MAKALAH PERADILAN AGAMA SATU ATAP






BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Keberadaan sistem Hukum Islam di Indonesia sejak lama telah dikukuhkan dengan berdirinya sistem peradilan agama yang diakui dalam sistem peradilan nasional di Indonesia. Bahkan dengan diundangkannya UU tentang Peradilan Agama tahun 1998, kedudukan Pengadilan Agama Islam itu makin kokoh. Akan tetapi, sejak era reformasi, dengan ditetapkannya Ketetapan MPR tentang Pokok-Pokok Reformasi yang mengamanatkan bahwa keseluruhan sistem pembinaan peradilan diorganisasikan dalam satu atap di bawah Mahkamah Agung.
Sistem peradilan satu atap dibawah Mahkamah Agung (MA) yang efektifnya akan dimulai 1 April 2004. Hasil revisi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang telah ditetapkan DPR belum lama ini menyebutkan sistem peradilan satu atap dibawah MA selambatnya harus sudah dilaksanakan akhir Maret 2004. Dengan terbentuknya sistem peradilan satu atap dibawah Mahkamah Agung menurut Bagir Manan maka struktur peradilan dibawah Departemen Kehakiman dan HAM serta Departemen Agama akan berpindah ke struktur Mahkamah Agung Republik Indonesia. Namun dengan belum selesainya penyusunan struktur organisasinya, maka struktur peradilan dibawah Departemen Kehakiman dan Departemen Agama belum akan segera dipindahkan ke lingkungan MA. Undang-Undang tentang Mahkamah Agung memberi waktu kepada MA untuk menyiapkan struktur organisasi peradilan satu atap tersebut selama satu tahun.
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka upaya dan langkah pensatu-atapan lembaga Peradilan Agama ke dalam Mahkamah Agung RI, terlepas ide dan gagasan kearah satu atap itu terinisiatif dari dalam orang-orang Peradilan Agama sendiri atau sebuah reaksi dari kenyataan sejarah dan hukum, sebagaimana telah dipaparkan diatas dan Abdul Gani Abdullah ungkap bahwa Peradilan Agama satu atap dalam Mahkamah Agung RI sebenarnya telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999, meski masalah penetapan waktunya tidak ditentukan hal tersebut secara analisis teoritis karena persoalan Peradilan Agama menjadi satu atap dengan Mahkamah Agung RI bukan masalah berat bagi Departemen Agama RI, tetapi lebih dari karena eksistensi perjalanan sejarah Peradilan Agama itu sendiri yang sejak dulu hingga kini eksistensinya tidak dapat dipisahkan dengan perjuangan umat Islam dan ulama dimana kecenderungan masyarakat atau umat Islam dan ulama, kiai (MUI) cenderung kurang menyetujui keinginan dan gagasan tersebut.
Maka kehati-hatian untuk mencapai arah pensatu-atapan lembaga Peradilan Agama dalam Mahkamah Agung RI secara total harus ekstra diperhatikan, Jangan sampai tepatnya moment, adanya kesempatan dan besarnya dukungan terutama dari orang-orang legislative yang nampaknya begitu bersemangat untuk mendukung Peradilan Agama menyatu secara administratif dan teknis yuridis ke Mahkamah Agung menjadi sebuah euforia, sehingga dalam merealisasikan dan mengakhtuaisasikan harapan tersebut tidak memperhatikan hal-hal kecil namun memiliki sensitifitas yang tinggi dan dapat menimbulkan konflik kedepan
Peradilan Agama merupakan salah satu dari empat lingkungan peradilan, yang di antaranya adalah Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradlan Tata Usaha Negara. Selain itu Peradilan Agama juga merupakan peradilan khusus, yang mana diartikan peradilan khusus karena PA mengadili perkara-perkara tertentu yaitu hanya berwenang di bidang perdata Islam saja dan juga hanya diperuntukkan bagi orang-orang Islam saja.
Peradilan satu atap adalah bahwa empat lingkungan peradilan yakni Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara berpuncak pada Mahkamah Agung, yang merupakan peradilan tingkat terakhir serta melakukan pengawasan tertinggi bagi keempat lingungan peradilan tersebut.
1.2       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan diatas dapat dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut :
  1. Apa pengertian Peradilan Agama ?
  2. Bagaimana perjuangan Peradilan Agama dan eksistensinya ?
  3. Bagaimana di bawah Mahkama peradilan agama Agung ?
  4. Bagaimana Pemisahaan Fungsi Kekuasaan Eksekutif dan Yudikatif ?
  5. Bagaimana peran Peradilan Agama dalam lingkungan Satu Atap ?
  6. Bagaimana Realisasi atau langkah pelaksanaan system peradilan satu atap ?
1.2 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan tugas ini adalah sebagaimana berikut :
1.      Untuk mengetahui pengertian Peradilan Agama.
2.      Untuk mengetahui perjuangan Peradilan Agama dan eksistensinya.
3.      Untuk mengetahui di bawah Mahkama peradilan agama Agung.
4.      Untuk mengetahui Pemisahan Fungsi Kekuasaan Eksekutif dan Yudikatif.
5.      Untuk mengetahui peran Peradilan Agama dalam lingkungan Satu Atap.
6.      Untuk mengetahui Realisasi atau langkah pelaksanaan system peradilan satu atap.
1.3 Manfaat Penulisan
1.      Memberi pengetahuan baru tentang peradilan dengan system peradilan satu atap.
2.      Memberi cakrawala baru pada pembaca system satu atap..
3.      Memberi pengetahuan baru kepada pembaca perihal Realisasi atau langkah pelaksanaan system peradilan satu atap.
4.      Bagi peneliti, makalah ini sebagai penambah ilmu pengetahuan dan wawasan.
5.      Bagi pihak lain, makahlah ini sebagai bahan pertimbangan dan acuan untuk penelitian lebih lanjut.

1.4  Metode Penulisan
Dari pembuatan dan penulisan tugas “Peradilan Agama dalam Prespektif Satu Atap” ini, penulis menggunakan metode studi pustaka yaitu salah satu metode yang digunakan dalam penulisan Karya Tulis (tugas) dengan cara mengumpulkan literatur baik berasal dari berbagai buku dan mencari inti-inti pembahasan mahar. Sehingga menjadi sebuah bahasan yang menarik pada tugas ini.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1     Apa pengertian Peradilan Agama
Dalam kamus Bahasa Indonesia, peradilan adalah segala sesuatu mengenai perkara peradilan.[1] Peradilan juga dapat diartikan suatu proses pemberian keadilan disuatu lembaga.[2] Dalam kamus Bahasa Arab disebut dengan istilah qadha yang berarti menetapkan, memutuskan, menyelesaikan, mendamaikan. Qadha menurut istilah adalah penyelesaian sengketa antara dua orang yang bersengketa, yang mana penyelesaiannya diselesaikan menurut ketetapan-ketetapan (hukum) dari Allah dan Rasul. Sedangkan pengadilan adalah badan atau organisasi yang diadakan oleh negara untuk mengurus atau mengadili perselisihan-perselisihan hukum.[3]
Peradilan Agama adalah proses pemberian keadilan berdasarkan hukum agama Islam kepada orang-orang Islam yang dilakukan di Pengadilan agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Sebagai lembaga peradilan, peradilan agama dalam bentuknya yang sederhana berupa tahkim,  yaitu lembaga penyelesaian sengketa antara orang-orang Islam yang dilakukan oleh para ahli agama, dan telah lama ada dalam masyarakat indonesia yakni sejak agama islam datang ke Indonesia
Peradilan disyari’atkan di dalam Al Quran dan hadits Nabi. Sebagaimana dijelaskan di dalam Al Quran surah al-Maidah ayat 49 :
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ (49)
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang Telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang Telah diturunkan Allah), Maka Ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik”.[4]
Dan hadits yang menunjukkan pensyari’atan peradilan adalah :
Apabila seorang hakim berijtihad kemudian ia benar, maka ia memperoleh dua pahala dan apabila ia berijtihad namun salah, maka ia memperoleh satu pahala”.[5]
2.2     Perjuangan Peradilan Agama dan Eksistensinya
Peradilan Agama merupakan lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelanggarakan peradilan agama, menegakan hukum dan keadilan. Eksistensi peradilan agama telah menjadikan umat Islam Indonesia terlayani dalam penyelesaian masalah perkahwinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah. Peradilan agama hendak menegakkan substansi nilai-nilai hukum yang mewarnai kehidupan umat Islam.
Perubahan signifikan di bidang ketatanegaran dalam sistem peradilan adalah penyatu-atapan semua lembaga peradilan (One Roof System) di bawah Mahkamah Agung RI. Reformasi sistem peradilan tersebut diawali dengan kemasukan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dalam amendmen ketiga UUD 1945 dan dilanjutkan dengan disahkannya UU Nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan perdilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan perdilan militer, lingkungan perdilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.[6]
Konsekuensi dari penyatu-atapan lembaga peradilan adalah pengalihan organisasi, administrasi dan finansial Peradilan Agama dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung. Pengalihan tersebut sebagai bagian dari perwujudan reformasi hukum untuk menciptakan kelembagaan negara yang lebih kondusif  bagi tercapainya tatanan yang lebih demokratis dan transparen.
Meskipun telah beralih ke Mahkamah Agung, hubungan antara Pengadilan Agama dan Departemen Agama akan terus berlangsung melalui peran Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berwenang untuk memberikan penetapan (itsbat) kesaksian melihat bulan (rukyat al-hilal) dalam penentuan awal bulan pada tahun hijriyah (terutama awal bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah). Perlaksanaan rukyat hilal dilakukan oleh Departemen Agama dan lembaga/ormas-ormas Islam, sedangkan penetapan (itsbat) terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau menyaksikan hilal (bulan baru) menjelang awal bulan hijriyah dilakukan oleh Pengadilan Agama. Berkaitan dengan hisab rukyat Pengadilan Agama juga dapat memberi keterangan atau nasehat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu solat. Di sisi lain, baik Pengadilan Agama maupun Departemen Agama juga mempunyai kesamaan fungsi dalam pembinaan keluarga sakinah.
Untuk menyahut cabaran dan merespon dinamika dan kebutuhan masyarakat, UU Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama memberikan perluasan kewenangan sebagaimana terdapat dalam Pasal 49. Pengadilan Agama bertugas dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkahwinan, waris , wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah.
Dalam bidang perkahwinan Pengadilan Agama mempunyai kewenangan absolut dalam mengadili dan menyelesaikan masalah penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam. Sebelum lahirnya UU Nomor 3 tahun 2006 kewenangan Pengadilan Agama dalam pengangkatan anak yang merupakan bagian dari bidang perkahwinan sering dipertanyakan banyak pihak meskipun telah lama dipraktekkan. Kini perkara pengangkatan anak di Peradilan Agama telah mendapat landasan hukum yang kuat dan jelas.
Pada awal pembetukan UU Nomor 3 tahun 2006 wacana yang berkembang dalam antara lain pemberian kewenangan sengketa bank syariah kepada Pengadilan Agama seiring tumbuhnya bank-bank syariah di Indonesia. Dalam perkembangannya tidak hanya mencakup bank syariah, namun meliputi ekonomi syariah yang kemudian diakomodir dalam undang-undang ini. Jika diperinci kewenangan Pengadilan Agama dalam ekonomi syariah mencakup: bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menegah syariah dan bisnis syariah.
Rumusan Pasal 2 UU Nomor 3 tahun 2006 menyebutkan Pengadilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu, berbeda dengan kewenangan sebelumnya yang terbatas pada perkara perdata tertentu. Ketentuan ini menunjukkan bahwa Pengadilan Agama berwenang menangani perkara pidana, terutama berkaitan dengan pelanggaran terhadap Undang-Undang Perkahwinan dan peraturan di bawahnya. Ketentuan pidana yang dimaksud seperti ancaman pidana terhadap pelaku penikahan yang tidak dilakukan di hadapan pegawai pencatat nikah, namun perlaksanaanya tidak berjalan efektif. Pelanggaran perkahwinan sangat jarang yang diproses, kalaupun ada biasanya diproses dengan ketentuan Pasal 279 KUHP, sehingga diperlukan payung hukum dan institusi yang diharapkan dapat menegakkan aturan mengenai pelanggaran perkahwinan iaitu Pengadilan Agama.[7]
Perubahan signifikan lainnya dari UU Nomor 3 tahun 2006 adalah mengenai subjek hukum yang diperluas menjadi tidak hanya orang Islam dalam pengertian teologis, akan tetapi termasuk orang atau badan hukum yang menundukkan diri secara sukarela kepada hukum Islam. Pilihan hukum dalam perkara waris (alinea 2 Penjelasan umum UU Nomor 7 tahun 1989) dihilangkan. Dengan demikian perkara kewarisan bagi orang Islam mutlak menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama.
Kewenangan Peradilan Agama yang semakin luas harus diimbangi dengan peningkatan sumber daya manusia (SDM), aparatur pengadilan, sarana dan prasarana yang memadai, serta ketentuan hukum yang aplikatif. Dengan demikian paradigma baru Peradilan Agama benar-benar dapat menjawab tuntutan dan masalah hukum yang berkembang di masyarakat.

2.3  Peradilan Satu Atap di Mahkamah Agung
Tahun 2004 ini Indonesia memasuki babak baru dalam kehidupan ketatanegaraan yang berkaitan dengan masalah penyelenggaraan fungsi kekuasaan kehakiman. Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai ganti dari Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman menetapkan bahwa kewenangan di bidang organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung (Pasal 13 ayat (1)).[8]
Sesuai dengan masa transisi yang ditetapkan, untuk lingkungan peradilan umum dan peradilan tata usaha negara kewenangan tersebut beralih dari Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia kepada Ketua Mahkamah Agung dan telah dilaksanakan tanggal 31 Maret 2004, disusul dengan pengalihan kewenangan dalam lingkungan peradilan agama dari Menteri Agama ke Mahkamah Agung pada tanggal 30 Juni 2004 (Keppres No. 21 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Pengalihan Urusan Organisasi, Administrasi dan Finansial Lembaga Peradilan ke Makamah Agung). Pengalihan fungsi pokok tersebut didasarkan kepada amanah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang menghendaki adanya jaminan kemerdekaan penyelenggaraan peradilan guna penegakan hukum dan keadilan. Pasal 24 ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 hasil amandemen mengatur: “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.[9]
Dengan menelusuri kembali pemikiran yang pernah berkembang sebelumnya, kita dapat mengatakan bahwa gagasan tentang pengalihan kekuasaan kehakiman ke Mahkamah Agung, yang sering disebut “kebijakan kekuasaan kehakiman di bawah satu atap” mempunyai kaitan historis dengan Memorandum Ikatan Hakim Indonesia tentang Perbaikan terhadap Kedudukan Kekuasaan Kehakiman yang Sesuai Dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Menurut Tafsiran Orde Baru (TAP MPRS No. XX/MPRS/1966), yang dirumuskan berdasarkan hasil Mukernas Ujung Pandang (23 Oktober 1996) yang disampaikan kepada pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia/Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Panitia Penyusunan GBHN 1998.
Memorandum itu berpendapat bahwa “kekuasaan kehakiman” menurut Editorial vii Jurnal Legislasi Indonesia -Volume 1 Nomor 1 Juli 2004 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 adalah kekuasaan yang utuh dan mempunyai kualitasnya tersendiri yang berbeda dengan kekuasaan lain dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yang harus terlepas dari kekuasaan pemerintah. Undang-undang No. 14 Tahun 1970 dijiwai oleh aliran “positivisme yang otoriter legistis”, yaitu aliran filsafat otoriter yang tidak sesuai dengan filsafat Pancasila. Memorandum itu mendesak agar Undang-undang No. 14 Tahun 1970 dan lain-lain undang-undang yang berkaitan dengan hukum dan kekuasaan kehakiman segera dicabut atau setidak-tidaknya ditinjau kembali.
Kebijakan satu atap kekuasaan kehakiman tersebut sebenarnya telah dipertegas sejak ditetapkannya TAP MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang GBHN yang salah satunya menetapkan tentang perwujudan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak manapun. Hal tersebut kemudian diatur kembali dalam Undang-undang No. 35 tahun 1999 tentang Perubahan Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang pada intinya mengatur bahwa pengalihan fungsi organisasi, administrasi, dan finansial kekuasaan kehakiman dilaksanakan secara bertahap, paling lama lima tahun sejak Undang-undang tersebut mulai berlaku. Itu berarti bahwa batas pengalihan fungsi kehakiman ke bawah Mahkamah Agung ini sudah harus selesai dilaksanakan pada tahun 2004 ini.
Pelaksanaan ajaran “trias politica” Montesquieu di Indonesia tidaklah dalam pengertian “pemisahan kekuasaan” (separation of power)melainkan “pembagian kekuasaan” (division of power), sehingga kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif sebagai organ negara menurut Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 tidaklah terpisah secara tegas, melainkan terdapat hubungan fungsional kelembagaan satu sama lainnya. Maksudnya adalah bahwa sistem kekuasaan atau kedaulatan rakyat yang dianut bangsa Indonesia pertama-tama diwujudkan secara penuh dalam Majelis Pemusyawaratan Rakyat sebagai “lembaga tertinggi negara” yang merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Dari majelis inilah kekuasaan rakyat itu dibagi-bagikan kedalam fungsi-fungsi lembaga Presiden (pemerintah) yang merupakan pihak eksekutif dan lembaga DPR sebagai pengendali atau pengawasnya, dan yudikatif sebagai penyelenggara fungsi kehakiman.[10]
Paradigma tentang pembagian kekuasaan tersebut telah mengalami berbagai pergeseran karena amandemen terhadap UUD 1945 sebanyak empat kali. MPR tidak lagi memegang peran penting. GBHN dihapus, dan titik berat kekuasaan tidak berada pada Presiden. Pemisahan kekuasaan antara fungsi eksekutif dengan yudikatif tentang organsisasi, administrasi dan finansial sebagaimana dikehendaki oleh viii Jurnal Legislasi Indonesia - Volume 1 Nomor 1 Juli 2004 Undang-undang No. 4 tahun 2004 menuntut adanya mekanisme yang dapat mengatur hubungan antara yudikatif dan eksekutif dan seharusnya dilaksanakan dengan tetap memperhatikan mekanisme ‘check and balance’ antar lembaga negara, sehingga hubungan antara eksekutif dan yudikatif tersebut dapat saling mengimbangi sesuai tugas dan fungsinya sebagaimana diatur dalam undang-undang.[11]
Kebijakan satu atap kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung diharapkan dapat mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari campur tangan eksekutif (pemerintah) dan pihak lain serta memenuhi rasa keadilan yang hidup di tengah masyarakat.[12]

2.4 Pemisahan fungsi Kekuasaan Eksekutif dan Yudikatif
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.[13]
Dalam usaha memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka, sesuai dengan tuntutan reformasi di bidang hukum dalam Sidang Istimewa MPR-RI yang berlangsung tanggal 10 sampai dengan tanggal 13 Nopember 1999 telah menghasilkan berbagai ketetapan, antara lain Tap. MPR-RI Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.[14]
Pemerintah menyadari sepenuhnya kehendak rakyat yang tercermin dalam Tap. MPR-RI Nomor X/MPR/1998 tersebut, yang menginginkan terwujudnya kekuasaan kehakiman yang merdeka dan supremasi hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Di dalam Tap. MPR-RI Nomor X/MPR/1998 khususnya BAB C Hukum menegaskan perlunya reformasi di bidang hukum untuk mendukung penanggulangan krisis di bidang hukum. Salah satu amanat dalam Tap. MPR-RI tersebut yang harus dijalankan adalah “pemisahan yang tegas antara fungsi kekuasaan eksekutif dan fungsi kekuasaan yudikatif.” Pemisahan ini dilaksanakan dengan mengalihkan organisasi, administratif, dan finansial badan-badan peradilan yang semula di bawah departemen-departemen yang bersangkutan menjadi di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Hal tersebut disebabkan dalam perjalanan waktu lebih dari tiga dasawarsa terbukti pelaksanaan “kekuasaan kehakiman yang merdeka” itu ternyata tidak sepenuhnya dilaksanakan dengan baik terdapat indikasi berbagai penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang peradilan.[15]
Bentuk penyimpangan tersebut antara lain terdapat campur tangan atau intervensi baik yang bersifat horizontal maupun vertikal dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka khususnya terhadap kemandirian hakim dalam memutus perkara dan tumbuh suburnya praktekpraktek kolusi, korupsi, dan nepotisme dalam proses peradilan. Namun demikian berbagai ekses penyimpangan tersebut sangat sulit diatasi karena sistem kekuasaan yang sangat dominan dari pihak eksekutif selama lebih dari tiga dasawarsa telah memandulkan kekuasaan kehakiman yang 2 Jurnal Legislasi Indonesia - Volume 1 Nomor 1 Juli 2004 merdeka sebagai pengawal utama supremasi hukum dan tidak mampu berperan dengan baik sebagai pengaman terhadap semua tindakan inkonstitusional maupun sebagai benteng terakhir penegakan hukum, keadilan, dan demokrasi (the Independence of Judiciary is core element of supremacy of law and democracy). Berdasarkan hal tersebut, agar lingkup penulisan ini dengan topic “pemisahan fungsi kekuasaan eksekutif dan fungsi kekuasaan yudikatif” menjadi jelas cakupannya dibatasi mengenai pembahasan perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokokpokok Kekuasaan Kehakiman di DPR. Hal ini dengan pertimbangan bahwa Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman sebagai landasan hukum yang mengatur mengenai fungsi kekuasaan eksekutif dan fungsi kekuasaan yudikatif dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.
Untuk mewujudkan amanat Tap. MPR-RI Nomor X/MPR/1998, Presiden kepada Ketua DPR dengan Amanat Presiden Nomor R.29/PU/VI/1999 pada tanggal 9 Juni 1999 menyampaikan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman untuk dibahas bersama dengan DPR dan mendapat persetujuan. Hasil pembahasan.
Rancangan Undang-Undang tersebut pada tanggal 31 Agustus 1999 oleh Presiden telah disahkan dan diundangkan oleh Menteri Negara Sekretaris Negara menjadi UndangUndang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 144;[16]
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3879). Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman untuk pemisahan fungsi kekuasaan eksekutif dan fungsi kekuasaan yudikatif meliputi Pasal 11 dan Pasal 22 dengan menambah Pasal 11A dan Pasal 40A.
1.      Perubahan Pasal 11, karena pasal tersebut mengandung substansi yang sangat penting yakni menyangkut masalah pengaturan mengenai aspek organisatoris, administratif, dan finansial dari badan-badan peradilan.
Dengan perubahan Pasal 11 tersebut maka berarti telah terjadiperpindahan kekuasaan organisatoris, administratif, dan finansial badanbadan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara dari departemendepartemen yang bersangkutan menjadi di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
2.      Penambahan Pasal 11A mengatur mengenai jangka waktu perpindahan yang menyangkut urusan organisatoris, administratif, dan financial badan-badan peradilan berada satu atap di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Pelaksanaan kebijaksanaan ini harus dilaksanakan paling lambat 3 Jurnal Legislasi Indonesia -Volume 1 Nomor 1 Juli 2004 lima tahun sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, tetapi peradilan agama tidak ditentukan jangka waktunya.
3.      Perubahan terhadap Pasal 22, menyangkut pengaturan mengenai tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Hal ini perlu diubah dengan pertimbangan Mahkamah Agung tidak terlibat dalam penentuan kewenangan peradilan terhadap perkara koneksitas dan penunjukan hakim yang akan mengadili. Kewenangan tersebut ditetapkan oleh Menteri Pertahanan Keamanan atas persetujuan Menteri Kehakiman. Dengan perubahan ini kewenangannya ditetapkan menurut Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
4.      Penambahan Pasal 40A mengatur mengenai semua peraturan perudangundangan sebagai pelaksanaan Pasal 11 atau yang berkaitan dengan Pasal 22 masih tetap berlaku sepanjang belum diganti dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang baru. Sehubungan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999, Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai pemegang kekuasaan pembentuk undangundang, melalui Ketua DPR kepada Presiden dengan Surat Nomor RU.02/ 5757/DPR-RI/2002 tanggal 25 Oktober 2002 menyampaikan 4 (empat) Rancangan Undang-Undang di bidang hukum sebagai inisiatif DPR untuk dibahas bersama antara Pemerintah dengan DPR. Rancangan UndangUndang tersebut, yakni :[17]
a)      Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman;
b)      Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
c)      Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum; dan
d)     Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Untuk pembahasan empat Rancangan Undang-Undang tersebut, Presiden kepada Ketua DPR dengan Amanat Presiden Nomor R.08/PU/V/ 2003 tanggal 29 Mei 2003 menunjuk Menteri Kehakiman dan Hak Asasi 4 Jurnal Legislasi Indonesia - Volume 1 Nomor 1 Juli 2004 Manusia guna mewakili Pemerintah bersama DPR dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut di DPR. Selanjutnya Presiden melalui surat Sekretaris Negara kepada Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Nomor B.149 tanggal 5 Juni 2003 memberi petunjuk dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang berpegang teguh pada Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang dan berkoordinasi dengan instansi terkait. Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 membentuk Tim Inti dan Tim Asistensi Pembahasan Rancangan Undang-Undang di DPR dengan Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Nomor I.19.PR.09.03 Tahun 2003. Tim Inti dan Tim Asistensi tersebut bertugas membantu Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia menyiapkan jawaban dan bahan-bahan yang berkaitan dengan kegiatan pembahasan Rancangan Undang-Undang. Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan Keputusan Badan Musyawarah dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang diwakili oleh Panitia Khusus Badan Legislasi.
e)      Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, Menkeh dan HAM (kanan) dan Prof. Dr. Abdul Gani Abdullah, SH., Dirjen Peraturan Perundang-undangan (kiri), saat pembahasan RUU di DPR RI. Dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang di Dewan Perwakilan Rakyat dilakukan sesuai Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor : 03A/DPR RI/1/2001-2002 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
5 Jurnal Legislasi Indonesia -Volume 1 Nomor 1 Juli 2004 Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, perubahan yang diajukan oleh DPR hanya terdiri tiga pasal yakni mengubah Pasal 10, Pasal 13 dan menambah Pasal 10A. :
a)      Perubahan Pasal 10, mengatur mengenai penegasan kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi serta wewenangnya.
b)      Pasal 10A, mengatur mengenai penegasan pembentukan Komisi Yudisial dan wewenangnya serta pengaturannya dengan undang-undang.
c)      Perubahan Pasal 13, mengatur mengenai penegasan pengadilan khusus yang dapat dibentuk dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tersebut, hanya bersifat parsial.
Namun ada beberapa pertimbangan bahwa Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 yaitu :
a)      Perlu disesuaikan dengan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah membawa perubahan mendasar dalam kehidupan ketatanegaraan khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat;
b)      Menduduki tempat yang paling strategis sebagai perangkat peraturan perundang-undangan di bidang peradilan untuk membangun dan mengembangkan sistem peradilan nasional;
c)      Sebagai landasan hukum dan menjamin kepastian hukum dalam upaya segera mewujudkan kebijakan yang telah diletakkan yakni pemisahan secara tegas antara fungsi kekuasaan eksekutif dan fungsi kekuasaan yudikatif dengan menyatukan segala urusan yang menyangkut badan peradilan yang berada dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara dalam satu atap di bawah kekuasaan Mahkamah Agung;
d)     Substansi yang diatur dalam pasal-pasal perlu dibahas pasal demi pasal untuk dikaji dan dari segi perumusannya perlu diubah, dihapus, ataupun ditambah Dengan pertimbangan tersebut di atas perubahan terhadap UndangUndang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 356 Jurnal Legislasi Indonesia - Volume 1 Nomor 1 Juli 2004 Tahun 1999 disepakati antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dilakukan secara komprehensif dengan mengganti undang-undang baru yakni mengenai Rancangan Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman.
Berdasarkan hasil pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman mengenai pemisahan antara fungsi kekuasaan eksekutif dan fungsi kekuasaan yudikatif dengan menyatukan segala urusan yang menyangkut badan peradilan yang berada dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha Negara dalam satu atap di bawah kekuasaan Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 13 ayat (1), Pasal 24, dan Pasal 42 sampai dengan Pasal 46.
1)      Pasal 13 ayat (1), mengatur mengenai penegasan kembali bahwa organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
2)      Pasal 24, mengatur mengenai tindak pidana yang dilakukan bersamasama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali dalam keadaan tertentu menurut keputusan Ketua Mahkamah Agung perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
3)      Pasal 42 sampai dengan Pasal 46 merupakan ketentuan peralihan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara dari departemen-departemen yang bersangkutan berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Pasal 42 sampai dengan Pasal 46 mengatur mengenai :
·         batasan jangka waktu secara ketat pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha Negara yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden dan ketentuan mengenai penetapan Keputusan Presiden tersebut;
·         penegasan status pegawai, pegawai yang menduduki jabatan struktural, dan aset milik/barang inventaris badan-badan peradilan yang berada dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara;
·         batasan jangka waktu Makhamah Agung menyusun organisasi dan tata kerja yang baru di lingkungan Mahkamah Agung paling lambat dua belas bulan sejak Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman diundangkan.
7 Jurnal Legislasi Indonesia -Volume 1 Nomor 1 Juli 2004 Adapun substansi baru yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, antara lain :
1)      Penegasan penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (Pasal 2).
2)      Setiap orang yang sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipidana yakni segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana diatur dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 [Pasal 4 ayat (4)].
3)      Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan tidak hanya perkara pidana tetapi juga perkara perdata dan perkara tata usaha negara [Pasal 5 ayat (2)].
4)      Kewenangan, organisasi, administrasi, dan finansial serta susunan kekuasaan dan hukum acara Mahkamah Konstitusi [Pasal 12, Pasal 13 ayat (2), Pasal 14 ayat (2)].
5)      Penegasan peradilan syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darrussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum [Pasal 15 ayat (2)].
6)      Putusan dapat diucapkan tanpa dihadiri terdakwa [Pasal 18 ayat (2)].
7)      Adanya kewajiban bagi setiap hakim majelis untuk menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan, jika dalam sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai kata mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan, dan pelaksanaan lebih lanjut diatur oleh Mahkamah Agung [Pasal 19 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6)].
8)      Putusan pengadilan tingkat pertama, yang tidak merupakan pembebasan dari dakwaan atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain [Pasal 21 ayat (2)].
9)      Kewajiban pengunduran diri dari persidangan bagi hakim atau panitera apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara, dan apabila ketentuan ini dilanggar maka putusannya dinyatakan tidak sah, terhadap hakim atau 8 Jurnal Legislasi Indonesia - Volume 1 Nomor 1 Juli 2004 panitera bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana berdasarkan peraturan perundang-undangan [Pasal 29 ayat (5) dan ayat (6)].
10)  Penegasan pengaturan mengenai kedudukan, syarat-syarat, tugas dan fungsi hakim (Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 33).
11)  Penegasan pengaturan mengenai Komisi Yudisial dan wewenangnya yang pengaturannya lebih lanjut diatur dengan undang-undang [Pasal 34 ayat (1) dan ayat (4)].
12)  Penegasan mengenai kedudukan panitera, panitera pengganti, dan juru sita sebagai pejabat peradilan (Pasal 35).
13)  Pengaturan mengenai badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman meliputi Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, dan badan-badan lainnya yang diatur dengan undang-undang (Pasal 41).
14)  Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman dinyatakan tidak berlaku (Pasal 48). Hasil pembahasan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut disetujui oleh Panitia Khusus Badan Legislasi dan Pemerintah untuk diambil keputusan dalam Rapat Paripurna Terbuka DPR. Dengan disetujui Rancangan Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut untuk diambil keputusan membawa konsekuensi pula perubahan peraturan perundang-undangan di bidang peradilan lainnya untuk disesuaikan dengan Rancangan Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut.
Sehubungan dengan Undang-undang tersebut maka pada saat pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, dan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara disepakati tidak dibatasi dengan perubahan-perubahan sebagaimana tercantum dalam Rancangan Undang-Undang inisiatif DPR tetapi perlu juga disesuaikan dengan hasil pembahasan Rancangan UndangUndang tentang Kekuasaan Kehakiman.
  
2.5 Peran Peradilan Agama dalam lingkungan Satu Atap
Perspektif sejarah tentang pasang surut eksistensi Peradilan Agama di Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh faktor politik kolonial saja (sebagaimana diketahui dari fakta-fakta sejarah), namun faktor adanya konflik antara tiga sistem hukum yang berlaku di Indonesia (Hukum Islam, Hukum Sipil/Barat, dan Hukum Adat) yang kemudian diperuncing oleh konsep-konsep/teori-teori hukum yang dicetuskan para ahli hukum kolonial pun memiliki andil atas pasang surutnya eksistensi Peradilan Agama. Sebut saja teori Receptio in complexu (Prof. Mr. Lodewijk William Christian Van Den Berg), teori Reseptie (Prof. Christian Snouck Hurgronje dan C. Van vallenhoven), teori Receptie Exit (Prof. Dr. Hazairin, SH.) dan teori Receptie a Contrario.[18]
Maka peradilan agama sebagai sistem peradilan yang diakui sebagai sistem peradilan nasional di Indonesia berada pada sistem kekuasaan pemerintahan di sektor kekuasaan yudikatif atau kehakiman yang eksistensinya jika dilihat sebagaimana ketentuan Pasal 2 Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, maka landasan hukum yang mengatur tentang eksistensi peradilan agama secara hierarki sebagai berikut :[19]
·         UUD 1945 Pasal 24 dan 25 tentang Kekuasaan kehakiman
·         Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
Keberadaan sistem Hukum Islam di Indonesia sejak lama telah dikukuhkan dengan berdirinya sistem peradilan agama yang diakui dalam sistem peradilan nasional di Indonesia. Bahkan dengan diundangkannya UU tentang Peradilan Agama tahun 1998, kedudukan Pengadilan Agama Islam itu makin kokoh. Akan tetapi, sejak era reformasi, dengan ditetapkannya Ketetapan MPR tentang Pokok-Pokok Reformasi yang mengamanatkan bahwa keseluruhan sistem pembinaan peradilan diorganisasikan dalam satu atap di bawah Mahkamah Agung.

2.6     Realisasi atau Langkah Pelaksanaan Sistem Peradilan Satu Atap
Independensi kekuasaan lembaga peradilan tidak dapat dilepaskan dari perdebatan teoritik tentang pemisahan kekuasaan (separation of power), karena pemisahan kekuasaan dari cabang-cabang kekuasaan dari cabang-cabang kekuasaan dimaksudkan untuk menjamin adanya independensi kekuasaan lembaga peradilan.
Keterkaitan antara pemisahan kekuasaan dengan konsep Negara hukum terletak pada pengaturan batas-batas kekuasaan yudikatif, eksekutif, dan legislatife ataupun hubungan antara cabang-cabang kekuasaan tersebut dalam konstitusi.
Teori independensi lembaga peradilan merupaka pilar dari Negara hukum. Ini dimaksudkan untuk tidak adanya campur tangan lembaga-lembaga diluar pengadilan, terutama kekuasaan eksekutif dan yudikatif terhadap pelaksaan fungsi pengadilan.
Alexis de tocquivelle memberikan tiga cirri bagi pelaksanaan kekuasaan lembaga peradilan yang independen:
Pertama; kekuasaan lembaga peradilan di semua Negara merupakan pelaksana fungsi peradilan, dimana lembaga peradilan hanya bekerja jika ada pelanggaran hukum atau hak warga Negara tanpa ada suatu kekuasaan lainnya dapat melakukan intervensi.
Kedua; fungsi lembaga peradilan hanya berlangsung kalau ada kasus pelanggaran kasus yang khusus.
Ketiga; kekuasaan lembaga peradilan hanya berfungsi jika diperlukan dalam hal adanya sengketa yang diatur dalam hukum.
Langkah Pelaksanaan Sistem Satu Atap ;
Diketahui secara Universal bahwa pada akhir pemerintahan Orde Baru Indonesia, sebagaimana Negara-negara tetangganya, tertimpa krisis moneter, yang diikuti krisi ekonomi, social, politik, budaya. Krisis tersebut berlangsung dan berkepanjangan, sehingga terjadi reformasi di semua bidang. Tak terkecuali UUD 1945 yang telah di amandemen beberapa kali, demikian undang-undang juga menjabarankannya. Perumusan pasal 24 disempurnakan dan ditambah dengan pasal 24A, 24B, dan 24C. pasal-pasal tersebut mengatur kekuasaan lembaga peradilan. Pokok-pokok fikiran dalam pasal-pasal tersebut antara lain:
1.      Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
2.      Kekuasan kehakiman dilakukan oleh:
a.       Sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan lingkungan peradilan militer.
b.      Sebuah mahkamah konstitusi.
3.      Hakim Agung diusulkan oleh komisi yudisial kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan dan kemudian ditetapkan oleh presiden sebagai kepala Negara.
4.      Ketua dan wakil ketua mahkamah Agung dipilih oleh dan di antara hakim Agung.
5.      Komisi yudisial bersifat mandiri disamping memiliki wewenang mengusulkan hakim Agung, juga mempunyai wewenang lainnya dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Pada era reformasi untuk membenahai penyelenggaraan kekuasaan kehakiman telah dibentuk beberapa undang-undang dan peraturan mengenai kekuasaan kehakiman dan badan-badan yang melaksanakannya, pada UU no. 4 Tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman perubahan atas UU no. 14.
Gagasan penerapan satu atap di peradilan agama ini muncul dari Syamsuhadi Irsyad, sewaktu masih menduduki jabatan direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam. Tahun 1999, yakni tentang:

Pemisahan fungsi Yudikatif dan Eksekutif, ini diambil dari pasal 24 UUD 1945.
Implementasi Pemisahan Fungsi Yudikatif dan Eksekutif, sebagaimana dalam Tap MPR No. X/MPR/1998, mengenai implementasi pemisahan fungsi yudikatif ke eksekutif.
Pemindahan kewenangan mengurusi organisasi, administrasi, dan finansial dari departemen (eksekutif) kepada Mahkamah Agung (yudikatif), menjadikan Mahkamah Agung memiliki kewenangan teknis yudisial dan kewenangan administrative manajerial. Mahkamah Agung menangani urusan teknis dan administrative kekuasaan kehakiman dalam satu atap.
Sebagai realisasi dari pasal 42 UU 4/2004 dan Keppres No. 21/2004 Menteri Agama telah menyerahkan organisasi, administrasi, dan finansiil Peradilan Agama kepada Ketua Mahkamah Agung pada tanggal 30 Juni 2004. Yang sebelumnya pada tanggal 31 Maret 2004 Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia telah menyerahkan organisasi, administrasi dan finansiil dalm lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara kepada ketua Mahkamah Agung. Selanjutnya pada lingkungan Peradilan Militer pada tanggal 09 Juli 2004.
Dengan demikian empat lingkungan peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di Negara kita baik pembinaan teknis yuridis dan pengawasan maupun organisasi, administrasi, dan finansiil berada dalam satu atap di bawah Mahkamah Agung sehingga kemerdekaan seorang hakim di harapkan benar-benar lebih terjamin. Dalam pasal 4 ayat (3 dan 4) UU No. 4/2004 ditegaskan bahwa segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain diluar kekuasaan kehakiman di larang dan setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan tersebut dipidana.














BAB III
PENUTUP

1.1  Kesimpulan
Dari penjelasan umum UU Nomor 4 Tahun 2004 tersebut dapat diajukan pertanyaan tentang siapa sebenarnya yang berkompeten memberikan saran dan pendapat dan tentang materi atau masalah apa yang diberi saran saat dilakukan pembinaan terhadap lembaga Peradilan Agama. Kedua pertanyaan tersebut perlu diwacanakan dan didiskusikan secara terbuka dengan harapan dapat memperoleh masukan yang bermanfaat bagi keberadaan Pengadilan Agama dimasa yang akan datang.
Pelaksanaan peradilan satu atap dengan pengalihan organisasi, administrasi dan keuangan kekuasaan kehakiman ke Mahkamah Agung tidak akan mengubah kinerja peradilan. Pengalihan adalah pelaksanaan perintah UU no 35 tahun 1999.
Sistem peradilan satu atap dibawah Mahkamah Agung (MA) secara efektif telah dimulai 1 April 2004. Hasil revisi UU nomor 14/1985 tentang Mahkamah Agung yang telah ditetapkan DPR.

1.2  Saran
Harapan saya setelah tersusunnya tugas ini dapat menambah ilmu pengetahuan bagi pembaca. Dan saya juga menyadari tugas ini jauh dari kesempurnaan untuk itu saya mengharapkan keritik dan saran yang bersifat membangun untuk di jadikan bahan acuan dalam pemuatan tugas selanjutnya.







DAFTAR PUSTAKA
.
Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al Wajiz, (Bogor: Daar Ibnu Rajab, 2001)
Busthanul Arifin. 1993. “Peradilan Agama di Indonesia”, dalam Mimbar Hukum: Aktualisasi Hukum Islam, Nomor 10 Tahun IV, hlm. 1-9. Jakarta: Al-Hikmah & Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam.
Cik Hasan Bisri. 1997. Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Cetakan Pertama. Bandung: Remadja Rosdakarya.
Mohammad Daud Ali, Pengantar Ilmu Hukum dan tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2005),
Mujahidin, Ahmad, Dr., Peradilan Satu Atap di Indonesia (Bandung, Refika Aditama, 2007)
Yurzil irza mahendra: Jurnal legislasi indonesia. Para digma satu atap. Dimahkamah agung. 2004. Jakarta selatan: Penerbit: Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Kehakiman & HAM RI.
Zuhriah, Erfaniah, M.H., Peradilan Agama di Indonesia (Malang, UIN Press, 2009)
Zainuddin Fajari. 2006. Paradigma Baru Peradilan Agama. Makalah Disampaikan dalam Kegiatan Sosialisasi Undang-undang tentang Peradilan Agama tanggal 12 Juli 2006 di Bandung.
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR....................................................................................... 1    
DAFTAR ISI....................................................................................................... 2    
BAB I   : PENDAHULUAN.............................................................................. 3    
            1.1  Latar Belakang................................................................................... 3
            1.2  Rumusan Masalah.............................................................................. 4    
            1.3 Tujuan Penulisan.................................................................................. 4
            1.4 Manfaat Penulisan............................................................................... 4
            1.5 Metode Penulisan................................................................................ 5
BAB II  : PEMBAHASAN ................................................................................ 6    
              2.1  Pengertian Peradilan Agama............................................................ 6
              2.2  Perjuangan Peradilan Agama dan Eksistensinya............................. 10
              2.3  peradilan satu atap di Mahkamah Agung........................................ 13
              2.4  peradilan satu atap di Mahkamah Agung........................................ 13  
              2.5  Peran Peradilan Agama dalam Lingkungan Satu Atap.................... 13
              2.6  Realisasi atau Langkah Pelaksanaan Sistem Peradilan Satu Atap... 10
             
BAB III : PENUTUP........................................................................................... 15  
              3.1 Kesimpulan....................................................................................... 15
              3.2 Saran................................................................................................. 16  
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 17


[1] Cik Hasan Basri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 2.
[2] Mohammad Daud Ali, Pengantar Ilmu Hukum dan tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2005), hal. 278.
[3] Cik Hasan Basri, Peradilan Agama di Indonesia…, hal. 3.
[4] QS. Al-Maidah ayat 49
[5] Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al Wajiz, (Bogor: Daar Ibnu Rajab, 2001), hal. 7
[6] Ahsan Dawi Mansur, Paradigma Baru Peradilan Agama
[7] Ahsan Dawi Mansur, Paradigma Baru Peradilan Agama
[8] Yurzil irza mahendra: Jurnal legislasi indonesia. Para digma satu atap. Dimahkamah agung. Hlm: vi
[9] Ibid: hlm: vi
[10] ibid
[11] Yurzil irza mahendra: Jurnal legislasi indonesia. Para digma satu atap. Dimahkamah agung. Hlm: vii
[12] Ibid: hlm vii
[13] Pendapat hadi suorianto dalam jurnal Jurnal legislasi indonesia. Para digma satu atap. Dimahkamah agung. Oleh: Yurzil irza mahendra. Hlm: 1
[14] Pendapat hadi suorianto dalam jurnal Jurnal legislasi indonesia. Para digma satu atap. Dimahkamah agung. Oleh: Yurzil irza mahendra. Hlm: 1
[15] Ibid: hlm 2
[16] Ibid hlm: 5
[17] Pendapat hadi suorianto dalam jurnal Jurnal legislasi indonesia. Para digma satu atap. Dimahkamah agung. Oleh: Yurzil irza mahendra. Hlm: 7
[18] Raj Firass Cakrayukti, Satu Atap dalam Mahkamah Agung RI
[19] Raj Firass Cakrayukti, Satu Atap dalam Mahkamah Agung RI.

Share:

No comments:

Post a Comment

Recent Posts

Search This Blog