SEJARAH KELAHIRAN NAHDLATUL ULAMA

NAHDLATUL ULAMA

 
1.1  Sejarah Kelahiran
Nahdlatul ulama (NU), artinya adalah kebangkitan ulama, merupakan organisasi yang didirikan oleh para ulama pada tanggal 31 Januari 1926 M/16 Rajab 1344 H di Surabaya.
Latar belakang berdirinya NU berkaitan erat dengan perkembangan pemikiran keagamaan dan politik dunia Islam saat itu. Pada tahun 1925, sedang dilakukan persiapan-persiapan penyelenggaraan Kongres Khilafat yang akan diadakan di Kairo. Inisiatif penyelenggaraannya berasal dari para ulama Al-Azhar  yang didorong oleh Raja Mesir, Fu’ad, calon lain untuk kursi khalifah. Pemikir pembaru terkemuka, Rasyid Ridha sudah mengirim undangan kepada Sarekat Islam dan Muhammadiyah, organisasi penting yang ada di Indonesia saat itu. Namun kesulitan-kesulitan internal di Mesir mengganggu persiapan kongres dan menyebabkan kongres itu harus ditunda sampai Mei  1926. Dalam pandangan Ibnu Sa’ud, persiapan Kongres Kairo, dengan kemungkinan terpilihnya Raja Fu’ad sebagai khalifah baru, merupakan ancaman atas posisi yang baru dimenangkannya di Hijaz. Karena itu, dia menyelenggarakan kongres tandingan di Mekkah selama Juni-Juli 1926, berpura-pura menyelenggarakan pembicaraan tentang haji tetapi dalam kenyataannya berusaha memperoleh legitimasi bagi kekuasaannya atas Hijaz. Kedua kongres yang hampir bersamaan itu menunjukkan adanya persaingan yang tidak terlalu tersembunyi untuk meraih kedudukan sebagai pemimpin seluruh umat Islam. Kedua panitia kongres tersebut dengan harap-harap cemas melakukan pendekatan agar seluruh dunia Islam bersedia ikut serta. Tahun 1920-an juga merupakan rentang waktu di mana di Indonesia pun diadakan kongres-kongres umat Islam. Di tahun-tahun 1922-1926, para aktifis muslim dari berbagai organisasi dan perhimpunan mengadakan serangkaian kongres bersama (Kongres Al-Islam) untuk membicarakan berbagai masalah penting yang menjadi keprihatinan bersama. Semua aliran Islam Indonesia terwakili dalam kongres-kongres ini, walaupun wakil kaum modernis terlalu banyak. Kongres Al-Islam ketiga, yang diselenggarakan Desember 1924, didominasi pembicaraan mengenai khilafah, dan para pesertanya memutuskan untuk mengirimkan delegasi yang mewakili Sarekat Islam, Muhammadiyah dan kaum tradisionalis ke Kongres Kairo. Karena terjadi penundaan di Mesir, delegasi ini tidak jadi berangkat. Menjelang Kongres Al-Islam keempat, Agustus 1925, datang pula undangan untuk menghadiri Kongres Mekkah. Masalah penentuan pilihan antara Kairo dan Makkah, dan masalah sikap yang diambil terhadap rezim Sa’udi yang baru berkuasa di Mekkah, menimbulkan perselisihan pendapat antara Sarekat Islam dan Muhammadiyah dan menyebabkan keretakan hubungan di antara mereka dan kaum tradisionalis yang terus meluas dan akhirnya menimbulkan perpecahan. Tidak satupun dari kongres tersebut yang secara jelas berhubungan dengan Islam tradisional. Kita telah menyaksikan bahwa pembaru terkenal, Rasyid Ridha, adalah salah seorang penyelenggara Kongres di Kairo (walaupun kemudian dia memutuskan untuk datang di Kongres Mekkah). Hal ini bukannya tidak membuat kaum tradisionalis Indonesia merasa khawatir. Bagaimanaun juga, Ibnu Sa’ud dan pengikutnya adalah kaum Wahabi, pengikut sekte puritan yang paling dogmatis dalam Islam. Kelompok Wahabi terkenal dengan sikap kerasnya menentang segala sesuatu yang bernada pemujaan kepada wali dan pemujaan kepada orang yang sudah meninggal.
Selama menduduki kota Mekkah beberapa waktu sebelumnya, pada awal abad ke-20, kaum Wahabi banyak menghancurkan banyak makam di dalam dan di sekitar kota tersebut dan memberangus berbagai praktik keagamaan populer. Bagi kaum Muslim tradisionalis Indonesia, yang sangat terikat pada praktik-praktik keagamaan yang dikutuk kaum Wahabi ini, penaklukan atas Mekkah tersebut merupakan peristiwa yang sangat mencemaskan. Muhammadiyah sejak awal nampak lebih cenderung ke Kongres Kairo, mungkin karena keterlibatan Rasyid Ridha di dalamnya.
Secara nyata, Muhammadiyah lebih dekat kepada pembaru Mesir daripada kaum puritan Wahabi. Namun, pemimpin Sarekat Islam, Tjokroaminoto, keberatan terhadap peranan Raja Fu’ad dalam kongres ini  yang dia curigai sebagai siasat tersembunyi  Inggris untuk menguasai dunia Islam. Dia menegaskan bahwa umat Islam Indonesia, demi alasan politik hendaknya memilih Kongres Mekkah yang diadakan Ibnu Sa’ud. Kaum tradisionalis Indonesia menghendaki agar utusan Indonesia ke kongres Mekkah meminta jaminan dari Ibnu Sa’ud bahwa dia akan menghormati madzhab-madzhab fikih dan membolehkan berbagai praktik keagamaan tradisional. Ini adalah masalah yang paling penting bagi mereka, karena Mekkah sejak lama telah menjadi pusat ilmu tradisional. Hal ini akan menjadi pukulan berat bagi pendidikan tradisional di seluruh dunia Islam jika fikih Syafi’i dilarang di Mekkah. Demikian juga, pelarangan terhadap tarekat dan ziarah ke banyak makam orang suci di dalam dan sekitar Mekkah akan menghilangkan kesempatan kaum muslim tradisional seluruh dunia untuk memperoleh pengalaman-pengalaman keagamaan yang penting. Tidak mengherankan, kaum pembaru tidak bersedia meminta kepada Sa’ud agar melindungi praktik-praktik tradisional yang tidak mereka setujui. Tentu saja, hal ini semakin memperburuk ketegangan antara kaum muslim tradisionalis dan pembaru di Indonesia. Kongres itu pun berakhir tanpa ada keputusan yang jelas. Setengah tahun kemudian, Februari 1926, Kogres Al-Islam kelima diadakan untuk memilih siapa yang akan menjadi utusan ke Kongres Mekkah. Pada saat itu, kaum tradisionalis tidak mendapat kesempatan. Hanya dua orang utusan yang ditunjuk, Tjokroaminoto (SI) dan Mas Mansoer (Muhammadiyah). Di luar utusan dari Kongres Al-Islam, kaum pembaru dari Sumatera Barat mengirimkan dua utusannya ke Kongres Kairo, yakni pembaru terkenal Abdul Karim Amrullah (alias Haji Rasul, ayah Hamka) dan Abdullah Ahmad. Namun, pada saat itu kaum tradisionalis sudah memutuskan jika Kongres Al-Islam tidak mau menekan Ibnu Sa’ud, mereka harus berusaha melakukannya sendiri. Kiai Wahab, yang merupakan juru bicara kaum tradisionalis paling vokal pada Kongres Al-Islam, mendorong para Kiai terkemuka di Jawa Timur agar mengirimkan utusan sendiri ke Mekkah untuk membicarakan masalah madzhab dengan Ibnu Sa’ud. Karena pembaruan tersebut dilakukan dengan cara melecehkan, merendahkan dan membodoh-bodohkan, maka para ulama’ pesantren menolaknya. Bagi mereka, pembaruan tetap dibutuhkan, namun tidak meninggalkan khazanah keilmuan yang sudah ada dan masih relavan. Karena latar belakang yang mendesak itulah akhirnya Jam’iyah Nahdlatul Ulama didirikan.
Pendiri resminya adalah Hadratus Syeikh K.H. M. Hasyim Asy’ari Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Sedangkan yang bertindak sebagai arsitek dan motor penggerak adalah K.H. Abdul Wahab Hasbulloh, Pengasuh Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang. Kiai Wahab adalah salah seorang murid utama Kiai Hasyim.
1.2  Garis-garis Besar Pemikiran Nahdlatul Ulama
Organisasi Nahdlatul ‘Ulama didirikan dengan tujuan untuk melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam, dengan paham keagamaannya kepada sumber ajaran Islam : Al-Qur’an, As-Sunnah, Al-Ijma’ (kesepakatan ulama’), dan Al-Qiyas (analogi), dalam memahami dan menafsirkan Islam dari sumbernya di atas, NU mengikuti paham Ahlussunnah Wal Jama’ah dan menggunakan jalan pendekatan madzhab :
1.      Dalam bidang akidah, NU mengikuti paham Ahlussunnah Wal Jama’ah yang di pelopori oleh Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi.
2.      Dalam bidang fiqih, NU mengikuti jalan pendekatan (madzhab) Imam Abu Hanifah an-Nu’man (Imam Hanafi), Imam Malik Bin Annas (Imam Maliki), Imam Muhammad Bin Idris as-Syafi’i (Imam Syafi’i), dan Imam Ahmad Bin Hanbal (Imam Hanbali)
3.      Dalam bidang Tasawwuf mengikuti Imam Junaid al-Baghdadi dan Imam al-Ghozali, serta imam-imam lain.
Bahkan dalam anggaran dasar yang pertama tahun 1927 dinyatakan bahwa organisasi NU bertujuan untuk memperkuat kesetiaan kaum muslimin pada salah satu madzhab empat. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan kala itu antara lain :
1.      Memperkuat persatuan ulama’ yang masih setia kepada madzhab
2.      Memberikan bimbingan tentang jenis-jenis kitab yang diajarkan pada lembaga-lembaga pendidikan Islam
3.      Penyebaran ajaran Islam yang sesuai dengan tuntunan madzhab empat
4.      Memperluas jumlah madrasah dan memperbaiki organisasinya
5.      Membantu pembangunan masjid-masjid, langgar/musholla, dan pondok pesantren
6.      Membantu anak-anak yatim-piatu dan fakir-miskin
Dalam perkembangannya, NU dalam keputusan Muktamar di Donohudan, Boyolali tahun 2004 di sebutkan,
Tujuan Nahdlatul ‘Ulama didirikan adalah berlakunya ajaran Islam yang menganut paham Ahlussunnah Wal Jama’ah dan menurut salah satu madzhab empat untuk terwujudnya tatanan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan demi kemaslahatan dan kesejahteraan umat.
Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana di atas, maka NU melaksanakan usaha-usaha sebagaimana berikut :
1.      Di bidang Agama, mengupayakan terlaksananya ajaran Islam yang menganut paham Ahlussunnah Wal Jama’ah dan menurut salah satu madzhab empat dalam masyarakat dengan melaksanakan dakwah Islamiyah dan amar ma’ruf nahi munkar
2.      Di bidang pendidikan, pengajaran dan kebudayaan, mengupayakan terwujudnya penyelenggaraan pendidikan dan pengejaran serta pengembangan kebudayaan yang sesuai dengan ajaran Islam untuk membina umat agar menjadi muslim yang takwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas dan terampil, serta berguna bagi agama, bangsa dan negara.
3.      Di bidang sosial, mengupayakan terwujudnya kesejahteraan lahir dan batin bagi rakyar Indonesia
4.      Di bidang ekonomi, mengupayakan terwujudnya pembangunan ekonomi unuk pemerataan kesempatan berusaha dan menikmati hasil-hasil pembangunan, dengan mengutamakan tumbuh dan kembangnya ekonomi kerakyatan

5.      Mengembangkan usaha-usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat banyak guna terwujudnya Khoiro Ummah
Share:

No comments:

Post a Comment

Recent Posts

PUSTAKA NALARHUKUM.COM

Search This Blog

Blog Archive