : 03A/DPR RI/1/2001-2002
tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
5
Jurnal Legislasi Indonesia -Volume 1 Nomor 1 Juli 2004 Rancangan Undang-Undang
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan
Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, perubahan yang diajukan oleh DPR
hanya terdiri tiga pasal yakni mengubah Pasal 10, Pasal 13 dan menambah Pasal
10A. :
a) Perubahan Pasal 10, mengatur mengenai
penegasan kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi serta wewenangnya.
b) Pasal 10A, mengatur mengenai penegasan
pembentukan Komisi Yudisial dan wewenangnya serta pengaturannya dengan
undang-undang.
c) Perubahan Pasal 13, mengatur mengenai
penegasan pengadilan khusus yang dapat dibentuk dalam lingkungan peradilan
umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Perubahan
terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok-pokok
Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35
Tahun 1999 tersebut, hanya bersifat parsial.
Namun
ada beberapa pertimbangan bahwa Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 yaitu :
a) Perlu disesuaikan dengan perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah membawa perubahan
mendasar dalam kehidupan ketatanegaraan khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan
kehakiman dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat;
b) Menduduki tempat yang paling strategis
sebagai perangkat peraturan perundang-undangan di bidang peradilan untuk membangun
dan mengembangkan sistem peradilan nasional;
c) Sebagai landasan hukum dan menjamin
kepastian hukum dalam upaya segera mewujudkan kebijakan yang telah diletakkan
yakni pemisahan secara tegas antara fungsi kekuasaan eksekutif dan fungsi
kekuasaan yudikatif dengan menyatukan segala urusan yang menyangkut badan
peradilan yang berada dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara dalam satu atap di bawah
kekuasaan Mahkamah Agung;
d) Substansi yang diatur dalam pasal-pasal
perlu dibahas pasal demi pasal untuk dikaji dan dari segi perumusannya perlu
diubah, dihapus, ataupun ditambah Dengan pertimbangan tersebut di atas
perubahan terhadap UndangUndang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan
Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 356 Jurnal Legislasi Indonesia - Volume 1 Nomor 1 Juli 2004 Tahun 1999
disepakati antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dilakukan secara
komprehensif dengan mengganti undang-undang baru yakni mengenai Rancangan
Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman.
Berdasarkan
hasil pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman mengenai
pemisahan antara fungsi kekuasaan eksekutif dan fungsi kekuasaan yudikatif
dengan menyatukan segala urusan yang menyangkut badan peradilan yang berada
dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan
peradilan tata usaha Negara dalam satu atap di bawah kekuasaan Mahkamah Agung
diatur dalam Pasal 13 ayat (1), Pasal 24, dan Pasal 42 sampai dengan Pasal 46.
1) Pasal 13 ayat (1), mengatur mengenai
penegasan kembali bahwa organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah
Agung.
2) Pasal 24, mengatur mengenai tindak
pidana yang dilakukan bersamasama oleh mereka yang termasuk lingkungan
peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali dalam keadaan tertentu
menurut keputusan Ketua Mahkamah Agung perkara itu harus diperiksa dan diadili
oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
3) Pasal 42 sampai dengan Pasal 46
merupakan ketentuan peralihan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian
hukum dalam pelaksanaan pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial
dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan
peradilan tata usaha negara dari departemen-departemen yang bersangkutan berada
di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Pasal 42 sampai dengan Pasal 46 mengatur
mengenai :
·
batasan
jangka waktu secara ketat pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial
dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan
peradilan tata usaha Negara yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden dan ketentuan
mengenai penetapan Keputusan Presiden tersebut;
·
penegasan
status pegawai, pegawai yang menduduki jabatan struktural, dan aset
milik/barang inventaris badan-badan peradilan yang berada dalam lingkungan
peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha
negara;
·
batasan
jangka waktu Makhamah Agung menyusun organisasi dan tata kerja yang baru di
lingkungan Mahkamah Agung paling lambat dua belas bulan sejak Undang-Undang
tentang Kekuasaan Kehakiman diundangkan.
7
Jurnal Legislasi Indonesia -Volume 1 Nomor 1 Juli 2004 Adapun substansi baru
yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, antara
lain :
1) Penegasan penyelenggara kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi (Pasal 2).
2) Setiap orang yang sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipidana yakni segala campur
tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman
dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana diatur dalam Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 [Pasal 4 ayat (4)].
3) Pengadilan membantu pencari keadilan dan
berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya
peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan tidak hanya perkara pidana
tetapi juga perkara perdata dan perkara tata usaha negara [Pasal 5 ayat (2)].
4) Kewenangan, organisasi, administrasi,
dan finansial serta susunan kekuasaan dan hukum acara Mahkamah Konstitusi
[Pasal 12, Pasal 13 ayat (2), Pasal 14 ayat (2)].
5) Penegasan peradilan syariah Islam di
Provinsi Nanggroe Aceh Darrussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan
peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama,
dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang
kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum [Pasal 15 ayat (2)].
6) Putusan dapat diucapkan tanpa dihadiri
terdakwa [Pasal 18 ayat (2)].
7) Adanya kewajiban bagi setiap hakim
majelis untuk menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara
yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan,
jika dalam sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai kata mufakat bulat,
pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan, dan pelaksanaan lebih
lanjut diatur oleh Mahkamah Agung [Pasal 19 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6)].
8) Putusan pengadilan tingkat pertama, yang
tidak merupakan pembebasan dari dakwaan atau putusan lepas dari segala tuntutan
hukum, dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang
bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain [Pasal 21 ayat (2)].
9) Kewajiban pengunduran diri dari
persidangan bagi hakim atau panitera apabila ia mempunyai kepentingan langsung
atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya
sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara, dan apabila ketentuan ini
dilanggar maka putusannya dinyatakan tidak sah, terhadap hakim atau 8 Jurnal
Legislasi Indonesia - Volume 1 Nomor 1 Juli 2004 panitera bersangkutan
dikenakan sanksi administratif atau dipidana berdasarkan peraturan
perundang-undangan [Pasal 29 ayat (5) dan ayat (6)].
10) Penegasan pengaturan mengenai kedudukan,
syarat-syarat, tugas dan fungsi hakim (Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 33).
11) Penegasan pengaturan mengenai Komisi
Yudisial dan wewenangnya yang pengaturannya lebih lanjut diatur dengan undang-undang
[Pasal 34 ayat (1) dan ayat (4)].
12) Penegasan mengenai kedudukan panitera,
panitera pengganti, dan juru sita sebagai pejabat peradilan (Pasal 35).
13) Pengaturan mengenai badan-badan lain
yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman meliputi Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, dan badan-badan lainnya yang
diatur dengan undang-undang (Pasal 41).
14) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah
dengan UndangUndang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman
dinyatakan tidak berlaku (Pasal 48). Hasil pembahasan terhadap Rancangan
Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut disetujui oleh Panitia
Khusus Badan Legislasi dan Pemerintah untuk diambil keputusan dalam Rapat
Paripurna Terbuka DPR. Dengan disetujui Rancangan Undang-Undang tentang
Kekuasaan Kehakiman tersebut untuk diambil keputusan membawa konsekuensi pula
perubahan peraturan perundang-undangan di bidang peradilan lainnya untuk
disesuaikan dengan Rancangan Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman
tersebut.
Sehubungan dengan Undang-undang tersebut maka pada
saat pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas UndangUndang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Rancangan Undang-Undang tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, dan
Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara disepakati tidak dibatasi dengan
perubahan-perubahan sebagaimana tercantum dalam Rancangan Undang-Undang
inisiatif DPR tetapi perlu juga disesuaikan dengan hasil pembahasan Rancangan
UndangUndang tentang Kekuasaan Kehakiman.
2.5 Peran
Peradilan Agama dalam lingkungan Satu Atap
Perspektif
sejarah tentang pasang surut eksistensi Peradilan Agama di Indonesia tidak
hanya dipengaruhi oleh faktor politik kolonial saja (sebagaimana diketahui dari
fakta-fakta sejarah), namun faktor adanya konflik antara tiga sistem hukum yang
berlaku di Indonesia (Hukum Islam, Hukum Sipil/Barat, dan Hukum Adat) yang
kemudian diperuncing oleh konsep-konsep/teori-teori hukum yang dicetuskan para
ahli hukum kolonial pun memiliki andil atas pasang surutnya eksistensi
Peradilan Agama. Sebut saja teori Receptio in complexu (Prof. Mr. Lodewijk
William Christian Van Den Berg), teori Reseptie (Prof. Christian Snouck
Hurgronje dan C. Van vallenhoven), teori Receptie Exit (Prof. Dr. Hazairin,
SH.) dan teori Receptie a Contrario.[18]
Maka
peradilan agama sebagai sistem peradilan yang diakui sebagai sistem peradilan
nasional di Indonesia berada pada sistem kekuasaan pemerintahan di sektor
kekuasaan yudikatif atau kehakiman yang eksistensinya jika dilihat sebagaimana
ketentuan Pasal 2 Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan
Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, maka landasan hukum yang mengatur
tentang eksistensi peradilan agama secara hierarki sebagai berikut :[19]
·
UUD 1945
Pasal 24 dan 25 tentang Kekuasaan kehakiman
·
Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
Keberadaan
sistem Hukum Islam di Indonesia sejak lama telah dikukuhkan dengan berdirinya
sistem peradilan agama yang diakui dalam sistem peradilan nasional di
Indonesia. Bahkan dengan diundangkannya UU tentang Peradilan Agama tahun 1998,
kedudukan Pengadilan Agama Islam itu makin kokoh. Akan tetapi, sejak era
reformasi, dengan ditetapkannya Ketetapan MPR tentang Pokok-Pokok Reformasi
yang mengamanatkan bahwa keseluruhan sistem pembinaan peradilan diorganisasikan
dalam satu atap di bawah Mahkamah Agung.
2.6 Realisasi atau Langkah Pelaksanaan Sistem Peradilan
Satu Atap
Independensi kekuasaan lembaga peradilan tidak dapat
dilepaskan dari perdebatan teoritik tentang pemisahan kekuasaan (separation of
power), karena pemisahan kekuasaan dari cabang-cabang kekuasaan dari
cabang-cabang kekuasaan dimaksudkan untuk menjamin adanya independensi
kekuasaan lembaga peradilan.
Keterkaitan antara pemisahan kekuasaan dengan konsep
Negara hukum terletak pada pengaturan batas-batas kekuasaan yudikatif,
eksekutif, dan legislatife ataupun hubungan antara cabang-cabang kekuasaan
tersebut dalam konstitusi.
Teori independensi lembaga peradilan merupaka pilar
dari Negara hukum. Ini dimaksudkan untuk tidak adanya campur tangan
lembaga-lembaga diluar pengadilan, terutama kekuasaan eksekutif dan yudikatif
terhadap pelaksaan fungsi pengadilan.
Alexis de tocquivelle memberikan tiga cirri bagi
pelaksanaan kekuasaan lembaga peradilan yang independen:
Pertama; kekuasaan
lembaga peradilan di semua Negara merupakan pelaksana fungsi peradilan, dimana
lembaga peradilan hanya bekerja jika ada pelanggaran hukum atau hak warga
Negara tanpa ada suatu kekuasaan lainnya dapat melakukan intervensi.
Kedua; fungsi lembaga
peradilan hanya berlangsung kalau ada kasus pelanggaran kasus yang khusus.
Ketiga; kekuasaan
lembaga peradilan hanya berfungsi jika diperlukan dalam hal adanya sengketa
yang diatur dalam hukum.
Langkah Pelaksanaan Sistem Satu Atap ;
Diketahui secara Universal bahwa pada akhir
pemerintahan Orde Baru Indonesia, sebagaimana Negara-negara tetangganya,
tertimpa krisis moneter, yang diikuti krisi ekonomi, social, politik, budaya.
Krisis tersebut berlangsung dan berkepanjangan, sehingga terjadi reformasi di
semua bidang. Tak terkecuali UUD 1945 yang telah di amandemen beberapa kali,
demikian undang-undang juga menjabarankannya. Perumusan pasal 24 disempurnakan
dan ditambah dengan pasal 24A, 24B, dan 24C. pasal-pasal tersebut mengatur
kekuasaan lembaga peradilan. Pokok-pokok fikiran dalam pasal-pasal tersebut
antara lain:
1. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan.
2. Kekuasan kehakiman dilakukan oleh:
a. Sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan lingkungan
peradilan militer.
b. Sebuah mahkamah konstitusi.
3. Hakim Agung diusulkan oleh komisi
yudisial kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan dan kemudian ditetapkan oleh
presiden sebagai kepala Negara.
4. Ketua dan wakil ketua mahkamah Agung
dipilih oleh dan di antara hakim Agung.
5. Komisi yudisial bersifat mandiri
disamping memiliki wewenang mengusulkan hakim Agung, juga mempunyai wewenang
lainnya dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim.
Pada era reformasi untuk membenahai penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman telah dibentuk beberapa undang-undang dan peraturan
mengenai kekuasaan kehakiman dan badan-badan yang melaksanakannya, pada UU no.
4 Tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman perubahan atas UU no. 14.
Gagasan penerapan satu atap di peradilan agama ini
muncul dari Syamsuhadi Irsyad, sewaktu masih menduduki jabatan direktur
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam. Tahun 1999, yakni tentang:
Pemisahan
fungsi Yudikatif dan Eksekutif, ini diambil dari pasal 24 UUD 1945.
Implementasi Pemisahan Fungsi Yudikatif dan
Eksekutif, sebagaimana dalam Tap MPR No. X/MPR/1998, mengenai implementasi
pemisahan fungsi yudikatif ke eksekutif.
Pemindahan kewenangan mengurusi organisasi,
administrasi, dan finansial dari departemen (eksekutif) kepada Mahkamah Agung
(yudikatif), menjadikan Mahkamah Agung memiliki kewenangan teknis yudisial dan
kewenangan administrative manajerial. Mahkamah Agung menangani urusan teknis
dan administrative kekuasaan kehakiman dalam satu atap.
Sebagai realisasi dari pasal 42 UU 4/2004 dan
Keppres No. 21/2004 Menteri Agama telah menyerahkan organisasi, administrasi,
dan finansiil Peradilan Agama kepada Ketua Mahkamah Agung pada tanggal 30 Juni
2004. Yang sebelumnya pada tanggal 31 Maret 2004 Menteri Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia telah menyerahkan organisasi, administrasi dan finansiil dalm
lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara kepada ketua Mahkamah
Agung. Selanjutnya pada lingkungan Peradilan Militer pada tanggal 09 Juli 2004.
Dengan demikian empat lingkungan peradilan sebagai
pelaksana kekuasaan kehakiman di Negara kita baik pembinaan teknis yuridis dan
pengawasan maupun organisasi, administrasi, dan finansiil berada dalam satu
atap di bawah Mahkamah Agung sehingga kemerdekaan seorang hakim di harapkan
benar-benar lebih terjamin. Dalam pasal 4 ayat (3 dan 4) UU No. 4/2004
ditegaskan bahwa segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain
diluar kekuasaan kehakiman di larang dan setiap orang yang dengan sengaja
melanggar ketentuan tersebut dipidana.
BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Dari penjelasan umum UU Nomor 4 Tahun 2004 tersebut
dapat diajukan pertanyaan tentang siapa sebenarnya yang berkompeten memberikan
saran dan pendapat dan tentang materi atau masalah apa yang diberi saran saat
dilakukan pembinaan terhadap lembaga Peradilan Agama. Kedua pertanyaan tersebut
perlu diwacanakan dan didiskusikan secara terbuka dengan harapan dapat
memperoleh masukan yang bermanfaat bagi keberadaan Pengadilan Agama dimasa yang
akan datang.
Pelaksanaan peradilan satu atap dengan pengalihan
organisasi, administrasi dan keuangan kekuasaan kehakiman ke Mahkamah Agung
tidak akan mengubah kinerja peradilan. Pengalihan adalah pelaksanaan perintah
UU no 35 tahun 1999.
Sistem peradilan satu atap dibawah Mahkamah Agung
(MA) secara efektif telah dimulai 1 April 2004. Hasil revisi UU nomor 14/1985
tentang Mahkamah Agung yang telah ditetapkan DPR.
1.2 Saran
Harapan saya setelah tersusunnya
tugas ini dapat menambah ilmu pengetahuan bagi pembaca. Dan saya juga menyadari
tugas ini jauh dari kesempurnaan untuk itu saya mengharapkan keritik dan saran
yang bersifat membangun untuk di jadikan bahan acuan dalam pemuatan tugas
selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
.
Abdul
Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al Wajiz, (Bogor: Daar Ibnu Rajab, 2001)
Busthanul Arifin. 1993. “Peradilan
Agama di Indonesia”, dalam Mimbar Hukum: Aktualisasi Hukum Islam, Nomor 10
Tahun IV, hlm. 1-9. Jakarta: Al-Hikmah & Direktorat Pembinaan Badan
Peradilan Agama Islam.
Cik Hasan Bisri. 1997. Peradilan
Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Cetakan Pertama. Bandung: Remadja
Rosdakarya.
Mohammad Daud Ali, Pengantar Ilmu
Hukum dan tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
2005),
Mujahidin, Ahmad, Dr., Peradilan
Satu Atap di Indonesia (Bandung, Refika Aditama, 2007)
Yurzil
irza mahendra: Jurnal legislasi indonesia. Para digma satu atap. Dimahkamah
agung. 2004. Jakarta selatan: Penerbit: Direktorat Jenderal Peraturan
Perundang-undangan Departemen Kehakiman & HAM RI.
Zuhriah,
Erfaniah, M.H., Peradilan Agama di Indonesia (Malang, UIN Press, 2009)
Zainuddin Fajari. 2006. Paradigma
Baru Peradilan Agama. Makalah Disampaikan dalam Kegiatan Sosialisasi
Undang-undang tentang Peradilan Agama tanggal 12 Juli 2006 di Bandung.
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR....................................................................................... 1
DAFTAR ISI....................................................................................................... 2
BAB I : PENDAHULUAN.............................................................................. 3
1.1 Latar Belakang................................................................................... 3
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................. 4
1.3
Tujuan Penulisan.................................................................................. 4
1.4
Manfaat Penulisan............................................................................... 4
1.5
Metode Penulisan................................................................................ 5
BAB II : PEMBAHASAN ................................................................................ 6
2.1 Pengertian Peradilan Agama............................................................ 6
2.2 Perjuangan Peradilan Agama dan Eksistensinya............................. 10
2.3 peradilan satu atap di Mahkamah Agung........................................ 13
2.4 peradilan satu atap di Mahkamah Agung........................................ 13
2.5 Peran Peradilan Agama dalam Lingkungan Satu Atap.................... 13
2.6 Realisasi atau Langkah Pelaksanaan Sistem Peradilan
Satu Atap... 10
BAB III : PENUTUP........................................................................................... 15
3.1
Kesimpulan....................................................................................... 15
3.2
Saran................................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 17
[1]
Cik Hasan Basri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003), hal. 2.
[2]
Mohammad Daud Ali, Pengantar Ilmu Hukum dan tata Hukum Islam di Indonesia,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2005), hal. 278.
[3]
Cik Hasan Basri, Peradilan Agama di Indonesia…, hal. 3.
[4]
QS. Al-Maidah ayat 49
[5]
Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al Wajiz, (Bogor: Daar Ibnu Rajab, 2001),
hal. 7
[6]
Ahsan Dawi Mansur, Paradigma Baru Peradilan Agama
[7]
Ahsan Dawi Mansur, Paradigma Baru Peradilan Agama
[8]
Yurzil irza mahendra: Jurnal legislasi indonesia. Para digma satu atap.
Dimahkamah agung. Hlm: vi
[9]
Ibid: hlm: vi
[10]
ibid
[11]
Yurzil irza mahendra: Jurnal legislasi indonesia. Para digma satu atap.
Dimahkamah agung. Hlm: vii
[12]
Ibid: hlm vii
[13]
Pendapat hadi suorianto dalam jurnal Jurnal legislasi indonesia. Para digma
satu atap. Dimahkamah agung. Oleh: Yurzil irza mahendra. Hlm: 1
[14]
Pendapat hadi suorianto dalam jurnal Jurnal legislasi indonesia. Para digma
satu atap. Dimahkamah agung. Oleh: Yurzil irza mahendra. Hlm: 1
[15]
Ibid: hlm 2
[16]
Ibid hlm: 5
[17]
Pendapat hadi suorianto dalam jurnal Jurnal legislasi indonesia. Para digma
satu atap. Dimahkamah agung. Oleh: Yurzil irza mahendra. Hlm: 7
[18]
Raj Firass Cakrayukti, Satu Atap dalam Mahkamah Agung RI
[19]
Raj Firass Cakrayukti, Satu Atap dalam Mahkamah Agung RI.
No comments:
Post a Comment