SEJARAH SINGKAT PARA TOKOH NU

SEJARAH SINGKAT PARA TOKOH NU


1.   Syaichona Muhammad Cholil
Sang Guru Sejati Para Kiai
[Ketika Kholil muda menyantri pada Kiai Noer di pesantren Langitan Tuban. Kholil seperti biasanya ikut jama'ah sholat yang memang keharusan para santri. Di tengah kekhusukan jama'ah sholat, tiba-tiba kholil tertawa terbahak-bahak. Karuan saja, hal ini membuat santri lain marah. Demikian juga dengan Kiai Noer. Dengan kening berkerut, kiai bertanya:"Kholil, kenapa waktu sholat tadi, kamu tertawa terbahak-bahak. Lupakah kamu itu meengganggu kekhusukan sholat dan sholat kamu tidak syah?!" Kholil menjawab dengan tenang, "Maaf, begini Kiai, waktu sholat tadi saya sedang melihat Kiai sedang mengaduk-aduk nasi di bakul, karena itu saya tertawa. Sholat kok mengaduk-aduk nasi. Salahkah yang saya lihat itu, kiai?" Jawab Kholil muda dengan mantap dan sopan.
Kiai Muhammad Noer terkejut. Kholil benar, Santri baru itu dapat membaca apa yang terlintas di benaknya, Kiai Muhammad Noer duduk dengan tenang sambil menerawang lurus ke depan, serta merta berbicara kepada santri kholil: "Kau benar anakku, saat mengimami sholat tadi perut saya memang sedang lapar. Yang terbayang dalam pikiran saya saat itu, memang hanya nasi, anakku," ucap Kiai Muhammad Noer secara jujur. Sejak kejadian itu kelebihan Kholil akhirnya menyebar. Bukan hanya terbatas di pesantren Langitan, tetapi juga sampai ke pesantren lain di sekitarnya. Karena itu, setiap kiai yang akan ditimba ilmunya oleh Kholil muda, maka para kiai itu selalu mengistimewakannya.]

Syaichona Muhammad Kholil dilahirkan pada 11 Jamadil Akhir 1235 Hijrah atau 27 Januari 1820 Masihi di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur. Beliau keturunan Rasulullah SAW ke-29. Melalui jalur Saiyidina Husain bin Ali.
Pendidikan: Beliau berasal dari keluarga Ulama dan digembleng langasung oleh ayah Beliau menginjak dewasa beliau ta’lim diberbagai pondok pesantren. Sekitar 1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh, Kiyai Muhammad Khalil belajar kepada Kiyai Muhammad Nur di Pondok-pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan beliau pindah ke Pondok-pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian beliau pindah ke Pondok-pesantren Keboncandi. Selama belajar di pondok-pesantren ini beliau belajar pula kepada Kiyai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Kiyai Nur Hasan ini, sesungguhnya, masih mempunyai pertalian keluarga dengannya. Sewaktu menjadi Santri KH Muhammad Kholil telah menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa Arab). disamping itu juga beliau juga seorang hafiz al-Quran . Belia mampu membaca alqur’an dalam Qira’at Sab’ah (tujuh cara membaca al-Quran).

Pada 1276 Hijrah/1859 Masehi, KH. Muhammad Khalil Belajar di Mekah. Di Mekah KH Muhammad Khalil al-Maduri belajar dengan Syeikh Nawawi al-Bantani (Guru Ulama Indonesia dari Banten). Di antara gurunya di Mekah ialah Syeikh Utsman bin Hasan ad-Dimyathi, Saiyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad al-Afifi al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud asy-Syarwani i. Beberapa sanad hadis yang mursal diterima dari Syeikh Nawawi al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail al-Bimawi (Bima, Sumbawa). Kh.Muhammad Kholil Sewaktu Belajar di Mekkah Seangkatan dengan KH.Hasym Asy’ari,Kh.Wahab Hasbullah dan KH.Muhammad Dahlan namum Ulama-ulama dahulu punya kebiasaan memanggil Guru sesama rekannya, Dan Kh. Muhammad KHolil yang dituakan dan dimuliakan diantara mereka.

Seputar Karomahnya: Banyak cerita mengisahkan kekeramatan Syaichona. Sebagian besar Ulama NU juga meyakini, jika beberapa kisah aneh yang berhubungan dengan dirinya itu merupakan pertanda dia adalah seorang waliyullah. Dikenal dengan karomah (keramat).
Diantara kisah itu adalah: Pada suatu hari di bulan syawal, Kiai Kholil tiba-tiba memanggil santri-santrinya. "Anak-anakku, sejak hari ini kalian harus memperketat penjagaan pondok pesantren. Pintu gerbang harus senantiasa dijaga, sebentar lagi akan ada macan masuk ke pondok ini" kata Kiai Kholil agak serius. Mendengar tutur guru yang sangat dihormati itu, segera para santri mempersiapkan diri. Waktu itu, sebelah timur Bangkalan memang terdapat hutan-hutan yang cukup lebat dan angker. Hari demi hari, penjagaan semakin diperketat, tetapi macan yang ditunggu-tunggu belum tampak juga. Memasuki minggu ketiga, datanglah ke pesantren seorang pemuda kurus tidak seberapa tinggi bertubuh kuning langsat sambil menenteng kopor seng. Sesampainya di depan pintu rumah Kiai Kholil, lalu mengucap salam "Assalamu'alauikum" ucapnya agak pelan dan sangat sopan.
Mendengar salam itu, bukannya jawaban salam yang diterima, tetapi kiai malah berteriak memanggil santrinya, hei... santri semua, ada macan...macan...ayo kita kepung. Jangan sampai masuk pondok" seru Kiai Kholil bak seorang komandan di medan perang. Mendengar teriakan Kiai, kontan saja semua santri berhamburan, datang sambil membawa apa saja yang ada, pedang, celurit, tongkat, pacul untuk mengepung pemuda yang baru datang tadi yang mulai nampak pucat. Tidak ada pilihan lagi kecuali lari seribu langkah. Namun karena tekad ingin nyantri ke Kiai Kholil begitu menggelora, maka keesokan harinya pemuda itu mencoba datang lagi. Begitu memasuki pintu gerbang pesantren langsung disong-song dengan usiran ramai-ramai. Demikian juga keesokan harinya, baru pada malam ketiga, pemuda yang pantang mundur ini memasuki pesantren secara diam-diam pada malam hari. Karena lelahnya pemuda itu, yang disertai rasa takut yang mencekam, akhirnya tertidur di bawah kentongan surau.
Secara tidak diduga, tengah malam, Kiai Kholil datang dan membangunkannya, karuan saja dimarahi habis-habisan. Pemuda itu dibawa ke rumah Kiai Kholil, setelah berbasa-basi dengan seribu alasan, baru pemuda itu lega setelah resmi diterima sebagai santri Kiai Kholil. Pemuda itu bernama Abdul Wahab Hasbullah. Seorang kiai yang sangat alim, jagoan berdebat dan pembaharu pemikiran. Kehadiran KH. Wahab Hasbullah dimana-mana selalu berwibawa dan disegani baik kawan maupun lawan bagaikan seekor macan, seperti yang disyaratkan Kiai Kholil.
Syaikhona wafat tanggal 24 April 1925 M/29 Ramadhan 1343 H. dalam usia 91 tahun. Dimakamkan di Tajasah, Melajeh, sekitar 2 kilometer sebelah kota Bangkalan. Sampai sekarang makamnya dikeramatkan orang. Banyak diziarahi oleh kaum muslimin dari seluruh Tanah Air. Para peziarah akan semakin banyak jumlahnya bila musim liburan sekolah atau menjelang bulan Ramadhan tiba. Sampai kini namanya diabadikan sebagai nama pondok yang dirintisnya, Pondok Pesantren Syaikhona Cholil, yang terletak di tengah kota Bangkalan.
2.   Hadratus Syeikh KH. M. Hasyim Asy’sri

Rais Akbar. Tokoh Sentral NU
[Ada cerita yang cukup mengagumkan tatkala KH.M. Hasyim Asy'ari "ngangsu kawruh" dengan Kiai Khalil. Suatu hari, beliau melihat Kiai Khalil bersedih, beliau memberanikan diri untuk bertannya. Kiai Khalil menjawab, bahwa cincin istrinya jatuh di WC, Kiai Hasyim lantas usul agar Kiai Khalil membeli cincin lagi. Namun, Kiai Khalil mengatakan bahwa cincin itu adalah cincin istinya. Setelah melihat kesedihan diwajah guru besarnya itu, Kiai Hasyim menawarkan diri untuk mencari cincin tersebut didalam WC.
 Akhirnya, Kiai Hasyim benar-benar mencari cincin itu didalam WC, dengan penuh kesungguhan, kesabaran, dan keikhlasan, akhirnya Kiai Hasyim menemukan cincin tersebut. Alangkah bahagianya Kiai Khalil atas keberhasilan Kiai Hasyim itu. Dari kejadian inilah Kiai Hasyim menjadi sangat dekat dengan Kiai Khalil, baik semasa menjadi santrinya maupun setelah kembali kemasyarakat untuk berjuang. Hal ini terbukti dengan pemberian tongkat saat Kiai Hasyim hendak mendirikan Jam'iyah Nahdlatul Ulama' yang dibawa KH. As'ad Syamsul Arifin (pengasuh Pondok Pesantren Syafi'iyah Situbondo).]
Hasyim Asy’ari yang lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875 tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara turun-temurun memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Kiai Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja Pajang (keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir).
Pendidikan: pertama kali belajar ilmu-ilmu agama baik dari kakek dan neneknya. Desa Keras membawa perubahan hidup yang pertama kali baginya, disini mula-mula ia menerima pelajaran agama yang luas dari ayahnya yang pada saat itu pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Asy'ariyah. Dalam usia 14 tahun, perjalanan awal menuntut ilmu, Muhammad Hasyim belajar ke pondok-pondik pesantren yang masyhur di tanah Jawa, khususnya Jawa Timur. Di antaranya adalah Pondok Pesantren Wonorejo di Jombang, Wonokoyo di Probolinggo, Tringgilis di Surabaya, dan Langitan di Tuban (sekarang diasuh oleh K.H Abdullah Faqih), kemudian Bangkalan, Madura, di bawah bimbingan Kiai Muhammad Khalil bin Abdul Latif (Syaikhona Khalil).
Pada tahun 1309 H/1893 M, beliau berangkat kembali ke tanah suci bersama adik kandungnya yang bernama Anis. Kenagan indah dan sedih teringat kembali tat kala kaki beliau kembali menginjak tanah suci Mekah. Namun hal itu justru membangkitkan semangat baru untuk lebih menekuni ibadah dan mendalami ilmu pengetahuan. Ulama-ulama besar yang tersohor pada saat itu didatanginya untuk belajar sekaligus mengambil berkah, di antaranya adalah Syaikh Su’ab bin Abdurrahman, Syaikh Muhammad Mahfud Termas (dalam ilmu bahasa dan syariah), Sayyid Abbas Al-Maliki al-Hasani (dalam ilmu hadits), Syaikh Nawawi Al-Bantani dan Syaikh Khatib Al-Minang Kabawi (dalam segala bidang keilmuan).
Meski memiliki banyak guru, namun hubungannya lebih dekat kepada Syeikh Mahfudz, yang juga termasuk Guru Besar di Masjidil Haram. Dari Syeikh Mahfudz itulah Muhammad Hasyim mendapatkan ijazah untuk mengajar Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Sampai akhirnya Kiai Hasyim dikenal sebagai seorang ahli Hadits.
Pengabdian: Pada tanggal 26 Robiul Awal 1317 H/1899 M, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng, bersama rekan-rekan seperjuangnya, seperti Kiai Abas Buntet, Kiai Sholeh Benda Kereb, Kiai Syamsuri Wanan Tara, dan beberapa Kiai lainnya. Dengan murid pertamanya sebanyak 28 orang. Pesantren inilah yang menjadi tempat penggemblengan kader-kader NU masa itu dan masa-masa mendatang.
Tahun 1925 turut serta menyutujui pengiriman utusan ke Arab Saudi, yang dikenal dengan Komite Hijaz. Dari komite itu akhirnya dibentuklah jam’iyah Nahdlatul Ulama pada 16 Rajab 1344 H/ 31 Januari 1926 di Surabaya. Kiai Hasyim menjabat Rais Akbar. Jabatan itu disandang hingga akhir hayat, dan jabatan Rais Akbar diganti menjadi Rais Aam.
Pada masa perjuangan kemerdekaan, beliau mengeluarkan dua buah fatwa yang sangat terkenal. Pertama, perang melawan Belanda adalah jihad dan dihukumi fardhu ain. Dan kedua, melarang kaum muslimin Indonesia melakukan perjalanan haji dengan kapal-kapal Belanda. Dua fatwa itu berperan sangat besar dalam perjuangan merebut kemerdekaan RI.

          Begitu pula masa penjajah Jepang , pada tahun 1942 Kiai Hasyim dipenjara (Jombang) dan dipindahkan penjara Mojokerto kemudian ditawan disurabaya. Beliau dianggap sebagai penghalang pergerakan Jepang.
Setelah Indonesia merdeka Pada tahun 1945 KH. M. Hasyim Asy’ari terpilih sebagai ketua umum dewan partai Majlis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI).
Kiai Hasyim wafat 7 Ramadhan 1336 H/21 Juli 1947, ketika benteng pertahanan Hizbullah – Sabilillah di Singosari, Malang, direbut tentara Belanda. Kiai Hasyim dimakamkan di belakang Pesantren Tebuireng. Pemerintah RI menganugerahkan gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional kepadanya. Selain meninggalkan belasan judul karya tulis dalam Bahasa Arab dan Jawa. Diantara buku-buku karya Kiai Hasyim Asy’ari adalah:
1.    Al-Nurul Mubin Fi Mahabati Sayyidi Mursalin. Kajian kewajiban beriman, mentaati, mentauladani, berlaku ikhlas, mencinatai Nabi SAW sekaligus sejarah hidupnya.
2.    Al-Tanbihat al-Wajibat Liman Yashna'u al-Maulida Bi al-Munkarat. Kajian mengenai maulid Nabi dalam kaitannya dengan amar ma’ruf nahi mungkar.
3.    Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah. Kajian mengenai pandangan terhadap bid’ah, Konsisi salah satu madzhab, dan pecahnya umat menjadi 73 golongan.
4.    Al-Durasul Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘asyaraoh. Kajian tentang Wali dan Thoriqoh yang terangkum dalam sembilan belas permasalahan dll.


Diantara putranya banyak yang mewarisi sifat pejuangnya KH. A Wahid Hasyim menjadi Menteri Agama hingga tiga kali, KH. Choliq Hasyim menjadi Daidanco PETA, KH. Yusuf Hasyim aktif di Laskar Hizbullah sebagai komandan Kompi II dan bergabung dalam TNI dengan pangkat terakhir Letnan satu. Sedangkan KH. Abdurrahman Wahid, cucunya, kelak akan menjadi Presiden Keempat Ripublik Indonesia.
Share:

No comments:

Post a Comment

Recent Posts

PUSTAKA NALARHUKUM.COM

Search This Blog

Blog Archive